You are on page 1of 7

CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi IDI - 3 SKP

Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung, dan Tenggorok


Anton Christanto,* Tedjo Oedono**
*SMF/Bagian THT-KL RSU Pandan Arang. Boyolali, Jawa Tengah **Bagian/SMF IP THT-KL FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Pendahuluan Alergi makanan adalah penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen yang terdapat dalam makanan. Alergi makanan sering ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada bayi berusia beberapa bulan. Istilah alergi makanan sering tidak tepat karena setiap reaksi tak-diinginkan yang timbul setelah mengonsumsi makanan selalu dianggap sebagai alergi terhadap makanan tersebut. Sejarah alergi makanan pertama kali dilaporkan di China pada tahun 3000 SM, berupa reaksi kulit yang timbul beberapa saat setelah makan. Hippocrates menyatakan bahwa susu dapat menimbulkan gangguan lambung dan reaksi kulit pada orang-orang tertentu yang sensitif. Laporan terperinci mengenai alergi makanan dimulai pada abad kedua puluh saat Von Pirquet menjelaskan konsep alergi pada tahun 1906.1 Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia di bawah 3 tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna.2 Alergi makanan pada anak dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%.1 Dari jumlah tersebut, yang terbanyak ialah alergi terhadap susu sapi (2,5%), diikuti alergi telur (1,5%) dan alergi kacang (0,5%). Sedikitnya 2,5% bayi memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai berusia 1 tahun, 25% di antaranya akan menetap sampai dewasa.3 Ring et al2 melaporkan bahwa jenis makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi pada anak adalah berbagai jenis protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum (85%). Anak dengan riwayat atopi dalam keluarganya akan cenderung alergi terhadap makanan tertentu.2 Ditemukan 35% anak yang menderita dermatitis atopi juga memiliki alergi terhadap makanan (yang diperantarai oleh Ig E). Pada 6% anak penderita asma, juga dilaporkan terjadi

eksaserbasi asma setelah mengonsumsi makanan tertentu.3 Insidens alergi makanan pada orang dewasa tidak banyak dilaporkan. Di Amerika, hanya 2% populasi dewasa yang memiliki alergi terhadap makanan. 2 , 3 Berbagai jenis makanan dilaporkan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi yang tersering menimbulkan alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan makanan laut, seperti udang, kepiting, dan lobster. Zat pewarna makanan, zat aditif, serta pemanis buatan yang digunakan dalam industri makanan juga dilaporkan dapat menimbulkan reaksi alergi, meskipun jarang.2 Prevalensi jenis alergen makanan tergantung pada budaya dan geografi: di Jepang, nasi adalah alergen utama pada anak; di Skandinavia, alergi terhadap ikan lebih sering; di Spanyol, alergi buah lebih tinggi insidensnya; di Amerika, alergen utamanya adalah susu sapi, soya, telur, gandum, kacang, dan ikan.2 Konsep penyakit alergi terbaru menyatakan bahwa penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ sasaran. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penyakit ini mempunyai manifestasi klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Reaksi yang timbul akibat alergi makanan dapat bervariasi dan dapat mengenai berbagai sistem dalam tubuh, seperti kulit, saluran n a p a s, h i d u n g, te n g g o ro k , te l i n g a , gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai yang terberat, syok anafilaktik. Reaksi alergi makanan dapat terjadi dengan atau tanpa perantaraan IgE. Alergi makanan masih merupakan masalah bagi dunia kedokteran, khususnya dalam penegakan diagnosis. Diagnosis alergi makanan sulit ditegakkan apabila terdapat reaksi silang antara alergen dari makanan

dan alergen dari udara. Diagnosis alergi mak anan juga mempunyai dampak dilematis; overdiagnosis dapat mengakibatkan malnutrisi terutama pada anakanak, tetapi underdiagnosis akan mengakibatkan serangan alergi yang terusmenerus. Oleh sebab itu, keputusan diagnosis ini harus diambil dengan cermat. Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan berbagai tes alergi yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Pengertian Alergi Makanan Secara umum, istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh reaksi imun yang berakibat buruk terhadap jaringan atau mengganggu proses fisiologik manusia. Reaksi imun tersebut dicetuskan oleh adanya kompleks biokimiawi atau respons inflamasi yang menghasilkan gejala klinis. Respons tersebut bergantung pada tingkat reaktivitas reseptor jaringan yang terlibat dan sel efektor. Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan dengan intoleransi mak anan (fo o d intolerance atau food sensitivity).4 Alergi makanan adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologik abnormal. Di lain pihak, pada intoleransi makanan, terdapat faktor makanan itu sendiri, seper ti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat pada keju yang telah lama), atau kelainan metabolik (seperti defisiensi enzim laktase).3 Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi idiosinkratik (misal intoleransi laktosa),

