You are on page 1of 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab 2 a

2.1 Industri Telekomunikasi Seluler di Indonesia


Teknologi telekomunikasi seluler berkembang seiring dengan

berkembangnya kebutuhan masyarakat terhadap telekomunikasi. Pada awalnya, value proposition dari layanan komunikasi seluler adalah sarana komunikasi suara dengan mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan layanan telepon tetap. Functionality, reliability, efficiency, dan quality belum menjadi

pertimbangan utama. Sehingga teknologi seluler generasi pertama bisa memenuhi kebut uhan. Akan tetapi seiring dengan waktu, ekpektasi pelanggan terhadap layanan telekomunikasi seluler semakin meningkat. Pelanggan tidak cukup terpenuhi kebutuhan komunikasinya hanya dengan dengan komunikasi suara, tetapi juga menginginkan komunikasi text, data, bahkan multimedia. Teknologi komunikasi seluler kemudian berkembang menjadi generasi kedua (2G) dan generasi ketiga (3G) yang menawarkan functionality, reliability, efficiency, dan quality yang lebih tinggi.

Gambar 1 - Tren teknologi dan kebutuhan layanan seluler (Sumber: Informa Telecom)

Dua teknologi seluler utama, yaitu GSM (Global System for Mobile communication) dan CDMA (Code Division Multiple Access) telah diadopsi oleh beberapa operator di Indonesia. Teknologi seluler GSM digunakan oleh Telkomsel, Excelcomindo (XL), Indosat, dan Hutchison (Three). Sementara teknologi CDMA digunakan oleh Telkom (Flexy) dan Bakrie Telecom (Esia) untuk layanan fixed wireless access dan Mobile-8 dan Smart Telecom untuk layanan seluler CDMA. Teknologi generasi ketiga (3G), baik yang menggunakan WCDMA, HSDPA, CDMA2000 EVDO juga telah mulai diluncurkan oleh beberapa operator di atas. Menurut Pixel Research, terdapat pertumbuhan jumlah pelanggan yang sangat tinggi dari tahun 2004 sampai 2007. Pada tahun 2004, tercatat jumlah pelanggan seluler adalah sekitar 32,4 juta. Kemudian meningkat menjadi 40 juta (2005), 50,2 juta (2006), dan diperkirakan sampai akhir tahun 2007 jumlah pelanggan seluler akan meningkat menjadi
2

72,5 juta. Dari jumlah di atas, Telkomsel menguasai 49% market share, Indosat 29%, XL 14%, dan operator lain termasuk CDMA sebesar 8% (data tahun 2004). Pelanggan layanan pra-bayar (prepaid) menguasai 87% dari total pelanggan sementara 13% merupakan pelanggan layanan pasca bayar (postpaid). Pada tahun 2006, diperkirakan sebanyak 26% dari pelanggan seluler berganti ke produk operator seluler lain atau melakukan churn. Seiring dengan perkembangan teknologi yang diadopsi oleh operator di Indonesia, offering yang diberikan juga semakin beragam. Secara garis besar product atau service offering yang diberikan dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu: Layanan suara (voice call) Layanan data (HSCSD, GPRS, HSDPA, CDMA2000 EVDO) Layanan tambahan (value-adder services), misalnya SMS (short message service), MMS (multimedia message service), LBS (location based service), RBT (ring back tone), voice mail, mobileTV, komunikasi video.

2.2 Churn
Churn adalah jumlah pelanggan atau pengguna jasa yang berhenti berlangganan atau menggunakan jasa, dinyatakan sebagai persentase dari total pelanggan dalam interval waktu tertentu (Dominguez, 2006). Hal disebut sebagai tingkat churn (churn rate atau churn level). Masih menurut Informa, 96% operator responden menyatakan churn sebagai masalah yang semakin besar dan harus segera diatasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran tingkat churn:

1.

Penentuan interval waktu yang sesuai, karena populasi pengguna jasa berubah dengan cepat, sesuai dengan kondisi pasar dan daur hidup produk, interval waktu yang ditentukan harus disesuaikan untuk dapat secara akurat mengukur tingjat churn.

2.

Perbedaan persepsi tentang penghentian penggunaan, dihitung sejak permintaan penghentian atau sejak pengguna benar-benar terputus dari operator

Metode pengukuran churn berbeda-beda antar negara dan bahkan operator. Perbedaan tersebut terletak pada periode pengukuran (tahunan atau bulanan) dan bahkan formula pengukurannya.

