You are on page 1of 18

1

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DESA (SUATU KAJIAN DIFERENSIASI KLEN DI KABUPATEN SIGI) By.Nuraedah1 ABSTRAKS Perubahan sosial dalam hal diferensiasi hingga munculnya kohesi sosial di antara hubungan kekerabatan di Sigi merupakan hal yang menarik diteliti karena pola berpikir masyarakat lambat laun mengalami perubahan, mendorong untuk menentukan pilihan pigur-pigur mereka untuk duduk di birokrasi tingkat lokal. Studi di fokuskan pada masalah diferensiasi dalam masyarakat. Salah satu kekuatan hubungan yang menopang kekerabatan di dalam masyarakat dibuktikan dengan hubungan kekerabatan atau klen yang kuat dalam masyarakat di desa. Terjadinya perubahan sosial di Sigi ditinjau dari diffrensiasi yang terjadi menjadi barometer pijakan studi ini. Asumsi pokok lahirnya studi bahwa differensiasi yang terjadi di Kabupaten yang baru terbentuk tersebut menjadi warna perubahan sosial yang terjadi dan mendominasi yang karena ikatan primordial dan kekuatan kepemilikan lahan dan jumlah tenaga kerja pertanian menjadi pendorong lahirnya perubahan itu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, pendekatan sosiologi historis. Metode penelitian menghasilkan data berupa kata, tindakan yang diamati dari subyek itu sendiri. Penulis menguraikan rentetan peristiwa, melalui observasi maupun lewat interaksi dengan warga setempat. Hingga penelusuran data berupa dokumen mengenai peristiwa dari masa lalu, diperoleh melalui lembaga Arsip Provinsi Sulawesi Tengah tentang ekspansi kolonial Belanda di tanah Sigi, juga dokumen-dokumen pribadi keluarga klen Lamakarate, klen Djaelangkara serta klen Randalemba. Terbentuknya Sigi Biromaru menjadi kabupaten di tahun 2008 telah menciptakan perubahan penting, sebagai bukti perjuangan dari elit-elit lokal untuk melihat Sigi menjadi lebih baik lagi ke depan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis memilih Sigi sebagai obyek penelitian dengan alasan bahwa Sigi Biromaru dalam nilai kesejarahan memiliki ketersediaan sumber data baik primer maupun skunder yang mendukung tulisan. Ketersediaan sumber data tersebut memberi peluang bagi penulis untuk lebih bebas menelusuri dan merekonstruksi perubahan sosial yang terjadi.

DIFERENSIASI SOSIAL DI KABUPATEN SIGI


1

Mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Sosiologi, selain itu sebagai dosen tetap pada Universitas Tadulako, Palu.

Satu

garis perkembangan yang menjadi sorotan lebih tajam adalah

differensiasi sosial, suatu gejala sosiologi yang terjadi sejak lampau yang menyusup ke dalam kehidupan masyarakat desa. Timbul perbedaan-perbedaan akan akses lahan dan tenaga kerja di dalam sektor pertanian mulai dari struktur kepemilikan tanah hingga sistem gadai yang aksesnya menimbulkan perbedaan antar lapisan berdasarkan kepemilikan lahan tanah tersebut. Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu (matrilineal). Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal), seperti daerah-daerah lain di Indonesia juga terdapat masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah (klennya disebut Fam) antara lain, Ponulele, Lembah, Tombolotutu, Djanggola, Lamarauna, Lamakarate, dan lain-lain, sedangkan untuk wilayah kabupaten Sigi, maka klen yang cukup berpengaruh adalah klen Lamakarate, klen Djaelangkara, dan lain-lain. Klen adalah sistem2yang terpolakan dengan baik dalam masyarakat. a. Diferensiasi klen berdasar jenis kelamin Masyarakat Sigi masa kolonial maupun pendudukan Jepang tidak membedakan jenis kelamin, dalam menentukan sikap pemilihan Magau yang diselenggarakan oleh dewan hadat, hal itu dapat dibuktikan, dari kerajaan Sigi yang pernah dipimpin oleh magau Sairalie Intobongo, anak dari magau Bakulu, juga pada masa masa kolonial mulai menduduki Sigi, maka Karanjalemba digantikan oleh adiknya yang juga seorang wanita yang bernama Pue Langa atau Itondei, walaupun tidak berlangsung lama. Juga ibunda kandung Datu Palinge adalah seorang Magau
2

Menurut Tatang M.Amirin (1986) dalam Abdulsyani (2002:123) dijelaskan tentang istilah sistem yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Systema yang mempunyai pengertian sebagai berikut: a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian(whole compounded of several partsShrode dan Voich, 1974:115). b. Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized, functioning relationship among units or component- Award, 1979:4).