410

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


keracunan makanan, dan reaksi farmakologik (mis., terhadap kafein, tiramin).5 Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis, dengan latar belakang non-imunologik, seperti defisiensi enzim (mis., defisiensi laktase), farmakologis (mis., reaksi terhadap kafein), pelepasan histamin non-imunologis (mis., sehabis makan sejenis kerang), dan iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus sehingga terjadi esofagitis). Fase kedua adalah reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4 jam pasca-pajanan, dengan puncak setelah 6-8 jam, dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Reaksi alergi fase lambat akan melibatkan pelepasan mediator kimia, terutama eosinofil (seperti eosinophilic cationic protein [ECP], eosinophilic-derived protein, major basic protein, dan eosinophilic peroxidase).9 2. Reaksi alergi tipe II Disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigenantibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagisitosis atau menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi.1,6,8 3. Reaksi alergi tipe III Disebut juga reaksi kompleks imun. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan, yang mengaktifkan komplemen. Dalam keadaan normal, ikatan antigen-antibodi.ini secara cepat dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada kapiler atau jaringan dan ak an mengaktifk an komplemen untuk kemudian merangsang sel mast dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi. Kompleks imun ini akan memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea.

Perbedaan antara alergi makanan dan intoleransi makanan4 Alergi makanan Ada Sensitisasi Imunologik Lebih jarang (5%) Gejala klinis jelas Timbul pada dosis rendah Kadang ada riwayat keluarga Sedikit dipengaruhi psikis
Reaksi Hipersensitivitas pada Alergi Makanan Sebagian besar alergi makanan dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe III yang diperankan oleh kompleks antigen-antibodi. Reaksi alergi makanan dapat timbul tanpa keterlibatan IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi terhadap susu sapi yang diperankan oleh reaksi antibodydependent cell-mediated cytotoxicity (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan reaksi kompleks antigen-antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi imunologik lain, seperti antibodi anti-IgA gliadin pada celiac disease. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV), gejalanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala pada saluran cerna. Sampai saat ini, masih sulit membuktikan patogenesis alergi makanan yang didasari reaksi hipersensitivitas tipe II dan IV. Diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I (yang diperank an oleh IgE), reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya. Alergi makanan dibagi menjadi dua jenis, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Pada reaksi ini, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada

Intoleransi makanan Tidak ada sensitisasi Non-imunologik Lebih sering (>5%) Gejala klinis sering tidak spesifik Sebagian tergantung dosis Tanpa riwayat keluarga (kecuali defisiensi enzim) Pengaruh psikis kuat
pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Gell & Coomb mengklasifikasikan reaksi alergi/hipersensitivitas ke dalam 4 kelas:6-8 1. Reaksi alergi tipe I Pada keadaan anafilaksis terhadap makanan, telah lama diketahui bahwa alergen makanan, yang berikatan dengan IgE spesifik untuk kedua kalinya, akan memicu degranulasi sel mast, mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimia. Reaksi tipe 1 ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase cepat timbul saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya. Pada fase cepat ini, akan dilepaskan mediator-mediator kimia karena degranulasi sel mast atau basofil. Mediator tersebut ada yang telah terbentuk, seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang baru dibentuk, seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan platelet activating factor.9 Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal, seperti diare dan kolik pada saluran cerna, serta meningkatkan absorpsi antigen makanan sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik, seperti bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan urtikaria.2