2.2.1 Dilema dalam Pengukuran Churn


Tingkat churn dapat memiliki makna yang berbeda-beda bagi tiap operator karena metode pengukurannya pun berbeda-beda. Informa menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang biasanya dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam penghitungan atau tidak, yaitu: 1. Pergantian layanan/ tipe kepelangganan pengguna, seringkali dalam proses ini, pelanggan akan dinyatakan berhenti berlangganan dari layanan tertentu sebelum didaftarkan dalam layanan baru. 2. Definisi churn untuk kategori pra-bayar, hal apa yang dapat membuat seorang pengguna layanan pra-bayar dianggap berhenti berlangganan. Metode pengukuran yang berbeda-beda ini dapat ikut mempengaruhi analisis investasi karena tingkat churn berpengaruh terhadap reputasi operator di pasar, dan juga

harga sahamnya. Pengukuran churn yang tidak dapat menggambarkan kondisi sebenarnya akan merugikan citra perusahaan dalam isu transparansi. Churn, menurut Informa, tidak selamanya berkaitan dengan penurunan jumlah pengguna, melainkan perubahan kepelangganan pengguna di antara operator-operator yang bersaing.

2.2.2 Penyebab Churn


Dalam lingkungan persaingan telekomunikasi yang keras, di mana tingkat pertumbuhan sudah melambat dan pasar semakin jenuh (saturated), fokus aktivitas operator adalah pada bagaimana merebut pengguna dari pesaing sambil menjaga pengguna lama (current user). Akibat usaha merebut pengguna dari pesaing, pengguna akan memperoleh banyak keuntungan bila berpindah kepelangganan. Informa menulis penyebab churn yang lain adalah : 1. Tarif yang lebih murah, tarif promosi, atau skema tarif (pricing) yang lebih sesuai kebutuhan (segmented) 2. Kualitas layanan jaringan di lokasi yang dibutuhkan 3. Penyalahgunaan: pelanggan berusaha mengakali operator dengan melakukan penggunaan dalam jumlah besar dan langsung berhenti berlangganan untuk menghindari kewajiban membayar. 4. Kelambanan operator dalam menangani keluhan pelanggan, janji/ promosi yang tidak terwujud, dan masalah yang terus-menerus terjadi 5. Perubahan pada citra merek akibat akuisisi atau masuknya merek baru 6. Kemampuan operator dalam menjaga rahasia dan privasi penggunanya

7. Keterbatasan fitur 8. Teknologi atau produk baru yang diperkenalkan pesaing 9. Kemunculan pesaing baru yang disertai pemberian insentif- insentif yang menarik. 10. Masalah dalam penagihan.

2.2.3 Tipe Churn


Informa Telecom & Media menyebut ada beberapa tipe churn : 1. Churn sukarela, perubahan sikap pengguna secara sadar yang mengarah pada pembatalan kontrak pasca-bayar, penurunan tingkat penggunaan pra-bayar, hingga pemindahan kepelangganan ke operator lain. 2. Involuntary Churn, pemutushubungan yang diinisiasi oleh operator akibat tunggakan tagihan, migrasi pelanggan ke lokasi yang tidak dilayani, atau batas tenggang waktu pengisian pulsa yang telah dilewati (pelanggan pra-bayar) 3. Internal Churn, churn yang terjadi karena migrasi pelanggan antar paket tarif atau tipe produk yang kesemuanya terjadi dalam internal operator itu sendiri Setiap tipe churn memiliki penyebab tersendiri. Penyebab churn sukarela sangat bervariasi dan sangat tergantung pada negara tempat operator beroperasi, tipe layanan, dan tipe pelanggan yang dituju/ dilayani. Meski demikian, menurut Informa, beberapa faktor dominan yang menjadi penyebab adalah: masalah tarif dan harga, layanan pelanggan (customer service), cakupan jaringan, teknologi dan fitur, serta skema kepelangganan. Masih menurut Informa, sebagian kecil dari kejadian churn terjadi di luar kekuasaan operator (involuntary churn). Dalam kondisi ini, pelanggan mungkin akan meninggalkan

pasar dan tidak berpindah ke operator lain. Penyebab churn ini antara lain adalah relokasi pelanggan, pelanggan meninggal, reorganisasi bisnis pelanggan, perubahan kebutuhan pelanggan secara signifikan, pencurian perangkat komunikasi. Selain itu, involuntary churn juga dapat terjadi akibat pihak operator seperti penghentian layanan produk tertentu oleh operator karena pelanggan tidak membayar atau melakukan kecurangan.

