You are on page 1of 9

Yoyon Sutanto NIM : 10923005486 M.

K : ILMU FALAK I PHM/VI

RESUME TENTANG ISU-ISU PERUBAHAN ARAH KIBLAT

Hukum Menghadap Kiblat Apakah yang dimaksud dengan Kiblat? Secara literal kiblat dalam bahasa Arab adalah pemusatan perhatian. Awalnya, sebelum ada kiblat, umat Islam awal shalat menghadap ke mana saja. Jadi, di satu tempat yang sama, bisa ada yang menghadap ke timur, barat, atau arah lain sesuka mereka. Kemudian, ditetapkanlah kiblat mengarah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. Menurut hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW mengerjakan shalat berkiblat ke Al-Quds selama sekitar 16 atau 17 bulan semasa berada di Madinah. Dalam sejarah Islam, arah kiblat memang pernah diubah. Setelah semula mengarah ke Masjdil Aqsha (Al-Quds), kemudian turun firman ALLAH SWT untuk mengubah arah kiblat seperti diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 144: Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Sejak saat itu, hingga kini, kiblat shalat umat Islam berubah ke Kabah. Hal ini dipercaya sama dengan kiblat yang telah pernah ditetapkan untuk Nabi Adam a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. Begitu kaum Yahudi di Madinah mengetahui bahwa Kiblat kaum Muslim telah berubah ke arah Masjidil Haram dan tidak lagi ke Masjidil Aqsa, mereka bukan saja berolok-olok dan menertawakan, melainkan juga terperanjat dengan perubahan itu. Ini karena selama ini mereka dapat menerima keberadaan umat Muslim sehubungan dengan kesamaan Kiblat dengan mereka. Kini dengan terpisahkannya Kiblat kaum Muslim dengan kaum Yahudi berarti pula bahwa orangorang Muslim adalah sebuah umat tersendiri dan terpisahkan dari mereka orang-orang Yahudi. Maka sejak saat itu mereka memperkeras sikap pertentangan terhadap umat Islam dan memperlakukan umat Islam sebagai musuh. Lebih jauh lagi, perubahan Kiblat ini mempertegas penjelasan bahwa Al-Aqsa maupun Masjidil-Haram bukanlah sebentuk berhala (benda yang disembah), dan tujuan sebenarnya dari menghadap ke arah Kiblat adalah melaksanakan perintah Allah SWT. Bisa saja diperintahkan-Nya

kita menghadap ke Masjidil-Haram ataupun Masjidil-Aqsa. Kewajiban kita adalah mematuhi perintah-Nya dengan segenap akal dan sepenuh hati. Manfaat lain dari pengalihan Kiblat adalah untuk memisahkan antara orang-orang munafik dengan Muslim yang sejati. Perhatikanlah Firman Allah SWT didalam Surat Al-Baqarah Ayat 143, Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Para ulama sepakat bahwasanya musholliy wajib menghadap kiblat ketika tidak ada udzur yang menghalangi dirinya. Imam Syaukani di dalam Kitab Nail al-Authar berkata:

. . .
Hadits ini menunjukkan kewajiban menghadap kiblat, dan hal tersebut merupakan kesepakatan kaum Muslim, kecuali dalam keadaan lemah atau dalam keadaan takut saat terjadi peperangan, atau dalam sholat tathawwu (sunnah), sebagaimana akan dijelaskan berikutnya. AlQuran dan Sunnah mutawatir telah menunjukkan kewajiban ini . (Imam Syaukaniy, Nail alAuthar, juz 2/164) Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah menghadap kiblat (istiqbaal al-qiblah) termasuk syarat sah sholat, atau hanya kewajiban saja. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Imam Nawawiy dalam Kitab Raudlat alThaalibin wa Umdat al-Muftiin menyatakan:

.
Bab Ketiga Mengenai Menghadap Kiblat. Menghadap kiblat adalah syarat sah sholat fardlu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan. Menghadap kiblat juga menjadi syarat sah untuk sholat nafilah (sunnah) kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, semacam sakit (Imam An Nawawiy, Raudlat al-Thaalibiin wa Umdat alMuftiin, juz 1/76). Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibn Qudamah dalam Kitab alMughniy:

: .
Kami telah menjelaskan bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah sholat. Tidak ada

perbedaan antara sholat fardlu dengan sholat nafilah. Sebab, menghadap kiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardlu dan nafilah; seperti halnya thaharah (suci) dan menutup aurat. Pasalnya, firman Allah swt, Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.[TQS Al Baqarah (2):144] berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah. (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/272) Sedangkan Imam Syaukaniy berpendapat bahwa menghadap kiblat adalah kewajiban, namun bukan syarat sah sholat. Artinya, jika seseorang sholat tidak menghadap kiblat, maka ia berdosa, namun tidak ada kewajiban untuk mengulangi sholatnya. Di dalamKitab Nail al-Authar beliau berkata:

:
Al-Hadawiyyah berkata: Sesungguhnya menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Sebelumnya kami telah menjelaskan kepada anda bahwasanya sekedar awaamir (perintahperintah) tidak sah digunakan dalil untuk menunjukkan syarthiyyah (persyaratan), kecuali ada ucapan yang menunjukkan bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu tersebut merupakan annahy (larangan) untuk kebalikannya. Tetapi, dalam kasus ini ada dalil yang mencegah dijadikannya sebagai syarthiyyah, yakni khabarnya As Sariyyah yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, Imam Ahmad, dan Imam Ath Thabaraniy dari haditsnya Amir bin Rabiah ra (Imam Asy Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/164; lihat juga Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidlah, al-Jaami li Ahkaam al-Sholah, juz 2/149) Menentukan Arah Kiblat: Berdasarkan Ain Kabah Atau Arahnya (Jihah al-Kabah)? Berkaitan dengan penentuan arah kiblat, Imam Ibn Qudamah di dalam Kitab AlMughniymenyatakan:

. . : : . : . :

. : . : . . : . .
Bila seseorang melihat Kabah, ia wajib sholat menghadap ainnya Kabah. Kami tidak mengetahui ada khilaf dalam masalah ini. Ibnu Aqil berkata, Jika orang yang melihat Kabah tidak sholat menghadap Kabah, maka sholatnya tidak sah. Sebagian ulama madzhab kami berpendapat, Dalam konteks menghadap kiblat, masyarakat itu terbagi menjadi empat kelompok: Pertama, orang yang yaqin (melihat Kabah), yakni orang yang melihat ainnya Kabah, atau penduduk kota Mekah, atau berada di balik pagar kota Mekah, maka secara menyakinkan ia wajib menghadap ke ainnya Kabah. Demikian juga orang yang sholat di dalam Masjid Nabi Muhammad saw. Ia pasti yakin akan keshahihan kiblatnya. Sebab, Nabi saw tidak akan menyetujui kesalahan. Usamah meriwayatkan bahwasanya Nabi saw sholat dua rakaat, menghadap kiblat, dan berkata, Ini adalah kiblat. Kedua, orang yang diwajibkan menghadap kiblat karena adanya informasi. Dia adalah orang yang berada di Mekah, namun bukan penduduk Mekah, dan tidak bisa melihat Kabah. Lalu ia mendapati seseorang yang menginformasikan secara menyakinkan atau memberikan kesaksiannya. Seperti orang yang berada di balik pagar kota Mekah, kemudian ada orang yang memberikan informasi (tentang kiblat) kepadanya; atau orang asing yang sedang berada di Mekah, lalu penduduknya memberikan informasi kepadanya. Begitu juga jika seseorang berada di negara Mesir atau suatu negeri, maka ia wajib menghadap kepada mihrab-mihrab atau kiblat-kiblat yang dtelah ditetapkan oleh penduduk negeri tersebut. Sebab, kiblat-kiblat tersebut telah ditetapkan oleh orang yang ahli dan mengetahui kiblat. Hal ini seperti orang yang memberikan suatu informasi, dan tidak membutuhkan ijtihad. Jika orang yang ahli dalam penetapan kiblat memberikan informasi kiblat kepada seseorang, sama saja apakah orang yang ahli kiblat itu adalah penduduk negeri tersebut atau bukan; maka orang tersebut harus merujuk kepada informasi orang yang ahli tersebut. Dia tidak boleh berijtihad. Hal ini sama persis dengan seorang hakim yang wajib mengambil informasi dari orang yang tsiqqah, dan ia tidak perlu berijtihad. Ketiga: orang yang wajib menghadap kiblat karena ijtihadnya. Dia adalah orang yang tidak berada dalam dua

keadaan di atas, namun paham terhadap dalil(petunjuk). Keempat: orang yang taqlid (mengikuti orang lain). Dia adalah orang buta dan orang yang tidak mampu berijtihad, atau tidak berada dalam dua keadaan tersebut; maka kewajiban orang tersebut adalah taqlid kepada para mujtahid. Kewajiban orang yang berada dalam dua keadaan tersebut dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Kabah (jihah al-kabah), bukan pada ainnya Kabah. Imam Ahmad menafsirkan, Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka tidak diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya. Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat. (Imam Ibn Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273) Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidlah , di dalam Kitab Al-Jaami li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52, menyatakan:

.
Tidak wajib atas seorang Muslim menghadap kearah ain-nya (bendanya) Kabah atau tempat keberadaan Kabah, kecuali atas Muslim yang berada di Masjidil Haram atau berada di sekitar kota Mekah Mukarramah yang dari tempat itu ia bisa melihat bangunan Kabah. Dalam kondisi semacam ini, diwajibkan atas dirinya menghadap kepada ainnya Kabah; dan dia tidak boleh menghadap ke arah sisi (jihhah) Kabah. Sebab, Kabah adalah kiblat, bukan arah Kabah maupun sisinya. Adapun orang yang berada di Mekah namun tidak bisa melihat Kabah, tetapi bisa melihat Masjid al-Haram atau berada di sisi Masjid al-Haram, maka dia menghadap ke arah Masjid al-Haram, dan ini sudah cukup bagi dirinya. Adapun orang yang berada di luar Mekah tetapi dekat dari Mekah, maka ia mesti berusaha menghadap ke arah Kabah. Begitulah seterusnya, ketika jaraknya semakin jauh, semakin kecil pula penekanan untuk mencari ain Kabah, sehingga ia cukup mencari arah atau sisi Kabah saja. (Syaikh Mahmud Abdul Lathif al-Uwaidlah,Kitab Al-Jaami li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52) Dalil Bagi Orang Yang Jauh Cukup Menghadap Arah Kabah (Jihah al-Kabah) Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa orang yang jauh dari Kabah berkewajiban menghadap ke arah Kabah (jihah al-kabah), bukan pada bangunan Kabah adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Tirmidziy:

.
Dari Abu Hurairah ra dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, Antara timur dan barat adalah kiblat. (HR. Imam Ibnu Majah dan Tirmidziy, dan beliau menshahihkan hadits ini). Imam Syaukani menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

. :
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban (fardlu) bagi orang yang jauh dari Kabah adalah menghadap arah (al-jihah), bukan pada bangunan Kabah (al-ain). Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat seperti ini. (Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/168) Di dalam Kitab Al-Jaami li Ahkaam al-Sholah, Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidlah menyatakan:


Seorang Muslim tidak wajib menghadap bangunan Kabah (ain al-kabah), atau tempat berdirinya Kabah, kecuali atas seorang Muslim yang berada di Masjidil Haram, atau berada di sekitar kota Makkah Mukarramah dan bisa melihat bangunan Kabah. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi dirinya menghadap bangunan Kabah dan tidak boleh menghadap ke sisi (jihah) yang ada pada Kabah. (Syakh Mahmud Abdul Lathif Uwaidlah, Al-Jaami li Ahkaam alSholah, juz 2/52) Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughniy berkata:

. : . .
Yang wajib atas orang yang berada dalam dua keadaan ini, dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Kabah (jihah al-kabah), bukan pada ainnya Kabah. Imam Ahmad menafsirkan , Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka ia tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya. Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat. (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273) Kesimpulan dan Peringatan

Pertama, orang yang jauh dari kota Mekah tidak diwajibkan menghadap ke ain(bangunan) Kabah, akan tetapi cukup menghadap ke arah sisi Kabah. Kedua, pergeseran sedikit dari arah kiblat tidaklah perlu dipersoalkan. Pasalnya, yang dituntut bukanlah menghadap ke arah bangunan Kabah secara persis, akan tetapi menghadap ke arah sisi Kabah (jihah al-kabah). Adanya pergeseran sedikit tidaklah menjadi masalah, dan sama sekali tidak membatalkan sholat. Ketiga, fatwa pergeseran kiblat yang dilansir sebagian orang di negeri ini tidak perlu direspon secara berlebihan. Pasalnya, selain pergeserannya masih kecil, ranah ini termasuk ranah khilafiyyah, di mana para ulama mutabar di masa lalu juga telah mendiskusikannya secara panjang lebar, dan mereka berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Jika fatwa seperti ini direspon secara berlebihan, dikhawatirkan malah menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di tengah-tengah kaum Muslim; serta digunakan dan dimanfaatkan oleh penguasapenguasa Kafir penjajah dan antek-anteknya yang dzalim untuk mengalihkan perhatian kaum Muslim dari problem-problem masyarakat yang lebih penting, seperti tidak diterapkannya syariat Islam, serta kebijakan-kebijakan dzalim yang semakin menyusahkan rakyat, semacam kebijakan kenaikan TDL yang berakibat pada naiknya harga barang-barang lain. Semestinya, ulama lebih layak mengeluarkan fatwa dalam perkara yang mempunyai dampak terbesar dalam kehidupan umat, seperti wajibnya menegakkan Khilafah dan berjuang secara berjamaah untuk mewujudkannya. Karena inilah masalah utama yang menyebabkan kaum Muslim selalu menjadi sasaran kezaliman, sementara tidak ada satupun institusi yang bisa membela mereka. Wallahu al-Mustaan wa Huwa Waliyu at-Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir] Hikmah Dibalik Penetapan Kiblat Adakah hikmah dibalik penetapan Kiblat? Sebagaimana kita ketahui, ibadah puasa dan dzikrullah (mengingat Allah SWT) adalah ibadah individu. Adapun Shalat dan Haji adalah ibadah yang dikerjakan secara berjamaah (bersama-sama). Dalam penetapan Kiblat terkandung makna penegasan dan pengajaran tata-cara dan tata-krama (etika) suatu dinamika kelompok. Prinsip terpenting untuk mencapai kesatuan dan kesetia-kawanan (solidaritas) kelompok adalah dengan penyatuan arah pandangan yang menafikkan pengelompokan atas dasar kebangsaan, rasialisme, kesukuan, asal wilayah, bahasa, maupun asal negara. Allah SWT memilih Kiblat sebagai jalan-keluar untuk mencapai Kesatuan dan Solidaritas Umat karena, pilihan selain Kiblat, alih-alih mempersatukan, justru mengkotak-kotakkan Umat. Agama Islam adalah agama semua Nabi. Maka, satu-satunya penegasan bahwa semua Nabi hanya

