You are on page 1of 7

ASEAN Regional Forum (ARF) Latar Belakang ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk

oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF. ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, TimorLeste, Bangladesh dan Sri Lanka. Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, ARF menetapkan dua tujuan utama yang terdiri atas:

Mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, dan

Memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik. Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri Luar Negeri menyetujui ARF could become an effective consultative Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security cooperation in the region. In this context, ASEAN should work with its ARF partners to bring about a more predictable and constructive pattern of relations in the Asia Pacific. Meskipun ARF masih relatif baru, namun ia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Metode dan Pendekatan Partisipasi dan kerjasama yang aktif, penuh serta seimbang merupakan syarat mutlak bagi semua partisipan ARF, dengan ASEAN tetap merupakan penggerak utama bagi ARF. Proses ARF berjalan dalam suatu kecapatan at the pace comfortable to all bagi semua peserta ARF, dengan mempertimbangkan sensitivitas terhadap berbagai isu terkait dengan peserta tertentu. Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution. Keputusan ARF harus diambil melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta ARF. Semenjak pendirianya di Bangkok pada bulan Juli 1994, ARF telah mengalami suatu proses evolusi yang terdiri atas:

pemajuan peningkatan kepercayaan antar negara peserta; pengembangan diplomasi pencegahan; dan

elaborasi mengenai pendekatan untuk pencegahan konflik. Pendekatan tersebut telah memungkinkan para peserta ARF untuk menghadapi secara konstruktif berbagai isu politik dan keamanan yang dihadapi oleh kawasan, termasuk isu-isu baru yang muncul sebagai akibat globalisasi. Sebagai suatu forum dialog, ARF memiliki peran instrumental bagi penciptaan dan pengembangan transparansi, peningkatan kepercayaan dan pengertian sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi rasa saling curiga dan salah pengertian antara negara peserta. Hal ini akan semakin meningkatkan perdamaian, keamanan dan stabilitas nasional. Penguatan perdamaian dan keamanan kawasan akan memberikan lingkungan yang kondusif yang esensial bagi suksesnya pembangunan nasional di masing-masing negara peserta. Hal ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan masyarakat di kawasan. Dalam fase CBM and PD saat ini, ARF dapat memainkan peran penting bagi pencegahan munculnya konflik dan meningkatnya situasi konflik. ARF juga dapat memainkan peran untuk menghindari penggunaan kekuatan dan ancaman penggunaan kekerasan. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk menjadi sarana bagi penyelesaian konflik. Dengan demikian, ARF dapat menjadi wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan tolerasni dengan cara damai. Manfaat ARF bagi Indonesia

Mengembangkan profil internasionalnya melalui peran dan kepemimpinannya dalam ASEAN sebagai penggerak utama dalam ARF. Menetapkan agenda dialog dan konsultasi ARF dengan pandangan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingan nasionalnya di berbagai isu penting politik dan keamanan. Menggalang dukungan dari para peserta ARF bagi keutuhan dan kedaulatan teritorialnya.

Mendorong komitmen kawasan untuk mengembangkan kerjasama di berbagai isu yang menjadi perhatian bersama seperti perang melawan terorisme dan kejahatan lintas negara lainnya. Memajukan budaya damai, toleransi, dan dialog antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

