You are on page 1of 12

PENDANAAN PARTAI POLITIK

DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)

Disusun oleh:

1. Catur Septiana Rakhmawati


2. Gagah Satria Utama
3. Yuniar Riza Hakiki

KOMPETISI DEBAT KONSTITUSI 2015

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


YOGYAKARTA
Mei 2015

PENDANAAN PARPOL DARI APBN

PENDAHULUAN
Dalam negara demokrasi, Partai Politik (Parpol) merupakan salah satu basis penting
untuk menyokong serta menjalankan proses demokratisasi. Abraham Lincoln menyatakan
bahwa demokrasi adalah Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang mana
antara Rakyat dengan Penguasa harus terdapat jembatan untuk menghubungkannya. Dalam
demokrasi kontemporer, partai politik telah menjadi instrumen utama rakyat untuk
berkompetisi dan mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik.1 Dengan adanya partai
politik jabatan-jabatan politik yang semula menjadi semacam previllage kelompok sosial
tertentu menjadi dapat diakses dari dan oleh semua kalangan masyarakat tanpa melihat kelas
dan stratifikasi sosial.2
Indonesia sebagai negara yang bentuk pemerintahannya adalah demokrasi, kehadiran
serta keberadaan parpol merupakan suatu hal yang penting. Dasar legitimasi yuridis parpol
adalah pasal 28 UUD NRI 1945 yang pada prinsipnya menjamin atas kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dengan diatur
melalui undang-undang. Turunan dari pasal tersebut salah satunya adalah UU No. 2 Tahun
2011 tentang perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang secara konkret
dalam pasal 1 angka 1 memberi definisi atas parpol, yakni organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Terdapat kalimat penting untuk digarisbawahi dari definisi parpol yang dinyatakan
dalam pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2011 tersebut yakni keberadaan parpol untuk
memperjuangakan

dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan

negara, serta memelihara keutuhan NKRI. Sehingga keberadaan parpol tentu sangat
diperlukan oleh negara, sebab memiliki peran strategis dalam rangka turut serta
merealisasikan konsep demokrasi dan untuk memelihara keutuhan NKRI. Selaras dengan
pernyataan Sigit Pamungkas dalam bukunya Partai Politik, Teori dan Praktik di Indonesia,
Sigit Pamungkas. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. (Yogyakarta:Institute for Democracy and
Welfarism,2011). hlm. 3
2
Ibid. hlm.4
1

bahwa partai politik sebagai sebuah organisasi untuk memperjuangkan nilai atau ideologi
tertentu melalui penguasaan struktur kekuasaan dan kekuasaan itu diperoleh melalui
keikutsertaannya didalam pemilihan umum.
Samuel Huntington menyatakan, dalam demokrasi modern karena peran parpol yang
begitu penting dan memil iki pengaruh yang signifikan di masyarakat dan Negara sehingga
Partai Politik perlu mendapat Perhatian dari Negara, salah satu bentuk perhatian ini adalah
melalui Pendanaan. Di Indonesia, sebagaimana pasal 34 UU No. 2 Tahun 2011 menyatakan
bahwa keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut
hukum, dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
berdasarkan Pasal 23 Ayat 1 UUD NRI 1945 adalah Anggaran Pendapatan Belanja Negara
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secar terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Mengingat peran/fungsi parpol sangat penting dalam proses demokrasi
yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, untuk itu berbagai kalangan berpendapat bahwa
parpol harus memperoleh salah satu sumber keuangan dari bantuan dana publik
(APBN/APBD).
Namun, dewasa ini parpol mengalami degradasi idealita dengan ditunjukkan tidak
konsistennya parpol dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam proses demokrasi.
Sehingga timbul reaksi dari berbagai kalangan terkait kebijakan pemerintah untuk mendanai
parpol dari APBN. Adapun bentuk respon tersebut diantarannya adalah menilai tidak tepat
jika parpol memperoleh bantuan dana dari APBN dikarenakan parpol tidak menunjukkan
pertanggungjawaban secara transparan dan akuntabel bahkan cenderung korup. Disisi lain
menganggap jika parpol tidak didanai dari APBN maka orientasi parpol justru tidak pro
dengan orientasi negara melainkan cenderung terhadap siapa yang mendanai. Ada pula yang
menganggap dengan tidak didanainya parpol dari APBN justru akan menyehatkan persaingan
antar parpol berdasar kualitas bukan kuantitas (modal keuangan). Dari berbagai asumsi
tersebut maka perlu kiranya dilakukan pembahasan untuk menimbang efektivitas pendanaan
parpol dari APBN.
PEMBAHASAN
Argumentasi Pro:
Dari perspektif pro, pendanaan partai politik dari APBN merupakan suatu
keniscayaan. Terdapat beberapa argumentasi yang akan penulis paparkan untuk menunjukkan