2.2.4 Biaya Akibat Churn


Churn adalah biaya yang telah diantisipasi dan rutin dalam bisnis telekomunikasi. Rata-rata industri adalah 30% (Dominguez, 2006). Akibat yang ditimbulkan churn bagi operator: 1. Biaya akibat churn mengakibatkan kehilangan pendapatan yang signifikan 2. Churn memunculkan tekanan dan tuntutan tambahan untuk mengakuisisi pelanggan baru, sedangkan biaya akuisisi tersebut mahal. Hasil penelitian Analysys menyatakan, biaya akuisisi pelanggan baru dapat mencapai 12% dari pendapatan total (selama hidupnya) yang dapat diperoleh dari seorang pelanggan. 3. Churn juga meningkatkan biaya aktivasi dan de-aktivasi 4. Muncul biaya yang berkaitan dengan provisi pelanggan baru dan meningkatnya resiko, berkaitan dengan masalah penagihan dan jaminan pendapatan.

Pemutushubungan pelanggan pada dasarnya meningkatkan inherent risk bagi pendapatan operator. 5. Churn juga menimbulkan biaya tidak langsung berupa memburuknya citra brand/merek ketika pelanggan yang tidak puas menyebarkan pengalaman

buruknya, kehilangan peluang peroduk tambahan dan pendukung (cross-selling), serta kemungkinan munculnya efek domino terhadap pelanggan lainnya. 6. Bila tingkat churn memburuk, jumlah pelanggan dapat menyusut ke titik yang tidak optimal bagi suatu jaringan. Menciptakan yang jaringan yang inaktif, underutilized, dan tidak menguntungkan yang dapat berpengaruh pada keuntungan operator.

2.2.5 Kondisi Churn pada Segmen Pasar yang Berbeda


Hal-hal yang menjadi faktor churn sukarela memiliki tingkat dampak yang berbedabeda antar segmen.

Gambar 2 - Faktor yang Mempengaruhi Churn pada Setiap Segmen (Sumber: Dominguez, 2006)

Menurut penelitian Informa, tarif (pricing), terutama promosi penawaran khusus, adalah faktor utama untuk melakukan churn bagi pelanggan pra-bayar sedangkan pelanggan korporat biasanya tidak terlalu sensitif terhadap harga.

Kualitas jaringan berpengaruh sangat besar bagi pelanggan korporat karena biasanya layanan komunikasi tersebut digunakan untuk kegiatan bisnis. Beberapa pelanggan bahkan bersedia membayar lebih mahal untuk memperoleh kualitas jaringan yang lebih baik. Layanan pelanggan (customer service) penting bagi kedua tipe pelanggan dan dapat menjadi inti pembeda baik bagi pelanggan korporat maupun individual. Pelanggan yang memiliki kecenderungan untuk mecoba teknologi baru (early adopters) akan sangat mengutamakan teknologi dan fitur terbaru yang dibutuhkan. Kesimpulannya, usaha mengurangi tingkat churn bagi setiap segmen membutuhkan pendekatan tersendiri yang sesuai. Pelanggan pra-bayar relatif lebih mudah melakukan churn karena tidak adanya kontrak yang bersifat mengikat. Tidak adanya informasi (di beberapa negara) tentang pelanggan pra-bayar mempersulit proses CRM dan komunikasi dengan pelanggan. Dengan tidak adanya kontrak, operator juga lebih sulit untuk menyadari bahwa pelanggan telah berhenti berlangganan karena hal ini hanya dapat dideteksi dari ketidakaktifan pelanggan setelah interval waktu tertentu. Akuisisi pelanggan pra-bayar cenderung lebih murah pada pasar yang telah maju, dimana subsidi pesawat genggam tidak dibutuhkan lagi. Informa juga menyebutkan bahwa layanan data dan content, bila menarik bagi pengguna, dapat meminimalkan tingkat churn. Usaha meminimalkan churn berbasis content ini dapat dicapai dengan membiarkan penyedia content pihak ketiga (di luar pihak operator) yang terpercaya untuk menjual dan mendistribusikan content-nya melalui jaringan dan kepada pelanggan operator tersebut. Dengan terbukanya penyaluran content, pengguna dapat mengakses semua content yang diinginkannya dan tidak perlu berpindah
9

