You are on page 1of 79

Kupu Kupu Salju versi ICIL (perkenalan tokoh & prolog)

kalian tau kan saya suka icil._. jadi ini tadinya novel gua jadiin nama tokohnya anak icil aja ya wkwk ~~~~~~~~~ 5 Pangeran SCS >>> Alvin Jonathan Sindhunata as Juventio Wirjadinata (Juno) Gabriel Stevent Damanik as Michael Y. Chendra (mickey) Raynald Prasetya as Maximillian Daniel (Maxx) Cakka Kawekas Nuraga as Xian Kristian (Xian) Mario Stevano Aditya Haling as Nero Wijaya (Nero) Sivia Azizah as Vincentia Alice Artedja (alice)Larissa Safanah Arif as Ivanna Tobing Deva Ekada Saputra as Tobey Samuel Fauzi Adriansyah as Freddie Aditya Ashilla Zahrantiara as Sevanya Angela Latif (Seva) ~~~~~ Alvin Jonathan Sindhunata Alvin, cucu pengusaha terkenal pendiri dan pemilik Sindhunata Enterprise Group, yang profil dirinya maupun perusahaan perusahaan sering menghiasi majalah majalah bisnis di Indonesia, Jason Sindhunata. Berbekal status itu, Alvin pastinya mendapat kursi untuk menjadi salah satu dari kelima pangeran SCS (San Cristoforo School) atau dewa sekolah atau apa sebutan orang orang untuk mereka. Selain itu Alvin tampan, juga jagoan berantem berbekal skill taekwondo yang cukup mematikan. Gabriel Stevent Damanik (iyel) Gabriel, sang dewa cinta. Sex appeal-nya cukup tinggi untuk ukuran cowok berusia 17 tahun. Entah anugrah apa yang di berikan Tuhan padanya, namun yang pasti ia adalah the most charming boy ever. Ia tampan, walaupun bukan tampan selangit. Hanya saja ekspresi dan gerak geriknya selalu menarik. Cewek cewek ada yang menilainya seksi, keren, lucu, ganteng, dan banyak lagi. Raynald Prasetya (Ray) Ray cowok genius yang sudah dua kali loncat kelas, dan itu berarti ia dua

tahun lebih muda dari pada semua kelas XII di San Cristoforo School. Hingga kini Ray yang polos dan lugu belum mendapat izin orang tuanya sepasang dosen terkenal mengemudi sendiri ke sekolah. Mario Stevano Aditya Haling (Rio) Rio cowok dengan wajah tak bercela. Sepasang mata hitam bulat ekspresif untuk dideskripsikan, tampan. Kulitnya hitam manis. Suaranya pun mengalun lembut. Tipikalbishounen. Tak hanya itu, ia juga pakar memasak! Cakka Kawekas Nuraga Cakka yang bermodal suara emas, wajah cute yang menjual, dan ekspresi innocent yang senantiasa melekat pada dirinya, merupakan bintang muda yang paling populer seantero negri saat ini. Ia sedang di puncak kariernya, dengan penjualan album yang bagus dan selalu dibanjiri tawaran tawaran menggiurkan. Namun di tengah kesibukannya sebagai penyanyi papan atas, prestasi akademiknya lumayan dan ia menjadi andalan sekaligus wakil ketua klub sepak bola sekolah.

~PROLOG~

Sembilan tahun lalu, remy memberikan sebuah buku harian terkunci kepada Sivia, berjanji akan memberikan kuncinya pada hari ulang tahun gadis itu. Namun Remy tak pernah muncul, hanya meninggalkan buku harian dan kenangan yang selalu menyala di hati Sivia. Kini Sivia sudah SMA. Di sekolah barunya ia bertemu Alvin Sindhunata dan Gabriel Damanik, dua 'Pangeran' di San Cristoforo School. Pertemuan itu masing masing berkembang menjadi hubungan yang unik. Alvin lebih suka menghindari Sivia, karena ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat hatinya resah, sedangkan Gabriel jatuh cinta kepada Sivia, dan memperakukan gadis itu bak ksatria terhadap sang putri. Konflik datang bersama dengan munculnya Septian Putra Manuel. Tian, berandalan licik yang menyimpan dendam, memanfaatkan Sivia untuk merusak persahabatan Alvin dan Gabriel. Sementara itu tanpa Sivia sadari, sosok Remy sebenarnya ada di sekitarnya selama ini. Keadaan yang telah mengubah indentitasnya. Siapakah dia? Apakah Sivia akan mendapatkan remy-nya kembali?

Kupu-Kupu Salju versi ICIL part1


OPENING SCENE 1 ~~~~~~~~~~~~~~~ GO YOGHURT! KAMIS MALAM... "Kita pulang aja yuk!" desak seorang cewek pada cowok di hadapannya. Sivia, merasa tidak nyaman berada di tempat ini, bersama orang orang yang sama sekali tidak di kenalnya. Satu-satunya alasan yang membuatnya nggak kepingin meninggalkan Go Yoghurt adalah kelezatan yoghurt moka yang ia santap. "Sabar," Obiet menyahut asak sanbil mencomot sendok yoghurt Sivia. "Sebentar lagi kita pulang." Sivia memutar bola matanya yang hitam bening. Sebentar lagi? Sivia benar benar tidak mengerti. Sejak tadi Obiet bilang 'Sebentar lagi' tapi kenyataannya tidak pulang pulang juga. "Tunggu apa lagi sih?" Sivia mengerang gemas. "Obiet tersenyum simpul. Sikap manja Sivia itu selalu membuatnya tersenyum. "Tunggu, gue mau ketemu temen gue dulu, ya." Obiet berkata sambil menatap adik tirinya itu. "Temen lo? Siapa lagi?" tanya Sivia "Dia adik kelas gue di Virgina. Dulu kami sempat satu sekolah, tapi tiba-tiba dia balik ke Jakarta waktu mau masuk SMA." Obiet mengedipkan mata pada Sivia, " Mau gue kenalin? Ganteng lho..." "Kalau dari tadi lo nggak lihat temen lo itu di sini, artinya dia nggak disini. Pulang aja yuk" Sivia memelankan suaranya. "Pasti dia datang. Karena Nelia dan Frankie (pemilik go yoghurt ini) kan sepupunya, dan mereka bilang dia akan datang" kata Obiet. Sivia hanya pasrah menunggu teman Obiet itu "Lagu lagu Morning Musume menambah keceriaan, dan bagi Obiet yang menggemari cewek-cewek imut asal jepang itu benar benar plus. Sivia semakin bete ketika gerombolan cewek cantik menghampiri meja mereka dan menyapa Obiet seolah olah cowok itu David Beckham. "Mereka temen temen gue di SMP Notre Dame. Sebelum gue dipindahkan ke

amerika sama papa, gue kan sempet sekolah beberapa bulan disana," Obiet berkata pada Sivia setelah cewek cewek itu berlalu. "Sivia menghela nafas, "Gue gak perduli! Pokoknya mau pulaaaaangg" rengeknya. Tepat saat itu Obiet melihat seseorang menuju meja mereka sambil membawa segelas yoghurt. Seseorang yang dikenalnya. Mata Obiet berbinar-binar, pertanda ia telah menemukannya sosok yang ingin ditemuinya sejak tadi. "Ah, itu dia" "Gue mau ke toilet aja deh!" seru Sivia, tidak memperhatikan kakaknya. Suaranya meredam suara Obiet. Cewek itu langsung berdiri dengan tampang kesal dan gerakan kasar. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh kepingin ke toilet, tapi ia sudah terlalu jemuh duduk di tempat itu. Entah sampai kapan Obiet mau pulang. Mungkin sampai jidat gue lumutan,batin Sivia kesal. Ketika Sivia memutar tubuhnya untuk pergi menjauh, tiba tiba saja.. BUKKK!! Ia menabrak seseorang yang tadi berjalan cepat ke arah meja mereka dan berada persis di belakangnya. Yang lebih buruk lagi, segelas yoghurt yang di bawa cowok itu kontan tumpah ke jaketnya karena bertabrakan dengan Sivia. "Ah, maaf///" Sivia merasa wajahnya panas, "Maaf!" Ulangnya lagi sambil merogoh tasnya cepat dan mengambil sapu tangan Cowok di depannya kelihatan kaget. Ia tidak berkata apa apa, hanya memandang wajah panik Sivia yang kini sedang membersihkan tunpahan yoghurt pada jaketnya dengan saputangan pink merah bergampar helokitty. "It's okay. sini gue yang bersihin sendiri" cowok itu berkata pelan tidak ada nada kesal sama sekali. Ketika si cowok mengambil saputangan itu, jemari mereka bersentuhan sedikit, membuat Sivia dengan gugup menarik tangannya. Seketika Sivia inngat kunci mobil Obiet ada di tasnya, "Gue ke mobil duluan biet" ujarnya sebelum berlalu cepat. Sementara si cowok asing terpengah. Sambil memandang Sivia keluar dari pintu go yoghurt. Dengan tangan masih mengenggam saputangan milik Sivia, Sebentuk senyuman terukir di wajah cowok itu.

I've got to know who she is... Kalau saja tengah malam ada bintang jatuh, cowok itu akan memohon agar bisa bertemu lagi dengan Sivia. ~~~~~~~~ OPENING SCANE 2 ~~~~~~~~~~~~~~ EMPAT HARI KEMUDIAN Obiet mengantar Sivia ke sekolah barunya, San Cristoforo School. untuk mengambil buku pelajaran dan seragam yang akan Sivia kenakan minggu depan ketika tahun ajaran baru dimulai. Sivia senang sekali papa Fabi memilihkan sekolah terbaik untuknya. Dengan memiliki keluarga baru, sekolah baru yang keren banget, dan tentu saja teman baru juga, sivia yakin masa SMAnya bakalan sangat menyenangkan. Dengan wajah berseri seri penuh semangat, Sivia keluar dari ruangan administrasi sambil membawa tas karon besar berisi dua setel seragam yang lengkap (dengan blazer mungil khas SCS) dan dua setel seragam kasual yang terdiri atas atasan linen berkerah nehru dengan potongan ramping warna putih tulang, yang di padu rok A-line warna krem. Tangan kanan Sivia menenteng tas plastik super berat berisi buku pelajarannya. Kata Obiet, kalau Sivia bosan, ia bisa mampir ke bookfield, music & me, atau The Big East Cafe. Ketiganya menarik. Sivia tersenyum sambil membandingkan sekolahnya dulu di Malang. Di sekitar sekolahnya hanya ada warung mie, bakso dan gerobak es kacang hijau. Tidak ada toko buku nyaman, musicc store komplet maupun cafe kecil. Akhirnya Sivia menjatuhkan pilihannya untuk ke bookfield. Ketika hampir sampai di sebrang, mendadak ia menyadari tangan kanannya terasa ringan. sivia kaget! ia menoleh ke belakang dan mendapati tas plastiknya robek dan buku bukunya berceceran di jalan "Ya Tuhan...!" Sivia memekik sambil melihat ke arah datangnya mobil. Kosong. Ia punya kesempatan untuk memunguti buku bukunya. Ia kembali dengan tergesa gesa. Lalu berjongkok untuk memunguti buku bukunya.

Tanpa Ia sadari sebuah truk besar melaju kencang ke arahnya. Klakson truk itu seperti berteriak kencang. Truk sudah begitu dekat. Sivia tidak sanggup bergerak. Matanya membelalak dan berteriak. Aku akan mati, serunya dalam haati. Aku akan mati!!!!!! Sivia memejamkan pata, yakin bahwa sekalipun ia bergerak, ia tetap terlambat. Gemetaran ia memeluk buku bukunya, menyongsong detik terakhir hidupnya. Namun.... Tiba tiba seseorang menariknya juat sekali. Sivia terhuyung lemas ke arah orang itu. Buku buku dalam pelukannya yang tadi ia selamatkan hingga mempertaruhkan nyawa kembali terjatuh beserta tasnya. Hanya tubuh Sivia yangkini aman, nyaris dalam pelukan orang yang menyelamatkan nyawanya. Aku selamat. Aku selamat. Aku selamat! Sivia mengatur nafasnya sementara ia masih belum sanggup bergerak, terlalu syok untuk menyadari segala yang baru saja terjadi. Ia pun sadar bahwa nyaris ada di pelukan seseorang. Jarak mereka sangat dekat, wajah Sivia tersentuh lengah Hoody hitam bathing ape yang dikenakan cowok itu. Sivia mundur sedikit, menatap pahlawannya pagi ini. Seorang cowok remaja sekitar 17tahun dengan postur tubuh jangkung rambut hitam agak panjang. "Terimakasih..." Sivia bergumam pelan, nyaris tidak bersuara. Cowok itu tidak menyahut. Ia malah menyodorkan tas plastik bookfield berisi komik komik miliknya kepada Sivia, lalu berjalan menuju jalan raya. cowok itu dengan gesit mengambil buku Sivia dan tas seragam cewek itu. "Ah.. Terimakasih!" Sivia mengulangi ucapannya dengan nada penuh syukur ketika cowok itu menghampirinya. Dengan wajah tanpa ekspresi cowok itu menyerahkan tas seragam Sivia lalu membuka bagasi mobilnya yang terparkir di depan bookfield, mengeluarkan sepasang sepatu dari tas serut berbahan kain. "Mending ini daripada tas plastik yang gampang robek." cowk itu menjejelkan buku buku Sivia ke tas serut, lalu menyodorkannya pada cewek itu. Sivia tidak sanggup berkata kata. Pikirannya mandek. Ia hanya menerima tas

serut itu. "Kok lo bisa bodoh banget sih..." cowok itu bergumam sambil memandang wajah Sivia sepintas. Setelah menyambar kantong plastik bopkfield berisi komik miliknya dari tangan Sivia, ia berjalan santai ke arah mobilnya. Tanpa babibu cowok itu menyalakan mesin dan meninggalkan Sivia. Sivia kepingin memanggil dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, namun ia tak sanggup melakukannya. Cowok itu terlalu memukaunya. Dengan sikap kepahwalanannya, ia telah menyelamatkan nyawa Sivia tanpa panik, lalu dengan santai memasukkan buku buku malang itu ke dalam tas bekas menyumpan sepatunya!!! Terakhir, dengan ekspresi snob yang datar, ia mengatai Sivia "bodoh banget" Sivia merasakan gelenyar dalam perutnya ketika tadi tatapannya sempat bertemu dengan cowok itu. Bahkan kini, ketika sedang berdiri di depan bookfield seperti orang lingkung sambil merunut kejadian tadi, Sivia masih merasakan gelenyar itu. Siapakan dia? apakah dia siswa SCS juga? Kalau saja nanti malam ada bintang jatuh, Sivia akan memohon agar bisa betemu lagi dengan cowok itu. Sekadar untuk berterima kasih, atau sekedar ingin mengembalikan tas sepatu ini. Atau... Sekedar ingin bertemu lagi dengannya...