PERANAN ASEAN DAN ARF SEBAGAI REZIM KEAMANAN REGIONAL Sebagai rezim keamanan diera perang dingin, ASEAN adalah embrio rezim keamanan yang lemah karena adanya masalah dalam hubungan bilateral didalamnya. Pada masa itu perebutan Sabah antara Malaysia dan Filipina belum dapat diakhiri meskipun Indonesia telah mengadakan suatu AMM di Jakarta pada Agustus 1968 untuk mendinginkan hubungan kedua negara.[3] Tidak hanya itu, diulang tahunnya yang ke-10 pun rezim keamanan ASEAN sangat mengecewakan dikarenakan tidak mampu mengembangkan hubungan damai dengan negara-negara Indochina. Tiga negara Indochina-Vietnam, Kamboja, dan Laos- yang berada dikawasan regional Asia Tenggara menjadi fokus dominan ASEAN selama 20 tahun tetapi tetap gagal ditangani. Hal inilah yang menjadi bukti kelemahan dan limitnya rezim keamanan ASEAN. Dalam menghadapi konflik tiga negara Indochina kelemahan yang dimiliki ASEAN adalah karena tidak adanya kapabilitas militer dan buruknya hubungan kerjasama militer diantara sesama anggota. Hal ini terjadi karena dipicu oleh sikap anggotanya yang masih memiliki keinginan untuk menyerang satu sama lain, sehingga hubungan kerjasama militer menjadi sulit terwujud. Dengan absennya militer sebagai penguat ASEAN maka ASEAN berusaha mengembangkan alat kerjasama diplomatik yang sesuai dengan prinsipnya non-interference.[4] Setelah berakhirnya perang dingin, pada 1997, ASEAN menerima Myanmar, Laos dan Kamboja untuk bergabung kedalam ASEAN, walaupun mendapat tentangan dari beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan Selandia Baru.[5] Negara-negara tersebut jauh sebelum diterimanya Myanmar kedalam ASEAN, telah meminta ASEAN untuk bertindak tegas kepada Myanmar. Kini dengan masuknya Myanmar kedalam keanggotaan ASEAN, menimbulkan terjadinya perubahan di tingkat global maupun dinamika politik internal di kawasan Asia Tenggara. Hal ini telah mengubah cara pandang atas penyelesaian persoalan di kawasan tersebut. Prinsip non-interference telah digantikan dengan constructive engagement. Dalam prinsip constructive engagement, negara-negara ASEAN akan bersikap proaktif untuk membantu suatu negara anggota yang punya problem politik yang berat, tetapi dengan catatan tidak melanggar prinsip kedaulatan. Bantuan itu berupa bantuan ekonomi maupun politik demokrasi.[6] Tetapi tetap saja, tidak adanya bantuan militer yang signifikan mengakibatkan jalannya penyeleseian konflik di Myanmar menjadi terbata-bata. Pada 1997, Baht Thailand jatuh yang mengakibatkan terjadinya krisis tidak hanya di Thailand, tetapi juga di negara-negara seregionalnya. Indonesia tidak luput dari terpaan krisis dan juga mengalami masalah domestik. Banyaknya aksi protes mahasiswa yang meminta turunnya Soeharto, mengakibatkan pemerintahan menjadi limbung dan keamanan domestik kacau balau. Peristiwa ini mempengaruhi status dan kondisi perpolitikan asosiasi. Dengan hilangnya kepemimpinan Indonesia sebagai imposed order, membawa ASEAN menuju keterpurukan puncak rezim kerjasama keamanannya. Terjadi teror di Amerika Serikat pada 11 September 2001 dan Bom Bali di Indonesia pada 12 Oktober 2002, menjadi awal lahan baru terciptanya kerjasama keamanan melalui ASEAN. Menanggapi isu teror yang mengancam regionnya, ASEAN mengeluarkan Declaration of Terror. ASEAN bangkit kembali dengan mengfokuskan hubungan pada masalah terorisme dan keamanan.

Efektifitas Rezim Keamanan ASEAN dan ARF Pada mula dibentuknya ASEAN, penetapan sendi-sendi dasar dari kerjasama keamanan yang terangkum dalam prinsip-prinsipnya ternyata mengakibatkan ASEAN tidak dapat berbuat banyak dalam menyeleseikan konflik keamanan. Prinsip non-interferencenya dianggap terlalu kaku dan tidak flexibel. Pendekatan yang dilakukan ASEAN dalam menyikapi berbagai konflik adalah pendekatan yang masih bersifat tradisional dan informal. ASEAN lebih menekankan pada penghindaran konflik dan tidak berpengalaman pada segi penanganan konflik. Hal-hal seperti inilah yang menghambat kinerja ASEAN sebagai rezim keamanan regional baik dalam lingkup ASC maupun ARF. Sebagai sebuah produk dari proses multilateral yang sangat mengutamakan stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara, ASC mencakup prinsipprinsip yang memberi petunjuk pemberlakuan konsep-konsep keamanan ASEAN secara menyeluruh, yang pada dasarnya sudah memiliki infrastruktur di dalam organisasi ASEAN itu sendiri. Mekanisme yang memungkinkan para anggota ASEAN memiliki tanggung jawab yang sama dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan dan kestabilan kawasan yang bersifat transnasional menjadi komitmen penting dalam ASC. Namun, ASC belum dikembangkan secara ekstensif, mengingat isu-isu politik keamanan sering kali bersifat sensitif sehingga pendekatan yang sering kali diambil bersifat informal. Ini didasarkan atas kebiasaan di ASEAN yang menganut prinsip non-interference. Seperti contohnya ASEAN tidak bisa turut campur atas peristiwa politik di Thailand karena selain prinsip non-interference masih dipegang teguh ASEAN, intervensi ASEAN bisa kontraproduktif sehingga merugikan ASEAN. Di samping itu, karena krisis politik di Thailand relatif baru dan belum mempunyai dampak signifikan bagi keamanan kawasan, ASEAN menganggap krisis politik di Thailand dapat diselesaikan dengan baik.[12]