hadat terakhir di kerajaan Sorodu. Dari nama-nama yang ada tersebut memberikan bukti bahwa dalam hal jenis kelamin, bukan menjadi masalah utama untuk terangkat menjadi magau, yang terpenting menurut Tahwiri Labontina dia harus keturunan darah biru (magau), bagi mereka tiada ukuran fisik jika memang sudah tidak ada lagi keturunan selain yang cacat, maka yang cacat pun tidak mengapa yang penting memiliki kecakapan lainnya, memiliki ilmu pengetahuan akan kanuragan, sikap yang bijak dan terpenting memiliki harta kekayaan. Klen akan menjadikan seseorang untuk mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat tanpa memandang jenis kelamin. b. Diferensiasi klen karena umum Perbedaan klen karena umur, akan menempatkan seseorang dalam klen tersebut dapat menduduki posisi yang dituakan, dimuliakan karena faktor umur. Menurut Rumaeda3, dalam kekerabatan Lamakarate, ada anggota keluarga yang dituakan karena faktor usia seperti Djuanda Lamakarate dari keturunan Daeng Managa Lamakarate, karena sebagian besar saudara Djuanda Lamakarate sudah meninggal dunia. Andi Mukmin dari keturunan Daeng Maradja Lamakarate, Hj.Nurlin Lamakarate dari keturunan Daeng Lawawo Lamakarate, Andi Nasir dari keturunan Lolontomene, Andi Dompo dari keturunan Daeng Ruda Lamakarate. Panutan dalam keluarga Lamakarate berada di pundak Djuanda Lamakarate, hal ini karena faktor usia juga pengalaman hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mengukur tingkat kemapanan Djuanda Lamakarate sebagai yang dituakan sekaligus sebagai simbol publik di daerah inipun dapat dilihat dari beberapa pertemuan keluarga dalam rangka mencari dukungan terhadap pemekaran kabupaten Sigi. Hal ini dilakukan karena Djuanda Lamakarate dianggap sebagai orang dituakan yang patut untuk didengarkan nasehat-nasehat dan pengagalanganpenggalangannya. Contohnya dalam hal pembentukan organisasi pemuda untuk upaya pemekaran, Djuanda Lamakarate berhasil membentuk Angkatan Muda Sigi (AMS) dengan diketuai langsung oleh beliau, yang disusul dengan adanya Deklarasi
3

umum segenap komponen masyarakat untuk kecamatan Kulawi,

Dihubungi lewat via phone pada tanggal 29 November 2011 di Biromaru.

Kecamatan Palolo, Kecamatan Dolo, Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi Biromaru pada tanggal 25 November 1999 dalam hal kehendak masyarakat melakukan pemekaran. Dengan ketokohan beliau dalam kekerabatannya, tentunya mempunyai arti yang besar bagi masyarakat sekitarnya. Sebagai orang yang dituakan dalam keluarga, maka sosok sebagai orang yang dituakan juga sangat mempengaruhi bahasa yang setiap hari diucapkannya yakni bahasa Kaili. Sosok laki-laki ini demikian kental dengan ke-Kailiannya, hal itu dapat terlihat ketika wawancara dilakukan dirumahnya. Bahkan dalam perrtemuan keluarga menurutnya, bahasa Kaili tetap dia populerkan sebagai orang yang dituakan dalam klen ini. Bahasa Kaili tetap dipopulerkan dan didorong penggunaannya pada masa Kolonial oleh pihak-pihak bangsawan Kaili sebagai identifikasi diri. Hal tersebut hingga kini dapat dibuktikan ketika ada pertemuan antara para kelompok klen tertentu, baik dalam kegiatan halal bihalal maupun acara arisan keluarga, mayoritas orang tua mempergunakan bahasa Kaili. Walaupun remaja-remaja sekarang condong berbahasa Indonesia. c. Diferensiasi klen karena pengetahuan atau tingkat pendidikan Seseorang yang memiliki pengetahuan baik berupa pengalaman, terlebih tingkat pendidikan yang mapan akan dipercaya memimpin suatu kegiatan yang sifatnya organisasi sehingga mereka bisa menyalurkan pengetahuan organisasinya itu ke generasi berikutnya atau klennya sendiri, daripada tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Lerner (1983:46) mengatakan: Kemampuan membaca dan menulis tersebut berfungsi selaku roda penggerak di dalam transisi menuju suatu masyarakat partisipasi penuh...karena, bila kebanyakan orang di dalam suatu masyarakat menjadi mampu membaca dan menulis, mereka cenderung menumbuhkan segala macam keinginan baru dan mengembangkan cara untuk memuaskannya. Klen Lamakarate adalah klen yang mampu survival dalam kehidupan elit modern, dari Lamakarate melahirkan kepemimpinan di daerah ini, simbol Lamakarate sebagai pemimpin mampu melakukan transformasi dari elit tradisional menjadi elit modern. Ini tidak terlepas dari pengetahuan dan tingkat pendidikan