Kupu-Kupu Salju versi ICIL. part2


PIECE 1~ SEMINGGU KEMUDIAN... "God! dua puluh menit lagi gerbang sekolah di tutup! kenapa lo ga bangunin gue dari awal???" Gabriel dengan kasar menyibak bed cover dan berdiri cepat, sempoyongan menuju toilet. HPnya dijepit di antara bahu dan telinga kiri, sedangkan tangannya sibuk mengoleskan Colgate Herbal White pada sikat giginya. "Ah, gue ga tau lo bakal kesiangan. Maksud gue nelpon bukannya mau bangunin lo, cuma mau nyari tebengan aja," Ray menyahut kalem di sebrang "WHAT?!?!?" Gabriel menyemburkan buih buih pasta gigi dari mulutnya. "Genius people.. They're just bunch of jerks," uncapnya nggak kelas sambil sedikit menggeleng dan terus menyikat gigi. Ray mendesah kecil. "Tolong, Gabriel. Jangan biarkan gue bolos di hari eprtama tahun ajaran baru," pintanya sambil mendengar Gabriel berkumur. "ya,ya ,ya.. I'll pick you pu as soon as possible," gabriel menyahut pasrah. Di sebrang, Ray bersetu bahagia dan mengucapkan terima kasih sebelum sambungan di tutup. Tergesa gesa Gabriel mencuci wajahnya dengan sabun. Rambut Shaggy messy-nya yang cokelat gelap diganjal bando kecil. Saat itulan HPnya berbunyi lagi. "Gah!!" Gabriel membasuh tangan, mengeringkannya dengan cara menyentuh ujung piamanya secepat kilat, lalu meraba raba benda munglil itu untuk menggunakan fitul doudspeaker. "ya?!?" sapanya garang pada penelpon yang dikiranya Ray lagi dengan mata terpejam dan wajah bersabun. "Gabriel, My man!!" terdengah suara cowok. Ternyata bukan Ray, tapi Alvin, batin Gabriel "Ada apa?" "Jemput gue ya bro!" Gabriel mengusap wajahnya yang halus dan sudah dibilas bersih, "Kalau liat

garasi lo yang kayak showroom mobil, gila aja lo masih sering nebeng gue!" "Aigo (aduh)... Setiap kita hang-out bareng, gue lebih sering nebeng lo. Hampir selalu malah! seharusnya lo udah terbiasa." "Tapi sekarang gue baru bangun. Belum mandi, belum sarapan, belum jemput Ray juga!" "Einstein kecil itu minta di jemput juga? Gini deh, lo bawa aja sarapan lo dan makan di mobil." suara Alvin terkesan agak memaksa Gabriel tertawa mengambang. "Goddammit, I'm not a school bus driver!" "I know you're not, and your sexy car is way too hot to be a school bus." *** "Morning, guys! Selamat tahun ajaran baru!" Alvin masuk ke mobil Gabriel. "Morning, dan selamat tahun ajaran baru juga, Alvin!!" Ray menyahut dari jok belakang mobil. Tampangnya yang berseri seri bakalan bikin siapapun percaya ia memang sudah menantikan datangnya tahun ajaran baru ini sejak hari pertama libur sekolah. "I don't have that new school year spirit," Gabriel berkata seraya mengunyah sandwich kejunya sambil mengebut. "Dan masa bodoh dengan hal itu!" lanjutnya cuek. Saata Gabriel memacu mobilnya pada kecepatan tinggi demi mengejar waktu yang mepet banget, sebuah Audi 13 Sportblack hitam yang sangat ia kenal tampak berhenti di pinggir jalan kira-kira 2km menjelang gedung SCS. "Cakka?" Alvin menunjuk A3 hitam itu sambil menatap Gabriel disela keasyikannya bermain ipod. "Lagi ngapain dia?" Gabriel mennepikan mobil, tepat di belakang mobil Cakka. "Ray menyipitkan mata, " Firasat gue bilang ada yang nggak beres nih!" gumamnya sambil pasang tampang bete. Ia sadar sekarang jam berapa, dan fakta bahwa Gabriel menghentikan mobil untuk turun menemui Cakka, memastikan mereka bakal TERLAMBAT ke sekolah pagi ini. Dan Ray tentu saja sangat tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Alvin tidak ikut turun. Ia tetap duduk di jok mobil dan larut dalam game Football pada iPodnya di tangannya. Ray dengan resah mengawasi Gabriel yang ngobrol dengan Cakka yang barusan keluar dari Mobil. Saat itulah pintu kiri depan mobil Cakka terbuka. Sosok Rio keluar, berjalan mendekati Gabriel dan Cakka. Ray bergeming, tenggelam dalam jok mobil ketika Gabriel membuka pintu mobil sambil cengengesan. "Kita bolos hari ini, Guys!!" katanya ringan sambil duduk di belakang pengemudi. "APA?" Ray membelalakan matanya, seolah mendengar Gabriel diangkat menjadi presiden negara ini Alvin mengangkat wajah dari iPodnya. Ia membuka jendela karena Cakka berdiri di samping pintu Alvin. "Bokapnya Zahra buka cabang terbaru New Heaven. Kita main ke sana!" Cakka tersenyum, menampilkan wajah malaikatnya meskipun sedang merencanakan tindakan kriminal dalam standar anak sekolahan. "Mungkin waktu kita sampai di sana, tempat itu belum buka. Tapi Zahra justru mempersilakan kita datang pagi-pagi begini, supaya bisa ngobrol ngobrol dulu." "Zahra?" Alvin mengernyitkan kening, menandakan ia lupa siapa orang yang di sebut Cakka itu. "Teman gue yang kuliah di Kanada itu lho." Rio yang bersandar di samping pintu Gabriel mengingatkan. alvin manggut manggut, pertanda ia udah ingat. "New Heaven?" Ray bertanya. "Pool, kafe, karaoke, juga ada spa dan saunanya," Cakka menyahut lancar, lalu dengan jahil mengedipkan mata pada Ray yang tengah menatapnya risau. "Dan kita akan jadi pengunjung pertama! Gue juga baru tau waktu Rio dapat telepon dari Zahra berapa menit lalu, makanya nggak sempet kasih kabar dulu..." "Oke. Ayo!" Alvin tersenyum samtai. Menyetujui rencana teman-temannya. "HEI!! Gue nggak mau!" Ray berteriak. Membolos memang sudah mendarah

daging bati keempat teman temannya, tapi untuk Ray itu masih terhitung haram! Rio berdecak lalu berkata, "Ayolah, Ray! Sekali sekali lo bolos nggak ada salahnya!" "Kenapa nggak sore aja kalian ke sananya? sepulang sekolah!" Ray ngotot. "Nggak bisa," Cakka menjawab, "gue ada pemotretan untuk Corpis sepulang sekolah nanti," katanya "Kenapa nggak besok sore aja?" Ray masih memperjuangkan nasibnya. Rio menghela nafas, " Besok Zahra balik ke Ottawa, jadi hari ini gue harus menemui dia." jelasnya. "Kalau begitu kenapa nggak Rio sendiri aja yang ke sana??? Kenapa semuanya harus bolos dan cabut ke sana?" alvin menoleh, menatap Ray jemu. "Ray, we're friends. We share bad and good things together!" gumamnya sambil menatap mata Ray. "Kalau ada yang asyik, kenapa nggak ngajak ngajak teman? Betul nggak? Rio tersenyum lebar, menandakan ucapan Alvin benar. "Sharing is caring," imbuhnya. "Rio memanggul ranselnya. "Bodo amat! Buat gue molos nggak asik! Kalau kalian ngotot mau ke New Heaven, gue turun di sini dan naik taksi ke sekolah!" "Percuma, ray! udah telat!"" Gabriel melirik arloji Bvlgari di pergelangannya. "Mendingan telat daripada bolos! Ini hari pertama tahun ajaran baru!" "So what? We don't even care about that!" Rio bergumam "I do care," desis Ray bersikeras. "Gabriel berbalik menatap Ray. "Ray, oke oke aja sih kalau sekarang lo pingin turun dan nyegat taksi untuk ke sekolah. But.. if the taxi driver's a psycho, bagaimana? You couldn't do nothing but get molested by him, my litthe friend!"

Ray terpekur. Jujur saja, ia merinding mendengar perkataan Gabriel. "lo tau kan.. bagaimana kejamnya kejahatan yang ada hubungannya sama taksi yang marak belakangan ini?" Gabriel menambahkan. "Sebelum Ray sempat menjawab, Alvin berkata, " Ray, kami hanya mau senang-senang hari ini dan kami semua pingin lo ikut bareng kami. Karena kita semua teman. Nggak susah untuk dimengerti, kan? Lo nggak butuh waktu dua tahun buat ngetiin kalimat gue, kan secara lo udah paham semua teori kuantum dan sampah-sampah yang lain?" "Ray menunduk, "Oke gue ikut," putusnya lemah setelah termenung beberapa saat, "Tapi teori kuantum itu bukan sampah..." ia menambahkan sambil tetap menunduk Tak satu pun memperhatikan kalimat terakhir Ray. Rio dan Cakka kembali ke A3 Cakka, dan pada detik berikut mobil itu sudah dipacu menuju New Heaven di kawasan Senayan. Tentu saja Gabriel ngebut di belakang Cakka dengan penuh semangat. Hari pertama tahun ajaran baru di SCS kali ini tanpa kelima pangeran. Pangeran-pangeran yang unik, keren, memiliki segalanya, sekaligus kadangkadang brengsek.

Kupu-lupu Salju. part3


PEACE 2~~ FOOD COURT SCS... Lunch time!! Hampir seluruh siswa SCS memenuhi food court untuk mengisi perut. Sivia duduk di meja kecil di ujung food court bersama teman barunya, Ify, Deva dan Ozy. "Pulang sekolah kita jalan yuk!" Ify mengajak dengan penuh semangat. "Gimana kalau nonton?" "Boleh aja!" Deva menyahut. Sivia nyaris saja menyetujui ajakan Ify kalau saja ia tidak ingat rencananya sore ini. Tadi pagi orangtuanya memberitahukan kabar baik untuk Sivia, yakni ia mendapat pekerjaan yang ia inginkan! Meskipun sekarang hidup Sivia jauh dari kekurangan finansial, ia tetap kepingin punya pekerjaan sambilan. Pagi ini keinginan Sivia terkabul. Papa Fabi bilang atasan kenalannya ada yang mencari guru privat untuk anaknya yang masih SD. Sivia senang sekali mendengarnya, ia bisa mulai bekerja! "Ngg.. gue nggak bisa," Sivia kelihatannya nggak pingin mengecewakan Ify. "Ada acara ya?" "Sivia mengangguk, " Mau ke rumah calon murid privat gue untuk berkenalan. Kalau semua lancar, gue besok mulai mengajar." "wah, gue juga suka tuh jadi guru privat," Deva nimbrung sambil menyedot coke-nya. "dan gue sudah punya dua murid tetap di arpatemen taman anggrek." "Hebat ya kalian!" Ify meraih minumannya, "Hmm... kalau begitu, kita nontonnya lain kali aja ya! biar bisa komplet berempat!" Ketika teman temannya mendengarkan Deva bercerita tentang kenakalan murid kesnya tersebut, Sivia mengeluarkan dompet dari saku rok lipitnya. Ia

kepingin memastikan dirinya tidak lupa membawa catatan kecil alamat rumah calon murid barunya. Sivia mengembuskan nafas kega ketika mendapati kertas itu ada di dompet. Ia mengambil dan membacanya sekilas. Alamatnya lengkap. Ia hanya perlu menyerahkannya kepada sopir taksi nanti. Sambil tersenyum tipis Sivia membaca nama calon muridnya, dan langsung berimajinasi: seorang anak perempuan cantik dan imut, dengan sepasang mata jernih dan rambut hitam di kuncir kuda. Margareth Janice Sindhunata, kelas 2SD. ~~~PEACE3~~~ "Silahkan duduk, mau minum teh atau jeruk?" Sivia menatap pelayan berusia lima puluhan itu sambil tersenyum, "Jeruk saja, terima kasih." "Baik," pelayan berwajah raman itu menjawab sopan, lalu sekali lagi mempersilakan Sivia duduk di sofa putih besar di ruang tamu kediaman keluarga Sindhunata. Pelayan yang memperkenalkan diri sebagai Martha itu mengatakan bahwa Nyonya Sindhunata alias ibunya Janice, akan segera menemuinya. Jantung Sivia berdegup kencang, mata hitamnya menjelajahi ruang di sekitarnya. Rumah di bilangan Pondok Indah itu luar biasa besar, dengan taman luas dan terawat, dan air mancur dengan patung cantik salah satu dewi dalam sejarah. Mungkin dewi Venus? Dari luar rumah berpagar hitam tinggi terkesan sangat melindungi. Ketiga memasuki gerbangnya, Sivia benar benar tidak menyangka bisa mengajar di istana semegah ini. "Silahkan diminum, Nyonya akan turun sebentar lagi." Martha menyuguhkan segelas jeruk segar pada Sivia. Sivia pun menyeruput air jeruknya sedikit. Hmmm segar! "Sivia?" Sebuah suara membuat Sivia telonjak kaget dan kontan menoleh. Seorang wanita berkebangsaan Korea berusia awal empat puluhan dengan

perawakan ramping dan tinggi memasuki ruang tamu, mendatanginya. Wajahnya halus dan putih, bagai porselen. Kedua matanya hitam dan bentuknya seperti Almond. Rambutnya panjang dan hitam. Sivia segera berdiri, setelah sejenak mengira dirinya bertemu bidadari. Lalu ia menunduk, memberi salam. "Teresa.." wanita itu menjabat mantap tangan Sivia, memperkenalkan diri. Sivia mengangguk pelan. Ia merasa canggung berhadapan dengan wanita ini. Teresa Sndhunata, sepertinya tidak asing, Sivia berbisik dalam hati. Tentu saja beliau cukup terkenal mengingat posisinya sebagai menantu salah satu konglomerat Indonesia. "Sivia kemari sendirian?" Sivia mengangguk, "Ya, tante.." pikirannya melayang. Sindhunata. Tentu saja keluarga Sindhunata yang itu sering di sebut di berbagai media, Sivia menyadari kebodohannya.Mereka bukan sembarang Sindhunata! Hal yang makin disadari Sivia membuatnya gugup. "Sebenarnya saya memanggil Sivia kemari sore ini untuk berkenalan. Saya ingin berkenalan dengan Sivia, begitu juga dengan Janice. Kalau semuanya cocok Sivia bisa mulai bekerja besok, membantu Janice belajar di rumah." Teresa Sindhunata mempersilakan Sivia meminum minumannya. "Bukannya apa, tetapi kami tidak ingin memperkejakan orang yang salah." wanita itu melanjutkan sambil tersenyum. "Jadi di perlukan perkenalan sebelum memutuskan apakah orang tersebut bisa bekerja di rumah ini. Sebaliknya juga, kami tidak ingin memaksa orang yang kurang sreg dengan kami untuk bekerja disini." Sivia mengangguk, "Ya.. tentu saja," jawabnya pelan. Dalam hati ia khawatir dianggap tidak layak untuk pekerjaan ini. Sivia berdoa semoga keberuntungan ada di pihaknya. Kemudian Teresa bertanya tentang pengalaman Sivia mengajar. Sivi hanya menjawab jujur kalau ia sering membantu kakak kelasnya mengajar les ketika di Malang dulu. Dan tentunya prestasi anak SD itu cukup bagus. Setelah itu mereka berbincang bincang sejenak mengenai keluarga sivia.

Cewek itu bercerita tentang papa Fabi dan Obiet yang sedang kuliah arsitektur di University of Virgina, Charlottesville, namun saat ini sedang menikmati liburan di tanah air. Juga tentang mama, ibu rumah tangga yang sangat perhatian pada anaknya. Sivia menyinggung sedikit mengenai bisnis yang digeluti ayahnya. "Ah, Rossopomodoro Cafe!" Teresa Sindhunata tertawa anggun, "Saya suka sekali Spagetti carbonara disana lho!" Teresa Sindhunata ternyata ramah dan angkuh, batin Sivia. Lambat laun ia merasa nyaman dan tidak lagi canggung duduk berdampingan dengan wanita itu. "Sivia, ayo kita ke ruang belajar Janice. di sanalah kamu akan mengajar putri saja bila jadi bekerja disini, dan itu berarti kamu berlu melihat kondisinya, bukan?" *** DINING ROOM...