Sejumlah pertanyaan tentang eksistensi ASC akan terus digugat bila ASC tidak dapat mengelola peran keamanannya secara baik dalam menghadapi tantangan demokrasi ke depan. Kurang tanggapnya ASC terhadap perilaku militer dan persoalan demokrasi di Thailand akan berakibat pada menurunnya tingkat kohesivitas interaksi antaranggota ASEAN. Sebuah pola dan modalitas untuk menciptakan perimbangan baru yang lebih konstruktif bagi ASC seharusnya perlu terus ditingkatkan agar ASC dapat berfungsi sebagai keamanan yang komprehensif di kawasan. Kini kredibilitas para pemimpin ASEAN dipertaruhkan dalam menyikapi kudeta yang terjadi di Thailand dan kredibilitas itu sendiri sangat terkait dengan ASC yang perkembangannya begitu cepat dan semakin intensif disuarakan ASEAN.

Peningkatan hubungan luar negeri melalui pendekatan bilateral dan unilateral yang dilakukan Amerika Serikat memengaruhi kinerja ARF. Meski saat pembentukannya pada 1994, ARF memberi perhatian pada upaya membentuk keamanan secara multilateral, agenda diplomasi pencegahan dan membangun rasa saling percaya, ARF berjalan lambat. IIDS menyebutkan, transisi menuju diplomasi pencegahan sulit dilakukan ARF karena perlawanan dari beberapa anggota, seperti China.[13] Selain itu, langkah-langkah yang sedang dikembangkan ARF terutama ditujukan untuk masa perdamaian, bukan saat masa krisis. China menentang langkah ARF, terutama diplomasi pencegahan yang melibatkan campur tangan luar. Bagi China, apa yang dianggap sebagai upaya oleh pihak lain untuk membawa setiap isu ke dunia internasional atau berbagai pihak yang bisa memengaruhi kedaulatan China harus ditentang. Dalam konteks global kini, ARF menjadi amat rentan atas ancaman kepentingan sesaat negara-negara besar. ARF bisa jatuh ke dalam instrumen kepentingan sesaat negara adidaya, seperti Amerika Serikat. Sedangkan dalam konteks perang melawan terorisme mudah sekali bagi Amerika memanfaatkan ARF menjadi kepentingan politik luar negerinya. Bahkan dikhawatirkan ARF dapat menjadi sarana lobi Amerika untuk

mencari dukungan kehadirannya di Irak.[14]Kenyataan ini harus diwaspadai sebab selain mengkhawatirkan, juga ada tendensi meningkatkan kapabilitas militer dari negara ASEAN sebagai payung perlindungan untuk melakukan serangan terhadap terorisme. Sikap konsisten ASEAN amat diperlukan guna menjaga kredibilitas ASEAN sebagai organisasi multilateral. Sebagai aktor di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya tidak perlu mengikuti pilihan yang diambil Amerika Serikat, seperti pernah dilakukan ketiga negara ASEAN saat menanggapi wawancara Presiden AS George W. Bush dengan ABC News Desember 2001. Dalam wawancaranya, Bush ingin menempatkan pasukannya di Filipina, Malaysia, dan Indonesia guna memerangi terorisme yang berkaitan dengan jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Namun, ketiga negara ASEAN itu menolak dengan alasan, antara lain, konstitusi melarang, tidak sesuai kebijakan negara bersangkutan, dan mengganggu kedaulatan suatu negara. Penolakan ASEAN dinilai mampu menciptakan pengertian tentang pentingnya integritas nasional, stabilitas politik, dan pertahanan keamanan ke dalam lingkungan regional.[15]