bahwa pendanaan parpol dari APBN niscaya untuk dilakukan. Pertama, Kedudukan partai
politik sebagai jantung demokrasi atau dalam kata lain sebagai pilar demokrasi (Filosofis).
Kedua, Kedudukan parpol sangat penting dalam sistem ketatanegaraan (Yuridis). Ketiga,
peran parpol sebagai perantara rakyat dengan pemerintah (Sosiologis). Keempat, dengan
memberikan bantuan dana dari APBN akan menjaga kemandirian partai politik dari
ketergantungan penyumbang dana. Kelima, proposal penulis mengenai optimalisasi
penegakan peraturan atas prosedur penyaluran bantuan keuangan dari APBN kepada partai
politik melalui pengawasan/kontrol, serta ketegasan dari pemerintah terhadap kewajiban
parpol untuk mempertanggungjawabkan penggunaan secara akuntabel dan transparan.
Partai politik sebagai jantung demokrasi perwakilan merupakan suatu hal yang sudah
tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya. Partai politik merupakan pusat rekruitmen dan
sirkulasi elit politik disebuah negara dan dapat menentukan tujuan politik nasional. Dalam
negara demokratis, parpol memiliki fungsi/peranan untuk menciptakan political will yang
baik. Sebab parpol merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia (oleh rakyat). Harris G. Warrant dalam Our Democracy
at Work (1963: 2), memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai a government of the
people, by the people, for the people. Oleh karena itu kualitas demokrasi juga dipengaruhi
kualitas partai politik. Keberlangsungan fungsi-fungsi partai akan menentukan wajah
demokrasi. Agar sebuah kepartaian mampu menopang secara kokoh jalannya demokrasi dan
stabilitas politik, pelembagaan partai menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan.3
Pelembagaan partai merupakan proses yang akan menjadikan partai bekerja sesuai koridor
fungsi-fungsi yang semestinya. Hingga kemudian dalam proses demokrasi ini akan terwujud
kesejahteraan rakyat.
Secara yuridis, kedudukan parpol amatlah penting dalam sistem ketatanegaran. Hal ini
dikarenakan parpol merupakan organisasi

yang berperan langsung dalam proses

ketatanegaraan. Sebagaimana Pasal 6A ayat 2 bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Dalam Pasal 22 E Ayat 3 pun tercantum bahwa
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik. Sehingga sebagaimana ketentuan tersebut
parpol memiliki andil secara langsung dalam mekanisme ketatanegaraan. Oleh karena itu,
optimalisasi untuk mendukung perkembangan fungsi dan operasional parpol oleh negara
merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan.
3

