You are on page 1of 11

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parameter Kimia Parameter kimia merupakan parameter non-hayati yang dapat menyatakan kondisi kualitas air dari suatu perairan. Parameter kimia dalam kegiatan budidaya ikan yang perlu diperhatikan meliputi oksigen terlarut, karbondioksida, alkalinitas, derajat keasaman (pH), dan kesadahan yang akan diuraikan di bawah ini. 2.1.1. Oksigen terlarut Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 mg/l. Oksigen merupakan salah satu gas terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996). Menurut Brown (1987), kadar oksigen juga berfluktuasi sacara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai 0 (anaerob). Kelarutan oksigen dan gas-gas lain dapat berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan air tawar. Oksigen terlarut di dalam air 5 - 6 ppm dianggap paling ideal untuk tumbuh dan berkembang biak ikan di kolam dan tambak. Ikan karper dapat hidup pada perairan yang kandungan oksigennya rendah sekitar

2 ppm tetapi pertumbuhannya tidak optimal, sedangkan ikan nila merah dapat hidup pada kadar oksigen terlarut > 3 mg/l (Kordi, 2000). Kordi (2000) menyatakan kembali bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan ikan karper cukup besar. Pengurangan oksigen paling besar adalah akibat pernapasan fitoplankton, sekitar 60 - 80%. Pada siang hari saat konsentrasi oksigen terlarut lebih tinggi dari konsentrasi jenuh, kadang-kadang dilakukan pelepasan udara dengan cara difusi dari dalam air ke udara. 2.1.2. Karbondioksida Karbondioksida (CO2) atau biasa disebut asam arang sangat mudah larut dalam suatu larutan. Umumnya perairan alami mengandung karbondioksida sebesar 2 mg/l. Konsentrasi yang tinggi (> 10 mg/l), karbondioksida dapat beracun karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin (Kordi, 2000). Menurut Effendi (2003), karbondioksida yang terdapat di perairan berasal dari berbagai sumber yaitu sebagai berikut: 1. Difusi dari atmosfer; 2. Air hujan; 3. Air yang melewati tanah organik; dan 4. Respirasi tumbuhan, hewan, dan bakteri aerob maupun anaerob. Sumber karbon utama adalah atmosfer dan perairan, terutama lautan. Laut mengandung karbon 50 kali lebih banyak daripada karbon di atmosfer. Perpindahan karbon dari atmosfer ke laut terjadi melalui proses difusi. Karbon yang terdapat di laut cenderung mengatur karbondioksida di atmosfer. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik melalui

proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup (Effendi, 2003). 2.1.3. Alkalinitas Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan. Pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat, dan hidroksida, diantara ketiga ion tersebut, bikarbonat paling banyak terdapat pada perairan alami (Effendi, 2003). Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 500 mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas pada perairan alami adalah 40 mg/l CaCO3 (Effendi, 2003). Menurut Sastrawijaya (2009), alkalinitas di perairan terbagi menjadi tiga macam: 1. Alkalinitas hidroksida; 2. Alkalinitas karbonat; dan 3. Alkalinitas bikarbonat. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas (Effendi, 2003).

Effendi (2003) menyatakan kembali bahwa alkalinitas berperan penting dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Sistem penyangga (buffer) Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan dalam perairan maka asam tersebut akan digunakan untuk mengkonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat. 2. Koagulasi kimia Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH yang optimum bagi penggunaan koagulan. 3. Pelunakan air (water softening) Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan (softening) dengan metode presipitasi. Pelunakan air bertujuan untuk menurunkan kesadahan. 2.1.4. Derajat keasaman (pH) Menurut Cole (1998) dalam Effendi (2003), pH (puissance negative de H) adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat senyawa di dalam

air. Sifat senyawa di dalam air berupa asam dan basa. Asam menghasilkan ion hidrogen (H+ ) bila dilarutkan di dalam air, sedangkan basa menghasilkan ion hidroksil (OH- ) bila dilarutkan. Larutan asam yang didasarkan atas aktivitas ion hidrogen (H+) dan larutan basa yang didasarkan atas aktivitas ion hidroksil (OH- ). H+ dan OH- berasal dari ionisasi molekul H2O. Pengukuran aktivitas ion hidrogen (H+) dinyatakan dalam satuan pH. Sehingga pH diartikan logaritma dari kebalikan aktivitas ion H+ yang ditulis: pH = - log (H+) atau pH = log pH yang cocok untuk budidaya semua jenis biota adalah 7,5 8,5. Jenis tertentu seperti ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan masih dapat hidup dengan baik pada pH 7,0 8,0. pH tersebut dianggap ideal untuk budidaya ikan air tawar, dan ikan karper hidup dengan baik (Kordi, 2000). Kordi (2000) menyatakan kembali bahwa penggoncangan pH di suatu perairan atau tambak, berpengaruh langsung terhadap aktivitas biota di dalamnya, begitu pula terjadi penggoncangan pH di tambak pemijahan ikan karper. Siang hari saat terjadi blooming plankton (peledakan plankton), pH di tambak biasanya mencapai 9,0 9,5. Penanggulangan yang cepat dan aman adalah membuang