Karena itu, ASEAN sebagai penggerak utama ARF dalam membentuk rezim keamanan, harus mengambil sikap terhadap aneka masalah tersebut. Sebagai aktor dalam ARF, ASEAN harus melakukan konsolidasi di kalangan anggotanya dan peka terhadap perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat tentang masalah terorisme. Hal itu tidak perlu menjadi rintangan ASEAN dalam menyikapi aneka perubahan di kawasan. Meski realitas menunjukkan hingga kini ARF tidak langsung menangani masalah keamanan di Asia Pasifik dan belum menjalankan peran secara substantif, ASEAN perlu terus memperluas hubungan dan memperkuat solidaritas ARF guna mengantisipasi munculnya polarisasi dalam ARF.

Kebijakan baru Amerika Serikat dalam memerangi terorisme internasional harus dilihat sebagai ujian bagi ARF guna melakukan peran keamanan yang lebih substantif dan peran ASEAN dalam mengonsolidasikan aneka kepentingan anggota ARF lainnya. Selain itu, peran ARF dengan memberi kontribusi yang lebih luas kepada kawasan Asia Pasifik untuk membahas masalah-masalah keamanan di kawasan secara komprehensif juga amat diperlukan. Bagaimanapun, ARF merupakan kerja sama multilateral dan dapat menjadi elemen penting dari suatu struktur keamanan serta dapat menjadi bagian integral keberhasilan suatu aliansi dan rezim kolektif. Karena itu, wujud kepercayaan diri ARF yang dibutuhkan adalah mampu mengelola hubungan di kawasan Asia Pasifik secara baik dengan membangun rasa saling percaya dan menciptakan lingkungan keamanan yang kondusif menghadapi tantangan ke depan.

Kesimpulan ASEAN sebagai suatu organisasi regional pada masa awal terbentuknya telah menyepakati adanya kerjasama keamanan antara anggotaanggotanya. Tetapi pada faktanya kerjasama keamanan tidak dapat dibentuk secara optimal dikarenakan masih adanya rasa bermusuhan dan keinginan menyerang satu sama lain dan juga prinsip non-interference yang mengakibatkan lambatnya penangan konflik keamanan. Dengan adanya prinsip non-interference inilah yang mengakibatkan fokus kerjasama keamanan di ASEAN lebih difokuskan pada kerjasama ekonomi dan sosial budaya. Tapi setelah terjadi banyaknya aksi terorisme dan pemboman di kawasan Asia Tenggara, melalui Bali Concord II, dibentuklah ASC (ASEAN Security Community) yang merupakan manifestasi dari kepedulian bersama akan keamanan regional Asia Tenggara. Tetapi pada faktanya sejak dibentuknya ASC pada 2001 tidak dapat bertindak maksimal dalam menangani masalah-masalah yang timbul dalam regional, seperti masalah junta militer di Myanmar ataupun kudeta di Thailand. ASC yang masih setia dengan prinsip non-interferencetidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi masalah keamanan dalam regional.

Keamanan kawasan memang sangatlah penting bagi ASEAN, sehingga membentuk ARF (ASEAN Regional Forum) yang bekerjasama dengan negara-negara yang terlingkup dalam kawasan region Asia-Pasifik. Termasuk didalamnya China dan Amerika Serikat yang merupakan negaranegara besar dan memiliki pengaruh yang besar juga untuk keberlangsungan ARF, terutama Amerika Serikat. Karenanya, dengan adanya negara-negara influence di dalam region, ARF harus mampu untuk menentukan sikap dan tepat dalam mengkosolidasi kepentingankepentingan anggota ARF yang lain. PERAN ASEAN DAN ARF SEBAGAI PERIMBANGAN KEKUATAN DUNIA