Sigit Pamungkas. Partai Politik Teori dan...Op Cit. hlm.63

Secara Sosiologis, Partai politik memainkan peran yang sangat menentukan dalam
sebuah demokrasi modern dan merupakan pilar utama dalam kelembagaan/institusi sistem
politik. Sebab, parpol akan menerjemahkan nilai dan kepentingan suatu masyarakat melalui
proses dari bawah ke atas (bottom-up) sehingga nilai dan kepentingan dari masyarakat itu
menjadi rancangan undang-undang negara, peraturan-peraturan yang mengikat serta programprogram pemerintah bagi rakyat. Hal inilah yang selanjutnya dimaksud sebagai perantara
antara rakyat dengan pemerintah.
Sebagai organisasi yang hidup di tengah masyarakat, partai politik menyerap,
merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, terdapat 3
(tiga) fungsi mendasar parpol yang dalam hal ini terkait dengan kedudukannya sebagai
perantara rakyat dengan pemerintah. Pertama, Parpol sebagai edukator bagi warga negara.
Pada konteks ini parpol mendidik, menginformasikan, dan membujuk masyarakat untuk
berperilaku tertentu yang mencerminkan kedudukannya sebagai warga negara. Kedua,
Mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi serta mengagregasi kepentingan. Dengan melakukan
mobilisasi rakyat maka rakyat akan terlibat dalam proses demokratisasi sehingga akan
menimbulkan motivasi lebih lanjut untuk memilih dalam pemilihan secara berkelanjutan serta
terlibat dalam aktivitas politik lainnya. Selain itu, parpol juga harus melakukan agregasi
kepentingan dengan menggabungkan dan menyeleksi tuntutan kepentingan dari berbagai
kelompok sosial ke dalam alternatif-alternatif kebijakan atau program pemerintahan. Ketiga,
melaksanakan rekruitmen kepemimpinan politik. Partai politik harus aktif mencari, meneliti,
dan mendesain kandidat yang akan bersaing dalam pemilu. Dengan demikian, Partai politik
dapat menempatkan kader-kadernya di lembaga legislatif maupun eksekutif, kemudian
menyampaikan dan mendesakkan kepentingan masyarakat tersebut untuk dibuat kebijakan
pemerintah.4
Namun dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut seringkali parpol terkendala
masalah dana. Sehingga untuk menghadapi masalah pendanaan, parpol mencari uang
sumbangan. Pada awalnya, parpol menghimpun sumbangan dana dari anggota. Namun karena
jumlah anggota yang mampu menyumbang terbatas, maka parpol menerima dana sumbangan
dari perseorangan bukan anggota. Namun akhirnya, guna memenuhi kebutuhan yang terus
meningkat parpol menerima sumbangan dari badan hukum, khususnya lembaga bisnis atau
perusahaan.5 Hal ini justru menimbulkan situasi dilematis bagi parpol, disatu sisi untuk

Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Perludem,2012.
hlm.1
5
Richard Katz and Peter Mair. How Party Organize: Change and Adaption in Party Organization in Western
Democracies. London:Sage Publication,1994.

membiayai berbagai kegiatan/program parpol yang membutuhkan dan banyak, disisi lain
besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandirian parpol dalam memperjuangkan
kepentingan rakyat, sebab parpol dapat mengalami ketergantungan serta cenderung
mengutamakan kepentingan penyumbang daripada kepentingan seluruh rakyat. Sehingga
untuk mengatasi situasi-situasi dilematis tersebut perlu dilakukan pengendalian keuangan
parpol oleh negara.
Memahami begitu penting peran/fungsi parpol dalam pertumbuhan demokrasi serta
menghindarkan situasi dilematis parpol, maka banyak negara yang menganggarkan dana
publik bagi parpol. Hampir

semua negara memberikan subsidi kepada parpol seperti,

Jerman, Amerika Serikat, Portugal, Ceko, Inggris, Afrika Selatan, dan Filiphina.6 Sejak
tahun 1970-an secara bertahap, negara-negara Eropa Barat menerapkan dua kebijakan:
pertama, membatasi sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada parpol; kedua,
memberi bantuan keuangan atau subsidi keuangan kepada parpol, baik untuk kegiatan
operasional maupun untuk dana kampanye.7 Prof. Ramlan Subakti dalam bukunya Peta
Permasalahan dalam Keuangan Politik Indonesia menyatakan salah satu tujuan
pengendalian keuangan partai politik oleh negara adalah mencegah Partai/calon terpilih
didikte oleh penyumbang terbesar, atau oleh pihak asing, atau menjamin agar Partai/Calon
terpilih lebih berorientasi dan akuntabel kepada konstituen.
Di Indonesia, sebagaimana pasal 34 UU No. 2 Tahun 2011 bahwa keuangan partai
politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Oleh karena itu, dalam status quo ini sangat jelas bahwa pemerintah Republik
Indonesia (RI) memiliki kewajiban untuk mendanai parpol dari dana publik (APBN/APBD).
Namun, perlu diketahui bahwa penyaluran/subsidi bantuan keuangan dari dana publik
(APBN) tersebut dibatasi oleh peraturan dan perundang-undangan yang tegas dengan tujuan
agar publik bisa ikut mengawasi anggaran parpol. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam
Pasal 34 hingga 39 pada UU No 2 tahun 2011 serta dalam Peraturan Pemerintah No 83 tahun
2012 tentang perubahan atas PP No 5 tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada partai
politik, yang secara pokok mengatur mengenai mekanisme penyaluran dana secara
proporsional serta prasyarat yang harus dipenuhi oleh parpol, selain itu juga mengatur
prioritas penggunaan keuangan untuk pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, dan
kemudian pengaturan mengenai pertanggungjawaban penggunaan dana.
6