Ketika selesai melihat suasana di ruang belajar Janice yang sangat besar serta lebih dari sekedar nyaman untuk mendukung pembelajaran dan sesi perkenalan yang menyenangkan antara Sivia dan Janice Sindhunata. Teresa Sindhunata menawari Sivia makan malam bersama keluarga mereka karena jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Terhitung sudah dua jam lewat Sivia di istana ini, sejak pertama kali ia menginjakan kaki di ruang tamu pukul lima tadi. "Terima kasih banyak, tante Teresa. Tapi lebih baik aku pulang saja dan makan malam di rumah," Sivia menolak sopan tawaran Teresa Sindhunata. Senyum tulus terukir di wajah cantik wanita itu, "Tante telepon mama kamu, ya. Supaya beliau tidak khawatir, sekaligus minta izin mengajak kamu dinner disini..." Sivia tidak sanggup berkata apa apa. Wanita ini benar benar luar biasa. Selain segala kesempurnaannya sebagai sosok yang anggun dan cantik tanpa cela, beliau juga ramah,friendly, dan bisa membuat orang semakin nyaman berada di dekatnya.

"Oppa!! (kakak!!*di panggil untuk kakak lakilaki)" Janice tiba tiba berteriak kesenangan lalu berlari menghambur, membuat Teresa dan Sivia terkejut dan menoleh. Janice memeluk seorang cowok berseragam sekolah, seragam SCS, dengan jas biru muda keabu abuan yang tidak di kancingkan dan dasi yang nyaris tidak simpul. "How's your day, my little princess?" tanya cowok itu lembut ketika ia jongkok dan membalas pelukan adiknya. Setelah mengecup singkat pipi Janice, ia berdiri dan menyapa ibunya. Lalu Janice, sembari digendong Martha, naik ke tangga melingkar menuju kamarnya untuk melakukan ritual malam cuci tangan dan kaki, sikat gigi, dan berganti pakaian sebelum tidur. Hatinya bahagia bila sudah bertemu dengan sang kakak. "Alvin, kenalkan ini Sivia. Calom guru privat Janice yang baru," Teresa Sindhunata berkata pada putranya setelah menyahuti sapaan cowok itu. Saat itula cowok itu mendekat dan Sivia dapat melihat jelas. Wajah itu. Ia benar benar masih ingat wajah itu! Sivia membuka mulut, hendak menyapa. Namun tak satu pun kata meluncur dari mulutnya, begitu juga dengan cowok di hadapannya yang kelihatannya masih ingat siapa Sivia dan bagaimana skenario pertemuan mereka sebelumnya. ~~~PEACE4~~~ Kenapa gue kayak begitu sih? I was so rude! Alvin berbaring telungkup di tempat tidurnyam termenung menatap kosong layar laptop yang manampilkan e-mail oendek kakeknya tadi siang. Sudah nyaris sebulan kakek Alvin menetap di rumahnya di singapura. Karena sedang dirawat seorang dokter Singapura yang juga sahaban Jason Sindhunata. Baris demi baris e-mail itu di baca Alvin, semuanya menyiratkan kesehatan kakeknya telah membaik dan beliah sangat merindukan Alvin. Pikiran Alvin melayang kemana mana. Ia masih bertanya tanya, mengapa ia begitu kasar. Begitu kasar pada cewek yang bernama Sivia yang bakal jadi guru privat Janice mulai besok. Jujur saja, ketika ibunya memperkenalkan mereka, Alvin kaget bukan main.

Dan kayaknya cewek itu jauh lebih kaget menemukan Alvin kakak calon murid privatnya. Alvin sama sekali tidak tersenyum kepada cewek itu. Apalagi menyodorkan tangan sebagaimana mestinya prang berkenalan. Ia hanya mengucapkan "Hai" singkat dan mengangkat alisnya dengan santai, seolah olah malas banget berkenalan. "Alvin, kalau kamu tidak keberatan, bisakah mengantar Sivia pulang ke rumahnya? Ini sudah cukup malam dan berbahaya untuk seorang perempuan naik taksi sendirian." Alvin melepas jas seragamnya, "Pak Djamin lagi nganggur di pos satpan kok, Ma," jawabnya cuek, menyebut nama salah satu sopir keluarnyanya. Dari ekor mata ia melihat Sivia kelihatan sebasalah. "Tidak usah, aku pulang sendiri saja, tante." kata Sivia lembut. "Jangan. Begini, biar pak Djamin yang antar, yaa.." Teresa Sindhunata meyakinkan Sivia, "Ah, cham! (oh ya) Saya terlupa sesuatu, Jamamkanman gidaryeoyo.. (tunggu sebentar!)" katanya sebelum berjalan ke dapur, meninggalkan Sivia dan Alvin di ruang tengah. Alvin melonggarkan dasinya yang sudah longgar. Sivia berdehem pelan, "Ehm.. waktu itu, terima kasih sudah menolong," ucapnya. Alvin diam saja. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Buat apa sih di besarbesarkan? wkatu itu kan gue cuma kebetulan lihat dia hampir terlindas mobil, jadi refleks menyelamatkannya! "Tas sepatunya, besok gue kembaliin di sekolah," Sivia menambahkan. Sebelum Alvin sempat berbicara, Ibunya keluar dari dapur dan membawa kotak makanan plastik yang agak besar. "Ini ada kimbab spesial buatan Martha, untuk kamu dan keluarga," Sivia menerima pemberian itu sambil beberapa kali mengucapkan terima kasih. "Kenapa kamu bersikap seperti itu padanya?" Teresa bertanya pada putranya

setelah Sivia pulang diantar pak Djamin. "Alvin, kamu seharusnya belajar bersikap baik pada semua orang, bukan hanya pada keluarga dan teman teman dekatmu saja," wanita itu ebrkata dingin. Kini Alvin menarik napas panjang dan membuangnya dengan sekali hembusan cepat. Alvin tidak tau barus menjawab apa pada ibunya tadi, jadi ia hanya mengangguk cuek lalu ngeloyor ke kamar. Ia memang bukan tipe cowok yang banyak bicara dan mudah akrab. Tapi berhadapan dengan Sivia membuatnya makin nggak kepingin bicara banyak apalagi tersenyum. Entahlah. Sejak pertemuan mereka seminggu lalu di depan BookField, alvin merasa ada sesuatu pada cewek itu yang membuat emosinya nggak stabil. Membuatnya kepingin pergi menjauh supaya nggak perlu berhadapan dengan sepasang mata hitam bening itu lagi, melihat binar binar jernihnya. What's wrong with me? Dia cuma cewek SMA yang lugu dan belum begitu mengenal dunia. Kenapa gue harus ribet begini menghadapinya? Kenapa perasaan gue nggak tenang dan emosi gue gak stabil karena dia? Jeleknya lagi, kenapa dia harus jadi guru privat Janice? yang artinya kami bakalan sering bertemu di rumah ini... *** DI KAMAR SIVIA, PADA WAKTU YANG SAMA... Dasar cowok aneh! Snobbish! Sivia baru saja di telpon Teresa Sindhunata bahwa besok Sivia resmi menjadi guru privat Janice. Sivia sangat senang mendengarnya. Dan ketika Teresa bertanya apakah ada yang membuat Sivia enggan menjadi guru privat Janice, sivia menjawab tidak ada. Sebenarnya memang tidak ada. Semua yang ada di rumah itu terasa bersahabat, walaupun serba mewah dan membuatnya takjub. tetapi.......... Apakah Alvin membuat Sivia enggan bekerja di kediaman Sindhunata? Sivia mengeluarkan tas sepatu Alvin dari lemarinya. Saat ia melemparkan tas itu ke keranjang cucian seminggu yang lalu, benda berbahan kain warna biru pucat itu menimbulkan pertanyaan dari mama.

"Mama tidak pernah ingat kamu punya tas itu Sivia?" tanya mama sambil menatap heran tas sepatu itu. "Ehm... tadi tas plastik Sivia jebol, dan seorang teman meminjamkan tas itu." Sivia tidak merasa perlu menceritakan bagian di saat ia nyaris mati di lindas roda truk besar, karena hanya akan membuat mama khawatir. Dalam hati Sivia berjanji akan selalu hati bati di jalan raya sehingga hal berbahaya semacam itu nggak baakal terjadi lagi. "Teman?" "Kenalan, maksud Sivia" ralatnya sambil meneguk segelas air putih. Kini Sivia terduduk lunglai di karpet tipis berbentuk beruang putih yang sedang telungkup. Cewek itu memegangi tas sepatu Alvin. Besok ia akan menemui Alvin di sekolah dan mengembalikan tas itu. Orang macam apa yang nggak menyahut ketika ada yang bilang terima kasih? Bahkan saat ketiga kalinya Sivia berterima kasih, Alvin tetap diam dengan gaya angkuhnya. Rahangnya yang bagus tirus, halus, sekaligus tegas. Sepasang mata hitam sipit yang menusuk, di lengkapi alis tebal membuat sorot matanya makin tajam. Hidung mancung dengan garis ramping. Dan tangannya yang besar dan kuat, menggenggam tangan Sivia saat itu, menariknya menyelamatkannya. Serta perasaan nyaman dan terlindungi yang didapati Sivia ketika berda dalam pelukannya, Aroma itu.... Sesuatu berdesi dalam hati Sivia. Sivia mendapati dirinya seperti orang tolol. Memikirkan cowok itu. Cowok yang sejak pertemuan pertama mereka sudah membuatnya tak mampu berkata-kata. Membuatnya terpukau. Seolah ada mantra khusus dalam darah Alvin yang bikin Sivia merasakan sesuatu yang berbeda terhadap cowok itu. Perasaan yang belum diketahui Sivia. Perasaan apakah ini? Dengan pelan Sivia melupat rapi tas serut Alvin, kemuadian memasukkannya kedalam tas sekolahnya. Tas itu siap di kempalika kepada pemiliknya besok.

Kupu-Kupu Salju. part4


~PEICE 5~ SAN CRISTOFORO SCHOOL... Kalau kemarin mayoritas SCS mempertanyakan mengapa kelima pangeran sekolah nggak keliatan, hari ini mereka tau jawabannya. Ketika ditanya teman sekelasnya di XII-3 jurusan Econimics, Gabriel bilang ia dan keempat temannya kemarin siang baru pulang dari liburan mereka di Borabora, maka itu nggak bisa masuk sekolah. Cowok itu juga menambahkan, kulit mereka berlima yang kini tanned adalah bukti nyata. Ify berlali kecil mengikuti Sivia menyusuri koridor lantai tiga, setelah keduanya selesai makan siang. "Mau ngapain sih? Lo mau ngeliat kelima cowok itu, Vi?" Ify menerka sambil melirik benda dari kain yang terlihat seperti tas di tangan Sivia. "Lima cowok? Siapa?" Sivia membalas bodoh. Kepalanya celingak-celinguk. "Kata kakak gue yang alumni sekolah ini, lima cowok itu jarang ada di kelas waktu makan siang. Kecuali si Ray sering ngerokok diam-diam di parkiran. Tapi kalau beruntung, kita bisa ketemu mereka lagi makan di food court," Ify menjelaskan. "Apaan sih?" Sivia mengerutkan kening. Ia seratus persen nggak mengerti apa yang di katakan Ify, dan nggak mau ambil pusing. "Gue cuma mau ngembaliin tas ini ke pemiliknya!" serunya bete, karena orang yang di cari tidak terlihat. Ketika Sivia dan Ify berjalan di depan kelas XII-4, seorang siswi yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan sambil membawa kotak besar warna merah bermotif hati kecil-kecil menyenggol Sivia dengan keras karen terlalu bersemangat mendekati pintu masuk ruang XII-4. "Opss! Sorry!" cewek itu berseru ketika menyadari Sivia nyarik terpelanting. "Sivia tersenyum. "Nggak apa-apa," sahutnya ketika sadar yang menabrak ternyata teman kelasnya. "Hei! Kita sekelas kan?" cewek itu membesarkan mata. "Kalian Sivia dan Ify! betul, kan?"

"yup," Sivia dan Ify menjawab bersamaan. Ia adalah Ashilla Zahrantiara, cewek yang terpilih menjadi wakil ketua kelas di kelas Sivia. "Gue mau kasih Blackforest buatan gue," Shilla sedikit mengangkat kotak merah yang di pegangnya, "buat someone special." Ia mengedipkan mata. Cewek itu kelihatan benar-benar senang. "Wah, romantis banget!" Ify menanggapinya. Shilla tertawa bangga. Matanya mengerling ke benda yang di bawa Sivia. Ekspresinya berubah sedikit, pandangannya terhenti, "Ehm, Sorry... Tas itu punya lo?" ia bertanya kepada Sivia, masih dengan senyum meskipun senyuman itu hanya terlulas tipis. Sivia memandang tas serut di tangannya. "Bukan. Ini..." ia menggantungkan kalimatnya. "Lantas punya siapa?" Shilla mengerutkan keningnya, menatap Sivia dengan ekspresi menyelidik. "Ehm... namanya Alvin. Dia kelas dua belas, tapi gue nggak tau di kelas yang mana.. Dia.." Sivia menggigit bibirnya bingung. Kenapa Shilla sepertinya merasa penting untuk tanya-tanya seperti itu? Ify memandang Sivia dengan mata dua kali lebih besar. "Alvin???" Shilla mengulangi dengan keras. Senyumnya lenyap, totally. Ia terliat bingung bercampur curiga. "Ada apa?" terdengar suara cowok. Seakan tau namanya di sebut, Alvin sudah berdiri di belakang Shilla, Sivia dan Ify tersentak menoleh menatap cowok jangkung itu. Alvin berdiri tegap, dan Sivia harus mengakui Alvin terlihat keren banget dengan seragam kasual hari ini. Kemeja linen putih tulang berkerah nehru itu kelihatan pas banget di tubuh atletisnya, tampak kontras kulitnya yang tanned. Celana panjang kremnya agak longgar, namun tetap rapi dipadu sepatu Fly London putih keluaran EXR. "Alvin!" Shilla menjerit seakan bertemu Ashton Kutcher di sekolah ini..