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

411

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Reaksi tipe III ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada kasus alergi makanan.1,6,8 4. Reaksi alergi tipe IV Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler, karena tidak terdapat peran antibodi.7 Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel Th1 yang bergantungMHC II. Sel Th1 yang diaktifkan akan melepas berbagai sitokin, antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF), dan interferon (IFN), yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar antara 24-48 jam setelah pajanan. Beberapa kasus alergi susu sapi tergolong reaksi tipe IV ini, yang telah terbukti secara laboratoris.8 Alergen Makanan Kandungan makanan antara lain terdiri dari lemak, kabohidrat, dan protein. Kandungan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air dengan berat molekul antara 18.000-36.000 Dalton.2,3,8 Umumnya, alergen ini stabil terhadap pemanasan serta tahan terhadap asam dan enzim protease.3 Meskipun dalam jumlah sedikit, alergen dapat menimbulkan sensitisasi dan menimbulkan gejala pada individu atopik; beberapa mikrogram alergen inhalan sudah dapat merangsang pembentukan IgE. Dalam konteks alergi makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein yang diserap, berapa lama kontak dengan sistem imun, dan berapa cepat alergen yang dimakan dipecah untuk dapat diserap; diperkirakan 1 mikrogram laktoglobulin sudah dapat menimbulkan sensitisasi.8 Hanya sebagian kecil makanan yang dilaporkan bersifat alergen yang dapat memberikan reaksi alergi; alergen utama pada susu sapi ialah laktoglobulin, kuning dan putih telur mempunyai alergen utama ovomukoid, alergen utama pada kacang dan soya adalah albumin, visilin, dan legumin, sementara alergen utama pada udang terdapat pada ototnya (yang disebut tropomiosin).8 Susu sapi terdiri dari kurang lebih 25 macam protein yang memproduksi antibodi spesifik pada manusia. Antigen tersering pada susu sapi adalah kasein (80%) dan whey (20%). Whey terdiri dari laktoglobulin, laktalbumin, bovine serum albumin (BSA) dan bovine gammaglobulin.8 Bahan penyedap dan zat warna juga dapat merupakan alergen, seperti aspartam, zat warna merah, kuning, dan hijau, nitrit, serta monosodium glutamat.2,8 Patofisiologi Alergi Makanan Reaksi simpang pada makanan (berakibat merugikan bagi manusia) pada dasarnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu reaksi imunologik (melalui mekanisme imun atau hipersensitivitas (alergi makanan) dan reaksi non-imunologik (tidak melalui mekanisme imun (intoleransi makanan).2 Reaksi alergi makanan sendiri dibagi menjadi dua, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas gastrointestinal umum, yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen spesifik, yang dapat berasal dari makanan sehari-hari atau mikroorganisme patogen maupun produknya, atau terhadap antigen milik sendiri (self-antigen) yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya.10 Pada alergi makanan, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Umumnya, pajanan ulang oleh substansi antigenik/ alergen akan meninggikan respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan yang justru menimbulkan kerusak an jaringan atau gangguan fungsional di dalam tubuh. Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna, tetapi jumlah alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan memudahkan reaksi alergi yang lain untuk timbul. 11 Target utamanya ialah pada epitelium, yang ak an menimbulk an perubahan sekresi asam lambung, transpor ion, produksi mukus, dan fungsi sawar (barrier) fisik mukosa. Secara struktural, kerusakan mukosa usus ditunjukkan dengan adanya edema, disrupsi enterosit, dan perubahan enzimatik. Pada pemeriksaan endoskopi, kemungkinan ditemukan gambaran mukosa hiperemis, edema, bercak-bercak kemerahan, dan kadangkadang ditemukan perdarahan submukosa. Pajanan antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah tersensitisasi akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang selanjutnya melepaskan mediator-mediator kimia yang kemudian akan berpengaruh langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau memberi pengaruh tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh antibodi IgE. Selain sel mast, sel lainnya (seperti neutrofil dan, khususnya, eosinofil) ikut berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung (berinteraksi dengan sel mast). Berdasarkan konsep penyakit alergi terbaru yang menyatakan bahwa penyakit alergi adalah penyakit sistemik dengan menifestasi klinis pada organ sasaran, tidak ter tutup kemungk inan penyak it ini mempunyai manifestasi klinis pada organ hidung, telinga, dan tenggorok. Gangguan akibat reaksi hipersensitivitas terhadap makanan pada saluran napas bagian atas dapat terjadi melalui 3 cara, yakni (1) alergen yang diserap di usus, atau mediator kimia yang mencetuskan respons hipersensitivitas di usus, dibawa aliran darah hingga mencapai saluran napas atas, (2) alergen terhirup ke dalam saluran napas sewaktu makan dan minum, (3) kontak faring dengan alergen ketika menelan. Keadaan ini membuat diagnosis reaksi alergi makanan pada saluran napas atas sulit ditegakkan; di samping itu, terdapat reaksi silang antara beberapa alergen makanan dengan alergen inhalan, yang juga mempersulit penegakan diagnosis alergi makanan pada saluran napas atas.12-14 Reaksi silang antara makanan dan alergen inhalan yang tersering adalah antara tepung sari (alergen inhalan) dan molekul makanan yang homolog (seperti profilin).2 Tingginya kasus alergi makanan