sebagian air untuk mengurangi kepadatan plankton dan menambah atau mengganti air yang baru. 2.1.5. Kesadahan Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Pada perairan tawar, kation yang paling

10

berlimpah adalah kalsium dan magnesium, sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium (Effendi, 2003). Cole (1998) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar karbonat perairan dinyatakan dengan kesadahan karbonat dan kesadahan ini dibedakan dengan kesadahan total, yaitu jumlah semua alkali tanah yang dapat bersenyawa dengan anion-anionnya, di dalamnya juga termasuk garam-garam sulfat dan klorida, dan kalsium dan magnesium. Alkali tanah yang mengandung berbagai klorida dan sulfat umumnya dinamakan kesadahan permanen, yaitu tidak dapat dihilangkan dengan pendidihan. Menurut Brown (1987), kesadahan total dapat digunakan untuk

mengklasifikasikan kualitas air bagi keperluan budidaya ikan, yaitu sebagai berikut: a) Perairan lunak (soft water) dengan kesadahan kurang dari 50 ppm CaCO3 ekuivalen; dan b) Perairan sadah (hard water) dengan kesadahan 50 ppm CaCO3 ekuivalen atau lebih. Dijelaskan pula bahwa untuk keperluan budidaya ikan, maka nilai kesadahan harus mencapai 15 ppm atau lebih, ini tidak memerlukan pengapuran, sedangkan perairan dengan kesadahan 12 ppm atau lebih kecil dari 12 ppm, agar produktivitasnya tinggi maka sangat dilakukan pengapuran, apabila tidak dilakukan pengapuran maka kehidupan ikan akan terganggu, pertumbuhannya lambat dan bahkan menyulut ikan ke resiko kematian (Kordi, 2000). Dalam budidaya ikan nila di tambak sistem monosex kultur atau sistem polikultur dan monokultur. Kesadahan air yang cocok harus di atas 12 ppm, jika

11

kesadahan air di bawah 12 ppm perlu dilakukan pengapuran. Pengapuran ini selain untuk meningkatkan tingkat kesadahan, juga meningkatkan pH air dan membunuh organisme renik, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan produktivitas tambak (Boyd, 1988).

2.2. Parameter Biologi Parameter biologi merupakan parameter dari makhluk hidup yang dapat menyatakan kondisi kualitas air dari suatu perairan. Parameter biologi memberikan informasi dimana biota tersebut hidup. Semakin banyak jumlah dan jenis biota yang ditemukan di dalam suatu perairan maka dapat diidentifikasikan bahwa kualitas perairan tersebut masih baik (Cole, 1998 dalam Effendi, 2003). 2.2.1. Produktivitas primer Menurut Soedarsono dan Suminto (1989), produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Biasanya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis. Ini tidak seluruhnya benar, sebab jumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik. Produktivitas primer disini terbatas pada tumbuhan saja. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), produktivitas primer (primary production) oleh tanaman hijau di beberapa habitat akan berbeda satu dengan yang lain. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan skala harian maupun tahunan. Hal ini dapat disebabkan terdapatnya faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi aktivitas produksi. Faktor-faktor yang

mempengaruhinya antara lain suhu, transparansi, arus, cahaya, dan konsentrasi

12

gas atau garam-garam biogenik. Aktivitas tumbuhan hijau akuatik dalam berfotosintesa merupakan produktivitas primer yang utama dalam perairan. Bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas primer umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat ke dalam ikatan-ikatan organik per meter persegi per hari atau tahun (gC/m2/hari). Nilai produktivitas primer yang dihasilkan organisme-organisme autotroph (fitoplankton) di perairan diduga dari kemampuannya berfotosintesa.

Produktivitas primer dapat turun seiring dengan bertambahnya kedalaman karena tumbuhan berklorofil semakin berkurang. Produktivitas primer akan berhenti pada kedalaman antara 30 100 m tergantung pada kedalaman perairan. Produktivitas primer akan naik jika perairan itu kaya akan fitoplankton dan bahan organik. Fitoplankton merupakan penyokong dari perairan. Pengamatan fitoplankton dapat dijadikan ukuran biomassa dan produktivitas perairan (Boyd, 1988).

