You are on page 1of 13

ABSES LEHER DALAM

3.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY) Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

Gambar 5. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya. ETIOLOGI Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang

lebih tua dan dewasa muda. Proses ini terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. PATOLOGI Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut

berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation). Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Gambar 6. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan). Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan: 1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement. 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography. KOMPLIKASI Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema. 2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. DIAGNOSIS BANDING Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil. TERAPI Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejalagejala pasien. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai

kecenderungan besar untuk kambuh. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.

Gambar 7. Tonsilektomi Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. PROGNOSIS Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.

Gambar 8. Abses Peritonsil

3.2 ABSES PARAFARING Etiologi Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : 1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yamg telah terkomtaminasi kuman menembus lapisa otot tipis (m. Konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Gejala dan Tanda Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia. Terapi Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 28-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis melalui insisi dari luar dan intra oral. Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoid interna mencapai ruang

parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horozontal ke bawah di depan

m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

3.3 ABSES RETROFARING Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelnjar limfe, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia diatas 6 tahun kelenjar eakan mengalami atrofi. Pada umumnya abses retrofaring mempunyai prognosis yang baik apabila didiagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat sehingga komplikasi tidak terjadi. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring ialah : (1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring. (2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin). Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah 1. Kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus nonhemolyticus, Staphylococcus aureu , Haemophilus sp 2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Klasifikasi Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu : 1. Akut.

Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing. 2. Kronis. Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Gejala dan Tanda Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis yang sering dijumpai pada anak : 1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. suara sengau 4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi. 5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan 6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ). Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai adanya : 7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan 8. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah : 1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. rasa sakit di leher ( neck pain ) 4. keterbatasan gerak leher

5. dispnea Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. Diagnosis banding 1. Adenoiditis 2. Tumor 3. Abses peritonsil 4. Abses parafaring Terapi I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat : I. posisi pasien supine dengan leher ekstensi pemberian O2 intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik trakeostomi / krikotirotomi Medikamentosa 1. Antibiotik ( parenteral ) Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta lactamase resistant penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin /

tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 2. Simtomatis 3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan elektrolit. 4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika. III. Operatif : a) Aspirasi pus ( needle aspiration ) b) Insisi dan drainase : Pendekatan intra oral (transoral): untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.

4.4 ABSES SUBMANDIBULA Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari rung submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelanjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. Gejala dan tanda Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan. Terapi Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Paien dirawat inap 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

Gambar 9. Abses Submandibula

4.5 ANGINA LUDOVICI Angina ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.

Etiologi Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob.

Gejala dan tanda

Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang btampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici dapat terjadi fluktuasi.

Terapi Sebagai terapi dapat diberikan antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina Ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi) untuk mencegah kekambuhan.Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi ialah : (1) sumbatan jalan napas, (2) penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan (3) sepsis.

Gambar 10. Angina Ludovici

You might also like