yang mereka raih. Sejak zaman kolonial, maka akses mereka untuk memperoleh pendidikan dapat dengan mudahnya mereka raih, hal ini mungkin karena kedekatan mereka dengan pemerintah kolonial berdasar analisis-analisis yang dilakukan. Penguasaan Belanda terhadap kerajaan Sigi, walaupun adalah rentetan tangisan juga penderitaan akan kepiluan mereka, namun di sana sini patut diperhitungkan dengan kehadiran Belanda di wilayah ini memberi angin revolusi perubahan pada setiap anak manusia untuk bangkit berbuat untuk daerahnya, selain itu adanya pembuatanpembuatan jalan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan Sulawesi Tengah, terlebih-lebih upaya kerja paksa yang dilakukan pihak Belanda terhadap anak negeri hingga kini memberi efek positif bagi pengembangan Sulawesi Tengah umumnya dan khususnya di kawasan Kabupaten Sigi. Ini tidak lepas dari upaya dan kerja keras tokoh pejuang masa itu yakni Datu Pamusu juga Datu Palinge yang beberapa kali dipaksa menjadi mandor yang diawasi oleh Controliur pada pembangunan jalan di sekitar Tatura hingga di wilayah kerajaan sebagai kompensasi pembangkangannya terhadap kolonial Belanda. Walaupun kerja paksa tidak mengenal lelah, telah menimbulkan korban, mau tidak mau upaya generasi tua itu kini dinikmati oleh generasi sekarang. Daeng Managa Lamakarate anak pertama Lamakarate adalah seorang elit tradisional yang kemudian keturunannya eksis sebagai elit moderen di Kota Palu dan sekitarnya, yang mampu memberikan perubahan-perubahan tersendiri dalam wilayah Sulawesi Tengah umumnya dan khsususnya untuk wilayah Sigi. Ini akibat pengaruh Belanda yang memberikan kebebasan terhadap penguasa kerajaan Sigi dan kerabatnya menempuh pendidikan sekolah, pada waktu itu Sekolah Rakyat (SR) di Biromaru dan Palu. Berikut klen Lamakarate yang eksis karena pendidikan juga karena pengetahuan yang diperolah dari pengalamannya dapat dilihat lagi dari beberapa keturunan Lamakarate berikut. Dari Daeng Managa Lamakarate telah eksis pula melahirkan anak yang cukup di segani di wilayah Palu dan sekitarnya, yakni Anak Pertama Daeng Managa Lamakarate adalah, Arifin Lamakarate pernah menduduki jabatan sebagai Kepala PDAM Donggala tahun 1987, juga pernah menduduki jabatan sebagai anggota DPRD Donggala periode 1982-1987. Arifin

Lamakarate menikah dengan Andi Eni Djanggola4 yang kemudian anaknya yang bernama Andi Indra Bangsawan Wumbu, dari hasil pernikahan dengan Andi Eni Djanggola pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tengah beberapa periode. Anak Keduanya yang bernama Baso Kavola Lamakarate, beliau pernah menjadi Anggota DPRD-GR Provinsi Sulawesi Tengah tahun 19711977 dari IPKI (Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia), Ketua Golongan Karya tahun 1995-2000, hingga mampu mengantarkannya menjadi Walikota Palu tahun 2000-2005. Memiliki anak delapan orang anak dari dua istri. Maemuna Basvegan istri pertamanya, dengan anak hasil pernikahannya adalah Hi.Muhammad Agus Rahmat Lamakarate kini menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup, dan AKP. Muhammad Taufik Lamakarate kini menjabat sebagai Kapolsek Palu Selatan, dan isu yang berkembang, dipersiapkan menjadi Kapolres Sigi. Juga anak keempatnya, Daeng Manota menikah dengan Zaumar Rahman, punya putra dan putri yang bernama Muhammad Mulfi, SH, Yusniar, SH, Kustiati, SE, Nurjannah, SE dan Zulkarnain, SH. Anak Kelima, Drs.Syahrul Pernah menjabat Camat Biromaru pada tahun 1994-1997. Juga pernah sebagai Kepala Biro Kepegawaian pada Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah tahun 1999. Selain itu anak Keenam, Djuanda Lamakarate, yang dilahirkan di Biromaru pada tanggal 4 Januari 1950. Sebagai seorang birokrat, dia terkenal tegas, disiplin, dan berwibawa. Menjadi PNS di lingkungan Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Tahun 2000-2003 menduduki jabatan Kepala sub Bagian Dinas Pendapatan Kota Palu. 2003-2004 bekerja di Dinas Perhubungan, tahun 2004-2005, menjabat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palu. Tahun 2005-2006 menjadi Kepala Dinas Kebersihan Kota Palu. Setelah itu menjadi Assisten I bidang Pemerintahan Sekretariat daerah Kota Palu.Terakhir sebagai Kepala Dinas Pendapatan Kota Palu tahun 2007-2008. Selain sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Birokrat Palu, dia juga tampil selaku tokoh pemuda terbukti setamat dari Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Bandung, beliau memimpin organisasi kepemudaan, yaitu Pemuda Pancasila. Beliau pernah menjabat Ketua Pemuda Pancasila. Namun tidak jelas waktunya, mungkin karena sakitnya beliau tidak ingat lagi. Keterlibatannya di
4

Andi Eni Djanggola, salah seorang cicit dari Magau Djanggola yang pernah menjabat sebagai magau di Palu.

Pemuda Pancasila karena pengalaman hidupnya di organisasi kepemudaan lainnya, seperti KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) ketika masih di bangku Sekolah Menengah Atas Palu. Semangat dan kemampuan organisasi lewat pengalamanlah maka dia memotivasi dirinya kembali masuk ke Pemuda Pancasila. Anak ketiga Djuanda yang bernama Mohammad Rinto.,S.STP, lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Lahir tanggal 1 November 1982. Sekarang Mohammad Rinto., S.STP menduduki jabatan Lurah Tatura. Anak Kedua Lamakarate dari hasil pernikahannya dengan Mua Kire adalah Daeng Maradja Lamakarate. Beliau pernah menjabat sebagai Bupati Donggala pada tahun 1960-1964. Ketiga, bernama Daeng Lawawo Lamakarate yang pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Sigi Dolo pada tahun pertama. Anak Keempat, Daeng Djanuddin Lamakarate. Juga punya anak yang mengenyam pendidikan magister (S2), yakni: Zair Lamakarate, MA. Ia bekerja sebagai seorang guru agama di Sekolah Menengah Atas.5 Anak Keenam, Lolontomene Lamakarate, yang menikah di Biromaru dengan seorang wanita bernama Rosni Almakawi. Lolontomene Lamakarate adalah tokoh yang memperjuangkan pembentukan Sulawesi Tengah, karena dimasanya menjabat sebagai Panitia Penuntut dan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tengah atau di singkat P4ST. Organisasi ini adalah organisasi mahasiswa asal Sulawesi Tengah yang berkedudukan di Jakarta. Lolontomene salah seorang delegasi yang diutus mewakili Sulawesi Tengah menghadap pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah Republik Indonesia pada tanggal 3 Juli 1961. Delegasi Rakyat Sulawesi Tengah itu merupakan wakil-wakil dari P4ST, BKMPST, IKST, dan anggota DPR-GRI RI (Nurhayati Nainggolan, dkk,6 2005:242). Posisi Lolontomene adalah juru bicara delegasi. Ketujuh, bernama Daeng Ruda Lamakarate yang lahir pada tanggal 3 Oktober 1928 di Biromaru. Daeng Ruda Lamakarate tampil sebagai pimpinan GPPST (Gerakan Pemuda Penuntut Propinsi Sulawesi Tengah), yang wilayahnya
5 6