Sivia menatap Alvin ragu. Ia ingin menyapa, tapi cowok itu sama sekali tidak memandang ke arahnya. Alvin bahkan hanya memandang Shilla ogah-ogahan. Shilla mengadu, "Sivia bilang tas ini punya kamu. Kok bisa tas ini...." "Bukan," Alvin menyahut singkat dengan muka cuek, "Bukan punya gue kok," katanya, membuat Sivia terbelalak "Ah..." Shilla menghela nafas lega, "bagus deh!" ujarnya. WHAT? Sivia mengerutkan kening. Apa-apaan nih cowok??? "Heii.." ia membuka suara. "Aku bikin Blackforest buat kamu! cobain, ya!" Shilla berseru manja, suaranya menelan suara Sivia. "Yuk, aku pingin liat kelas kamu nih!" gadis itu menarik lengan Alvin. Alvin tidak berkata apa-apa, namun juga tidak menyingkirkan tangan Shilla. Ia berjalan santai, kemudian mereka masuk ke kelas XII-4, meninggalkan Sivia dan Ify di pintu depan. *** Sejak kejadian dari lantai 3, Sivia sama sekali tidak bicara. Ia kesal, marah dan bingung. Bisa ya, ada manusia kayak Alvin? Dasar aneh! Bisa-bisanya dia menyangkal tas ini punya dia. Itu artinya mempermalukan gue di hadapan Shilla! Shilla.. Apakah gadis itu pacar alvin? Argh! masa bodoh dengan cowok belagu itu! Taruhan, pasti Shilla mengira Sivia sedikit sakit jiwa dan terobsesi pada Alvin Sindhunata sampai-sampai mengkhayal memegang tas sepatu milik Alvin dan hal yang bersangkutan bilang tas sialan itu sama sekali bukan kepunyaannya! Who does he think he is? Being a heir doesn't mean you can treat others like gerbage! "Kenapa lo bilang tas itu punya Alvin?" Ify bertanya pada Siivia saat mereka

tiba di kelas. "Apa yang terjadi sebenarnya?" Sivia berbalik dan menatap teman barunya dengan kesal. "Kenapa gue bilang tas ini punya Alvin?" Sivia mengulang pertanyaan Ify sambil mengangkat tas sepatu di depan hidung Ify. "Kenapa gue harus bilang tas ini bukan punya Alvin kalau ini memang punya Alvin?" desis Sivia sambil membanting tas itu ke mejanya. Mending tas ini gue buang aja! gerutu Sivia dalam hati, Ify terdiam lebih karena kaget melihat Sivia megitu marah dan emosional. Mereka tidak bicara sampai bel pulang. Dan sepanjang sisa jam pelajaran, Sivia beberapa kali menangkap basah Shilla memandang ke arahnya. Bagus, pikir Sivia geram. Here I am, the psycho! Hah! "Sivia," Ify merangkul pundak Sivia ketika cewek itu hendak keluar kelas, lalu menuntun Sivia ke tepi koridor. "Gue tau, meskipun badung, Alvin itu dambaan hampir semua cewek. Ganteng, kaya banget, keren, dan salah satu pangeran SCS yang artinya sulit banget untuk mendapatkannya. Tapi lo nggak harus pakai cara aneh untuk menarik perhatiannya, kan?" bisik Ify di telinga Sivia. Sivia menatap Ify seolah ia sinting. Perlahan ia melepaskan diri dari rangkulan Ify. "Tas itu benar-benar punya Alvin!" bisik Sivia tajam, "Ada cerita bagaimana tas itu ada sama gue." Ify menelan ludah. Ia sungguh-sungguh berpikir Sivia nggak waras. Kemudian Sivia melanjutkan, "Gue nggak tau siapa kelima pangeran sekolah ini, dan gue nggak bermaksud nyari-nyari perhatian cowok aneh itu! Gue cuma mau mengembalikan barang yang bukan milik gue ke pemiliknya." "Sivia..." Ify berkata pelan. Sivia tidak menghiraukannya. Ia terus berbicara sambil mengendalikan volume suaranya. "Dan kalau lo mau mendambakan cowok aneh itu, silalakan ikut gue ke istananya setiap hari Rabu dan Jumat sore," Sivia mengangkat alis, "karena gue guru privat adiknya!" Mulut Ify membuka, membentuk huruf o kecil sebelum ia sempat menaggapi ucapan Sivia, cewek itu sudah pergi.

*** MUSIC & ME, SEPULANG SEKOLAH... Berhenti di gerbang sekolah, Sivia memutuskan tujuannya. Matanya terpaku pada BookField. Sepertinya menarik juga kalau sore ini ia mencari novel Meg Cabot yang belum di belinya, atau mellihat-lihat buku bagus lainnya. Tapi setelah kakinya maju satu langkah, Sivia berhenti. BookField terlalu menginatkannya pada Alvin! Aku nggak butuh buku hari ini! Sivia menjatuhkan pilihannya pada Music & Me, toko music yang terletak hanya beberapa meter di samping kiri BookField. Suasanya toko musik itu nyaman, dengan interior sederhana yang didominasi warna merah dan kuning. Suara Paris Hilton berkumandang sebagai latar. Sivia berjalan bagian New Release, mencari apakah ada yang membuatnya berminat. Ternyata nggak ada yang menarik. "Mencari sesuatu?" sebuah suara dari belakang mengejutkan Sivia. Ia mengalihkan mata dari rak CD dan menoleh ke arah sumber suara. "Ah!" ujar Sivia singkat setelah mengenali cowok berseragam SCS yang berdiri di belakangnya. "Masih ingat gue?" cowok itu mendekati Sivia sambil tersenyum. Senyumnya bagus banget,batin Sivia terkesan malu-malu segaligus percaya diri. Ikutan tersenyum, Sivia mengangguk, "Ya, masih." Sivia ingat benar, ini cowok yang di tabraknya di Go Yoghurt! Ia bahkan masih malu telah menumpahkan yoghurt di jaket cowok ini. "Senang lo masih ingat gue," ujarnya. "Gabriel," ia menyebut namanya sambil mengulurkan tangannya. "Sivia." Sivia menjabat tangan cowok itu, Gabriel memasukan tangannya ke saku celana panjangnya. "Gue udah tau nama lo, obiet yang ngasih tau waktu itu."

Sivia tertawa pelan, Ya, Obiet juga ngasih tau gue. Dia juga bilang lo sekolah di SCS sama dengan gue. Obiet bahkan bercerita sedikit tentang lo dan masamasa kalian sekolah bareng di Virgina." "Ohya?" Gabriel mengangkat alis. "Apa katanya tentang gue? Boleh tau kan?" guraunya sambil mengiringi Sivia menyusuri Music & Me "Hmm.." Sivia mengingat-ingat sejenak, "Lo pemain piano yang hebat, murid bandel banget dan suka berantem, tapi sangat setia kawan. Lo orang yang sensitif dan sangan peduli dengan keluarga." Gabriel tersenyum sambil menunduk seolah tersipu, "Trus apa lagi?" "Hmmm..." mata Sivia melirik wajah Gabriel, lalu berkata, "Lo buaya darat!" ucapnya jujur. Obiet memang bilang begitu. Gabriel kontan menatap Sivia, mata sipitnya membesar sedikit. "Dia bilang begitu?" "Yup." "Dasar pembohong," Gabriel menggeleng tertawa, "Tentang piano, bandel, setia kawan, dan yang lainnya sih benar. Tapi buaya darat... Obiet bohong besar tuh!" Sivia tertawa melihat ekspresi cowok di sampingnya ini "Gimana sekolah hari ini? Asyik?" Gabriel bertanya tiba tiba padanya. "Ehm.." Sivia menggeleng. "Bete!" jawabnya singkat. Senyum kecil terukir di bibir Gabriel. "Itu biasa. Apa lagi sih yang bisa lo dapetin di sekolah selain bete? Hahaha" Sivia ikut tertawa. "Berminat jalan-jalan sebentar? Mungkin bisa ngilangin bete..." Gabriel memandang teduh Sivia, suaranya lembut, bikin Sivia deg-degan. "Jalan-jalan?" Sivia menipiskan bibir, "Gue nggak bisa pulang terlalu sore, soalnya naik taksi."

"Gue anter." Gabriel menjawab cepat. "kalau lo nggak keberatan." tambahnya Jam tangan Sivia menunjukan jam setengan empat, "Mau ke mana?" "Yayasan bokap gue lagi menggelar bazar amal untuk menggalang dana. Lo tau kan, banyak bencana akhir-akhir ini." Gabriel bergumam pelang, wajahnya serius. "Ada banyak stan yang menarik di sana. Kita bisa lihat-lihat!" Sivia berpikir sambil melirik diam-diam Gabriel. Bazar amal kedengarannya asyik. Atau Gabriel-nya yang memang menarik? a person who is really fun to be with. Entahlan. Yang pasti akhirnya Sivia menyetujui ajakan cowok itu.

Kupu-Kupu Salju. part5


Ternyata semua memang menarik. Both bazar amal itu maupun Gabriel. Suasana yang mengasyikan itu bikin Sivia serasa pergi berlibur. Mereka mengitari seluruh arena bazar. Dan atas permintaan Sivia, mereka benar-benar singgah di semua stan. Well, hampir semua stan karena mereka nggak mau ke stan yang menyediakan alat-alat dapur dan perlengkapan makan antipecah. "Gue suka banget beli buku." Gabriel berkata ketika ia dan Sivia melihat stan buku kebudayaan. "Cuma di beli?" Sivia menggoda Gabriel setengah mencibir. Gabriel mengangguk, "Gitu deh," cowok itu tersenyum lucu, "Setelah di beli, disusun di lemari buku," Sivia mengalihkan pandangannya dari buku bertemakan kebudayaan Cina, menatap Gabriel. "Maksud gue, nggak di baca?" Gabriel menggeleng. Lalu mengambil mengenai transformasi kebudayaan Bali, dan mengembalikannya setelah membaca sebentar sambil belakang buku itu. Kemudian melakukan hal yang sama terhadap buku berjudul Titik Balik Peradaban. Cowok ini kelihatannya memang kurang menaruh minat pada buku khususnya buku kebudayaan, Sivia menarik kesimpulan setelah untuk kesekian kalinya melihat Gabriel meraih buku da meletakan kembali bahkan belum membaca judul dan penulisnya. "Yuk, jalan ke stan lain." seru Sivia ceria, sambil menyentuh ringan lengan Gabriel. Berikutnya mereka memasuki stan boneka dan di lanjutkan ke stan hiasanhiasan lucu yang terbuat dari kayu. Penjaga stannya mengatakan barangbarang berseni itu sejauh ini di ekspor ke kurang lebih enam negara. Sivia dan Gabriel kagum mendengarnya, dan mereka keluar dari stan itu setelah membeli dua pajangan sama berbentuk kucing. Seperempat jam kemudian mereka merasa agak lapar. Tanpa buang waktu mereka ke stan kue dan roti.

"Ada sisa krim..." Sivia memneritau Gabriel sambil menunjuk ujung mulutnya sendiri. Gabriel berhenti berjalan dan mengusap-usap ujung bibirnya, "Sudah?" ia bertanya pada Sivia yang tertawa karena sisa krim roti itu masih ada disana. "Masih!" kata Sivia di sela tawanya. Wajah Gabriel kelihatan sangat lucu. Agak panik ia mengusap lagi hingga krim itu malah mengotori pipinya. "Gimana? sudah?" Tawa Sivia makin keras. "Masih!" sahutnya. "Malah sampai ke pipi lo!" tambahnya sambil terpingkal melihat Gabriel makin belepotan Gabriel tersenyum malu, membuatnya sangan cute. Sekali lagi ia berusaha membersihkan krim di wajahnya, dan belum juga sempurna. "Payah!" ujar Sivia sambil mengeluarkan tissue dari tasnya ."Jangan bergerak!" gumam cewek itu sambil mendekati Gabriel, membersihkan sisa krim dengan tissue. Patuh, Gabriel benar-benar tidak bergerak. Matanya menatap Sivia sementara cewek itu membersihkan wajahnya. Jujur saja, ia sangat menyukai momen ini. Sivia begitu manis, pikir Gabriel sambil memandangnya. Sivia juga terpaku membalas tatapan Gabriel. Tatapan mereka bertemu, sebelum Sivia mengalihkan matanya ke sebuah stan aksesori. "Ke sana yuk!" cewek itu menarik lengan kemeja Gabriel. Gabriel mengikuti dengan tersenyum penuh arti. "Wah bagus banget, ya!" Sivia mengagumi kalung-kaling khas Thailand yang dipajangi di etalase mungil stan itu. Gabriel tersenyum lagi melihat ekspresi Sivia berseri-seri. Ia sendiri sebenarnya tidak berminat melihat semua ini, tapi melihat senyum lebar di wajah Sivia, hatinya berdesir sehingga mau tak mau ia tersenyum juga. "Bagusnya! Cantik banget!" Sivia meraih scraf cantik berwarna merah keunguan. Seketika antusiasme di wajah Sivia meredup ketika penjaga stan memberitahukan harga scraf itu.

"Mahal, yaa.." guman Sivia pelan sambil tersenyum kecil. "Tetapi benar-benar cantik dan asli dari Thailand." jawab si penjaga, "Dengan membelinya, berarti adik juga sudah berpartisipasi dalam aksi amal." penjual itu tersenyum lembut. "Tapi saya nggak bawa uang sebanyak itu." Sivia menjawab jujur, "Sayang banget," imbuhnya, masih tersenyum walaupunn merasa kecewa. Setelah mengucapkan terimakasih, Sivia keluar dari stan tersebut. Gabriel berjalan di sampingnya. "Benar-benar kepingin scraf tadi, ya?" Gabriel menggoda Sivia dengan tampang jail. Sivia menonjok Gabriel pelan, "Cari minum yuk! Haus!" katanya, mengubah pembicaraan. Mereka berhenti di stan minuman, memesan dua gelas jus jambu, lalu melanjutkan perjalanan. Sivia berusaha melupakan scraf tadi dan melarutkan diri dalam kesegaran jus jambu. "Eh, lihat ke sana yuk!" Gabriel menyentuh jemari Sivia ringan, lalu segera melepaskannya sebelum gadis itu menyadarinya. Namun cowok itu keliru, karena sivia sadar betul apa yang dilakukan Gabriel tadi. Dan sentuhan itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Sivia mengikuti Gabriel ke stan film yang menjual banyak DVD. "Gue juga pingin nonton film ini!" kata Sivia penuh semangat kelika Gabriel membeli film drama, A Moment to Remember. "Lo suka drama, ya? Bukannya menurut cowok-cowok itu cengeng?" Gabriel tersenyum lebar, "Siapa bilang? Cowok-cowok suka nonton drama kok!"sahutnya cuek sambil berjalan terus. "Tapi drama yang barusan lo beli bakalan bikin penontonnya nangis!" "Memangnya kenapa?" balas Gabriel dengan wajah lugu. "Gue orang yang sensitif, gampang tersentuh. Dan jujur aja, gue kadang nangis kalau nonton drama sedih. Air mata bukan cuma milik cewek, kan?"

Sivia tersenyum manis mendengar jawaban Gabriel. Entah kenapa, ia suka mendengarnya. Gabriel sungguh lepas, terbuka, begitu apa adanya, cepat akrab dengannya, dan sangat menyenangkan. Belum pernah ia bertemu sosok seperti Gabrie. "Kok lo senyum-senyum sendiri?" Gabriel menyenggol bahu Sivia pelan. "Nggak kok!" sangkal Sivia. "Hm... abis lo nonton, boleh kan gue pinjam?" cewek itu menengadahkan wajah, menghadap wajah Gabriel. Cowok itu berhenti berjalan dan menatap sivia polos. "Nggak boleh!" "Hah?" Sivia menghentikan langkah. "Pelit banget sih! kenapa? Gabriel menunduk hingga matanya sejajar dengan mata Sivia. "Karena lo akan nonton drama ini bareng gue..." katanya lembut. Lalu sambil menegakkan tubuh Gabriel tersenyum penuh arti. *** KAMAR SIVIA, 21.25... Dengan bersemangat Sivia meletakkan buku-bukunya di meja belajar, siap melaksanakan kewajibannya sebagai siswa. Ketika hendak membuka buku, ia teringat pajangan berbentuk kucing yang tadi dibelinya di bazar amal. Kucing itu akan memperindah meja belajarku! Sivia bangkit dari duduk. Ia menghampiri tas kertas daur ulang yang tadi dilempar begitu saja ke tempat tidurnya. Ketika meraih dan melihat isinya, Sivia baru menyadari ada sesuatu disitu. Kotak hitam tipis dan agak lebar. Sivia menariknya keluar. Pada bagian atas kotak, tepat di tengahnya, terdapat tulisan emas dalam bahasa Thailand yang sama sekali tidak di mengerti Sivia. Ia membuka tutup kotak itu dan mendapati scraf merah keunguan pujaannya di sana, terlipat rapi tampak cantik sekali. Gabriel... ~~~PIECE 7~~~

FOOD COURT SCS, TIGA HARI KEMUDIAN... Kelima pangeran ketahuan membolos! Mr. Prayoga tidak percaya begitu saja pada pengajuan mereka mengenai Borabora dan langsung menelepon para orangtuanya. Tentu saja para orangtua mengatakan putra mereka sudah pulang dari Borabora sejak kurang lebih tiga minggu sebelum sekolah dimulai. Kelima pangeran jelas telah menipu pihak sekolah untuk kesekian kalinya (kecuali Ray), dan pasti mendapat hukuman. Masing-masing mendapat sepuluh poin minus di catatan pribadi mereka menurut peraturan, bila seorang siswa mengumpulkan dua puluh poin minus, akan di skors empat hari. "Lihat apa yang kalian perbuat terhadap gue!" seru Ray sambil menatap nanar buku catatan pribadinya, lalu mengalihkan pandangannya nggak percaya ke teman-temannya yang duduk di sekitarnya. "Kalian maksa gue bolos, dan gue dapat poin minus!!!" Gabriel menghela dapas, menatap Ray. "Semuanya dapat poin minus kok. kenapa mesti ribut sih?" cowok itu bergumam santai lalu menyenggol Rio di sebelahnya. "Yuk besan makanan." Serentak Gabriel dan Rio berdiri lalu menuju stan masakan Jepang untuk memesan makan siang. Di maja, Ray duduk di antara Alvin dan Cakka. Dan cowok itu masih saja meributkan poin minusnya. "Mungkin bagi kalian dapat poin minus udah kayak makanan sehari-hari. Tapi bagi gue, ini malapetaka! Bencana yang merusak reputasi! Karena kalian..." "Why do you blame us now? That was your own decision to skip the class." Alvin mengerutkan kening, menatap temannya itu. "My own decision?" Ray melotot. "Kalian maksa gue! dan sekarang nama baik gue hancur karena poin minus sialan ini!" ia kelihatan hampir menangis. Cakka yang sedang menyantap seporsi nasi kari tuna pedas menoyor kepala Ray pelan. "Jangan nangis, little Ray! Kalau lain kali lo nggak mau bolos lagi, gue setuju. Secara, Mr. Penguin udah ngancem akan ngeluarin gue dari klub sepak bola sekolah kalau gue bikin pelanggaran lagi." Cakka menarik napas.