412

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


pada bayi dan anak karena pada bayi baru lahir dan anak, terdapat peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna. 3 Jenis Alergi Makanan Berdasarkan Manifestasi Klinis Alergi makanan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dengan keterlibatan (diperantarai) IgE, yang secara klinis dikenal sebagai alergi makanan jenis tetap (fixed atau immediate type) dan (2) tanpa keterlibatan (tidak diperantarai) IgE, yang secara klinis dikenal sebagai alergi makanan jenis siklik (cyclic atau delayed type).1,15 1. Alergi makanan jenis tetap Alergi makanan jenis ini melibatkan respons IgE yang memberikan gejala dalam waktu beberapa detik sampai beberapa jam setelah kontak dengan alergen.1 Beberapa penderita mengeluhkan gejala urtikaria yang timbul lambat sampai 24 jam setelah pajanan. Sensitivitas terhadap makanan menetap bertahun-tahun, bahkan dalam waktu yang tak-terbatas. Reaksi yang timbul cepat, jelas, dan sering kali berat. Apabila telah terjadi reaksi sensitisasi, gejala akan selalu timbul jika individu tersebut terpajan alergen yang sama. Gejala yang timbul tidak ditentukan oleh kuantitas makanan yang dikonsumsi; jumlah alergen yang minimal sekalipun dapat menimbulkan gejala. Saat IgE pertama kali ditemukan tahun 1966, beberapa penelitian telah menyokong fakta bahwa alergi makanan jenis tetap ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE. Alergi makanan jenis ini dapat memberikan gejala klinis bermacammacam, seperti flushing, dermatitis atopik, eksema, asma, rinitis alergi, konjungtivitis alergi, urtikaria, angioedema, oral allergy syndrome, gangguan gastrointestinal, hingga reaksi anafilaktik yang fatal. 2. Alergi makanan jenis siklik Tipe ini pertama kali dikemukakan oleh Rinkel, berdasarkan pengamatan klinis terhadap hasil pengaturan diet makanan pada penderita alergi. Pada jenis ini, gejala dapat timbul beberapa jam sampai beberapa hari setelah mengonsumsi makanan. Jenis ini tidak melibatkan IgE dan mewakili 60-80% dari seluruh kasus alergi makanan yang ditemukan dalam klinik.1 Sementara itu, Boyles6 menyatakan bahwa 95% kasus alergi makanan tergolong jenis siklik dan sisanya jenis tetap. Reaksi alergi makanan jenis siklik diduga diperantarai IgG dan merupakan reaksi kompleks imun (tipe III).1,6,8 Tipe siklik ini dapat dibedakan dengan tipe tetap berdasarkan ketergantungannya terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi dan seberapa sering konsumsi tersebut.1,15 Pada beberapa kasus, reaksi akan timbul apabila penderita mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak atau sering; dalam hal ini, reaksi hanya akan timbul dengan jumlah alergen yang besar yang dapat membentuk kompleks imun.1 Tipe siklik ini memiliki 9 stadium berdasarkan gejala yang ditimbulkannya:1,6 Stadium 1 - sensitisasi tersamar (masked sensitization) Pada stadium ini, penderita