operator untuk dapat memperoleh content yang up-to-date dan sesuai. Bila operator tetap ingin menguasai sepenuhnya penyediaan content bagi pelanggannya, operator harus memastikan content yang bervariasi, dan dapat memenuhi kebutuhan semua segmennya. Churn yang terjadi pada pelanggan korporasi dapat berdampak sangat besar dan berbahaya bagi kondisi finansial operator. Pelanggan korporasi cenderung memiliki relasi yang lebih panjang terhadap operator. Layanan pelanggan sangat penting bagi pelanggan bisnis dan pihak operator harus menjalin komunikasi yang baik dengan personel kontak dari korporasi tersebut atau bahkan dengan setiap pelanggan dari korporasi tersebut untuk: membangun kepercayaan, mengklarifikasikan masalah, dan memahami kebutuhan pelanggan.

2.3 Model Analisis Kano


Model analisis Kano adalah teori yang digunakan dalam proses pengembangan produk, berkaitan dengan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan bagaimana atribut-atribut suatu produk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Analisis Kano adalah teknik pengukuran kualitas produk yang digunakan untuk memprioritaskan atau mengklasifikasikan kebutuhan konsumen berdasarkan pengaruhnya bagi kepuasan konsumen (Carder, 2003). Tidak semua kebutuhan konsumen penting dan berdampak besar bagi konsumen. Analisis Kano akan mengklasifikasi kebutuhan pelanggan untuk menentukan mana yang perlu diprioritaskan. Model Kano membedakan empat tipe kebutuhan konsumen dan bagaimana reaksi konsumen terhadap karakteristik atau atribut produk (Sauewerwin, 1996):

10

1. Attractive requrement, kebutuhan ini adalah kriteria produk yang memiliki dampak paling besar pada kepuasan pelanggan. Kebutuhan ini tidak secara eksplisit dinyatakan atau diharapkan konsumen. Semakin tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan yang melebihi harapan konsumen ini, kepuasan konsumen akan semakin meningkat secara tajam. Namun demikian, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, konsumen tidak merasa kecewa. 2. One-dimensional requirement, kepuasan pelanggan proporsional/ sebanding dengan pemenuhan kebutuhan ini. Semakin tinggi tingkat pemenuhan, semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen. Semakin rendah tingkat pemenuhan, semakin rendah pula tingkat kepuasan konsumen yang pada batas tertentu dapat mengakibatkan kekecewaan/ ketidakpuasan konsumen. 3. Must-be requirement, bila kebutuhan ini tidak dipenuhi, konsumen akan sangat kecewa. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan ini tidak dapat meningkatkan kepuasan konsumen. Kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar yang diharapkan dari suatu produk. Memenuhi kebutuha n ini hanya akan membawa konsumen pada level tidak kecewa.

11

Gambar 3 - Matriks Klasifikasi Kebutuhan - Kepuasan Kano

Atribut-atribut yang dimiliki suatu produk akan termasuk dan memenuhi kategorikategori kebutuhan di atas. Namun demikian, ada atribut produk yang tidak dipertimbangkan oleh konsumen sehingga tidak termasuk dalam kategori kebutuhan konsumen, yaitu Indifferent attribute. Suatu segmen konsumen dapat bersikap tidak peduli terhadap suatu karakteristik produk. Produk dengan kegunaan yang umum dan mulitguna lebih sering memiliki beberapa karakteristik yang tidak berpengaruh ini.

2.3.1 Tahapan Analisis Kano


Menurut Sauewerwin, analisis Kano melalui beberapa tahap sejak sebelum pengumpulan voice of customer (VOC) sampai penarikan kesimpulan. Tahap pertama adalah identifikasi kebutuhan terhadap produk. Dalam tahap ini, survey maupun diskusi kelompok konsumen. Namun, proses ini hanya akan menghasilkan