Hasil Wawancara dengan Sarina Lamakarate di Biromaru, juga anak dari Daeng Djanuddin Lamakarate . Lihat Nurhayati Nainggolan, dkk. 2005. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

meliputi wilayah Kabupaten Donggala (Nurhayati Nainggolan, 2005:236). Daeng Ruda Lamakarate menikah dengan Farida Lamakampali. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai sepuluh orang anak, dan salah satu anaknya yang bernama Andi Dompo Lamakarate, pernah menjadi Camat Gumbasa di Kabupaten Sigi, namun kini digantikan oleh Asrul Repadjori. Andi Dompo dituakan dalam keturunan Daeng Ruda Lamakarate. Pendidikan dengan demikian berfungsi transformatif, yakni menjadi agen perubahan sosial. Pada posisi ini pendidikan berfungsi sebagai institusi sosial yang aktif melakukan perubahan sosial lewat pencapaian tujuan perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain, dalam posisi ini pendidikan menjadi instrumen kreatif perkembangan suatu kelompok klen dalam masyarakat, di mana pendidikan berusaha meciptakan perubahan yang positif yang dapat mengangkat martabat secara individual anggota masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih maju dari sebelumnya. Patokan yang dapat diambil adalah pendidikan selain pelayan pasif setiap klen dalam masyarakat Sigi, juga perlu tampil sebagai pelayan kreatif bagi perkembangan atau kemajuan masyarakat pada umumnya di Sigi; pendidikan di samping perlu berperan sebagai pembentuk homogenitas, walaupun kondisi riil pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, ini tidak terealisasi. Pendidikan, di satu pihak ditentukan oleh haluan nasional dan tuntutan sosial, tetapi dilain pihak, pendidikan juga ikut mewarnai dan memodifikasi struktur sosial. Sebagai agen of change pendidikan lewat institusi pendidikannya di Palu dan Kabupaten Sigi, dituntut untuk memiliki kreativitas, adaptasi terhadap program pendidikan yang dapat mengubah masyarakat dengan konsepsi dan sistem yang teratur dan terarah. Selain membimbing masyarakat untuk beradaptasi dengan laju perubahan, pendidikan tersebut sebagai agen perubahan juga berusaha melakukan pembaruan dan perubahan sosial lewat serangkaian program pendidikan yang telah direncanakan dan memiliki arah yang jelas.

Dengan adanya pendidikan maka akan efektif mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibanding usaha-usaha lainnya, seperti pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa. d. Diferensiasi klen karena kekayaan atau harta warisan Hak kepemilikan menjadi kriteria akan tingkat status sosial dalam masyarakatnya, jika berbagai komponen kepemilikan di kuasai, seperti mobil, rumah, sapi, sawah, tanah, juga ladang, maka itulah yang menjadi ukuran kekayaan seseorang di tengah masyarakat dan lingkungannya. Jika akses akan kekayaan tersebut dimilikinya, maka peluang untuk mendapatkan kehidupan juga jabatan akan lebih mudah. Jika orang memiliki semua akses tersebut, maka modal untuk usaha, menduduki suatu jabatan akan mempermudah baginya dalam memperoleh akses sumber daya apapun dibandingkan dengan masyarakat lain yang tidak memiliki kekayaan kepemilikan tersebut. Selain itu, intensitas untuk bertemu atau bertatap muka dengan penguasa atau yang punya jabatan lebih tinggi, dibandingkan dengan masyarakat awam lainnya. Untuk bagian ini, maka klen mampu mengantarkan seseorang untuk akses itu, sebagai contoh akan perbedaan klen jika dipandang dari harta warisan atau kepemilikan harta kekayaan dapat dilihat dari klen Lamakarate. Keluarga Lamakarate adalah keluarga elit birokarsi yang kuat di Sigi mulai zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Kekuatan itu dimiliki dari leluhur mereka dengan gelar Magau yang selalu melekat pada keturunannya. Kewenangan untuk menyandang titel Magau bagi keturunan darah biru dapat diperoleh dari Magau Lamakarate, Magau Djaelangkara, Magau Datu Pamusu, Magau Datu Palinge, dan lain-lain yang hingga kini masih dapat dijumpai pada klen-klen mereka di Biromaru maupun Dolo. Dengan adanya penyatuan simbol keturunan tersebut, berimplikasi secara ekonomi kepada keturunannya, dari awal-awal gelar Magau mereka sudah menyandang status yang terhormat sebagai salah satu sumber kekuatan personal. Seseorang yang terpilih menjadi magau menurut Tahwiri Labontina, harus memiliki persyaratan berupa, keturunan langsung dari pihak laki-laki, bagi mereka