tidak menyadari bahwa ia alergi terhadap makanan yang dikonsumsi, tetapi merasakan gejala alergi yang kronis. Jika makanan tersebut dikonsumsi terusmenerus, kompleks imun akan terus terbentuk dan gejala alergi berlangsung kronik. Pada stadium ini, terdapat fenomena masking, yaitu pemajanan terhadap antigen yang jumlahnya sedikit, tetapi sering tidak menimbulkan gejala. Dengan demikian, penderita merasa sehat-sehat saja, bahkan kadang-kadang ketagihan makanan tersebut. Stadium 2 - omission Apabila makanan penyebab alergi tidak dikonsumsi dalam 4-5 hari, antigen yang berada dalam tubuh akan dimusnahkan oleh sistem pencernaan dan aliran darah, tetapi masih terdapat titer antibodi IgG spesifik yang tinggi dalam sirkulasi darah. Hal ini dapat menimbulkan eksaserbasi gejala (withdrawal symptoms). Gejala yang timbul ini dapat sedemikan beratnya serta bisa berlangsung hingga 4 hari karena adanya penurunan titer antigen dan keseimbangan kompleks antigen-antibodi. Stadium 3 - hyperacute sensitization Pada stadium ini, terdapat konsentrasi antibodi yang tinggi dalam sirkulasi. Jika terdapat alergen makanan dalam jumlah besar, akan terbentuk kompleks imun yang pada akhirnya menimbulkan gejala. Keadaan ini merupakan dasar bagi tes provokasi makanan (oral challenge). Stadium ini berlangsung selama 4 sampai 12 hari. Tes provokasi makanan dilakukan pada hari ke-4 atau ke-5. Sebelumnya, pasien puasa dari makanan yang akan diuji. Jika tes provokasi dilakukan lewat dari waktu tersebut, reaksi yang timbul menjadi lebih ringan dan sulit diidentifikasi. Namun, apabila tes dilakukan tanpa eliminasi makanan yang dicurigai minimal selama 4 hari, gejala bisa tidak muncul karena fenomena masking. Stadium 4 - active sensitization Gejala akan timbul jika individu mengonsumsi makanan yang bersifat antigen, dan reaksi yang timbul biasanya tidak begitu berat. Karena itu, tes provokasi makanan dilakukan pada hari ke-5 hingga ke-12 setelah eliminasi. Pajanan terhadap alergen makanan dapat menyebabkan gejala yang ringan atau tanpa gejala sama sekali, kecuali jika terjadi pajanan berulang. Stadium 5 - latent sensitization Tidak adanya alergen makanan dalam waktu tertentu akan menurunkan konsentrasi antibodi sehingga timbul to l e ra n s i . J i k a a l e rg e n m a k a n a n dikonsumsi pada stadium ini, akan timbul gejala ringan atau tidak muncul gejala sama sekali, kecuali jika terjadi pajanan berulang. Stadium 6 & 7- tolerance to food Stadium ini timbul setelah 4-5 bulan tubuh tidak terpajan alergen. Konsentrasi a n t i b o d i s e d e m i k i a n r e n d a h ny a sehingga tidak memunculkan gejala. Pada stadium ini, makanan dapat diberikan dalam diet secara rotasi agar tidak terjadi peningkatan titer antibodi yang dapat mencetusk an gejala. Stadium 8 & 9 - sensitization Jika pasien mengonsumsi kembali makanan pencetus alerginya, terjadi peningkatan titer antigen tersebut, yang