Rini P. Radikun, Mahmudin Muslim, Ragil Kuncoro. Standar Akuntasi Keuangan Khusus Partai Politik.
Jakarta:TI Indonesia,2003. hlm.14
77
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Perludem,2012.
hlm.9

Pengaturan terhadap bantuan keuangan partai politik melalui Peraturan Pemerintah No


83 tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 5 tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada
partai politik ini cukup memberikan bentuk pengendalian terhadap keuangan parpol.
Meskipun parpol memperoleh bantuan keuangan dari APBN akan tetapi harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemerintah seperti halnya harus
memenuhi syarat sebagai parpol penerima bantuan keuangan yakni harus mendapatkan kursi
di parlemen yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara (Pasal 2 PP
83/2012). Selain itu, parpol juga harus mengajukan permohonan bantuan keuangan secara
tertulis kepada pemerintah dengan disertai beberapa persyaratan administrasi sebagaimana
pasal 7 PP No.83 Tahun 2012,antara lain: Penetapan perolehan kursi dan suara hasil
pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU); Susunan kepengurusan partai politik
yang sah; Rekening kas umum partai politik; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) partai
politik; Rencana Penggunaan dana bantuan keuangan partai politik; dan Laporan realisasi
penerimaan dan penggunaan bantuan keuangan tahun anggaran sebelumnya.
Bahkan, mengenai penggunaan bantuan keuangan dari APBN pun diatur, sebagaimana
pasal 9 PP 83/2012 yakni Bantuan keuangan kepada partai politik digunakan sebagai dana
penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat partai politik. Yang mana
pengaturan lebih detail diatur dalam pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah tersebut. Parpol
juga berkewajiban untuk melaporkan penggunaannya melalui Laporan Pertanggungjawaban
mengingat dana yang digunakan adalah dan dari rakyat. Dan apabila parpol melanggar
ketentuan menganai laporan pertanggungjawaban maka parpol dikenai sanksi administratif
berupa penghentian keuangan.
Adapun hal yang penting untuk diatur lebih tegas dan dioptimalisasikan oleh
pemerintah: Pertama, pembatasan jumlah pengeluaran partai politik. Hal ini bisa mencegah
pengeluaran yang berlebih-lebihan dan tidak berdasarkan pada kebutuhan partai. Kedua,
pengaturan bentuk kegiatan partai politik. Kegiatan partai politik penting diarahkan
sebagaimana fungsinya. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang tidak memiliki korelasi
dengan fungsi partai bisa dibatasi. Ketiga, pengaturan mekanisme pengelolaan pengeluaran
partai politik yang transparan (terbuka) dan akuntabel sebagai pertanggungjawaban. Di sini
juga sangat perlu melibatkan pengawasan masyarakat agar bisa mengontrol pengelolaan
keuangan dari praktek-praktek yang menyalahgunakan anggaran.
Argumentasi Kontra
Meski status quo menjadikan Partai Politik (Parpol) mendapat pendanaan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun disisi lain terdapat argumentasi
yang bertolak belakang dengan argumentasi yang mendukung pendanaan Parpol dari APBN.