"Jadi gue nggak akan nambah poin minus di sini," ia mengangkat buku catatan pribadinya. Ray memandang Cakka seakan cowok itu dewa penyelamatnya. "Bagus! Kita memang seharusnya berada di jalan yang benar..." "Well," Alvin pura-pura cemberut. "Resolusi yang bagus," katanya sambil melirik Cakka. Ketika Gabriel dan Rio kembali dengan seporsi seafood tepanyaki, HP Alvin bergetar. "Siapa?" tanya Ray lugu ketika Alvin melipat kembali HPnya setelah selesai bicara dengan penelefon.. "Shilla.." jawab Alvin malas. "Dia minta gue ke gazebo belakang sekolah sekarang." Rio tersenyum. "Wajar kali kalau calon istri lo kepingin menghabiskan waktu lebih banyak bareng lo!" gumamnya. "Benar kan?" cowok itu menyikut Gabriel, meminta dukungan. "Ya, tentu saja!" sahut Gabriel sambil asyik mengunyah makanannya. "Gue duluan, ya!" kata Alvin seraya bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan kawasanfood court, menuju gazebo sekolah. *** SALAH SATU GAZEBO, HALAMAN BELAKANG SCS... Shilla dan Alvin duduk berdampingan. Kebetulan di dalam gazebo hanya ada mereka, tidak seperti gazebo lain yang sudah penuh. "Ada apa?" Alvin bertanya datar. "Shilla tersenyum, lalu bergeser mendekat, "Nggak ada apa-apa," katanya lembut. "Aku cuma pingin berduaan aja sama kamu, kayak mereka!" Shilla menunjuk sepasang siswa yang sedang mengobrol di gazebo lain. Alvin mendengus kecil, agak sinis. "Ngapain? Memangnya lo nggak kepingin main bareng sama teman-teman lo, kayak mereka?" gantian Alvin menunjuk

segerombolan cewek yang lagi ketawa-ketiwi di gazebo yang sama dengan pasangan kekasih tadi. "Alvin, kenapa sih susah banget ngabisin waktu bareng aku?" Shilla menggigit bibir. "Setiap pagi kamu berangkat sekolah bareng teman, waktu istirahat dan makan siang kamu habiskan bareng teman, pulang sekolah kamu main dan jalan bareng teman, malamnya juga selalu masih main sama teman, atau kadang keluar bareng keluarga, atau istirahat di rumah." Shilla menarik nafas."Kapan aku bisa bareng kamu?" Mendengar keluhan Shilla, Alvin diam saja. Ia bukannya tidak mau menjawab, ia hanya tidak tau harus menjawab apa. Ia justru lebih kepingin tanya, kenapa gue harus bareng lo? "Kalau kamu memang susah lepas dari teman-teman kamu, aku nggak apa-apa kok pergi bareng mereka juga," Shilla menunduk. "Aku nggak keberatan kita pergi berenam, atau mungkin teman-teman kamu mau ajak pacarnya juga." Alvin memandang Shilla seolah cewek itu idiot total, lalu tertawa sinis. "I won't be okay with that," katanya tajam. Apa sih yang ada di pikiran Shilla, heh? Ngajak dia keluar bareng anak-anak? ada-ada aja! Shilla menyentuh lengan Alvin. "Aku tau kamu nggak bakalan mau. Maka itu sediain waktu buat aku, sedikit aja." katanya Alvin memandang Shilla lekat-lekat selama beberapa detik. Lalu melirik arlojinya. "Waktu mau makan siang udah hampir habis, yuk balik ke kelas!" ujarnya bangkit berdiri. Shilla berjalan di samping Alvin. Ia sebenarnya nggak puas, karena Alvin nggak ngasih jawaban. Alvin tidak berjanji akan meluangkan waktu bersamanya. Namun karena Alvin tidak menjawab, itu berarti ia juga tidak menolak. Itu saja cukup membuat Shilla bisa bernafas. Shilla mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. "Alvin! Lihat nih!" Alvin menoleh dan melihat dua pensil mekanik berwarna merah di tangan Shilla. "Kemarin temanku yang pulang dari liburan di Jepang memberikan pensil ini sebagai oleh-oleh." Shilla tersenyum. "Satu untuk kamu!" serunya seraya mengulurkannya pada Alvin. Alvin berhenti berjalan, menatap Shilla sambil tersenyum tipis.

"Aku pasti lebih semangat belajar kalau pakai pensil yang sama dengan kamu!" kata Shilla lagi. "Trimss.." gumam Alvin, langsung menjejelkan pensil merah itu tanpa melihatnya dulu. Setiba di lantai tiga Shilla berkata, "Kamu nggak usah mengantar aku ke kelas. Sampai ketemu nanti, dan pensilnya di pakai, ya!" Alvin mengangguk pelan, berusaha tersenyum. "Oh iya" Shilla menatap Alvin. "Tas sepatu yang kemarin dibawa Sivia waktu itu, benar-benar bukan punya kamu kan?" tanya cewek itu, berharap Alvin memberi jawaban yang meyakinkan dirinya. Mata tajam Alvin membesar sedikit. Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Bukan!" Shilla tersenyum lebar namun tidak terlihat lega. "Baiklah kalau begitu." Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju lantai 5, tempat ruang-ruang kelas X berada. Alvin sempat terpaku. Pertanyaan Shilla membuatnya teringat pada tasnya, juga Sivia. Alvin belum bertemu Sivia sejak hari itu, sejak Alvin mengatakan tas sepatu itu bukan miliknya. Bahkan ia belum bertemu Sivia di rumahnya sendiri ketika cewek itu mengajar Janice, karena setiap hari Alvin pulang malam. Alvin menggigit bibir bawahnya sambil berpikir Sivia pasti kesal dengan kejadian itu. Dia pasti marah sama gue... ~~~PIECE 8~~~ SUATU SORE, DI RUMAH CAKKA.... "Ini saputangan lo?" Rio mengeluarkan sapu tangan Hello Kitty warna pink dan merah di ransel Gabriel yang terbuka. Mata hitam Rio memandang Gabriel terpengah, antara kaget dan mengejek. Sore ini mereka berlima ada di rumah Cakka, untuk bermain biliar dan bersantai. Sejak tahun pertama di SMA mereka sudah terbiasa menjadikan

rumah Cakka sebagai markas. Tetapi kalau mau berenang atau nge-gym dan kebetulan lagi malas ke sport club, rumah Alvin adalah tempat yang paling oke. Sambil menyusun kelima belas bola biliar, Gabriel menyempatkan menoleh ke arah Rio, lalu tersenyum lebar, "Bukan punya gue," katanya setelah melirik saputangan yang di pegang Rio. "Trus?" Alvin yang duduk santai di salah satu sofa sambil memangku stik biliar ikutan bertanya karena merasa geli mengetahui ada saputanyan Hello Kitty di dalam tas sekolahnya Gabriel. Gabriel menoleh ke arah Alvin lalu menyahut, "Punya cewek yang belum gue kembaliin" kemudian cowok itu mengajak teman temannya untuk memulai permainan. "Ayo mulai main guys!" Cakka, tuan rumah yang sedang memeriksa ujung stik biliar nyeletuk setuju. "Gue sama Gabriel." Alvin yang masih duduk di sofa dan Rio berpandangan, pertanda siap berjuang memenangkat pertandingan melawan Gabriel-Cakka. Sedangkan Ray seperti biasa, memilih nonton saja sambil membaca. "Cewek yang mana lagi nih? Setelah bubaran sama cewek macam Angel, sekarang lo jalan bareng cewek penggemar Kitty?" Alvin menggelengkan kepala sambil berdirim menggida Gabriel yang bersiap menyodok bola solid warna biru. "Kenapa cewek-cewek lo nggak pernah tipikal sih? Gue nggak pernah nemuin benang merah antara satu cewek dengan cewek yang lain." Rio bicara sambil mengamati ujung stik Gabriel, berharap tongkat itu gagal menunaikan tugasnya. Rio ada benarnya. Pacar-pacar Gabriel nggak pernah betul-betul setipe. Ia kadang mengencani cewek girly yang supermanis, kadang cewek elegan bagai putri raja, kadang cewek garang yang jagoan judo, kadang juga cewek seksi banget contohnya Angel. Itu hanya garis besar gambaran cewek-cewek koleksi Gabriel dari masa ke masa. Tetapi kalau Rio bilang ia tidak menemukan benang merah itu salah. Semua cewek yang pernah pacaran dengan Gabriel berambut panjang dan langsing.

"Gue nggak terpaku pada satu tipe, tapi lebih ke arah chemistry dan kesan pertama yang gue tangkep dari seorang cewek." Gabriel menyahut kalem. Kemudian cowok itu menyentakkan stiknya, namun sodokannya kali ini meleset. Bibir Cakka mengerucut melihat kegagalan rekannya, "Konsentrasi Gabriel!" ujarnya pelan sambil tertawa. Alvin berdehem pelan. "Jadi, cewek kayak gimana yang menarik perhatian lo kali ini?" ia melirik Gabriel, sahanatnya yang player itu. Sejujurnya Alvin nggak heran Gabriel gonta-ganti pacar sesering dan secepat itu. Sahabatnya yang satu ini emang charming banget dan jago bikin cewek tergila-gila. Bahkan Janice, adiknya yang masih kelas 2 SD itu naksir Gabriel. "Cewek yang gue kepingin memilikinya saat ini." Gabriel menjawab sambil memperhatikan Rio berusaha membereskan bola angka 9, namun tidak berhasil. Cakka menggigit bibir bawahnya swambil membungkuk, siap menembak bola angka 7. Masuk. Ray mengangkat alis, "Begitu?" tanyanya tiba-tiba. Bahu Gabriel terangkat sedikit, " Kurang-lebih. Entahlah. Dia bikin gue jadi orang yang selalu ngajagain dia.." Gabriel berkata sambil mengacungkat jempol pada Cakka yang berhasil memasukan satu solid lagi. "Mungkin gue kepingin jadi yang terbaik untuk dia." Gabriel kemudian mengimbuh, "Dialah alasan kenapa besok gue nggak bisa main go-kart bareng kalian. Gue udah ada janji." cowok itu tersenyum penuh arti yang di sambung sorakan pendek teman-temannya. Alvin melirik Gabriel, memperhatikan perubahan pada sahabatnya yang satu ini. Perubahan terjadi tatkala Gabriel sedang jatuh cinta. "Pastinya nggak ada masalah untuk mendapatkan dia kan?" Rio membereskan bola nomor 15 , setelah Gabriel gagal menjalankan tugasnya selanjutnyam "Ouhh, damn!" Rio memekik kesal ketika ia malah memasukan bola solid. Cakka tertawa melihatnya, "Bagus Rio!" Kemudian ia berhasil melesakkan dua bola berturut-urut dengan mulus. Bola solid sudah habis dan Cakka makin bersemangat. Ia mengincar bola nomor 8 untuk mencetak kemenangan. Tapi

sayangnya gagal. Gabriel menggigit bibir, gemas melihat kegagalan Cakka. Selangkah lagi menuju kemenangan tim mereka! Lalu matanya beralih ke Rio. "Bukan soal ada masalah atau nggak. Gua nggak kepingin salah langkah. Makanya semua harus diperhitungkan." "Nggak biasanya." Alvin menyahut sambil berusaha meringkas si nomor 14, namun malahfoul. Cueball masuk. Sambil meletakan cueball di posisi yang menurulnya yang terbaik dan memandang bola 8 bagaikan pemangsa, Gabriel menjawab "Kali ini memang agak berbeda dari biasanya." mata cowok itu berbinar. Lalu ia mengayunkan stik pelan. Bola 8 masuk dengan sempurna. Menang. Game selesai. *** Ketika mengemudi memenbus hujan yang cukup deras dalam perjalanan pulang dari rumah Cakka, binar-binar mata Gabriel tadi masih teringat jelas di kepala Alvin. Sambil berbelok Alvin tersenyum sendiri, membayangkan sahabatnya sedang jatuh cinta. Seperti apa rasanya? Alvin menggaruk kepalla. Sambil menatap jalanan yang basah karena hujan, ia memikirkan apa yang di katakan Gabriel tadi. Cewek yang membuat gue kepingin memilikinya saat ini. Alvin tertawa kecil. Ia sadar belum pernah benar-benar kepingin punya cewek. Dan bila kali ini Gabriel merasakan hal seperti itu, mungkin cewek ini memang special. Biasanya Gabriel kepinign mengencani cewek untuk sebulan paling lama tiga bulan. Ia nggak kepingin terlalu "dimiliki dan memiliki" karena setahu Alvin, prinspip Gabriel kalo pacaran adalah sama-sama senang dan sangan menjunjung kebebasan. Dialah alasan besok gue nggak bisa maen go kart bareng kalian, gue udah ada janji...

