You are on page 1of 4

THE VOYAGE

Choosing an Appropriate Trail

Hari ini, adalah hari yang senantiasa ditunggu oleh Ibnu. Malam nanti
adalah saat dimana Ibnu memperoleh kesempatan untuk men-cas inner self-nya.
Ini adalah saat dimana dia bisa bertemu dengan gurunya, Buya Nur. Entah
kenapa wajah tua Buya Nur senantiasa dirindukannya. Kalau ada istilah soul
mate, barangkali ada pula istilah soul teacher. Entahlah. Tetapi itulah Buya Nur.
Bagi Ibnu, Buya Nur adalah seorang guru sejati.

Walaupun sudah faham, Ibnu belum merasa puas dengan penjelasan


gurunya pekan lalu. ”Hidup memang suatu perjalanan; perjalanan spiritual”, Ibnu
membatin. “Tetapi apakah pernyataan tersebut sudah bisa memberikan
pencerahan? Bagi saya yang awam, jelas belum memadai”, lanjut Ibnu dalam
hatinya. Perasaan ini telah menggelayutinya selama sepekan. Untuk pertemuan
malam ini Ibnu sudah mempersiapkan diri untuk menerima penjelasan lebih
lanjut dari Buya Nur.

“Ibnu, sepertinya kamu mau mengatakan sesuatu. Sebelum saya mulai,


lebih baik kamu bicara duluan. Pada saat pikiranmu disibukkan oleh sesuatu,
saya percaya apa yang kamu dengar hanya akan lewat saja melalui telinga
jasmani mu. Tidak akan sampai menggetarkan gendang telinga rohani mu“,
Itulah kalimat pembuka yang diucapkan Buya Nur, saat Ibnu sudah duduk bersila
dihadapannya.

Kalimat yang sederhana itu, diucapkan Buya Nur dengan santun. Namun
bagi Ibnu terdengar sangat berwibawa, penuh kearifan. Itulah keistimewaan
gurunya. Kalimat pembuka saja, bagi Ibnu, sudah mengandung pelajaran. Ya.
Ibnu faham. Memang manusia punya dua telinga, telinga jasmani dan telinga
rohani. Namun bagi kebanyakan orang, kedua telinga tersebut tidak
dipergunakan secara sinkron, sehingga antara telinga jasmani dan telinga rohani
tidak bersinergi.

Seringkali ditemukan ditengah masyarakat, seseorang mendengar, tetapi


tidak mendengar. Karena dalam mendengar hanya gendang telinga jasmaninya
yang bergetar. Getaran di gendang telinga jasmani tidak sampai ke gendang
telinga rohani. Ibnu tahu, bahwa dalam Bahasa Inggris ada perbedaan antara to
hear dan to listen. Namun dalam to listen getaran di gendang telinga jasmani

1
hanya diantarkan sampai ke otak. Belum tentu terus ke bagian terdalam diri
manusia hati, qalbu, atau barangkali bisa disebut sebagai otak rohani.

Ibnu keterusan dalam mencerna kalimat pembuka gurunya. Dia memang


sudah lama merasakan kebingungan dalam memahami konsep otak, dan hati.
“Kalau otak, ya jelas”, Ibnu terus membatin, “Itu benda lembek yang tersimpan
didalam batok kepala yang dipergunakan manusia untuk berpikir. Tetapi hati?
Apakah hati itu? Dimana letaknya? Ah suatu saat nanti akan saya tanyakan pada
Buya Nur. Tidak hanya masalah telinga menelinga ini, melainkan juga mengenai
otak dan hati”, kata Ibnu pada dirinya sendiri.

Ibnu masih hanyut dengan pikirannya. Kelihatannya Buya Nur sengaja


membiarkannya. Mereka berdua sama sama diam. Ibnu diam dengan pikirannya
yang masih nyantel pada masalah telinga. Dia melihat, dalam pikirannya, orang
orang yang mendengar suara azan yang dikumandangkan muazzin, tetapi
mereka tidak mendengar seruan azan tersebut. Getaran suara azan baru sebatas
menggetarkan gendang telinga jasmani mereka. Paling paling getaran tersebut
diantarkan ke otak. Reaksi mereka adalah melihat jam, dan berkata,“Oh sudah
waktunya shalat”. Namun kebanyakan mereka tidak beranjak dari tempatnya.
Panggilan shalat yang dikumandangkan lantang oleh muazzin, dengan memakai
speaker, hanya sampai ke telinga jasmani saja.