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

413

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


akan menstimulasi memori limfosit sehingga terbentuklah antibodi yang baru. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kompleks imun dan, pada akhirnya, menimbulkan gejala. Manifestasi Klinis Alergi Makanan pada Hidung,Telinga, dan Tenggorok Manifestasi alergi makanan tipe tetap (diperantarai IgE) dapat bermacam-macam, bergantung pada tempat dan luas degranulasi sel mast atau basofil, mulai dari urtikaria akut sampai reaksi anafilaktik yang fatal. Target organ yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna, saluran napas atas (telinga, hidung, dan tenggorok) dan bawah, serta reaksi sistemik. Telinga Manifestasi alergi makanan pada telinga dapat mengenai ketiga daerah anatomis telinga, yaitu liang telinga, telinga tengah, dan telinga dalam. Gejala pada telinga luar dapat berupa otitis eksterna kronik dengan penyempitan liang telinga, daun telinga yang kemerahan, atau kulit daun telinga yang terkelupas dan pecah-pecah. Pada telinga tengah, sering didapati keluhan rasa penuh, terdengar bunyi klik atau , keluhan yang disebabkan oleh terganggunya Eustachian tube, seperti otitis media rekuren, otitis media serosa kronik, atau otorea yang persisten setelah pemasangan pipa ventilasi pada telinga tengah. Gejala pada telinga dalam dapat meliputi tinitus, penyakit Meniere, dan gangguan keseimbangan, yang muncul hampir selalu bersamaan dengan keluhan rinitis kronik. Hidung Manifestasi alergi makanan pada hidung yang tersering adalah rinitis alergi, yang dijumpai pada 70% anak penderita alergi makanan yang telah terbukti dengan tes provokasi makanan (double-blind placebocontrolled food challenge, DBPCFC). Sebagian besar dari anak-anak tersebut juga menderita penyakit alergi lain, seperti alergi pada kulit dan saluran cerna. Gejala yang sering ditemukan berupa hidung tersumbat, sekret yang jernih dan encer, hidung gatal, bersin-bersin, serta menurunnya ketajaman penciuman. Tidak jarang pula dijumpai allergic salute, rasa penuh pada wajah dan sakit kepala akibat sinusitis, dan dapat juga berhubungan dengan polip nasi, sinusitis akibat jamur, atau infeksi sinus yang berulang.1,6 Rongga mulut Keluhan yang umum dijumpai berupa rasa gatal dan bengkak pada bibir dan palatum, mulut terasa kering, dan halitosis. Bernapas lewat mulut terus-menerus akibat obstruksi hidung yang menetap karena alergi dapat mengakibatkan hipertrofi gingiva serta bibir kering dan pecah pecah.1 Laringofaring Dapat ditemukan keluhan suara serak yang hilang-timbul, faringitis kronik, atau rasa ingin selalu membersihkan tenggorok akibat sekret hidung yang turun ke tenggorok. Hal ini akan menimbulkan hipertrofi kelenjar limfe submukosa pada dinding faring, yang disebut cobblestone. Pada daerah laring, dapat dijumpai edema epiglotis dan pita suara yang pucat, disertai sekret yang lengket dan kental. Juga dapat dijumpai nodul pita suara, polip, atau edema reinke.1 Diagnosis Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan: Anamnesis Anamnesis tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan keterangan tentang makanan penyebab alergi, tetapi sedapat mungkin harus bisa memberikan gambaran apakah keluhan pasien benarbenar karena reaksi hipersensivitas atau bukan. Juga harus didapatkan keterangan mengenai gejala klinis alergi pada sistem tubuh lain, seperti pada kulit, telinga, mata, saluran napas, dan saluran cerna. Anamnesis dimulai dengan identifikasi gejala hidung, telinga, dan tenggorok. Pada hidung, mungkin ditemukan gejala klasik rinitis alergi, hidung tersumbat, dan gejala sinusitis. Pada telinga, bisa terdapat keluhan rasa penuh dan gangguan pendengaran. Pada tenggorok, keluhan penderita dapat berupa disfagia, tenggorok berlendir, suara parau, atau bahkan sesak napas. Perlu diketahui pula tentang kemungkinan adanya keterkaitan antara munculnya gejala-gejala tersebut dengan pajanan alergen inhalan dan makanan tertentu. Perlu juga diketahui kemungkinan gejala alergi di bagian tubuh lain, misalnya paru, kulit, dan saluran pencernaan. Anamnesis yang teliti perlu dilakukan setelah penderita atau orang tua mengamati terjadinya serangan selama 2-3 bulan tanpa mengubah pola makan, kecuali pada penderita dengan serangan asma berat. Anamnesis terperinci berfokus pada jenis makanan pencetus gejala, proses pengolahan makanan (direbus, dipanggang, atau dalam bentuk mentah), rentang waktu antara konsumsi makanan dengan timbulnya gejala, gejala yang timbul, jumlah makanan yang dapat menimbulkan gejala yang sama, dan apakah selalu timbul bila mengonsumsi makanan yang dicurigai.2,3,15 Penting ditanyakan juga tentang faktor lain yang mempermudah timbulnya gejala, misalnya setelah olahraga.8 Riwayat penyakit dahulu pada masa kanak-kanak, seperti intoleransi terhadap susu formula, kolik, gastroenteritis, batuk kronik berulang yang membaik dan muncul dengan perubahan pola makan, eksema atau dermatitis pada waktu kecil, ruam popok (diaper rash), dan penyakit telinga kronik. Riwayat atopi dalam keluarga harus juga ditanyakan.1 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik THT yang dapat dikerjakan meliputi rinoskopi anterior dan posterior, otoskopi, pemeriksaan mukosa faring, dan laringoskopi tidak langsung. Pada pemeriksaan hidung, dapat ditemukan allergic shiner, allergic salute, mukosa hidung yang livide disertai dengan sekret encer dan jernih, atau polip nasi. Rinoskopi dapat memperlihatkan hipertrofi konka atau polip, warna livide atau hiperemis, sekret encer atau kental, dan meatus media yang menyempit atau terisi jaringan patologik. Pada otoskopi, dapat terlihat membran timpani yang retraksi, pergerakan membran timpani yang berkurang, perforasi, cairan di ruang timpani, kulit daun telinga yang kemerahan dan bersisik, otitis eksterna kronik disertai rasa