Biasanya Gabriel selalu mengutamakan teman-temannya daripada cewekceweknya. Nggak pernah ia bolos dari agenda hang-out bareng hanya karena acara kencannya dengan sang pacar atau gebetan. Bahkan nggak karang Gabriel membatalkan kencannya demi acara ngumpul mereka, dan ketika mereka bertanya apakah si cewek bakalan baik-baik saja, Gabriel hanya tersenyum dan bergurau bahwa ia lebih mencintai Cakka daripada ceweknya. Tapi kali ini... Alvin berpikir mungkin ada baiknya bila besok ia ikutan membolos dari acara go-kart mereka dan mengajak Shilla keluar, mengingat gadis itu sudah memohon agar Alvin bersedia meluangkan sedikit waktu bersamanya. Tapi kemudian cowok itu membuang ide tersebut jauh-jauh. Ia lebih kepingin ber go-kart ria bareng teman-temannya. Alvin memasukan mobilnya ke garasi lalu berjalan santai memasuki rumah sambbil melepaskan dasi dan dari sudut mata ia melihat sosok cewek sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Sivia. "Belum pulang?" tanya Alvin datar sambil berjalan mendekat. Sivia mendongak. Wajahnya kelihatan kaget. Gadis itu menggeleng pelan. "Baru saja selesai mengajar Janice," sahutnya pelan. "Lagi nunggu dijemput kakak gue." sambungnya. Seteplah itu HP di tangannya berbunyi nyaring. Alvin mengangkat alis. Ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri, menyaksikan Sivia menerima telepon. Sepercik perasaan aneh yang selalu dirasakan Alvin setiap kali berjumpa Sivia muncul lagi. Mendadak ia merasakan sesak dan tidak nyaman, namun ia tetap berusaha tenang dan baik-baik saja. "Ah, begitu?" suara Sivia terdengar agak kecewa, "Nggak pa-pa." Alvin melangkah lebih dekat waktu Sivia mengakhiri pembicaraannya di telepon. "Kakak lo nggak bisa jemput?" tanya Alvin cepat, menurut tebakannya. Sivia menarik nafas. "Iya, temannya baru saja masuk rumah sakit." cewek itu berkata. "Gue pulang naik taksi aja." lalu ia berdiri dan mencongklongkan tasnya di pundak. "Hati-hati, lagi hujan deras tuh!" Alvin bergumam cuek sambil berbalik, bersiap pergi ke kamarnya. Namun selang beberapa detik, cowok itu tiba-tiba

berhenti. Ia menoleh ke arah Sivia yang baru saja hendak pamit padanya. "Hmm.. gue anterin deh." gumamnya nggak jelas. *** Udara di luar memang sangat dingin, namun hujan mulai menunjukan tandatanda akan berakhir. Berada di mobil bersama Alvin membuat Sivia makin kepingin menggigil. Sejak keluar dari garasi kediaman Sindhunata hingga saat ini, mereka saling membisu. Diam-diam Sivia melirik le arah Alvin yang sedang menyetir. Perutnya seakan tergelitik. Ia memandang wajah cowok itu dari samping, garis hidungnya yang mancung ramping tampak sempurna. Sekali lagi Sivia merasa ada yang melompat di perutnya. "Sudah nelepon orangtua lo untuk kasih tau lo bakal pulang terlambat malam ini?" Alvin bertanya tiba-tiba. Sivia menoleh cepat. Kaget. Ia tidak menyangka Alvin akan mengajaknya bicara, apalagi memedulikan dia. "Sudah.." sahut Sivia. Alvin mengangguk. Sesekali cowok itu mengetukkan jemarinya di roda kemudi. Mengikuti irama lagu-lagu dari album terbaru Akon yang sedang di putar. "Rumah lo... sering sepi, ya?" Sivia ganti bertanya. "Haha.. Bokap gue sama aja dengan kakek gue. Orang-rang kayak mereka bekerja sekitar 14-15 jam sehari." katanya. Kini wajahnya cukup serius. "Sebelas jam waktu kerja produktif dan tiga jam untuk such as kegiatan berbau sosial atau menghadiri undangan-undangan.: "Nggak heran. Tapi lo pasti sudah terbiasa sejak kecil kan? Seperti Janice yang sangat memahami kesibukan ayahnya meskipun belum menyadari siapa dirinya." "Maksud lo?" Alvin memandang Sivia sambil mengangkat alisnya yang tebal.

"Janice masih kecil dan polosm dia bahkan mungkin belum sadar dirinya seorang Sindhunata mungkin dia juga belum tau apa arti dari nama Sindhunata. Tapi gadis kecil itu paham benar betapa sibuknya kakek dan ayahnya, karena dia sudah bergitu terbiasa dengan hal itu. Sorry kalau gue terdengar seolah mencampuri urusan keluarga lo.: Alvin menghela dapas, "Ya, lo benar." ujarnya sambil membayangkat sosok Janice beberapa tahun mendatang. Akankah adik manisnya itu bertransformasi menjadi cewek yang menikmati hidup dengan cara menjadi pelanggan setia Stuart Weitzman, Miu Miu, dan selalu mondar-mandir ke Tokyo untuk sekedar Shopping? ataukah Janice akan menjadi cewek lemah lembut berjiwa sosial yang mendirikan yayasan amal untuk anak anak cacat atau semacamnya? "Lo sendiri gimana?" Pertanyaan Sivia membuyarkan lamunan Alvin. "Hm..." cowok itu berpikir. "gue nggak yakin sejak kecil sudah tebiasa hal itu." katanya jujur. "Oh ya? kenapa?" Alvin mengernyitkan keningnya, iya merasa sedikit pusing, "Gue nggak ingat...." sahutnya pelan, nada bicaranya sama sekali tidak ketus, melainkan agak lembut mengambang. Wajahnya menatap sendu ke depan, dan kecepatan mengemudinya konstan. "Nggak ingat?" Alvin tertawa datar. "Buka begitu." ralatnya. "Gue sejak kecil tinggal di Seoul, jauh dari bokap dan kakek gue meskipun kakek gue sering banget mengunjungi gue ke sana. Lalu, waktu umur 12 tahun, gue pindah ke Australia." Alvin menjelaskan cepat. "jadi gue kurang terbiasa dengan ke adaan di rumah." "Oh begitu..." Sivia mengangguk. "Hidup lo pasti menyenangkan dan seru ya.. Berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain." "Nggak seseru itu kok." katanya. "Rasanya selalu ada yang hilang, dan itu bikin gue memutuskan ke Indonesia biarpun awalnya Opa dan Papa kepingin gue tetap di Perth sampai lulus SMA, lalu ke Kanada untuk kuliah nanti.

Sivia mengangkat alis, tanda ia tidak terlalu mengerti maksud Alvin. "Sesuatu yang hilang? Maksud lo kehilangan teman-teman dan keluarga di indo ya?" Sivia mencoba menerka. "Apa?" Alvin merespons pelan sambil membelokan kemudi tanpa memandang Sivia. "Ah!" ia nyaris berbisik. Sivia memperhatikan mata Alvin sempat kosong, sebelum akhirnya ia menoleh dan bergumam, "Iya, begitu maksud gue." "Ternyata lo bisa di ajak ngobrol juga..." kata Sivia. Mendengarnya itu Alvin kontan mengubah ekspresinya menjadi lebih jutek. Ia melirik Sivia tajam, namun tidak menjawab apa-apa. Benaknya terlalu sibuk memikirkan hal lain. Kenapa gue ngobrol kayak begini sama Sivia? Dan kenapa dia ngomong seperti itu barusan... Salah satu kalimat Sivia terngiang kembali, dimainkan kembali dalam benak Alvin. "..seperti Janice yang sangat memahami kesibukan ayahnya meskipun belum menyadari siapa dirinya.." Bukan cuma Janice yang belum tahu siapa dirinya... Merasa pusing, Alvin merapatkan mobilnya ke tepi jalan dan perlahan membelokannya, membawanya masuk ke parkiran sempit sebuah minimarket yang cukup dekat dengan kompleks rumah Sivia. sivia menoleh dengan ekspresi bertanya ketika Alvin siap mematikan mesin. "Mau beli rokok sebentar." gumam cowok itu kembali datar seperti biasa. "Mau nunggu di sini?" "Nggak.. gue mau beli minuman." kata Sivia. Kemudian mereka memasuki minimarket beriringan membuat Sivia gugup. Sambil membuka kulkas minuman ia melirik Alvin yang berdiri di samping kasir, membeli rokok. Sivia tersenyum, ia senang bisa mengobrol dengan Alvin, meskipun singkat. Cowok itu kelihatan tetap keren meskipun sebenarnya berantakan. Dua kancing paling atas seragam putihnya dibiarkan terbuka, menampakan kaus

hitam lengan pendek yang ia kenalakn di dalam. Kemejanya tidak rapi dan tampak lecek. Rambut hitamnya agak acak-acakan. Sivia meraih sekaleng Pocari Sweat dan menutup pintu kulkas. Kasir menyebutkan harga minuman kaleng itu, dan Sivia merogoh tas sekolahnya, mencari dompet. Tapi ia tidak menemukannya. Sivia sekali lagi memeriksa, membuka tasnya lebar-lebar dan mengecek setiap inci di dalamnya. Dompetnya nggak ada! Astaga! Pasti terjatuh dan tertinggal di ruang tamu Alvin! Dengan wajah gugup Sivia membatalkan pembeliannya, tepat ketika Alvin menghampirinya. "Kenapa?" cowok itu bertanya cuek sambil membuka bungkus plastik Marlboro Menthol di tangannya. Dari ekspresi wajahnya, ia kelihatannya tau Sivia sedang mendapat masalah. "Ah, dompet gue hilang kayaknya jatuh di rumah lo.." Alvin berdecak keras. "Parah banget. Babo! (bodoh)" gumamnya pelan, sambil menatap Sivia agak jengkel. Namun kemudian ia mengeluarkan dompetnya dan membayar Pocari Sweat sivia dengan ekspresi sedikit melunak. "Thanks!" Sivia berkata setelah kasir itu menyerahkan uang kembalian kepada Alvin. Cowok itu tidak menyahut tapi langsung berjalan agak cepat menuju pintu keluar. Sivia mengikuti, namun berhenti sejenak untuk membuka kaleng minumannya. Sivia agak heran melihat Alvin tiba-tiba kembali seperti Alvin yang biasa. Padahal waktu mereka ngobrol di mobil tadi, cowok itu terlihat dan terdengar lebih ramah. Dari dalam minimarket Sivia melihat Alvin berbicara dengan seseorang tepat di depan pintu cowok dengan topi kupluk merah. Mungkin teman Alvin, nggak sengaja bertemu temannya yang akan masuk ke minimarket ini, tepat ketika ia akan keluar. Sivia keluar dari minimarket bermaksud menghampiri Alvin yang kini berjarak beberapa meter dari pintu masuk, masih bicara dengan orang bertopi kupluk tersebut. Namun ekspresi cowok itu membuat Sivia mengurungkan niatnya untuk melangkah mendekat. Karena Sivia menangkap kesan Alvin dan orang itu sedang membicarakan sesuatu yang penting. Ia nggak pingin mengganggu.

"Gue dan teman-teman gue udah nggak ada urusan lagi sama lo, Tian!" Alvin berkata tajam. "Semuanya udah lewat!" cowok itu menyalakan rokok menatap garang orang asing yang di panggilnya Tian itu. Tawa cowok bertopi kulpuk itu meledak. "Sudah lewat, kata lo?" cowok itu mendengus keras. "Lo dan teman-teman lo yang sama munafik dan belagunya sama lo itu pasti berpikir udah sukses menyingkirkan gue!" alis cowok itu terangkat sebelah. "Tapi semuanya belum selesai, Shindhunata! Ingat itu baikbaik!" suaranya menyerupai desis keras. Alvin mengisap rokoknya dan membuang asap ke arah samping. "Perkelahian di The Nine Ballz waktu itu adalah yang terakhir." gumamnya, "Selepas hari itu, kami udah nggak ada waktu meladeni sampah macam lo!" Alvin berjalan santai melewati Tian. "Yuk pergi." ajaknya pada Sivia yang tercengang mendengar sepotong bercakapan antara Alvin dan Tian. Tiba-tiba tangan Tian mencengkram bahu Alvin, mencegahnya pergi. "Dengar, Sindhunata... Sekali lagi lo meremehkan gue, you're a dead meat!" katanya sambil membalikan tubuh Alvin, menatapnya persis di mata. Sivia merinding melihat kejadian di depannya. Tapi ia yakin Alvin bisa mengatasi situasi ini. Alvin menyingkirkan tangan Tian. "Terserah lo mau bilang apa," dagunya menengadah. "yang pasti gue nggak ada urusan lagi sama lo!" Tian terkekeh, matanya yang kemerahan beralih memandang Sivia yang berdiri ngeri di samping Alvin. "Wow, senang mengetahui Alvin Sindhunata udah bisa 'melihat' cewek." gumam Tian, masih terkekeh. "Selama ini gue kira pangeran yang satu ini punya kelainan orientasi seksual!" Alvin membuang puntung rokoknya yang masih panjang, lalu menginjaknya. Matanya mengawasi Tian, yang makin mendekat. Tian terkekeh lagi sambil mengulurkan tangan. "Boleh juga.." ujar Tian sambil menyentuh wajah Sivia. Sebelum Sivia menyingkirkan tangan Tian dari wajahnya, Alvin sudah melakukannya. Cowok itu dengan sigap mendorong tangan Tian, lalu menarik kerah bajunya. Tanpa berkata sepatah kata pun Alvin menghantam rahang Tian keras, lalu mengempaskan begitu saja, membuat Tian membentur tembok kuat, Alvin menarik tangan Sivia dan setengah menyeret cewek itu ke mobil. "Ayo!" katanya tegas.

"Gue nggak akan diam, Alvin! Ingat itu!" teriak Tian saat Alvin masuk ke mobil. Sivia merasa ada yang nggak beres antara Alvin dan cowok yang bernama Tian tadi. Ia kepingin bertanya, tapi takut setengah mati. Cewek itu memilih diam. Ia nggak kepingin dianggap mencampuri urusan Alvin. Ketika mobil Alvin tiba di depan pagar rumah Sivia, cewek itu mengucapkan terima kasih karena telah mengantarnya sampai rumah, juga untuk sekaleng Pocari Sweat besok Sivia akan mengganti uangnya. Dan berterima kasih karena sudah peduli ketika Tian menyentuhnya tadi. Mendengarnya, Alvin menoleh ke arah Sivia. Ia mengangkat alis seolah tidak mengerti. "Gue nonjok Tian bukan karena lo, tapi karena dia sudah menghina gue." ujarnya datar dan santai sebelum kembali menatap lurus ke depan. Alvin tau dirinya berbohong, ia hanya tak ingin mengakuinya.

Kupu-Kupu Salju. Part6


~PIECE 9~ SENIN, DI SEKOLAH... Ify meremas jemarinya resah. Sudah berhari-hari ia dan Sivia tidak bicara, tepatnya sejak ia menuding Sivia berbohong soal Alvin. Berkali-kali Ify mencoba bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara dirinya dan Sivia. Kadang Ify melempar senyum atau nyeletuk lucu waktu Sivia lagi ngobrol dengan Deva atau Ozy, tapi cewek itu tidak merespons. Sivia tetap cuek dan mendiamkan Ify. Ify menarik nafas panjang. Ia tau dirinya salah telah menuduh Sivia dan tidak mempercayainya. Meskipun sampai saat ini ia belum tau benar apakah tas itu memang milik Alvin dan apakah cewek itu memang guru privat Janice Sindhunata. Tapi seharusnya, sebagai teman, Ify percaya pada Sivia. Pagi ini Ify melihat Sivia memasuki ruang kelas dengan tas selempang warna krem yang selalu menemani cewek itu sekolah. Sivia meletekan tasnya di meja, lalu mengeluarkan HPnya yang berbunyi dari saku rok lipitnya. Setelah membaca SMS, Sivia tersenyum. Ify mendekati meja Sivia, "Sivia..." panggilnya pelan. Namun terlambat. Sivia, yang tidak mendengarnya, sudah berjalan cepat keluar kelas dan membawa HPnya. Gue harus minta maaf hari ini, Ify memutuskan dalam hati. Ia mengikuti Sivia, beberapa meter di belakang gadis berambut panjang itu. *** PERPUSTAKAAN SEKOLAH... Sivia tidak tau kenapa Gabriel meng-SMS agar ia segera datang ke perpustakaan. Ia menemukan Gabriel berdiri di antara rak buku perpustakaan lantai 4. Cowok itu terlihat gaya dengan seragamnya, meskipun kurang rapi karena jasnya tidak dikancingkan. Sivia tersenyum. Ia senang bisa bertemu Gabriel di perpustakaan pagi ini,

karena selama ini ia jarang sekali melihat Gabriel juga Alvin di area sekolah. "Pagi...." Sivia mendekati Gabriel sambil menyapa dengan suara pelan. Gabriel menyunggingkan senyuman khasnya. Senyum ekspresif yang tidak dimiliki siapa pun. Mata cowok itu terlihat berkilat-kilat senang. "Pagi, Sivia..." sapanya santai sambil mengalihkan pandangan menelusuri buku demi buku, lalu kembali pada Sivia, membuat cewek itu deg-degan. "Ada apa?" "Ada yang perlu gue kasih ke lo," Gabriel berkata lembut. "Apa itu?" "Selama ini lo nggak merasa kehilangan sesuatu, ya?" Gabriel tersenyum jail, tangannya di jejelkan di saku celana. Sivia berpikir lalu menggeleng pelan. Ia kelihatan tidak yakin. Kehilangan sesuatu? Gabriel mengeluarkan saputangan Hello Kitty dari sakunya dan mengulurkan pada Sivia. "Masih nggak merasa?"