2.3. Parameter Fisika Parameter fisika merupakan parameter yang dapat menyatakan kondisi kualitas air dari suatu perairan. Parameter fisika dalam kegiatan budidaya ikan yang perlu diperhatikan meliputi debit air, suhu, kecerahan, dan kedalaman yang akan diuraikan di bawah ini. 2.3.1. Debit air Menurut Afrianto dan Liviawati (1991), debit air yang mengalir ke kolam sistem air deras merupakan faktor yang memegang peran sangat penting untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Debit air yang terlalu rendah akan mengakibatkan produksi ikan menurun karena kandungan O2 di dalam air

13

menjadi berkurang dan sisa makanan atau kotoran hasil metabolisme tidak dapat segera dibuang. Debit air yang terlalu deras akan mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi terhambat, karena sebagian besar energi yang telah diperoleh akan digunakan untuk mempertahankan diri dari pengaruh arus air yang terlalu besar. Afrianto dan Liviawati (1991) menyatakan kembali bahwa berdasarkan perhitungan yang telah dikembangkan oleh Meske, untuk kolam dengan luas 50 m, debit air yang optimal berkisar antara 100 - 150 liter setiap detiknya. Menghindari terjadinya penyumbatan pada pemasukan air, air dari saluran harus disaring terlebih dahulu sebelum dialirkan ke kolam. Alat penyaringan dapat dibuat secara sederhana dari bahan besi atau bambu. 2.3.2. Suhu Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan pada suhu di lingkungan sekelilingnya. Ikan memiliki derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stres manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi (Hoole et.al., 2001). Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalkan stres yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungsi dan bakteri pathogen akibat melemahnya sistem imun. Suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa menurunnya laju pernafasan dan senyut jantung

14

sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Kordi, 2000). Permukaan air peka terhadap perubahan suhu. Suhu antara lain dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air. Pada air yang mengalir dengan volume yang besar, misalnya sungai atau air laut, kisaran perubahan suhu mungkin tidak begitu besar. Perubahan suhu yang mendadak sebesar 5C, dapat menyebabkan stres pada ikan bahkan kematian (Damanhuri, 1997). 2.3.3. Kecerahan Kecerahan air adalah bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya yang masuk dalam perairan. Kecerahan perairan juga dapat ditentukan karena adanya fitoplankton atau tumbuhan air lainnya yang terdapat dalam perairan. Kecerahan air dapat diukur apabila kedalaman tembus cahaya matahari ke dalam kolam minimum 40 cm. Menurut Odum (1971), pengukuran kecerahan dapat digunakan untuk menentukan besarnya produktifitas primer dalam perairan. Kecerahan air merupakan bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Kekeruhan air merupakan ukuran bias cahaya di dalam air yang menunjukkan derajat kegelapan di dalam suatu perairan yang disebabkan adanya partikel baik yang hidup maupun yang mati, yang dapat mengurangi transmisi cahaya. Sifat dari bahan-bahan penyebab kekeruhan ini terutama mempengaruhi warna perairan, sedangkan konsentrasinya mempengaruhi kecerahan air. Kekeruhan yang disebabkan oleh tanah lempung sering merupakan pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton maupun zooplankton. Apabila kekeruhan disebabkan oleh hadirnya jasad hidup seperti plankton, maka

15

pengukuran

kecerahan

merupakan

indeks

untuk

menentukan

besarnya

produktifitas pada suatu perairan (Odum, 1971). 2.3.4. Kedalaman Kedalaman perairan merupakan petunjuk keberadaan limnologi pada suatu habitat akuatik tertentu. Fitoplankton dalam melakukan fotosintesis membutuhkan cahaya matahari. Penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat dengan makin tingginya kedalaman. Ini sebabnya fitoplankton sebagai produsen primer hanya didapat pada daerah atau kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus pada perairan. Pengukuran kedalaman dilakukan bersamaan dengan pengukuran kecerahan yaitu dengan Secchi disk. Kedalaman diukur hingga Secchi disk menyentuh dasar kemudian lihat ukuran skalanya yang menunjukkan kedalaman perairan tersebut (Hutabarat dan Evans, 1986). Kedalaman yang ideal untuk kolam-kolam pemeliharaan ikan adalah 60 150 cm. Semakin dalam dasar kolam permukaan air di kolam tersebut, maka semakin luas ruang gerak ikan. Salah satu pertimbangan dalam menentukan kedalaman suatu kolam, yaitu kemampuan sinar matahari untuk menembus ke dasar kolam (Susanto, 1995).

You might also like