414

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


gatal tanpa tanda-tanda infeksi, dan adanya sekret yang menetap di telinga tengah. Pada pemeriksaan mulut dan tenggorok, dapat dijumpai hipertrofi gingiva, geographic tongue, hipertrofi tonsil, arkus palatum tinggi, penebalan dinding lateral faring, serta edema daerah epiglotis dan pita suara.15 Pemeriksaan faring dapat menunjukkan mukosa faring yang hiperemis, tertutup lendir kental, atau ada granulasi. Pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dapat memperlihatkan timbunan saliva pada hipofaring dan edema pada pintu masuk esofagus atau pada plika vokalis. Pemeriksaan terutama difokuskan untuk mencari tanda-tanda atopi, seperti likenifikasi, kulit seperti kerang dan bersisik (sebagaimana sering dijumpai pada penderita dermatitis atopi). Pada pemeriksaan paru, dapat ditemukan gejala mengi dan batuk kronis, seperti pada asma. Pada penderita anak, status gizi harus dinilai untuk melihat apakah telah terjadi kekurangan gizi akibat diet yang diberikan. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis alergi makanan meliputi: a. Catatan buku harian pasien, berisi catatan semua jenis makanan dan gejala yang timbul untuk jangka waktu tertentu. Hal ini memberikan informasi yang sangat berharga, terutama pada kasus kronik. b. Uji diagnostik i. Tes alergi makanan tipe tetap 1. Tes cukit kulit (prick test) 2. Modifikasi tes cukit kulit (modified prick test) 3. Tes tempel (patch test) 4. Uji IgE spesifik ii. Tes alergi makanan tipe siklik 1. I n t ra c u t a n e o u s p r o g r e s s i ve dilution food test (IPDFT) 2. Tes provokasi makanan (doubleblind placebo-controlled food challenge, DBPCFC) Alur Penegakan Diagnosis Alergi Makanan Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Banyak jenis uji diagnostik untuk menegakkan diagnosis alergi makanan, yang bisa dipilih mana yang murah dan mudah atau praktis untuk dilakukan di poliklinik. Jika setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik THT dicurigai adanya alergi makanan, dilakukan skin prick test atau pemeriksaan IgE spesifik. Skin prick test sering dan mudah dikerjakan (nilai prediksi positif 50%, nilai prediksi negatif 95%), cocok untuk pelayanan klinik dan bermanfaat terutama untuk mengeksklusi makanan tertentu sebagai penyebab alergi. Pemeriksaan IgE spesifik mempunyai nilai prediksi sama dengan skin prick test, tetapi lebih mahal sehingga hanya dilakukan apabila skin prick test tidak dapat dilakukan, misalnya pemakaian antihistamin tidak dapat dihentikan, pemakaian kortikosteroid topikal pada daerah skin prick test, dan adanya kelainan kulit pada daerah skin prick test. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna diperlukan apabila pada anamnesis kemungkinan alergi makanan diragukan, untuk membedakan dengan gangguan saluran cerna lainnya. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pada mukosa lambung, duodenum, ileum, maupun kolon. Pada tes menghindari makanan (elimination diet), penderita diminta menghindari makanan tertentu (berdasarkan anamnesis dan hasil skin prick test) selama 6-8 minggu. Apabila dalam masa itu tidak muncul gejala, tes dianggap positif. Tes ini mempunyai kelemahan, yaitu sering dirancukan oleh faktor pencetus alergi lainnya, baik pada saluran napas maupun organ lain (misalnya, infeksi saluran napas dan alergi inhalan).16 Ringkasan dan Simpulan Alergi makanan yang sesungguhnya adalah reaksi yang timbul akibat aktivitas sistem imun bila terpajan makanan yang sudah tersensitisasi. Secara teknis, alergi makanan dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis cepat (tetap) dan jenis lambat (siklik). Alergi makanan tipe tetap timbul segera setelah terpajan sehingga diagnosis mudah ditegakkan. Sebaliknya, alergi makanan tipe siklik timbul lambat dan gejalanya bervariasi tergantung kuantitas dan frekuensi alergen yang dimakan, sehingga diagnosis sulit ditegakkan. Sebagian besar alergi makanan diperkirakan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I (yang diperank an oleh IgE), reaksi hipersensitivitas tipe III, atau kombinasi keduanya. Sampai saat ini, masih sulit membuktikan patogenesis alergi makanan yang didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe II dan IV. Diagnosis alergi makanan dapat diringkas dalam sebuah alur diagnostik sebagai berikut.

