You are on page 1of 7

Nikah Siri Dari Dua Sudut Pandang Berbeda

Taufik Hidayat, SH.


Keabadian ikatan pernikahan merupakan tujuan dasar aqad nikah dalam Islam. Janji yang diikrarkan setelah aqad berlaku untuk selamanya, sepanjang hayat manusia. Supaya suami dan isteri secara bersama-sama dapat mewujudkan sebuah mahligai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun disisilain, Islam tidak melarang dan malah memberikan hak agar seseorang memiliki isteri lebih dari satu (poligami) asal sesuai dengan hokum dan hal itu dilakukan bukan hanya menuruti hawa nafsu. Namun di Indonesia tidak serta merta hak itu dapat diwujudkan karena harus ada persetujuan dari isteri yang ada sebelum dapat izin dari pengadilan (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Namun, hal itu tidak menghilangkan ketentuan syariat Islam bahwa poligami tanpa persetujuan isteri yang ada dan tanpa izin pengadilan adalah tetap sah apabila pernikahan tersebut memenuhi rukun nikah sebagaimana yang ditentukan oleh syariat Islam (disebut nikah siri) dengan catatan bahwa isteri yang telah ada itu tidak lebih dari 4 (empat) orang. Aktifitas nikah siri atau nikah diluar Kantor Urusan Agama (KUA), hingga kini masih sering terjadi. Dalam Islam, Nikah siri sah secara syariat sepanjang syarat-syarat dan ketentuannya dipenuhi. Namun, dalam terminology fiqih nikah siri tidak ada. Apa yang dikenal masyarakat adalah kawin siri, dikenal sebagai pernikahan yang tidak tercatat dan sembunyi-sembunyi. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Pemaknaan nikah siri di Indonesia adalah nikah siri tidak tercatat (secara hukum) tapi tetap diketahui oleh kedua keluarga, ada saksinya dan ada penghulunya. Jadi, bukan kawin diam-diam, kalau pun disalahkan, pelakunya yang salah karena kegiatan tersebut bisa merugikan pihak lain. Misalnya, ketika mengurus pension janda, maka isteri yang tidak tercatat (syarat administratif) tidak bisa mendapatkan pension janda itu, demikian pula bagi seorang anak dari pernikahan siri (begitu juga ibunya selaku isteri sah menurut hukum Islam) yang ingin menjadi ahli waris, maka ia tidak akan dapat menjadi ahli waris tanpa terlebih dulu mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (Mahkamah Syariyah kalau di Aceh). Pengertian nikah siri yang dipahami oleh masyarakat ada dua macam, yaitu (1) Pernikahan yang dilakukan tanpa wali yang sah ataupun saksi. (2) Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuh isyarat-syarat lainnya tetapi tidak tercatat di KUA setempat. Pernikahan yang dilakukan secara siri tanpa diketahui oleh pihak wali perempuan, maka pernikahan seperti ini batil dan tidak sah. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan lain-lain dari Aisyah ra, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda perempuan manasaja yang dinikahi tanpa izin walinya, maka nikahnya bathil-

beliau mengatakannya tiga kali.


Hal lain yang wajib diperhatikan oleh orang yang hendak menjalankan nikah siri hendaklah ia berlaku adil terhadap para isterinya dalam menggilir jatah menginap dan memiliki kemampuan dalam memberikan nafkah. Jangan sampai melakukan nikah siri karena mengikuti dorongan nafsu syahwat saja. Selanjutnya, pernikahan yang hanya memenuhi prosedur keagamaan, ada rukun dan lengkap syaratnya, tapi dirahasiakan, dengan tidak melaporkannya ke KUA. Biasanya nikah siri dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya, namun dipihak lain untuk menjaga agar tidak terjadi kecelakaan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama. Sah tidaknya nikah siri secara agama, tergantung kepada sejauh manasyarat-syarat nikah terpenuhi yaitu adanya wali, minimal dua saksi, adanya mahar dan ijab qabul. Secara hokum positif, nikah siri tidak legal karena tidak tercatat dalam catatan resmi pemerintah. Hal ini dikarenakan, siapapun warga Negara Indonesia yang menikah harus mendaftarkan pernikahan itu ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, untuk mendapatkan Surat atau Akta Nikah. Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hokum sipil, pelaku nikah siri tidak berhak mendapatkan/menyelesaikan masalahnya melalui lembaga-lembaga hukum yang ada, karena pernikahannya tidak terdaftar.

Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Nikah Siri ? Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. (Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356). Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :

Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka. (QS Al Baqarah : 235 ) Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti : berzina atau melakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakhi, Ad Dhohak, Imam Syafii dan Imam Thobari. (Tafsir al Qurtubi : 3/126). Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syiir yang disebutkan oleh Imru al Qais : Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik. Saat ini, nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga pengertian : Pengertian Pertama : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyisembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafii di dalam kitab Al Umm 5/ 23, Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata : Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya).

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra : Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (terpecaya) (Ibnu Haitami, Majma az-Zawaid wal Manbau al Fawaid (4/62) hadist 8057) Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah. Pengertian Kedua : Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini : Pendapat pertama : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Syabi, Nafi, Imam Abu Hanifah, Imam SyafiI, Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil (HR Daruqutni dan al Baihaqi). Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (alMuhalla : 9/465). Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad muawadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli. Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan. Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban. Pendapat Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti ala Zaad al Mustamti, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95). Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara. (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau mensahihkannya serta dihasankan yang lain). Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi berkata : Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini. Pengertian Ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA. Pertanyaannya, kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, di antaranya adalah : a. Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi. b. Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri. c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatif tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi. d. Faktor-faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya. Bagaimana hukum nikah siri dalam bentuk ketiga ini?

Pertama : Menurut kaca mata syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua : namun, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sanksi hukum.

Pertanyaannya adalah kenapa negara memberikan sanksi kepada para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan Bagaimana status lembaga kepada pencatatan pernikahan lembaga dalam kaca mata pencatatan? syariat?

Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan kepada negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw. Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin kompleks, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Maka, secara umum negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat. (As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121)

Maka, dalam ini, pada dasarnya negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya. Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, di antaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

a. Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah meminta bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor. b. Membuka pelayanan pada hari-hari di mana banyak diselenggarakan acara pernikahan.

c. Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.

Tetapi jika ada tujuan-tujuan lain yang tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasiindikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah mengumumkan perang terhadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di -negeri Indonesia ini. Wallahu Alam. Hukum

Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;


Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla, kata laa pada hadits menunjukkan pengertian tidak sah, bukan sekedar tidak sempurna sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

, ,
Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649]. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:


Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab tazir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

MAZHAB TANPA MAZHAB


Kata Mazhab berasal dari makna kata Arab "pergi" atau "mengambil sebagai cara", dan mengacu pada pemilihan mujtahid dalam kaitannya dengan sejumlah kemungkinan penafsiran dalam menurunkan hukum Allah dari teks utama Qur'an dan hadis pada pertanyaan tertentu. Dalam arti yang lebih luas, mazhab mewakili seluruh pemikiran ulama dari Imam mujtahid tertentu, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, atau Ahmad - bersama-sama dengan banyak ulama generasi pertama yang datang setelah mereka, yang menguji bukti-bukti mereka dan menyempurnakan dan meningkatkan pekerjaan mereka. Para imam mujtahid dengan demikian berperan sebagai penjelas, yang mengoperasionalkan Alquran dan sunah dalam putusan syariah khusus dalam kehidupan kita yang secara kolektif dikenal sebagai fiqh atau "yurisprudensi". Sehubungan dengan din atau "agama" kita, fiqh ini hanya merupakan bagian dari agama. Untuk pengetahuan agama, masing-masing dari kita memiliki tiga jenis pengetahuan. Jenis pertama adalah pengetahuan umum ajaran keimanan Islam dalam kesatuan Allah, malaikat-Nya, kitab, nabi, kenabian Muhammad SAW, dan seterusnya. Semua dari kita mungkin mendapatkan pengetahuan ini langsung dari Alquran dan hadis, seperti juga halnya dengan jenis pengetahuan kedua, yaitu prinsip-prinsip umum etika Islam untuk berbuat baik, menjauhi maksiat, bekerjasama dengan orang lain dalam pekerjaan baik, dan sebagainya. Setiap muslim dapat mengambil prinsip-prinsip umum, yang membentuk dan yang paling penting dari bagian terbesar agamanya, dari Alquran dan hadis. Jenis ketiga dari pengetahuan agama adalah tentang pemahaman spesifik mengenai perintah dan larangan ilahi tertentu yang membentuk syariah. Di sini, karena alamnya dan banyaknya teks Al-Qur'an dan hadits yang terlibat, orang-orang berbeda dalam kapasitas ilmiah untuk memahami dan menyimpulkan penetapan dari syariah. Tetapi semua dari kita telah diperintahkan untuk menghidupkan syariah dalam kehidupan kita, dalam ketaatan kepada