10

tiada ukuran fisik jika memang sudah tidak ada lagi keturunan, maka yang cacat pun tidak mengapa yang penting memiliki kecakapan lainnya, memiliki ilmu pengetahuan akan kanuragan, sikap yang bijak dan mampu dalam hal kekayaan (Hasil wawancara tanggal 27 oktober 2011 di desa Sidera). Menjadi pusat perhatian, ketika tahta yang dipegang, pada masa lampau dapat diturunkan kepada anaknya jika memiliki keturunan, tetapi awalnya berasal dari proses perjuangan untuk menduduki jabatan sebagai Madika Malolo terlebih dahulu. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kerajaan Dolo, ketika Magau Datu Pamusu berkuasa, Madika Malolo dipegang oleh Datu Palinge, hingga kemudian Madika Malolo Datu Palinge menggantikan Datu Pamusu sesuai dengan kesepakatan dewan hadat menjadi magau, pada saat Datu Pamusu diasingkan ke Ternate Tidore. Demikian juga berlaku pada kerajaan Sigi Biromaru, ketika Magau Dae Masiri menjadi raja, kedudukan Madika Malolo dipegang oleh Dindi Lemba, karena sudah tua, maka Dindilembah digantikan menjadi Madika Malolo oleh Karanjelemba, hingga kemudian Karandje Lemba menjadi magau pula di Kerajaan Sigi Biromaru. Selain itu pula dapat dilihat pada proses warisan tahta kerajaan dapat dirunut dari Daeng Managa Lamakarate7 menggantikan Lamakarate di singgasana kerajaan, tetapi sebelum menjadi magau, maka jabatan Madika Malolo diembangnya ketika masih cukup muda, yakni di usia 19 tahun. Hingga berakhir ketika usianya mencapai 25 tahun. Kalau diperhatikan dan di analisis, maka rajaraja yang berkuasa di Sigi bahkan di kerajaan Dolo, adalah mereka yang pernah menduduki jabatan sebagai Madika Malolo. Sebagai ahli tahta, maka sosok Daeng Managa Lamakarate, mempunyai arti yang sangat penting di Tanah Kaili, karena dari Daeng Managa Lamakarate lahir elit-elit birokrasi yang cukup berpengaruh di Sulawesi Tengah, seperti Arifin Lamakarate yang pernah menjadi Anggota DPRD Donggala periode 1982-1987. Salah seorang keturunan Arifin yakni Andi Indra bangwasan Wumbu pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan
7

Saudara Daeng Managa Lamakarate yang bernama Daeng Maradja Lamakarate pernah menduduki jabatan Bupati Donggala tahun 1960-1964, tapi tidak memiliki keturunan. Adapun adik Daeng Maradja Lamakarate yang bernama Daeng Lawawo Lamakarate pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Distrik Biromaru tahun 1958-1966, di tengah suasana pengaruh G-30-S/PKI. Juga Lawawo punya adik bernama Lolontomene yang menikah dengan wanita asl Biromaru bernama Rosni Almakawi. Lolontomene salah seorang yang ikut andil dalam memperjuangkan terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah, beliau berjuang bersama Rusdi Toana. Demikian juga anak ketujuh Lamakarate bernama Daeng Ruda Lamakarate pernah tampil sebagai pimpinan GPPST (Gerakan Pemuda Penuntut Provinsi Sulawesi Tengah). Lihat Nurhayati Nainggolan, 2005.

11

Pengajaran Sulawesi Tengah. Anak keduanya yakni Baso Kavola Lamakarate juga pernah menjadi Anggota DPRD-GR Provinsi Sulawesi Tengah tahun 1971-1977, juga menjadi Ketua Golongan Karya (Golkar) 1995-2000 yang mengantarnya menjadi Walikota Palu tahun 2000-2005. Baso Kavola juga punya anak yang cukup berpengaruh di Sigi, juga di Provinsi Sulawesi Tengah pada umumnya, yakni Hi. Mohammad Agus Rahmat Lamakarate, juga Drs. Muhammad Hidayat Lamakarate, M.Si8 dan Mohammad Taufik Lamakarate yang diwacanakan menjadi Kapolres Sigi nantinya. Juga anak Daeng Managa Lamakarate yang lain, bernama Syahrul Lamakarate juga seorang birokrat pernah menjabat sebagai Camat Biromaru tahun 1994-1997, juga pernah menduduki jabatan Kepala Biro Kepegawaian pada Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah tahun 1999. Hingga Djuanda Lamakarate9 sebagai yang dituakan di klen Lamakarate dari garis keturunan Daeng Managa Lamakarate. Beliau pernah menjabat sebagai Camat di Sirenja periode 1994-1997, juga camat di Kecamatan Biromaru (masih berstatus wilayah Kabupaten Donggala) periode 1997-2000. Pada periode kota Palu dipimpin oleh Rusdy Mastura beliau diangkat menjadi Assisten I Bidang Tatapraja Kantor Walikota Palu. Benda pusaka yang dianggap bertuah dan punya nilai kultur tersendiri, cukup membawa kewibawaan klen ini sebagai simbol kekuatan politik dalam wilayah Sigi. Benda pusaka tersebut, berupa guma, tongkat kerajaan juga keris10. Benda pusaka inilah yang merupakan harta warisan peninggalan mereka yang terbesar tapi tidak dapat dibagi-bagi, melainkan dijadikan bukti historis tentang pelanggengan kekuasaan keningratan (kebangsawanan) dalam klen mereka dari masa lampau secara turun temurun. Kepemilikan benda pusaka ini memperkuat klen Lamakarate dalam masyarakat Kaili di Sigi Biromaru. Daya dukung kepemilikan benda pusaka tersebut, dapat dilihat pada pakaian kebesaran Magau Lamakarate dalam gambar yang terlihat dilampiran 4. Pakaian kebesaran itulah yang disebut Puruka Pajama, sebagai pakaian adat kebangsawanan dari kebiasaan nenek moyang mereka. Pada pakaian adat tersebut
8 9

Menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu. Sampai tulisan ini diturunkan, Djuanda sedang sakit, jadi ketika wawancara beliau hanya duduk di kursi dan dalam kondisi perawatan, hanya saja masih sangat bersemangat bicara. 10 Adapun guma dan keris masih dapat dilihat hingga sekarang.

12

terselip keris dipinggangnya. Pada masa Djaelangkara juga terlihat payung kebesaran yang menaunginya. Pakaian kebesaran yang dipakai tersebut, dapat dipakainya pada upacara Vunja mpae, dengan perbedaan penampilan dengan masyarakat biasa. Pada upacara tersebut magau tampil sebagai sosok yang dapat membawa berkah juga keharmonisan pada kerajaan juga pada masyarakatnya. Pada situasi ini sosok Magau sebagai aktor akan tampil dengan performance yang luar biasa dengan kharisma yang dimilikinya sehingga memiliki daya pikat tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Kepemilikan benda-benda pusaka dan sosok payung yang menaungi Magau, menjadi simbol publik yang secara turun temurun mereka bangun sesuai dengan tradisi11 yang berkembang. Tradisi menyimpan benda-benda pusaka tetap terjaga untuk melegalkan sesuatu pada masa lampau sebagai ingatan sosial masyarakat akan sosok seorang bangsawan atau ningrat di kerajaan Sigi Biromaru atau kerajaan Dolo. Sistem kepemilikan harta warisan materil, berupa tanah, sawah, ladang oleh keluarga Lamakarate di bagi rata. Masing-masing anak diberi bagian yang cukup luas. Karena kepemilikan lahan sawah juga ladang bagi keluarga Lamakarate jika dilihat sekarang saja mulai dari sebuah gedung tua di depan pertemuan Ampera, hingga di Kantor BRI juga di depan BRI yang sudah dijual kepada pihak swasta, hingga di rumah Djuanda Lamakarate juga bersebelahan rumah dengan Syahrul Lamakarate sangatlah luas. Belum tanah yang lainnya hingga saat tulisan ini diangkat belum di akses secara detail. Kepemilikan tanah diperolehnya selain karena jabatan juga karena memiliki lahan yang dibuka sendiri dengan bantuan para pekerja dari kerabat atau masyarakat pada masa kerajaan hingga kolonial. Menurut Djuanda Lamakarate pada tanggal 2 November 2011, bahwa masing-masing anak mendapat bagian yang sama luas, kini tanah, juga ladang itu sudah dijadikan rumah tinggal, kebun kelapa, kebun coklat juga tanaman sawah
11

Tradisi menurut Sztompka (2008:70) adalah sikap atau orientasi pikiran tentang benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang dipungut orang di masa kini. Sikap atau orientasi ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi.

13

lainnya, seperti padi dan lain-lain yang diolah dan dimanfaatkan oleh keturunan Lamakarate. Ketika menemui Sarina Lamakarate pada bulan Februari 2011, beliau mengatakan, sawah yang diolah oleh keluarga Lamakarate sudah dibagi rata. Hal mana tidak ada pembedaan pembagian harta warisan baik laki-laki maupun perempuan. Hak pewarisan Lamakarate dengan istri pertamanya Tasa Intan mendapat bagian yang sama dengan anak Lamakarate hasil pernikahan dengan Mua Kire. Adapun tanah atau sawah tersebut, juga perladangan tersebar di wilayah kerajaan Sigi pada masa lampau. Pemilikan atas tanah bukan hanya milik raja tetapi juga ada kepemilikan atas tanah bagi anggota masyarakat. Akses masyarakat akan tanah tersebut, dapat diperoleh dari pembelian, juga dengan sistem menyewa, sedangkan masyarakat yang tidak mempunyai tanah bisa mengerjakan tanah sawah atau ladang milik bangsawan dari klen Lamakarate, klen Djaelangkara, juga klen Lamasatu. Bahkan dari masyarakat yang secara ekonomi mapan seperti klen Lapalege. Adapun sistem pembagian kerja adalah bagi hasil. Masyarakat desa juga memiliki tanah bisa karena warisan, pembelian atau penyewaan tanah dari pemilik tanah luas. Uraian di atas, membuktikan bahwa adanya ketidaksamaan dalam hal kepemilikan harta juga warisan merupakan hasil dari evolusi sosial masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari adanya konsekuensi-konsekuensi bagi anggota masyarakat. Para individu ataupun kelompok klen tertentu berusaha kewenangan sehingga dapat menguntungkan bagi mereka. e. Diferensiasi klen karena kedekatan wilayah Ada saling pengaruh mempengaruhi dengan kondisi kejiwaan seseorang dalam membawa nama juga kekerabatan dalam kancah politik lokal dalam satu klen jika karena hubungan darah atau karena keturunan saling berdekatan wilayah. Salah satu kekuatan utama dalam menggerakkan kohesi internal dalam kekerabatan mereka. Diferensiasi klen karena kedekatan wilayah dapat dapat membantu klenklen dalam satu persekutuan untuk mencapai kohesi sosial dalam lingkup wilayah memanfaatkan posisi