mengajarkan satu ajaran (yakni, Tauhid) adalah dengan penetapan sebuah Titik-Arah Peribadatan. Kiblat yang tunggal untuk semua orang di seluruh penjuru dunia melambangkan kesatuan dan keseragaman diantara mereka. Lebih dari itu, perintah ini sangat sederhana dan mudah dikerjakan, baik oleh lelaki ataupun perempuan, berpendidikan tinggi ataupun rendah, orang kampung ataupun orang kota, kaya ataupun miskin, semuanya menghadap ke titik yang sama. Hal ini menunjukkan betapa sederhananya dan betapa indahnya Al-Islam. Perlu dicatat dalam ingatan bahwa, jika keputusan ini diserahkan kepada umat niscaya terjadilah ketidak-sepakatan yang sangat tajam. Namun, dengan Rahmat Allah SWT diputuskanNya hal ini sekali saja untuk ditaati oleh semua insan, sebagai pemersatu dan penyeragaman Umat Islam. Maka dari itu, ketika Adam AS sampai ke bumi, pondasi Baitullah (Kabah) telah diletakkan oleh para malaikat. Kiblat untuk Nabi Adam AS dan keturunannya adalah Kabah yang bentuknya masih sangat sederhana ini. Allah SWT berfirman didalam Surat Ali Imran ayat 96: Sesungguhnya, rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat ibadah) manusia, adalah Baitullah di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semesta alam. Arah Kiblat Indonesia Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa pada 22 Maret 2010 yang isinya antara lain mengatur mengenai arah kiblat yang disebutkan ke arah barat. Namun kemudian Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin merevisi arah tersebut karena posisi negara Indonesia yang tidak berada di wilayah timur Ka`bah. Indonesia itu letaknya tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut, kata Ma`ruf. Tidak mutlak arahnya, karena yang dituju bukan fisik Ka`bah tapi jihat (arah) Ka`bah, dan itu bisa berbeda-beda di setiap tempat. Di Jawa, arah kiblat ini berbeda dengan di Kalimantan misalnya, papar Amidhan. Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) KH Ghazali Masruri menegaskan, arah kiblat shalat umat Islam Indonesia adalah barat laut, bukan arah barat seperti yang selama ini dipahami khalayak awam. Kiblat bukan di barat, tetapi di barat laut. Dari arah barat lurus bergeser sedikit ke utara kira-kira antara 20-25 derajat, kata Kiai Ghazali dalam seminar bertajuk Kontroversi Arah Kiblat yang digelar Lembaga Ta`mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU). Namun demikian, katanya, untuk meluruskan arah kiblat tidak harus dilakukan pembongkaran masjid atau mushala, cukup shaf atau barisannya saja yang digeser. Pengelola masjid cukup menggeser arah sajadah saja, arah barisan shalatnya. Ini kan tidak harus lurus dengan tembok, kalau memang temboknya tidak lurus kiblat, katanya.

Menurut Ghazali, hari Jumat (16/7) merupakan saat yang tepat untuk meluruskan arah kiblat. Berdasar data hisab LFNU, pada pukul 16.26 WIB matahari akan tepat berada di atas Ka`bah. Ini akan membantu umat Islam dalam meluruskan arah kiblat dengan cara yang sederhana, karena saat matahari tepat di atas Ka`bah segala sesuatu yang berdiri tegak bayangannya menuju kiblat. Harap kaum muslimin dapat memanfaatkan peristiwa ini untuk mengukur arah kiblat di rumah masing-masing, mushala dan masjid setempat,

You might also like