Secara fungsional, ASEAN didirikan sebagai institusi regional di kawasan Asia Tenggara serta menerapkan mekanisme diplomasi formal dalam menyelesaikan konflik internal dan eksternal maupun dalam pencapaian kepentingan semua negara anggotanya tanpa mengesampingkan keutuhan dan eksistensi ASEAN. Di sisi lain juga muncul keniscayaan akan pentingnya perimbangan kekuatan, ASEAN dalam hal ini melalui ASEAN Regional Forum (ARF) berusaha membentuk tatanan regional pada khususnya dan global pada umumnya agar berjalan damai dan stabil melalui rezim kerjasama keamanan. Teori, Politik dan Militer dalam Perimbangan Kekuatan Teori perimbangan kekuatan (bop) dapat diartikan sebagai situasi, kebijakan ataupun sistem. Pendefinisian ini bergantung bagaimana seorang praktisi menggunakannya. Sebagai sebuah kebijakan, bop melibatkan penciptaan dan pemeliharaan keseimbangan, setiap konfrontasi kekuatan yang muncul dari hegemoni tunggal dicegah melalui pendistribusian dan pembatasan kekuatan, ini berlaku pada hegemon dari kawasan Asia Tenggara sendiri maupun dari luar kawasan.[1] Sejak blok komunis runtuh dan kekuatan Uni Soviet berkurang, negara-negara anggota ASEAN memandang perlunya saingan bagi Amerika Serikat sebagai pihak yang menang dalam Perang Dingin untuk menghindari unilateralisme hegemon yang sewenang-wenang (malevolent hegemon) serta mencegah bilamana terjadi keruntuhan hegemon secara tiba-tiba maka kerjasama internasional yang sudah terjalin dipastikan tidak akan morat-marit karena telah digantikan oleh peran rezim. Dari sinilah pemikiran strategis ASEAN melahirkan ARF yang merupakan forum dialog regional yang begitu intens dalam urusan keamanan multilateral yang sifatnya mandiri dan independen dengan menggandeng negara-negara besar seperti Cina, Korea Selatan dan Jepang yang berpotensi sebagai atau merupakan hegemon sebagai mitra dialog.[2] Bagaimanapun paska pergantian kepemimpinan yang memiliki arti signifikan dalam ASEAN seperti Soeharto (Indonesia), Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Muhammad (Malaysia) turut memperburuk pamor ASEAN di mata internasional, sehingga anggota ASEAN yang sudah ada kurang dapat diandalkan dalam melakukan bop.[3] Untuk itu keberadaan ARF di sini diharapkan memberikan warna baru dengan konsep yang berbeda dengan ASEAN dalam melakukan mekanisme binding diantara negara anggotanya. Dipasikan agar semua negara anggota menaati setiap prinsip dan norma yang telah disepakati dalam rezim, untuk menghindari penunggangan negara dominan serta egoisme kepentingan nasional setiap negara di atas kepentingan regional. Keberadaan ARF ini tidaklah dibentuk berdasarkan prinsip seperti aliansi militer pada umumnya, tapi lebih kepada prinsip kerja sama, keterbukaan dan saling pengertian antar sesama anggota dalam upaya mewujudkan semangat penciptaan kawasan yang tertib, aman dan damai.[4] Jadi menurut saya, bila semua aktor berpikir rasional, memang kita tidak akan bisa memprediksi tindakan apa yang akan dilakukan lawan, namun dengan adanya institusi yang merupakan buah pemikiran neoliberalisme diharapkan akan menumbuhkan rasa saling percaya diantara negara-negara melalui jalan kerjasama keamanan ini.

Peran ARF

Situasi demikian menunjukkan apa yang disebut sebagai complex interdependence, situasi di mana negara-negara kawasan Asia Pasifik dihadapkan pada masalah-masalah keamanan yang belum pasti sehingga diperlukan sebuah kerangka yang ideal. Lahirnya ARF dimaksudkan untuk menjawab situasi itu.

Bersama dengan 10 negara ASEAN dan 11 negara lainnya, kini Korut telah menjadi anggota ARF. Krisis nuklir Korut telah menjadi agenda penting yang dibahas dalam pertemuan ARF ke-9 di Brunei Darussalam Juli 2002. Termasuk sejumlah pembicaraan tentang persepsi ancaman keamanan dan implikasi di Semenanjung Korea. Meski realitas ARF tidak secara langsung menangani masalah-masalah keamanan di Asia Pasifik dan belum menjalankan peran keamanan regional secara substantif, namun sebagai rezim keamanan yang mempunyai fungsi membangun saling percaya (confidence building measures)