Allah, dan untuk hal ini Muslim terdiri dari dua jenis, yaitu mereka yang dapat melakukan ini sendiri, yaitu mereka adalah imam mujtahid; dan mereka yang harus melakukannya dengan cara lain, yaitu dengan mengikuti Imam mujtahid, sesuai dengan firman Allah di Surat al-Nahl, "..maka tanyakanlah kepada orang-orang yang diberi pengetahuan, jika Anda tidak tahu" (QS. 16:43), dan dalam Surat An-Nisa, "Bila mereka merujuknya kepada Nabi dan orang-orang yang memiliki kapasitas di antara mereka lalu orang yang tugasnya menemukan akan tahu permasalahannya"(Qur'an 4:83), di mana ungkapan orang dari mereka yang bertugas itu adalah untuk menemukannya, mengungkapkan kata-kata" alladhina yastanbitunahu minhum", merujuk kepada mereka yang memiliki kapasitas untuk menarik kesimpulan langsung dari bukti-bukti, yang disebut istinbat dalam bahasa Arab. Ayat-ayat ini dan dan hadis-hadis lainnya mewajibkan orang beriman yang tidak berada pada level istinbat atau menurunkan langsung aturan yang berasal dari Alquran dan hadis untuk bertanya dan mengikuti seseorang dalam beberapa ketentuan hukum tersebut kepada mereka yang berada di level ini. Tidak sulit untuk melihat mengapa Allah mengharuskan kita untuk mengikuti para ahli, karena jika kita masing-masing secara pribadi bertanggung jawab untuk mengevaluasi semua teks utama yang berkaitan dengan setiap pertanyaan, seumur hidup belajar tidak akan cukup untuk itu, dan akan meninggalkan mencari nafkah atau meninggalkan satu kebaikan dalam din, itulah sebabnya Allah berfirman dalam surat al-Taubah, dalam konteks jihad: "Tidak semua orang beriman harus pergi untuk berperang. Dari setiap bagian dari mereka, mengapa tidak sebagian saja pergi, yang sisanya dapat memperoleh pengetahuan agama dan menegur orang-orang mereka ketika mereka kembali, bahwa mungkin mereka dapat mengambil peringatan" (Qur'an 9:122). Slogan-slogan yang kita dengar saat ini tentang "mengikuti Alquran dan sunah bukannya mengikuti mahzab" telah beredar luas. Semua orang setuju bahwa kita harus mengikuti Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Intinya adalah bahwa Nabi Saw tidak lagi hidup untuk mengajar kita secara pribadi, dan segala sesuatu yang kita miliki dari dia, apakah hadis atau Al Qur'an, telah disampaikan kepada kita melalui ulama Islam. Jadi pertanyaannya bukanlah apakah harus atau tidak untuk kita mengambil din dari ulama, melainkan, dari ulama yang mana? Dan ini adalah alasan kita telah bermahzab dalam Islam: karena keunggulan dan superioritas keulamaan imam mujtahid - bersama dengan para ulama tradisional setelah mereka, yang mengikuti di setiap sekolah mereka dan mengevaluasi dan meningkatkan pekerjaan mereka - telah memenuhi uji penyelidikan ilmiah dan telah memenangkan kepercayaan diri dari pemikiran dan praktek Muslim pada semua abad kebesaran Islam. Alasan mengapa mahzab ada, manfaat dari mereka, masa lalu, sekarang, dan masa depan, adalah bahwa mereka melayani ribuan suara, jawaban berbasis pengetahuan untuk pertanyaan Muslim tentang bagaimana menaati Allah. Muslim telah menyadari bahwa mengikuti mazhab adalah sarana untuk mengikuti ulama super yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang komprehensif dari teks Al-Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan setiap masalah di mana dia memberi penilaian, tapi mereka juga hidup di zaman milenium yang lebih dekat kepada Nabi SAW dan para sahabat, ketika taqwa atau "takut pada Allah" adalah norma-baik yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan ulama yang ada saat ini. Sementara panggilan untuk kembali ke Qur'an dan sunnah adalah slogan yang menarik, pada kenyataannya ini