"Kemarin sabtu kelupaan mau kasih ke lo." Gabriel memberitau "Sivia menerima saputangannya. "Makasih," gumamnya tertawa renyah. "Baru di cuci ya?" ia mencium saputangan itu, wangi. Gabriel tersenyum agak tersipu. Ia melirik arlojinya, "Sebentar lagi pelajaran di mulai. Lo masuk kelas duluan aja. Gue masih mau disini sebentar, cari buku untuk refrensi tugas" kata Gabriel. Setelah mengucapkan "Bye", Sivia meninggalkan Gabriel. Cewek itu berjalan lumayan cepat, mendorong pintu kaca perpustakaan dan keluar dari sana. Sivia berjalan dengan cepat dan konstan, hingga ketika berbelok di ujung koridor menuju eskalator, ia nyaris menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan. "Sorry!" Sivia mundur dan melangkah agak kesamping, menjauhi orang yang hampir saja ditabraknya sambil melihat wajahnya.

Ternyata Alvin! "Jalan aja nggak bener!" Alvin bergumam tajam setelah berdecak kesal. "Sorry!" ulang Sivia. "Lagi buru-buru." Alvin sedikit mencibir. Ia memandang Sivia sepintas, dan matanya langsung tertuju pada saputangan yang dipegang cewek itu. Ekspresinya langsung berubah. Ia memandang saputangan itu selama beberapa detik, hanya untuk memastikan. "Kenapa?" Sivia menyadari Alvin memperhatikan saputanyannya. Cowok itu menggeleng. "Nggak pa-pa." sahutnya cuek sebelum akhirnya berkata. "Oh ya, ini dompet lo." Lalu ia mengeluarkan dompet Sivia dari saku jas seragamnya. "Ah, makasih!" Sivia membuka dompetnya, bermaksud membayar uang minumannya semalam. "Untuk Pocari-nya.." Alvin mengangkat bahu dengan gaya santai. "Nggak usahlah," Ujarnya ringan sambil memandang lurus ke depan dan dengan santai melenggang pergi, meninggalkan Sivia yang terpaku di tempat. *** WAKTU ISTIRAHAT, DI TOILET CEWEK.... "Maafin gue ya, Vi..." Ify menatap Sivia sendu. Sivia menganggukan kepala. "Dan maafin gue juga karena tadi pagi gue menguntit lo, Vi." "Apa?" Sivia mengerutkan kening. "Menguntit?" Ify bersender pada pintu balik toilet, menipiskan bibie sebelum menjelaskan bahwa tadi pagi ia menguntit Sivia ke perpustakaan, sampai kembali lagi ke ruang kelas mereka. "Asli gue kaget banget waktu lihat siapa yang lo temuin di perpustakaan." Ify membulatkan matanya. "Gabriel! God! Gimana cara lo kenal dia?"

"Kalian kelihatan akrab! Dia naksir lo, ya? Lo beruntung banget, Sivia!" lanjut Ify "Nggak..." Sivia kepingin mengelak, tapi Ify cuek sehingga Sivia hanya dapat tertawa pelan, nggak tahu harus bilang apa. "Trus si Alvin!" Ify makin bersemangat. " Ternyata lo memang kenal Alvin, dan dia ngobrol sama lo!!!!" cewek itu menarik napas dan menyambung kalimatnya. "Lo tahu, kakak gue bilang, kelima cowok itu jaraaaaang banget mau ngomong sama anak-anak lain. Selain karena anak-anak lain merasa ciut kalau berhadapan sama mereka, mereka sendiri juga memang cuek banget di sekolah! Benar-benar hoki kalau bisa ngobrol sama mereka!!" "Dia tadi nggak ngobrol sama gue, Ify!" Sivia memutar bola matanya, mengingat Alvin hanya menghinanya karena Sivia meleng tadi. Itu namanya bbukan ngobrol, kan? "Gue nyesel sempat nggak percaya sama lo, Via!" Ify sepertinya tidak mendengar perkataan Sivia barusan. Ia sudah terlalu larut dalam pemikirannya sendiri. "Ternyata lo keren banget! Bisa kenal dan ngobrol sama mereka!" "Ify, nggak segitunya...." Di balik pintu mereka, di depan wastafel... Sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin dan menyisir rambut hitamnya yang lurus sebahu, Shilla mencerna semua yang barusan di dengarnya. *** 18.05, DI RUMAH CAKKA... Seperti biasa, lima sahabat itu ngumpul bareng. Sore itu Gabriel dan Rio sedang seru memainkan 9ball mereka yang ketiga. Tak jauh dari meja billiar, Cakka dan Ray sedang adu kebolehan balap F-1. Keduanya tampak serius memijat-mijat controller PS3, sedangkan pandangan masing-masing fokus ke layar televisi. Alvin menyendiri di balkon sambil menikmati semilir angin yang cukup sejuk. Ia sama sekali nggak mood untuk main. Padahal biasanya ia bersemangat. Ia selalu menyukai game maupun billiar. Ia juga senang menjaili teman-temannya

yang sedang serius main. Tapi kali ini tidak. Masih segar dalam ingatan Alvin, saputangan yang dipegang Sivia pagi tadi. Setelah Alvin meninggalkan Sivia di belokan koridor tadi, ia mendatangi perpustakaan lantai 4, karena yakin Sivia baru dari sana. Dan dugaan Alvin sama sekali tidak salah. Ia melihat Gabriel sedang mengurus pinjaman buku di bagian peminjaman. Mereka memang habis ketemuan di sana. dan Gabriel mengembalikan saputangan itu... Alvin menarik napas, mengingat perkataan Gabriel Jumat lalu. "Cewek yang bikin gue kepingin memilikinya saat ini" "Mungkin gue ingin menjadi yang terbaik untuk dia.." "Dialah alasan kenapa besok gue nggak bisa main go-kart bareng kalian, gue dah ada janji..." "Kali ini memang agak berbeda dari biasanya..." Ternyata cewek itu Sivia! Alvin menggigit bibirnya sambil mengamati langit yang mulai senja. Semua benar-benar diluar perkiraannya. Ia nggak pernah menyangka antara Gabriel sahabatnya dan Sivia cewek yang kehadirannya selalu bikin Alvin merasa tidak nyaman ternyata ada hubunga spesial. Alvin menghela napas. Ia bahkan nggak tahu bagaimana Sivia dan Gabriel berkenalan. Entah kenapa, Gabriel nggak pernah menceritakan apa pun padanya. Apakah karena kali ini pujaan hatinay bukan berasal dari kalangan selebriti? Memangnya kenapa sih Gabriel naksir Sivia? Mungkin saja Gabriel menemukan sesuatu yang membuatnya senang dan nyaman pada diri cewek itu. Seperti halnya gue menemukan sesuatu pada Sivia, sesuatu yang bikin gue sesak, labi, bahkan ada perasaan ingin menghindari tatapannya. Namun perasaan aneh itu justu perlahan mendorong Alvin untuk mencari tahu. Apa yang mendorong munculnya perasaan macam itu? Sekali lagi ia mencoba menekankan pada dirinya sendiri bahwa Sivia hanyalah cewek SMA biasa bahkan cenderung ceroboh yang seharusnya nggak bisa bikin dia merasa aneh setiap kali mereka berhadapan. Belum lagi Alvin menemukan jawaban atas hal itu, hari ini ia malah menemukan kenyataan Gabriel menyukai Sivia. Dan entah kenapa ada sejumput rasa tak suka mengetahui sahabatnya itu naksir Sivia.

Sivia memang imut yah, bisa dibilang lumayan cantiklah.... tapi tetap tidak sebanding dengan cewek-cewek gandengan gabriel sebelumnya, kan?! Kenapa gue harus nggak suka? Apa karena menurut gue, Gabriel seharusnya nggak memilih Sivia? Apa gue pikir Gabriel seharusnya cari cewek yang lebih oke, lebih seksi, dan lebih segalanya daripada Sivia kayak pacar-pacarnya yang dulu? Kayaknya bukan. Kayaknya bukan itu alasan gue. Gue juga nggak ngerti, yang jelas gue nggak suka... "Lagi PMS, ya?" sebuah tangan menepuk pundak Alvin ringan. Cowok itu menoleh. Rio. Alvin melempar senyuman sesantai mungkin. "Sudah mainnya?" Rio berdiri persis di samping Alvin, sedikit menengadah menatap langit. "Sudah. Lo nggak mau cerita?" "Cerita?" Tawa kecil Rio terdengar. "Jelas banget kelihatan lo lagi nggak oke." katanya sambil menatap Alvin dalam. "Nggak!" Alvin menyahut. "Na gwaenchana. Geokjeongma... (gue nggak pa-pa. jangan khawatir)" "Geotjima!! (bohong lo!)" Rio menoyor kepala Alvin pelan sambil tertawa. Alvin membalas tertawa. Ia mengajarkan bahasa Korea pada teman-temannya. sedikit-sedikit mereka bisa menggunakannya. "Rio." Alvin menatap lekat sahabatnya yang satu ini bisa dibilang paling dekat dengan Alvin. Selain itu orangtua Rio kebetulan salah satu teman dekat orangtua Alvin. "Ada apa?" "Kalau teman lo ada yang biasa naik Porsche atau apalah, tiba-tiba dia naksir dan beli mobil rakyat yang di pakai hampir semua orang di negri ini, apakah lo akan setuju?" tanya Alvin.

Dahi Rio berkerut sedikit. Ia nggak ngerti pertanyaan Alvin yang nggak penting itu. Tapi ia memutuskan untuk menjawab. "Nggak, itu sedikit... konyol!?!" nada suaranya nggak terlalu yakin. Alvin menatap mata Rio, "A-jinjja? (benarkah)" tanya Alvin. "Doshi saenggakhaebwa!(pikirkan lagi!)" Nero mengangkat bahu bingung lalu mengatakan jawaban tetap sama. Alvin menghembuskan napas lega. Ia tersenyum dan menatap langit. Ternyata ia memang seharusnya nggak setuju Gabriel menyukai Sivia. Nero juga memikirkan hal yang sama kan? Gue nggak perlu khawatir. *** Saat yang ditunggu-tunggu siswa SMA SCS akhirnya tiba! Festival sekolah tahun ini!!! Setelah melewati persiapan yang lupayan pelik dan melibatkan banyak pihak, panitia festival sekolah akhirnya menggelar event tersebut. Karna hari ini hari pertama festival sekolah, seluruh kegiatan belajar-mengajar ditiadakan. Para siswa senang setengah mati. "Wah," Ify menyenggol Sivia, menyuruh cewek itu menoleh ke stan klub fotografi. "David Toriyama!" serunya. "Cakep ya!" Sivia tersenyum. Toriyama kurus tinggi, dengan rambut lurus agak panjang di potong shaggy, dan kulit putih bersemu. Deva melengos lalu menoyor kepala Ify cukup keras. "Bisa nggak sih, semeniiiiiit aja nggak ngurusin cowok-cowok kece di sekolah?!?!?" omelnya dengan wajah tertekuk dan bibir maju beberapa senti. "Sirikk!" balas Ify sambil membalas menoyor Deva. "Dasar rese!" "Eh, ke sana yuk!" kata Ozy antusias, lalu melirik sambil menunjuk stan klub web designing. "Kalian mau ikut lihat-lihat ke sana nggak?" ia mengajak Sivia dan Ify yang masih melotot memandang Toriyama dari kejauhan.

"Nggak ah! Males bareng anak rese!" kata Ify jengkel. "Mau nyamperin stan fotografi?" tanya Sivia. Ify menggeleng. "Nggak hobi! Motret pakai HP aja hasilnya kacau!" Gadis itu tertawa renyah. Mereka jalan bareng menyusuri stan demi stan, sambil memandang sekeliling karena banyak banget kehebohan di sana. Setiap stan klub ramai dan sibuk dengan acara masing-masing. Suasana bazar ini mengingatkan Sivia pada bazar amal C Foundation yang dihadirinya bersama Gabriel dulu. Tiba-tiba Sivia celingukan mencari sosok Gabriel di keramaian. Mungkin dia lagi keliling dengan teman-temannya, pikir Sivia. Ify menceritakan di sekolah ini ada lima cowok yang paling populer, sekaligus paling keren, dan paling nakal kecuali salah satu teman mereka yang ber-IQ 170. Rupanya begitu, Pantas aja sebelumnya Ify cukup sering menyebut-nyebut 'kelima pangeran' yang cuma bisa bikin gue bengong karena nggak tau apaapa, batin Sivia. Sivia masih belum menemukan Gabriel sepanjang bazar. Kini ia dan Ify mampir di stan handicraft dan mengagumi hasil karya anak-anak klub yang dipamerkan. Hmm... mungkin kelima pangeran itu bolos sekolah. Mereka memang sering bolos, kan? Setidaknya begitu kata kakaknya Ify. Seolah menjawab pertanyaan Sivia mengenai keberadaan lima pangeran SCS, tahu-tahu Ify mencengkram lengan Sivia keras sambil berbisik di telinga cewek itu, "Oh My! Itu mereka!" Arah padangan Ify tertuku ke stan klub tataboga, tempat empat cowok jangkung berdiri santai, menyaksikan seorang cowok dengan ahli memamerkan kehebatannya memasak. Sedangkan anak-anak lain yang juga antusias menyaksikan sang koki, berdiri sedikit di belakang mereka. Anak tersebut tak hentinya memandang kelima sosok itu, antara padangan penuh inget tahu dan kagum. ***