dan pencegahan diplomasi (preventive diplomacy), peran ARF cukup signifikan di dalam merundingkan isu-isu keamanan regional secara terbuka. Hal ini dapat dilihat dalam kesepakatan ARF Juli 2001 dan Juli 2002 yang berisi: (1) upaya preventif membangun sikap saling percaya atas kejadian di Laut Kuning, Juni 2002, agar kejadian serupa tidak terulang lagi; (2) upaya rekonsiliasi Korea Selatan-Korea Utara dengan menekankan pelaksanaan Deklarasi Bersama Utara-Selatan, Juni 2002; (3) upaya Konferensi Tingkat Tinggi Intra Korea ke-2 dan pelaksanaan Agreed Framework pada 1994, termasuk KEDO; (4) mengharapkan adanya prospek dialog antara Korea Utara dan AS, pertemuan Palang Merah Internasional dan Korea Utara dengan Jepang; (5) menetapkan prosedur operasional untuk mencegah berkembangnya perselisihan menjadi perang, sehingga akan memberi legitimasi ARF dalam menangani persoalan bilateral maupun multilateral.

Peningkatan solidaritas dalam mengantisipasi munculnya polarisasi ARF, juga menjadi agenda penting guna mempercepat proses rekonsiliasi kawasan. Sebab bukan tidak mungkin komitmen damai yang dibangun AS dalam mengatasi krisis nuklir, berubah menjadi kebijakan konfrontatif dengan melakukan ancaman, intimidasi, dan preferensi-prefererensi politik terhadap Korut. Untuk itu, penting agar ASEAN mengkonsolidasikan kepentingan anggota ARF satu sama lain agar krisis nuklir Korut dapat segera diatasi. Pertemuan ARF ke-10 di Phnom Penh 18 Juni 2003 lalu, sekali lagi menegaskan bahwa Semenanjung Korea harus menjadi daerah bebas dari senjata nuklir.

ASEAN bisa mendesak berbagai kementerian dan birokrasi di sejumlah negara untuk menyamakan dan merasionalisasikan kegiatankegiatannya, baik dalam kerangka mencegah terjadinya krisis, pengawasan senjata, penjagaan perdamaian ataupun penciptaan perdamaian (Joseph A. Camilleri, 1999). Wujud kepercayaan diri ASEAN dalam menangani krisis nuklir Korut dapat berjalan sukses apabila ada keterbukaan di antara anggota ARF. Kebijakan seperti ini hanya mungkin dilaksanakan jika negara-negara yang terlibat dalam proses dialog bersedia mengakui dan menerima kebutuhan keamanan dan kepentingan negara-negara lainnya.

Secara demikian, kerja sama multilateral ARF yang merupakan elemen penting struktur keamanan dan secara integral merupakan keberhasilan dari aliansi dan rezim keamanan kolektif dapat berfungsi secara maksimal. Membangun saling percaya dan diplomasi preventif menjadi semakin penting bagi dialog regional krisis nuklir Korut tanpa harus mengorbankan aliansi-aliansi bilateral yang telah ada. Bagaimanapun ARF tidak dapat mengabaikan faktor Korut dalam pengelolaan hubungan di Asia Pasifik dan kebijakan pelibatannya paling tidak dapat mengintegrasikan proses dialog secara regional.

Jadi, pemanfaatan ARF dalam krisis nuklir Korut harus didasarkan melalui dialog yang jujur bagi semua pihak. Policy engagement negara-negara anggota ARF juga sangat dibutuhkan agar integrasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik dapat tercipta. Keunggulan ASEAN memanfaatkan momentum dan memainkan peran penting dalam krisis nuklir Korut dapat terwujud apabila ASEAN mampu mengambil langkah mendahuluipreemptive actionseperti ketika ASEAN mengambil langkah untuk membentuk ARF dan desakan ASEAN untuk membebaskan tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyii baru-baru ini. ASEAN AND THE ASEAN REGIONAL FORUM Dec 22 Posted by JurnalPhobia ASEAN and the Asean Regional Forum Pembentukan ASEAN sebagai rezim secara fungsional dan struktural merupakan reaksi dari adanya: (1) keinginan untuk menghindari konflik antarnegara sekawasan, (2) transformasi lingkungan politik regional (pemerintah) negara-negara yang bertikai, dan (3) keinginan historis yang sama untuk bebas dari penjajahan, terbukti karena ide pendirian Asean semula berasal dari berbagai perjanjian-perjanjian rekonsiliasi regional untuk menjembatani konflik-konflik regional tersebut (misalnya Indonesia-Malaysia dan Manila-Malaysia) dengan perbaikan hubungan bilateral masing-masing.