12

informasi kebutuhan konsumen yang ada saat ini. Kebutuhan konsumen yang sifatnya potensial dan inovatif sulit diperoleh melalui survey dan diskusi karena kebutuhan ini tidak terpikirkan/diharapkan oleh konsumen. Untuk dapat memperoleh informasi ini, diperlukan analisis mendetil tentang masalah yang alami konsumen. Oleh karena itu, bukan impian konsumen yang sebaiknya dianalisis, melainkan masalah konsumen. Tahap kedua adalah pembuatan kuesioner. Melalui kuesioner, kecenderungan konsumen terhadap attractive, one-dimensional, dan must-be requirements dapat diketahui. Untuk setiap fitur/ atribut produk, konsumen menjawab satu pertanyaan yang berkaitan dengan reaksi konsumen bila produk memiliki fitur tersebut (functional) dan satu pertanyaan tentang reaksi konsumen bila produk tidak memiliki fitur tersebut (dysfunctional). Tahap ketiga adalah tahap evaluasi dan interpretasi. Hasil dari pertanyaan functional dan dysfunctional dipetakan ke dalam tabel evaluasi Kano untuk mengklasifikasikan fitur produk ke dalam kategori-kategori atribut produk.

Gambar 4 - Tabel Evaluasi Kano (Sumber: Sauewerwin, 1996)

13

Setelah diklasifikasikan, setiap kriteria atau fitur produk akan didaftarkan ke dalam tabel hasil untuk mengetahui tingkat distribusi kategori kebutuhan secara keseluruhan.

Gambar 5 - Proses Analisis Data Kano (Sumber: Sauewerwin, 1996)

Menurut Sauewerwin, ada beberapa cara untuk menganalisis dan memproses hasil survey Kano, yaitu: 1. Evaluasi berdasarkan frekuensi Merupakan metode paling sederhana yang hanya berdasarkan frekuensi jawaban. Untuk tiap kategori kebutuhan pelanggan (Must-be/ One-dimensional/

Attractive) kriteria produk yang paling banyak dipilih (dominan) akan menjadi kriteria produk yang mewakili kategori tersebut. Hal ini akan berbeda bagi tiap segmen pasar. 2. Evaluasi dengan aturan : M > O > A > I Kebutuhan konsumen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap persepsi konsumen akan kualitas produk harus dipenuhi terlebih dahulu. Ketika

14

menentukan kebutuhan attractive mana yang akan dipenuhi, faktor penentunya adalah seberapa penting kebutuhan tersebut bagi konsumen. Hal ini dapat diketahui melalui kuesioner. Bila produk dapat memenuhi dua atau tiga kebutuhan attractive yang dianggap paling penting bagi setiap segmen, fitur produk tersebut tidak akan terkalahkan. 3. Koefisien kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction coefficient) Koefisien CS menyatakan apakah kepuasan dapat ditingkatkan dengan memenuhi suatu kebutuhan konsumen, atau apakah dengan memenuhi suatu kebutuhan produk, ketidakpuasan pelanggan dapat dihindari. Koefisien CS memberikan indikasi seberapa kuat pengaruh pemenuhan kebutuhan dapat mempengaruhi kepuasan. Untuk menghitung rata-rata dampak pada kepuasan, dilakukan penjumlahan kolom kebutuhan attractive dan one-dimensional, lalu dibagi dengan total jumlah kolom attractive, one-dimensional, indifferent, dan must-be.

Untuk menghitung rata-rata dampak pada ketidakpuasan, dilakukan penambahan kolom must-be dan one-dimensional, lalu dibagi dengan keempat kolom lainnya.

Perhitungan ketidakpuasan diberi tanda minus untuk menyatakan pengaruh negatifnya terhadap kepuasan pelanggan bila kualitas produk tersebut tidak

15

dipenuhi. Semakin besar nilai koefisien, semakin kuat pengaruhnya terhadap kepuasan pelanggan. 4. Quality improvement index Persepsi konsumen tentang kualitas suatu produk dibandingkan produk kompetitor sangat penting dalam strategi pengembangan produk. Quality improvement index (QI) adalah rasio yang diperoleh dengan mengkalikan tingkat kepentingan suatu kebutuhan konsumen (self-stated-importance) dengan selisih persepsi kualitas produk (dibanding pesaing) yang diperoleh melalui kuesioner. Nilai rasio ini menunjukkan seberapa penting suatu kebutuhan konsumen dalam konteks persaingan. Semakin tinggi nilainya, semakin kuat keunggulan kompetitif kualitas produk yang dipersepsikan konsumen.

16

You might also like