Banyak hal yang muncul dalam pikiran Ibnu, yang memerlukan


penjelasan. Namun tiba tiba dia mendengar detak cangkir sorbat susu Buya Nur.
Ibnu segera sadar bahwa dia sedang duduk di depan gurunya. Dia melihat Buya
Nur menyeruput minumannya sambil menatap dalam dalam ke wajah Ibnu.
Seolah gurunya sedang mendengar dirinya. Ibnu merasa telanjang didepan
gurunya.

“Baik Buya”, jawab Ibnu sambil tersipu. “Pekan lalu Buya menjelaskan
bahwa kita ini adalah sedang menempuh perjalanan. Kita adalah spiritual
traveller. Bisakah Buya jelaskan lebih lanjut?”. Ibnu langsung ke inti persoalan,
yang selama berhari-hari telah mengelayuti dirinya.

“Ibnu”, kata Buya Nur, “ tolong engkau ambil map warna hijau di rak buku,
pada bagian paling atas sebelah kanan”. Ibnu berdiri dan berjalan kearah sebuah
rak buku yang terletak dipojok kanan musholla. Di rak paling atas, sebelah kanan
terlihat sebuah map berwarna hijau yang kelihatan sudah lusuh. Map itu
diserahkan Ibnu kepada gurunya.

2
Seraya membuka map tersebut, Buya Nur berkata: “Ibnu, penjelasan saya
atas pertanyaanmu tadi akan panjang sekali. Karena itu ada baiknya kalau kamu
mulai dengan mempelajari gambar ini. Bukankah pepatah Cina mengatakan
sebuah gambar lebih baik dari seribu patah kata?” ucap Buya, sambil
menyodorkan selembar kertas kepada Ibnu.

Ibnu menerima kertas tersebut dengan takzim. Diperhatikannya gambar


yang tertera di atas kertas yang sudah tidak putih lagi karena dimakan usia.
Melihat bercak bercak coklat yang memenuhi kertas putih itu, Ibnu
memperkirakan kertas itu sudah tersimpan belasan tahun di dalam lemari atau
rak buku Buya Nur. Ibnu berdecak kagum. Jawaban dari pertanyaannya barusan,
sudah ada di rak buku gurunya semenjak belasan tahun yang lalu.

Ibnu memperhatikan kertas tersebut. Terlihat sebuah gambar sederhana.


Ada tiga garis lurus: mendatar, miring dan tegak, yang beranjak dari satu titik
yang sama disebelah kiri. Sederhana. Kemudian ada beberapa tulisan semacam
penjelasan.

3
Ibnu terus memperhatikan. Sementara itu Buya Nur berdiri sambil
berkata,”Ibnu. Kamu perhatikan baik baik. Titik O adalah titik bertolak manusia
dalam menempuh perjalanan. Garis mendatar O – A adalah perjalanan maju
kedepan, onward. Garis miring O – B adalah pejalanan manusia maju dan
meningkat, upward. Sedangkan garis tegak O – C adalah perjalanan keatas, yang
saya namakan Godward”.

Kemudian Buya Nur bangkit dan berjalan kearah mimbar, sambil berkata:
”Ibnu. Kamu pelajarilah gambar tersebut. Pergunakan imajinasimu. Namun satu
hal harus kamu perhatikan, jangan serta merta kamu terima itu sebagai
suatu kebenaran. Pergunakanlah itu sebagai anak kunci untuk membuka pintu
menuju kepada kebenaran“. Ibnu mengangguk.

Ibnu tetap tekun memperhatikan gambar sederhana tersebut.


Perhatiannya terserap penuh. Dia seolah tenggelam dalam kertas yang sudah
agak kumal itu. Tiba tiba terdengar suara takbir panjang dikumandangkan oleh
Buya Nur. Dia lihat gurunya sedang sujud kepada Maha Pencipta. Ibnu
memperhatikan gurunya dengan penuh hormat. Ibnu yakin bahwa gurunya betul
betul sedang menikmati shalatnya. Sepertinya Buya Nur tenggelam dan larut
bersama sujudnya.

Ibnu seolah tersedot gelombang energi shalat Buya Nur. Dia bangkit,
menuju ketempat wudhuk. Tak lama kemudian Ibnu pun larut dalam shalatnya.
Tiba tiba semua menjadi tiada. Gurunya tiada. Dirinya pun tiada. Ibnu telah pula
tenggelam.

Di luar udara semakin dingin, berselimutkan sunyi. Orang orang pun pada
tenggelam. Tenggelam dalam tidurnya masing masing. Bahkan mungkin ada
yang lagi berenang di lautan mimpi. Sementara waktu masih terus merangkak.
Meninggalkan orang orang yang terlena, yang tidak sadar, bahwa bahan bakar
mereka semakin berkurang.

Depok, awal 2009.

Syahril Bermawan.

You might also like