You are on page 1of 2

Republika, Senin, 01 Februari 2010 pukul 09:35:00

Perdagangan Bebas Pertanian


Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

Suka atau tidak, ratifikasi perdagangan bebas (FTA) ASEAN dan Cina melalui Kepres 48/2004 harus dijalani. Pemerintah berpandangan optimis bahwa kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat digenjot meskipun ada saja pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat yang khawatir dengan liberalisasi ini melalui berbagai argumennya. Faktanya, tahap awal sektor pertanian menghasilkan trade balance 2.4 milliar dolar AS dibandingkankan impornya 800 juta dolar AS. Komoditas kelapa sawit, karet, kakao, kopra, dan buah eksotik tropika (salak, mangga, manggis, dan duku) merupakan penyumbang devisanya. Bawang putih, bawang merah, jeruk mandarin, apel, pir, dan leci merupakan komoditas yang diimpor dari Cina. Apakah surplus saja sudah cukup menjadi argumen bahwa perdagangan bebas ASEAN Cina menguntungkan? Pertanyaan fundamentalnya: mampukah Indonesia meningkatkan dan memanfaatkan trade balance positif untuk mengatasi peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan gejolak sosial dari subsektor yang trade balance-nya negatif akibat kuatnya serbuan produk Cina? Apa persiapan pemerintah agar produk pertanian domestik dapat menembus pasar Cina? Keperkasaan produk pertanian Cina sudah terbukti ketangguhannya di berbagai belahan dunia. Selain mampu menembus pasar Amerika, Eropa, dan negara-negara maju lainnya yang penguasaan teknologinya sangat tinggi, produk Cina juga tangguh dalam menerobos blokade barang yang dihasilkan negara yang upah buruhnya murah, seperti Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Subsidi langsung, proteksi, serta dukungan sarana dan prasarana pertanian, seperti traktor, pupuk, pestisida, jalan, dan pelabuhan, menyebabkan biaya produksi produk pertanian Cina sangat murah dan mampu melabrak produk kompetitornya. Implikasinya, produk pertanian impor yang menjadi kompetitor produk pertanian Cina akan sulit masuk karena kalah bersaing. Pembangunan pertanian Indonesia sudah mulai melakukan seperti halnya reformasi pertanian yang dilakukan Cina melalui subsidi pupuk, bantuan langsung benih unggul, bantuan langsung pupuk organik, dan penerapan harga pokok pembelian pemerintah/HPP. Hal mendasar yang membedakan antara Indonesia dan Cina adalah target subsidi. Cina secara menakjubkan mampu menyusun basis data sektor pertanian dan mengubah pola subsidi dari kelompok petani ke keluarga petani.

Perubahan fundamental ini menyebabkan subsidi langsung mengena ke sasaran langsung, yaitu petani, sehingga dampaknya terhadap peningkatan produksi serealia Cina sangat signifikan.
1

Indonesia masih melakukan subsidi pupuk ke pabrik pupuk. Subsidi benih ke produsen benih BUMN karena belum diberikan langsung ke masyarakat. Indonesia mengalami kesulitan untuk menetapkan definisi petani, apakah pemilik lahan, penyewa, atau penggarap? Perubahan kepemilikan lahan yang cepat juga menyebabkan pemutakhiran data petani akan sulit dilakukan. Kalaupun dapat, itu memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Penghapusan sumbatan birokrasi secara gemilang berhasil dilakukan secara massal di Cina sehingga high cost ekonomi dapat dieliminasi. Indonesia mengalami kesulitan besar karena setiap birokrasi memiliki simpul yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Itulah sebabnya ditemukan fakta lapangan bahwa biaya angkut jeruk dari Cina ke Jakarta jauh lebih murah dibandingkan biaya angkut jeruk dari Medan ke Jakarta. Bagaimana Indonesia mampu bersaing kalau kondisi tersebut tidak dapat diselesaikan? Dalam jangka pendek, Indonesia perlu fokus pada pengembangan komoditas eksotik hortikultura, ternak, dan tanaman pangan. Selain sesuai kondisi setempat, masyarakat sudah terbiasa mengelola komoditas dan lahan serta sumber daya airnya. Hasilnya, biaya produksinya rendah dan kualitasnya maksimal sehingga daya saingnya tinggi. Penguatan daya saing produk pertanian Indonesia dapat diperkuat melalui aplikasi empat filter yang diakui internasional agar dapat mereduksi dampak negatif FTA ASEAN dan Cina: (i) sanitary and phytosanitary; (ii) codex for alimentation; (iii) komoditas sangat sensitif; serta (iv) pangan segar, aman, sehat, utuh, dan halal. Ketentuan karantina untuk tidak mengiznkan daun bawang merah dan akarnya masuk ke Indonesia karena mengandung penyakit terbukti efektif memfilter masuknya bawang merah impor sekaligus menjaga stabilitas harga bawang merah domestik saat panen raya. Selain biaya potong daun dan akar mahal, aroma bawang juga berkurang dan tidak tahan lama sehingga praktis impor terhenti. Padahal, membanjirnya bawang impor saat panen raya yang memukul produk bawang merah lokal selalu terjadi. Penerapan codex for alimentation juga dipastikan akan mereduksi produk pertanian impor yang dapat masuk di Indonesia. Komoditas high sensitive list, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarifnya diturunkan pada 1 Januari 2015. Sementara itu, komoditas sensitive list, yaitu cengkeh dan tembakau, baru diturunkan tarifnya sebesar 20 persen pada 1 Januari 2012. Artinya, komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilindungi. Ketentuan impor buah segar juga akan mereduksi secara signifikan buah impor yang selama ini membanjiri pasar buah di Indonesia.

You might also like