You are on page 1of 1

Kepada pagi yang masih sangat samar kusampaikan sepenggal pengharapan.

Menggantikan sejumlah rasa takut yang barusan kulemparkan kepada malam yang segera berlalu. Walaupun sebenarnya gelap masih terus mengancam dari balik peraduannya. Kutau itu lewat tatap sinisnya semenit sebelum dia benar-benar pergi dan itu menjadi pertanda bahwa dia akan kembali lagi, entah bersama malam yang akan datang atau lewat mendung yang sewaktu-waktu bisa saja muncul. Begitupula kepada udara yang masih segar kusapa ia lewat sepotong pertanyaan., sembari perlahan merasakan tiap sentuhan mesranya. Sejuk., dan hati bisa merasakan itu. Tak hanya terasa sampai epidermis saja. Tapi sumsum tulang belakang pun ikut berdendang ketika perlahan kehadirannya merasuk menembus pori. meskipun angin tak pernah berkata dibumi mana tanya itu kan dihembuskan. Semoga saja dia menghampirimu dalam setiap tarikan nafas dan berganti hembusan yang menjadi jawab. Sehingga sebelum matahari benar-benar tenggelam, kerasakan itu pada setiap mesra sentuhan angin senja. Selanjutnya pada langit yang mulai membiru, perlahan kuukir asa dan cita. Tentang harap yang tak terbendung atau sekedar celoteh tentang gundah yang belum juga usai. Sembari berharap dari bumi pijakan yang lain, kau akan membacanya dengan lembut. Memahami makna setiap ukiran dengan segenap jiwa, hingga kedalamnya kan dapat kau selami. Kemudian sesekali mendung meradang, bergemuruh menghantam cakrawala. Membungkus setiap lembaran langit dengan kelabu atau kadang pada kadar tertinggi hitam seperti malam. Tetapi langit tetap biru, begitu pula ukiran-ukiran tangan pada setiap lembaranya. Dia akan tetap ada, selama kita masih bisa bermimpi dan berharap.

You might also like