Pada era perang dingin, kawasan Asia Tenggara dinilai rentankarena puredari berbagai pengaruh politik, salah satunya peristiwa pendirian Konfederasi Malaysia yang ditentang oleh Indonesia karena dicurigai sebagai benih kapitalisme-westernisasi Inggris-Amerika: bentuk penjajahan baru. Pasca perang dingin, peran fundamental Asean sebagai organisasi regional dan rezim tidak lagi signifikan seperti ketika Asean pertama kali berdiri dimana kegiatan Asean hanya terfokus pada keinginan untuk menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi semataini menjadi kelemhan ASEAN. Sehingga ketika bentuk penjajahan modern globalisasi mulai muncul disertai naiknya pamor China sebagai kekuatan baru ekonomi duniayang notabene menyerukan kesuksesan ekonomi sosialis-komunisnya, timbul kekhawatiran yang sama sebagaimana konflik Indonesia-Malaysia terdahulu mengenai pembentukan konfederasi Malaysia. Oleh karena anggota Asean memiliki nilai yang dianut bersama yakni avoidance conflict, maka Asean membentuk forum internal: Asean Regional Forum guna menjamin keamanan secara kolektif yakni menghindari konflik (ancaman) disebabkan oleh globalisasi dan perkembangan ekonomi China, khususnya bagi kawasan Asean. KEDUDUKAN ASEAN DALAM ARF (Asean Regional Forum) ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEANdalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARFpada tahun 1994 sebagai suatu wahana dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan khususnya ARF dimaksudkan sebagai respon untuk menghindari konflik akibat penetrasi komunisme Beijing di Vietnam. ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan nontradisional. Tujuan ARF antara lain mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, serta memberikan kontribusi positif dalam berbagai upayan untuk mewujudkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik. EVOLUSI ARFAsean Regional Forum Semenjak pendiriannya di Bangkok, Juli 1994, ARF telah mengalami suatu proses evolusi yang terdiri atas (1) pemajuan peningkatan kepercayaan antarnegara peserta; (2) pengembangan diplomasi pencegahan dan (3) elaborasi mengenai pendekatan untuk pencegahan konflik. Sehingga sebagai suatu forum dialog, ARF memiliki peran instrumental bagi penciptaan dan pengembangan transparansi, peningkatan kepercayaan dan pengertian sehingga dapat menghindarkan atau mengurangi rasa saling curiga dan salah pengertian antara negara peserta. Hal inilah yang dimaksudkan dapat meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas nasional. SIMPULAN Adanya berbagai kecurigaan terhadap ancaman bentuk penjajahan baru khususnya pada masa perang dingin, menjadi sumber konflik sehingga timbul rasa curiga antarnegara-negara di kawasan Asia Tenggara dimana beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina: condong pada kapitalisme-westernisasi, berseteru dengan sisanya yang condong pada komunisme (Indonesia, Vietnam dan Kamboja). Berangkat dari ide untuk mengaburkan konsep kapitalisme dan komunisme dalam negara-negara satu kawasan, maka dibentuklah Asean. Walaupun demikian, meskipun transformasi politik terjadi pada hampir semua peserta Asean membawa perbaikan hubungan bilateral masing-masing, ancaman dari luar tetap eksis (ancaman tersebut antara lain adalah pengaruh globalisasi dan kemajuan pesat perekonomian China yang dikenal sosialisekonomis). Sehingga, Asean perlu mendirikan suatu forum kerjasama yang didalamnya mendukung keamanan secara kolektif guna menghindari konflik akibat pengaruh persebaran komunisme di Asean; forum tersebut yakni ARF. Metode dan pendekatan yang digunakan ARF antara lain meliputi partisipasi dan kerjasama aktif, penuh serta seimbang dimana ASEAN menjadi penggerak utama ARF. Oleh karena itu, pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building,, Preventive Diplomacy, dan Conflict Resolution yang menjadinorms dan principles dalam rezim ARF di dalam ASEAN. OPINI Meskipun ARF masih relatif baru, namun akhir-akhir ini ia telah menjadi kontributor berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh entitias non-pemerintah dalam lingkup ARF. Kepentingam ARF antara lain untuk menciptakan forum dialog yang terintegrasi dalam ARF serta adanya kepentingan bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan yang esensial dalam beberapa dekade mendatang

You might also like