Pertama, ditinjau dari posisi parpol dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga
infrastruktur politik (Filosofis). Kedua, bahwa prioritas penggunaan dana dari APBN untuk
pendanaan suprastruktur politik (Yuridis). Ketiga, tinjauan sosiologis atas justifikasi
masyarakat terhadap parpol sebagai lembaga dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi
(Sosiologis). Keempat, proposal yang penulis ajukan untuk menghindari ketergantungan
parpol terhadap pendanaan dari APBN dengan konsep memandirikan parpol.
S. Pamoedji dalam bukunya Pilar-pilar demokrasi menyatakan bahwa Partai Politik
merupakan salah satu pilar demokrasi yang tergolong infrastruktur politik. Yang mana dalam
sistem ketatanegaraan posisi parpol dalam hal ini setara dengan infrastruktur politik lainnya
seperti Golongan Kepentingan (Interset Group), Golongan Penekan (Pressure Group), Alat
Komunikasi Politik (mass media), Tokoh Politik (Politikal Figure), Lembaga-lembaga
swadaya masyarakat. Dalam bingkai ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) masing-masing golongan infrastruktur politik tersebut sama-sama memiliki misi
untuk turut mewujudkan kesejahteraan nasional. Oleh karena itu, Parpol yang berkedudukan
sebagai salah satu bagian Infrastruktur Politik secara praktis harus diperlakukan sama dengan
golongan-golongan yang lain. Ketika beberapa golongan infrastruktur politik tidak
memeroleh pemasukan dana dari APBN maka sudah seharusnya tidak ada golongan
infrastruktur politik lain yang mendapatkannya.
Menurut Meriam Budiarjo, Partai Politik merupakan kelompok yang terorganisir
dalam hal pandangan, tujuan tata cara rekruitmen anggota, bertujuan menguasai, merebut/
mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional. Berdasar definisi
tersebut maka basis sosiologis suatu parpol adalah ideologi (view) dan kepentingan (interest).8
Sehingga makna secara sosiologis pandangan dan kepentingan yang dibawa oleh parpol tidak
mencakup kepentingan seluruh rakyat Indonesia melainkan hanya kepentingan parpol itu
sendiri. Hal tersebut menjadi dasar bahwa parpol bukan sebagai lembaga prioritas utama
dalam proses pembangunan nasional.
Memahami isi Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 Anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa keuangan negara
wajib diprioritaskan untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara ekplisit diatur pula
dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Jika ditinjau dari

Abdul Mukhti Fadjar. Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan (. hlm.14

tujuan bernegara, APBN akan lebih tepat diprioritaskan untuk optimalisasi perlindungan
terhadap bangsa dan kedaulatan indonesia, kesejahteraan umum, pendidikan sebagai upaya
mencerdaskan bangsa serta tujuan-tujuan bernegara lain yang lebih utama. Pernyataan
tersebut dinyatakan secara spesifik dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri
Keuangan No. 257 Tahun 2014 Tentang tata cara revisi anggaran tahun anggaran 2015, Halhal yang bersifat prioritas, mendesak, kedaruratan, atau yang tidak dapat ditunda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Kegiatan-Kegiatan Kementerian/Lembaga yang telah
ditetapkan dalam Rencana Kerja Kementerian/Lembaga dan/atau kebijakan pemerintah yang
ditetapkan. Dengan demikian, praktis dipahami bersama bahwa APBN dipergunakan dan
diprioritaskan untuk pendanaan dilingkungan suprastruktur politik.
Selain itu, secara sosiologis parpol mendapat penilaian yang cukup rendah dari
masyarakat khususnya dalam pelembagaan dan pengelolaan keuangan. Pertama, parpol
belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan APBN.
Studi yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan
bahwa bantuan keuangan yang selama ini diberikan kepada partai politik tidak dikelola secara
transparan dan akuntabel. Kedua, Peringkat transparasi dan akuntabilitas parpol masih sangat
memprihatinkan. Keterbukaan Informasi tahun 2014 oleh Komisi Informasi Pusat, dari 12
partai tingkat pusat yang dikirim formulir untuk self assessment, hanya 4 (empat) partai yang
mengembalikan, yaitu Gerindra, PKS, PKB dan PAN. Dari tiga partai itu, setelah dilakukan
verifikasi website dan visitasi untuk pengecekan dokumen, skor keterbukaan informasi
tertinggi adalah 57 (dari nilai maksimal 100) dan terendah 16.9 Ketiga, Fakta dilapangan
bahwa sebagian besar parpol tersandera kasus korupsi sehingga menimbulkan turunnya
kepercayaan publik terhadap parpol. Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Anti
Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada selama 2 bulan (15 Januari - 15 Maret 2014)
menyimpulkan tingkat korupsi ditubuh partai politik diantaranya, Partai Demokrat memiliki
kedudukan pertama dengan persentase 28,40 persen, disusul Partai Hanura (23,50 persen),
PDIP (18,08 persen), PKS (17,24 persen), Partai Golkar (16,03 persen), PKB (14,28 persen),
PPP (13,16 persen), dan Partai Gerindra (3,85 persen).10 Hal tersebut menurunkan tingkat
kepercayaan publik terhadap parpol, bahkan sejak lama tingkat kepercayaan publik telah
menurun. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and Internasional
Studies (CSIS) pada Tahun 2012 menunjukkan dukungan masyarakat terhadap partai politik
semakin menurun, Partai Demokrat menjadi partai yang mengalami penurunan dukungan
publik terbesar dengan angka penururan 8,25 persen, sehingga hanya memperoleh dukungan