14

Kabupaten Sigi. Informasi akan mudah mereka peroleh, karena kedekatan klen ini ke pusat-pusat penyebaran informasi baik di kota provinsi maupun kota-kota kabupaten lainnya, sehingga dapat membantu adanya akses berbagai informasi sekitar mereka. Sehingga klen yang ada dapat dengan mudah menjadi penyambung informasi kepada masyarakat sekitarnya. Penyebaran wilayah klen yang ada sebagai persekutuan kelompok dapat menjadi motor penggerak politik juga dapat sebagai tim sukses bagi calon-calon eksekutif mereka di daerah tempat tinggalnya. Kesimpulan yang diperoleh bahwa diferensiasi klen dari peninggalan historis juga karena konsep kekerabatan yang demikian kental menyebabkan lahirnya mobilitas sosial pada golongan tertentu dalam masyarakat Sigi. Golongan inilah yang menyebabkan suatu revolusi di awal-awal pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah. Sejarah menggambarkan kondisi historis perjuangan secara heroik para pejuang ikut berpengaruh pada perluasan hubungan klen di antara kelompokkelompok klen yang ada di Kabupaten Sigi, bukan hanya proses transformasi yang muncul, melainkan juga didasarkan proses transformasi hubungan politik melalui tradisi buatan juga ekonomi memberi hubungan-hubungan yang signifikan akan perubahan yang terjadi. Kaum elit birokrasi yang muncul dari pedesaan ini menjadi agen ekonomi dan politik pemerintah pada masa kolonial dan masa pendudukan Jepang. Penulis simpulkan bahwa perubahan sosial yang nampak di kabupaten Sigi adalah perubahan sosial evolusioner. Strategi teori evolusioner yang dimaksud diawali dari uraian berikut: Strategi teori evolusioner adalah strategi yang berusaha mendeskripsikan dan menjelaskan rangkaian-rangkaian perubahan sosial yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Evolusionis pada umumnya berpandangan bahwa masyarakat yang telah mengalami perubahan-perubahan yang umumnya serupa dari zaman dahulu sampai sekarang, dan mereka berusaha keras mengidentifikasi sifat-sifat perubahan ini dan menjelaskannya kenapa perubahan tersebut terjadi. (Sanderson, 2000:14). Evolusi yang dimaksud adalah perubahan sosial yang terjadi karena sejarah manusia di kabupaten Sigi dibagi dalam beberapa tahap, yakni: tahap masyarakat tradisional, tahap transformatif dan tahap menuju modernisasi. Tahap tradisional,

15

adalah tahap dimana manusia lebih mengedepankan nilai-nilai tradisional dalam daur kehidupan mereka, ditandai dengan tradisi yang sudah terinternalisasi dalam jiwa masyarakat tradisional, hidupnya tidak merasa tenang, nyaman dan harmonis jika kebiasaan lama tidak dikerjakan lagi. Transisi ke tahap yang disebut transformasi adalah tipe masyarakat dengan tahap transformatifnya, mencoba menemukan gaya dan cara yang identik dengan perjuangan kelas untuk tetap survive hidup dan berkembang dengan cara dan pembagian kerja yang berbedabeda spesialisasinya dalam masyarakat. Tahap menuju modernisasi dengan mengedepankan pola pikir pengetahuan dan pendidikan yang tinggi untuk mencapai integrasi politik di antara kelompok klen untuk mempertahankan identitas kemodernan mereka dalam siklus yang panjang, serta tambahan adanya teknologi yang dipakai untuk meningkatkan spesialisasi kerja dalam masyarakat desa yang semakin mobil. Ada cacat dari pemikiran evolusionis adalah etnosentrisme mereka. Mereka memandang masyarakat lainnya, dengan menyatakan bahwa masyarakat masyarakat pada tahap-tahap evolusioner awal menunjukkan penilaian yang rendah kepada masyarakat mereka sendiri. 12Jika ini dirunut dari lokasi penelitian, maka sejarah masa lampau sebelum kerajaan hingga kedatangan pemerintahan Belanda dan Pendudukan Jepang, maka etnosentrisme ini nampak, ada gambaran yang dapat disimpulkan dari adanya perbedaan pandangan dan tujuan hidup dari dua kerajaan berdasarkan versi masing-masing, ada kotak-kotak yang nampak antara Kerajaan Sigi dan Kerajaan Dolo padahal mereka adalah satu etnis, yakni etnis Kaili yang bermukim di wilayah Sigi. Etnosentrisme yang dimaksud adalah Kerajaan Sigi Biromaru memandang masyarakat mereka lebih unggul dari masyarakat sekitarnya, nampak dari upaya disintegrasi yang terjadi di antara dua kubu kerajaan yang masing-masing berbeda visi dan misi dalam memperjuangkan kaumnya. Selain itu, dalam struktur kerajaan, etnosentrisme juga muncul, hal mana terlihat dari magau sebagai penguasa tanah, juga sumberdaya yang ada, sehingga peluang bagi masyarakat biasa untuk menempati posisi yang lebih tinggi sangat sulit. Ini juga didorong dari masyarakat biasa sendiri yang menempatkan posisi
12

Lihat Sanderson, 2000. Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta.