merupakan suatu kemunduran besar, panggilan untuk meninggalkan usaha cendekiawan Islam selama berabad-abad dalam menemukan dan mengejawantahkan perintah Al-Qur'an dan sunnah kasus per-kasus secara rinci, sebuah upaya interdisipliner yang sangat canggih oleh mujtahid, ahli hadis, mufasir Al Qur'an, pengumpul literatur, dan master lain dari ilmu hukum Islam. Untuk meninggalkan buah dari penelitian ini, syariah Islam, bagi para pengikut syekh kontemporer yang tidak berada pada level pendahulu mereka (tidak seperti yang mereka klaim), adalah seperti mengganti dari sesuatu yang telah diuji dan terbukti kepada sesuatu yang tentatif (belum diuji dan terbukti). Retorika mengikuti 'syariah tanpa mengikuti mazhab tertentu' adalah seperti seseorang datang ke dealer mobil untuk membeli mobil, tetapi bersikeras tidak memakai merek yang telah dikenal luas - bukanlah Volkswagen atau Rolls-Royce atau Chevrolet - tetapi hanya "mobil, murni dan sederhana". Orang seperti itu tidak benar-benar tahu apa yang dia inginkan, mobil-mobil di stand dealer tidak ada yang seperti itu, tetapi tersedia berdasarkan merk. Salesman mungkin bisa maklum dan sedikit terrsenyum, dan hanya bisa menunjukkan bahwa produk canggih berasal dari sistem produksi yang canggih, dari pabrik-pabrik dengan pembagian kerja antara mereka yang menguji, memproduksi, dan merakit banyak bagian dari produk akhir. Ini adalah kewajaran dari upaya-upaya kolektif manusia untuk menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada kita sendiri bisa menghasilkan dari awal, bahkan jika diberi mesin peleburan logam dan alatalat produksi, dalam lima puluh tahun, atau bahkan seribu tahun. Demikian juga dengan syariah, yang lebih kompleks daripada mobil karena berhubungan dengan alam tindakan manusia dan berbagai macam interpretasi teks-teks suci. Inilah sebabnya mengapa membuang ulama monumental dari mahzab dalam mengoperasionalkan Qur'an dan sunnah untuk mengadopsi pemahaman seorang syekh kontemporer bukan hanya pendapat yang salah. Ini sama saja dengan merongsokkan Mercedes untuk dijadikan go-kart.

Pentingnya Bermazhab
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab. Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti

mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan AsSunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, AtTugiriniyah dan Al-Wakijaniyah. Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.

Bolehkah Mendirikan Mazhab Sendiri?


Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan) sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pastimemerlukan sistem operasi (OS). Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin. Kalau ada orang yang agak eksentrik dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk bersikap demikian. Namun dia tentu perlu membuat sendiri sistem operasi itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.Apalagi buat orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi yang sudah tersedia di pasaran. Tentu masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada saja.Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem operasinya.

Demikian juga dengan ke-4 mazhab yang ada. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly. Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik. Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan mazhab baru dalam fiqih Islami. Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam AlImam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi`iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya sepertiAl-Mawardi, An-Nawawi, Al-`Izz bin Abdissalam dan lainnya.
www.kampussyariah.com

You might also like