www.komisiinformasi.go.id diakses pada tanggal 24 April 2015


http://www.hukumonline.com diakses pada tanggal 24 April 2015

10

12,6 persen. Sementara itu Partai Golkar diperkirakan memperoleh dukungan 10,5 persen,
menurun 3,95 persen dari pemilu 2009 lalu, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) mendapat dukungan 7,8 persen, dengan tingkat penurunan sebesar 6,23
persen.11
Yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah bagaimana posisi parpol sebagai salah
satu pilar demokrasi agar dapat tetap hidup dan mampu menjalankan fungsi & peranannya.
Sementara berdasar keterangan diatas parpol bukan termasuk lembaga yang prioritas atas
pendanaan dari APBN serta berbagai data dan fakta yang menunjukkan bahwa parpol dirasa
kurang tepat jika mendapat pemasukan dana dari APBN. Dalam pembahasan ini penulis akan
menyatakan gagasan agar Parpol tidak mengalami ketergantungan terhadap pendanaan dari
APBN sekaligus memperbaiki hubungan politik yang sehat antar sesama parpol serta dengan
masyarakat. Gagasan ini muncul dilatar belakangi konsep Reinventing Goverment menurut
David Osborne dan Gaebler (1992) tentang model pemerintahan di era New Public
Management12, yang secara sederhana dinyatakan bahwa pemerintahan di era modern
haruslah mampu secara mandiri, membangun kemandirian masyarakat, kompetitif, memiliki
orientasi, antisipatif, membangun partisipasi, dengan konsep pemerintahan wirausaha.
Berdasar kutipan konsep Reinventing Goverment tersebut penulis memiliki gagasan
yang akan menjadi rekomendasi bagi parpol untuk dilaksanakan. Mengantisipasi
ketergantungan Parpol terhadap dana dari APBN, sudah seharusnya parpol sebagai sarana
demokrasi yang dibentuk oleh sekelompok masyarakat secara sukarela dengan berdasar
kehendak dan cita-cita yang sama ini melakukan reformasi tata kelola organisasi.
Sebagaimana konsep Reinventing Goverment, parpol harus mampu secara mandiri,
membangun kemandirian masyarakat, kompetitif, memiliki orientasi, antisipatif, membangun
partisipasi, dengan konsep organisasi wirausaha.
Untuk mengaplikasikan konsep tersebut secara sederhana penulis memiliki suatu cara
yang dapat menjadi rekomendasi bagi parpol. Parpol dapat membentuk usaha kecil, industri
kecil, atau membentuk masyarakat binaan, dan berbagai bentuk usaha lain diseluruh lapisan
masyarakat indonesia. Pada prinsipnya, parpol membentuk berbagai macam usaha
dimasyarakat yang dikembangkan sesuai konsep dari parpol itu sendiri dengan dijalankan
oleh dewan-dewan pimpinan pada struktur dibawahnya yang dikoordinasi secara integral oleh
Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Hal ini selain akan menjadi sumber pendapatan parpol, secara
tidak langsung juga akan terjadi proses komunikasi politik, sosialisasi politik, maupun
pendekatan politik parpol terhadap masyarakat umum.