16

marjinal ini, karena adanya pengetahuan simbolis yang berkembang di antara mereka dengan memandang raja segala-galanya. Posisi etnosentrisme marjinal ini adalah kehendak bersama yang seolah-olah membenarkan tindakan dan pola perilaku yang berlebihan jika berhadapan dengan magau atau raja. Akibatnya adalah muncul etnosentrime masyarakat biasa untuk masyarakat biasa pula, dan posisi atas untuk masyarakat sosial kelas atas pula. Jadi masyarakat sendiri yang menempatkan posisi mereka sebagai posisi yang lebih rendah dari posisi magau. Ini sulit karena tatanan tradisional mereka masih sulit untuk dimasuki dan sulit menerima sesuatu yang rasional. Evolusi sosial dan ketidaksamaan dalam kekayaan dan kekuasaan merupakan hasil utama dari evolusi sosial, karena menimbulkan konsekuensi-konsekuensi menguntungkan bagi para anggota masyarakat secara keseluruhan. Dia percaya bahwa anugerah yang tidak sama bagi para anggota masyarakat merupakan alat yang memotivasi beberapa individu untuk memperoleh posisi tanggungjawab dan kewenangan yang penting. Kesimpulan lain yang dapat diberikan bahwa teori Sanderson yang dapat diterapkan dalam tulisan ini yakni teori evolusioner fungsional dan teori evolusi material, hal mana penekanannya terletak pada masyarakat desa warisan masa lalu dan masyarakat desa yang menuju modernisasi. Evolusionalis fungsional terlampau menekankan harmoni masyarakat meremehkan tingkat dan dayaguna konflik sosial, dan berpendirian bahwa ciri-ciri bemasyarakat muncul karena keperluan fungsional. Jika dirunut dari kajian penelitian, maka masyarakat desa warisan masa lalu cocok untuk diterapkan dalam teori ini, sedangkan untuk evolusi materialis cocok diterapkan pada masyarakat desa yang menuju modernisasi. Hasilnya adalah menuju modernisasi sebagai proses perkembangan yang lahir dari dalam dan luar masyarakat sebagai perangsang munculnya semangat pembaharuan yang kelak dapat membawa angin segar, menjadikan daerah ini menjadi wilayah terdepan dari kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah. KESIMPULAN

17

Asumsi yang mendasari evolusi fungsional cocok untuk masyarakat desa warisan masa lampau juga dalam transformasi historisnya dapat dikemukakan berikut. Evolusi fungsional berpendapat bahwa perubahan-perubahan evolusioner membawa kepada keuntungan yang bertambah bagi semua masyarakat. Masyarakat tradisional berdasarkan klennya, mobilitasnya masih rendah, sehingga tidak berpengaruh besar terhadap klen yang sama karena intensitasnya masih sangat rendah pula. Masyarakat tradisional ini ada yang melakukan adaptasi sehingga mencapai mobilitas tinggi. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang selalu dianggap tak rasional, juga tidak ilmiah serta religius dan penuh mistis, sebagai kecendrungan tanda-tanda tradisional. Asumsi teori yang mendasari bahwa evolusi materialis cocok diterapkan pada tradisi kekinian Vunja Mpae serta masyarakat desa menuju modernisasi, dapat dikemukakan pula berikut. Dikatakan sebelumnya evolusi materialis bahwa evolusi materialis menekankan bahwa perubahan-perubahan mungkin akan membawa kepada merosotnya kualitas hidup bagi kebanyakan anggota masyarakat. Hal mana Evolusi materialis, berpendirian bahwa konflik budaya dan kontravensi (pertentangan), merupakan unsur penting yang sangat menentukan dalam kehidupan sosial manusia, dan mereka percaya bahwa berbagai gejala ini sangat berkaitan dengan proses perubahan evolusioner. Kontravensi (pertentangan) yang berakibat unjuk rasa memberi manfaat bagi pemerintah, karena dengan adanya kontravensi berarti ada kontrol yang melibatkan masyarakat untuk ikut berperan menjadi penengah antara pemerintah daerah dan masyarakat desa. Masyarakat modern yang menuju modernisasi adalah mereka yang sangat menantikan perubahan itu, walaupun harus dilandasi dengan kontravensi (pertentangan) dan konflik budaya antar generasi. Inilah masa transisi yang membuat perubahan secara evolusi melalui transformasi historis, transformasi karena diferensiasi juga karena diferensiasi karena adanya ciri dan identitas. Masyarakat modern menuju modernisasi adalah masyarakat yang cenderung menuju ke rasionalitas ilmiah. Jika ini dicermati, maka teori pilihan rasional13 cocok diterapkan pada strategi evolusi materialis dan konflik budaya antar generasi. Namun bukan berarti individu yang terlibat hanya mengikuti
13

Lihat Sanderson, 2000, hal.25-26.

18

evolusi materialis ini, melainkan juga mengikuti model tindakan lain sekedar untuk kepentingan individualnya.

DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani. 2002. Sosiologi:Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Nainggolan, Nurhayati, dkk. 2005. Sejarah Jakarta:Dep.Kebudayaan dan Pariwisata. Daerah Sulawesi Tengah.

Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Lihat Sanderson, 2000. Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta.

You might also like