Anamnesis Pemeriksaan THT Alergi Skin Prick test IgE spesifik Negatif Positif Elimination diet Negatif Specific allergen elimination diet Alur diagnostik alergi makanan17 Positif Non Alergi Endoskopi Positif Negatif

Food Challenge Positif Negatif

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

415

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Trevino JR. Food allergy and hypersensitivity. In:Textbook of allergy and immunology, an otolaryngologic approach. Lippincott Williams & Wilkins, 2002; p. 50-7. Ring J, Brockow K, Behrend H. Adverse reactions to foods. J Chromatogr B. 2001; 756:3-10. Sampson HA. Food allergy. J Allerg Clin Immunol. 2003; 111(2):540-7. Renner B. Definition of food allergy and intolerance.Terminology.The International Symposium on Food Allergy in Infancy; 1991 Dec 3-4; Palma de Mallorca, Spain. Anderson JA.The establishment of common langguage concerning adverse reaction to food and food additivies. J Allergy Clin Immunol. 1986; 78:140-4. Boyles JH. Food allergy. In: Hellen FK, ed. Otolaryngologic Allergy and immunology.WB Saunders Company, 1989; p. 215-54. Golbert MT. Food Allergy and immunologic diseases of the gastrointestinal tract. In: Allergic diseases, diagnosis and management. 4th ed. JB Lippincott Comp. 1993; p. 353-79. Sjawitri PS. Alergi makanan pada bayi dan anak. Proc. Symposium on Allergy Clinical Immunology Update. Bekasi, 20-21 Desember 2001; hlm. 165-73. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi hidung. Dalam: Soepardi EA et al, eds. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung dan tenggorok. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; hlm. 101-6. Lee TDG, Swieter M, Befus D. Mastcells, eosinophils and gastrointestinal hypersensitivity. Immunol Allerg Clin N Amer. 1998; 8:469-83. Kulczycki A. Adverse reactions to food and food allergy. In: Korenblat PE, ed. Allergy theory and practice. 2nd ed. 1992; p. 515-26. Martinez GA, Castilo PD, Garcia FG, Luna PC, Garcia SJA, Nogales EC. Prevalence of food allergy/intolerance in children: result from a population survey. J Allerg Clin Immunol. 2000; 105(1):S130. Mygind N, Dahln R, Pedersen S,Thestrup PK. Essential allergy. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd, 199; p.131-49. Robert GC, Golder NDB, Lack G. Food as aeroallergen in childhood asthma. J Allergy Clin Imunol. 1999; 103(1):S99. Crespo JF, James JM, Rodrigues J. Diagnosis and therapy of food allergy. Mol Nutr Food Res. 2004; 48:347-55. Sampson HA. Food allergy: immunopathogenesis and clinical disorders. J Allerg Clin Immunol. 1999; 103 (5):717-28. Sampson HA. Food allergy: diagnosis and management. J Allerg Clin Immunol. 1999; 103(6):981-9.

416

CDK 187 / vol. 38 no. 7 / Agustus - September 2011

You might also like