11
12

http://www.antarajateng.com diakses pada tanggal 24 April 2014


Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah. (Yogyakarta : Penerbit ANDI,2002). hlm. 18

Membangun kemandirian, karakter kompetitif yang sehat, orientasi yang kuat, dan
sikap antisipatif parpol dengan disertai daya dukung partisipasi masyarakat yang kuat maka
tidak menutup kemungkinan eksistensi positif parpol benar-benar muncul sebagai sarana
demokrasi. Sebab, jika parpol benar-benar dapat merealisasikan bahkan mengembangkan
konsep ini dengan baik, maka dapat mengubah pola pikir masyarakat terhadap parpol yang
cenderung korup dan hanya mementingkan kepentingan tertentu serta mengesampingkan
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, melalui pembentukan usaha-usaha kecil
dimasyarakat oleh parpol ini, selain memberi keuntungan terhadap sumber pendapatan parpol
juga akan turut merealisasikan tugas dan fungsi parpol sebagai sarana demokrasi.
PENUTUP
Berdasar uraian mengenai pro dan kontra atas pendanaan partai politik dari APBN,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Dari perspektif pro terdapat beberapa argumentasi,
Pertama, bahwa kedudukan partai politik sebagai jantung demokrasi atau dalam kata lain
sebagai pilar demokrasi. Kedua, Peran parpol sebagai perantara rakyat dengan pemerintah.
Ketiga, dengan memberikan bantuan dana dari APBN akan menjaga kemandirian partai
politik dari ketergantungan penyumbang dana. Keempat, optimalisasi penegakan peraturasn
atas prosedur penyaluran bantuan keuangan dari APBN kepada partai politik melalui
pengawasan/kontrol, serta ketegasan dari pemerintah terhadap kewajiban parpol untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan secara akuntabel dan transparan, sehingga hal ini
tidak akan menimbulkan keragu-raguan untuk memberi bantuan keuangan kepada parpol.
Sehingga ditinjau dari hal ini negara perlu mengalokasikan anggaran dari APBN kepada
parpol agar proses demokratisasi berjalan.
Sementara dari perspektif kontra, terdapat beberapa argumentasi yang menolak
pendanaan parpol dari APBN. Pertama, ditinjau dari posisi parpol dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga infrastruktur politik. Kedua, bahwa prioritas
penggunaan dana dari APBN untuk pendanaan suprastruktur politik. Ketiga, tinjauan
sosiologis atas justifikasi masyarakat terhadap parpol sebagai lembaga dengan tingkat korupsi
yang cukup tinggi. Keempat, dengan tanpa mendanai parpol dari APBN dapat menghindari
ketergantungan parpol terhadap dana APBN yang seharusnya diprioritaskan kepada program
yang langsung bersentuhan pada kesejahteraan masyarakat umum.

DAFTAR PUSTAKA
Sigit Pamungkas. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. (Yogyakarta:Institute for
Democracy and Welfarism,2011). hlm. 3
Sigit Pamungkas. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. (Yogyakarta:Institute for
Democracy and Welfarism,2011). hlm.63
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik. Jakarta: Yayasan
Perludem,2012. hlm.1
Richard Katz and Peter Mair. How Party Organize: Change and Adaption in Party Organization in
Western Democracies. London:Sage Publication,1994.
Rini P. Radikun, Mahmudin Muslim, Ragil Kuncoro. Standar Akuntasi Keuangan Khusus Partai
Politik. Jakarta:TI Indonesia,2003. hlm.14
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik. Jakarta: Yayasan
Perludem,2012. hlm.9
Abdul Mukhti Fadjar. Partai Politik dalam....Op Cit. hlm.14
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah. (Yogyakarta : Penerbit ANDI,2002). hlm. 18
www.komisiinformasi.go.id diakses pada tanggal 24 April 2015
http://www.hukumonline.com diakses pada tanggal 24 April 2015
http://www.antarajateng.com diakses pada tanggal 24 April 2014

You might also like