STAN KLUB TATA BOGA... "Oke berikutnya kita masukkan ayam fillet yang sudah dilapisi tepung dan digoreng sebelumnya." Tangan Rio dengan luwes memasukan beberapa potong ayam ke wajan di hadapannya. "Sivia!" Gabriel melihat Sivia dan langsung memanggil cewek itu dengan gaya cerianya yang nyantai seperti biasa. "Sudah mengelilingi semuanya?" Gabriel bertanya setibanya di hadapan Sivia. Sivia menggeleng. "Belum." Gabriel tertawa renyah. "Gue lagi nonton demo masaknya Rio, sohib gue." Gabriel berkata sambil menunjuk cowok yang berdiri di belakang kompor, mengenakan topi koki, dan sibuk memasak. "Dia ketua klub tata boga. Lo suka masak, nggak? Ikut lihat yuk!" cowok itu menggandeng tangan Sivia lembut, membuat mata Ify menjadi emapt kali lebih bulat dan besar ketika melihatnya. "Oke.." Dengan lembut Sivia menarik tangannya dari genggaman Gabriel. "Oiya, kenalin, ini teman gue namanya Ify." kata Sivia ke Gabriel, memperkenalkan Ify padanya. Gabriel tersenyum. "Hai.. gue Gabriel.." Gabriel mengulurkan tangannya, untuk bersalaman dengan Ify. Ify ternganga, matanya membulat. Nggak percaya bisa berkenalan apalagi bersalaman. "Gue.. Ify.." kata Ify gugup sambil menjabat tangannya dengan Gabriel. Ify terlihat nyaris menangis. Cewek itu menatap Sivia penuh haru karena telah memperkenalkan seorang Gabriel padanya di hari yang tak akan terlupakan ini! Namun Ify merasa sedikit nggak nyaman. Ia berpikir pasti ada 'Something' antara Gabriel dan Sivia. Kalau nggak, mana mungin cowok keren itu menggandeng tangan Sivia kayak tadi? "Vi.." Ify menowel pundak Sivia. "gue mau cari Deva sama Ozy dulu, ya!" gumamnya. Kemudian ia berpamitan dengan Gabriel dan tentunya sambil tersenyum supermanis. Lalu meninggalkan Sivia di sana. Sivia berjalan bersama Gabriel dan membaur dengan ketiga pangeran lainnya yang masih asyik menonton Rio memasak. Melihat alvin ada di sana, kontan

saja perut Sivia seperti tergelitik. Cowok jangkung itu berdiri tepat di sebelah kiri Cakka, bersedekap. Sivia melihat Alvin tertawa-tawa dengan Cakka . Tapi saat menoleh ke arah Sivia dan Gabriel yang bergabung, ekspresi Alvin langsung berubah. Tawanya lenyap sama sekali digantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi yang sudah jadi ciri khasnya. Sivia tersenyum sebagai apaan pada Alvin ketika tatapan mereka bersedobak, tapi cowok itu sama sekali tidak membalas malah mengalihkan pandangan dengan cuek. "Guys.. kenalin ini Sivia.." kata Gabriel, kemudian ia menyebutkan satu persatu nama teman-temannya. "Halo, Sivia.." sapa Cakka sambil tersenyum, diikuti ray menyapa Sivia dengan gaya ceria dan senyum lebar. Rio melambaikan tangan yang sedang memegang spatula sambil mengucapkan sesuatu yang intinya mengajak Sivia bergabung dengan klub tata boga SCS. Sivia hanya tertawa renyah. Alvin hanya menyapa datar sambil sedikit mengangkat alis. Ia melambai sedikit lalu kembali pada posisi sebelumnya. "Guys, I have to go..." Cakka tiba-tba bersuara. "Sorry, Rio.. hahaha I can't watch you any longer, gue harus balik ke stan klub bola.!" katanya. Ia pun pergi dari stan tata boga. Begitu pula dengan Ray harus kembali ke stan klub musik, di mana juga Gabriel seharusnya bertugas. "Sekarang, silahkan cicipi masakan ini, sebelum mencoba hidangan yang lainnya!!!" Rio berseru sambil menuangkan masakannya ke beberapa piring kertas yang sudah di siapkan. Beberapa siswa langsung menyerbu. Sivia, Gabriel, dan Alvin mundur sedikit. "Lo nggak keberatan nunggu sebentar di sini?" tanya Gabriel lembut kepada Sivia. "gue mau ke toilet." "Ah," Sivia tersenyum. "Tapi..." "Oke, tunggu disini!" Gabriel melangkah meninggalkannya. Cowok itu juga sempat menitipkan Sivia pada Alvin. "Ternyata lo pacar teman dekat gue." gumam Alvin datar tiba-tiba

mengagetkan Sivia. "Sekolah ini memang sempit banget, ya!" imbuhnya sambil menatap cewek itu sekilas. "Ngg..." Sivia menoleh. "bukan kok, Gue dan Gabriel..." "Alvin!" mendadak Shilla muncul dan menggandeng Alvin dengan manja. "Aku nyariin kamu dari tadi, Alvin! HP kamu kok nggak aktif?!" Alvin tersenyum tipis terpaksa. "Baterainya habis." sahutnya. Kenapa dia harus ngejar gue terus sih? Nggak bisa ya dia bebasin gue dan baru memulai segala tingkah anehnya ini bila kami sudah menikah nanti? dasar perempuan! "Eh, ada Sivia!" kata Shilla. "Kenapa kalian berdua bisa di sini bersamasama?"

"Sivia lagi nunggu Gabriel." jawab Alvin cepat. Shilla melebarkan bola matanya. "Gabriel? apakah ada sesuatu di antara kalian berdua?" gadis itu bertanya sambil mendekatkan tubuhnya pada Sivia. "Kalau iya, lo harus bersyukur banget, Sivia!" "Jangan campuri urusan orang, Shilla!" gumam Alvin pelan, sepintas ia memandang Sivia yang kebetulan juga memandangnya; "Back!!" terdengar suara ceria Gabriel. Membuat Sivia melepaskan napas lega. Cowok itu menyodorkan sebotol pocari sweat pada Sivia, ia juga membawa sekaleng yang sudah dibukanya. "Kebetulan lewat penjual minuman tadi." ujarnya. "Makasih.." Sivia bergumam, yang dibalas Gabriel dengan senyuman tulus seperti biasa. Alvin mendengus. "Well, you didn't buy one for me..." candanya sambil menatap Gabriel. Gabriel menyodorkan Pocari Sweat miliknya pada sahabatnya, dan Alvin meneguknya. "Hai, Shilla! Lagi jagain Alvin?" guraunya. Shilla tersipu. "Tenang aja, Alvin itu mati rasa sama cewek-cewek dan nggak bakal buat

macam-macam." Gabriel berkata santai. "Lo nggak perlu nelepon setiap satu jam." kemudian cowok itu tertawa. Alvin hanya tertawa kecil setelah meneguk Pocari Gabriel, lalu melirik Shilla. Dalam hati ia berharap cewek itu benar-benar menaati ucapan Gabriel. Meskipun Alvin hampir tak pernah mengangkat telepon dari Shilla, tetap saja dering HP sering sekali sangat mengganggu karena terus berbunyi bagai beker yang dinyalakan setian 60menit. Mendengar perkataan Gabriel, kelihatannya Shilla agak kurang senang. Ia melirik Alvin berharap cowok itu mengatakan he's really okay with her every hour call, tapi Alvin diam saja. Alvin sangat menyadari gerakan cepat Gabriel, dan matanya sempat melihat ke tangan sahabatnya itu yang menggenggam tangan mungil Sivia dengan hangat. Tanpa disadari, tangannya sendiri telah di genggam Shilla. Alvin ingin melepaskan, tapi ia tak ingin Shilla terluka. Kakeknya sering berpesan, Alvin harus bersikap baik pada Shilla karena gadis itu sangat sangat mencintainya dan sekaligus juga calon istrinya. "Sampai ketemu sejam lagi, saat acara games dimulai!" Gabriel berkata riang pada Alvin dan Shilla, ia mengajak Sivia meninggalkan pasangan itu. ~~PIECE 10~~ Perasaan senang yang dirasakan Sivia dan Gabriel di bazar amal C Foundation tempo hari seolah terulang kembali. "Sudah memutuskan mau ikut klub apa?" Gabriel bertanya. "Belum." cewek itu menggeleng singkat. "tapi kayaknya newsletter menarik, ya!" Gabriel tertawa pendek. "Masa?" katanya sebelum menggigit burger ayam yang tadi ia beli di stan tata boga. "Gue kurang berminat sama dunia jurnalistik, tulis-menulis, dan sebagainya." Sivia menjawab, "Gue suka! Tapi... kayaknya semua klub disini menarik." ujarnya bimbang. Ia setengah melirik stan klub Taekwondo, karena barusan ia melihat Alvin sedang berbincang dengan anak-anak di stan itu bersama Shilla yang setia di sampingnya. Alvin tidak memakai kostum seperti anggota klub yang lain.

"Hmmm, Shilla itu pacarnya Alvin, ya?" Sivia bertanya ringan. "Iya." sahut Gabriel. Ia tahu Shilla bukan sekedar pacar Alvin melainkan calon istri yang telah disiapkan sang kakek untuknya. Namun Gabriel merasa tak perlu menceritakan hal itu, "Sivia, istirahat dulu yuk! Capek juga dari tadi keliling." cowok cakep itu meringis, terlihat lucu dan imut. "Kaki lo pegel ya?" Sivia tertawa. Gabriel mengangguk dan memberitahu Sivia bahwa di ujung pelataran sekolah ini disediakan beberapa bangku untuk duduk, maksudnya mau mengajak Sivia istirahat disana. "Sebentar lagi, ya..." Sivia merayu, "gue kepingin ke Tenda ramalan dulu!" "Tenda Ramalan? Ngapain?" Sivia memutar bola matanya. "Buat main kasti!" sahutnya dengan ekspresi kesal yang tentunya pura-pura. "Ya buat di ramal lah! Memangnya mau apa lagi ke Tenda Ramalan?!?!" Cewek itu mencubit lengan Gabriel. Gabriel tertawa lepas sambil melepas lengannya yang baru saja dicubit. "Tapi... ngapain ke Tenda Ramalan? Yang meramal di sana cuma anak cewek kelas XI yang kebetulan anggota klub Mandarin. Sudah pasti nggak akurat!" "Begitu ya?" Sivia membesarkan mata. "Tapi nggak pa-pa deh, cuma cobacoba kok!" gadis itu tetap berkeras. Alis Gabriel mengerut. "Yakin? Gimana kalau dia cuma bohong dan ngomong hal buruk tentang lo?" Tawa Sivia berderai. "Biar aja!" Gabriel menggeleng, ia pasrah. Kenapa sih cewek-cewek suka banget diramal? Bahkan Sivia juga... "Yuk!" Sivia menarik lengan kemeja Gabriel menuju tenda ramalan. *** DI DALAM TENDA RAMALAN...

"Selamat datang di Tenda Ramalan..." Sambut si peramal, begitu Sivia dan Gabriel memasuki tenda kecil itu. "Silahkan duduk..." si peramal berkata. Sivia dan Gabriel duduk bersila di karpet, menghadap meja ramal mungil. "Ah! Gabriel?!?!" serunya tak percaya. Gabriel hanya mengangkat kedua alisnya tersenyum lucu. "Iya. Gue Gabriel! Si peramal menggeleng. "Nggak disangka.. sungguh kehormatan bisa meramal salah satu pangeran SCS hari ini!" "Hmm, sebenarnya.. dia yang mau diramal." Gabriel berkata pelan sambil menunjuk Sivia. "Ah, aku mengertiiii!" peramal itu berkata lambat sambil mengangguk-angguk beberapa kali, seolah berhasil membaca sesuatu, "Tapi..." "Tapi apa?" tanya Sivia. "Aku melihat ada gelombang yang kuat antara kalian berdua." kata peramal. "Jadi ada baiknya aku meramalmu juga." matanya beralih pada wajah Gabriel lagi. Gabriel tertawa pasrah. "Nggak masalah." ujarnya. Peramal menarik napas, lalu menatap Sivia dan Gabriel dengan sorot mata yang tajam, agak suram, dan misterius. Kemudian peramal menanyakan tanggal lahir Sivia dan Gabriel. "Hmm..." peramal memejamkan mata. "kuberitahu, ya... Musim semi yang indah dan menyenangkan takkan berlangsung lama." ujarnya kemudian menatap Gabriel. "Karena akan segera menjadi musim panas yang gelisah dan menyesakkan, lalu menjadi musim gugur yang merontokkan semuanya, dan apabila yang berahir dengan musim dingin yang menusuk... kamu harus siap." Gabriel mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Sivia yang juga memandangnya bingung.

"Sangat disayangkan..." peramal itu menggelengkan kepala dengan wajah iba. "tapi tak perlu khawatir. Karena takdirmu seterang dan sehangat mentari pagi." Ia tersenyum teduh kepada Gabriel. "Kebahagiaan tak pernah jauh dari jangkauanmu." Lagi-lagi Gabriel berusaha mencerna perkataan si peramal dan tidak berhasil. Tapi ia mengambil sisi positifnya saja. Paling tidak, kalimat Kebahagiaan tak pernah jauh dari jangkauanmu menurutnya pertanda yang bagus. "Kamu..." peramal memandang Sivia lekat. "ada satu hal yang perlu kamu ketahui." "Kupu-kupu yang hilang telah menemukan pasangannya." peramal itu memejamkan mata lalu melanjutkan, "namun ia hadir dalam keadaan buta." Sivia menggigit bibir. Ia kecewa karena tidak secuil pun perkataan peramal yang ia pahami.Apaan sih? kupu-kupu buta? huh... Gabriel berdeham. "Begini.. gue sama Sivia sama sekali nggak ngerti apa yang..." Peramal mengangkat tangan, meminta Gabriel berhenti bicara. "Bukan tidak mengerti, tapi belum.." gumamnya sambil merapikan kartunya. "Jangan terlalu dipikirkan juga, ini hanya 'ramalan' kan?" ia tersenyum simpul. Sivia dan Gabriel ikut tersenyum Benar juga, pikir Gabriel. Ini hanya ramalan da ngue nggak benar-benar kepingin tahu maksudnya. Ramalan hanya untuk fun, lagi pula sejak kapan sih gue peduli sama ramalan? hahaha! "Sebagai suvenir, ini untuk kalian." peramal memberikan dua kalung dengan liontin berbentuk cincin kecil. "Semoga membawa keberuntungan." ujarnya lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, Sivia dan Gabriel keluar dari Tenda Ramalan. Dengan cuek Gabriel mengenakan kalung dari peramal tadi. Ia tidak berharap kalung ini membawa keberuntungan atau apa. Cowok itu cuma kepingin memakainnya. Melihatnya, Sivia ikutan melingkarkan kalung itu di lehernya. *** Seperti yang dijanjikan sebelumnya, meereka menuju bangku kayu di taman

ujung pelataran SCS untuk mengistirahatkan kaki. "Keluarga gue nggak percaya ramalan." Gabriel berkata. "Kata nyokap, selama kita berusaha dan berdoa, nggak ada yang mustahil. Lo pasti bisa meraih impian, walaupun semua peramal bilang lo nggak mampu." Sivia tersenyum. Ia suka melihat wajah jenaka Gabriel tampak agak serius ketika berbicara. "Ya, gue setuju. Tapi gue kepingin bisa membuktikan apakah ramalan itu ada benarnya atau memang cuma omong kosong..." "Bagaimana lo bisa membuktikannya?" Gabriel tertawa geli. "Lo aja nggak ngerti ucapan si peramal tadi. Lo nggak tau apa maksudnya sama sekali, jadi apa yang akan lo buktikan?" cowok itu menyenggol bahu Sivia pelan, masih sambil tertawa. Sivia bersandar pada sandaran bangku kayu, "Memang sih." ia cemberut. "Apa coba maksudnya kupu-kupu buta? Kenapa sih dia nggak langsung bilang maksudnya tanpa bertele-tele?!" "Sudahlah, nggak usah dipikirin." Gabriel menatap Sivia dalam. "Ramalannya untuk gue juga aneh, kan? Masa dia ngomong panjang lebar tentang empat musim? Mungkin dia nggak sadar di sini hanya ada dua macam musim." cowok itu terkekeh pelan. Sivia tertawa. "Tapi kayaknya peramal itu cukup profesional." "Profesional bagaimana? Dia murid kelas XI. Tahun lalu ia menguntit Cakka selama beberapa bulan sebelum akhirnya Cakka marah dan mengancam akan melaporkannya ke Mr. Penguin." "Hahahaha! Begitu ya?" Sivia tertawa kecil. "Yup. Lo mau melihat peramal yang profesional?" Gabriel bertanya sambil tersenyum lebar. Sivia mengangguk, mungkin Gabriel kenal peramal 'sungguhan', batin Sivia. Cowok itu menarik tangan Sivia lembut tapi kuat. Dengan ekspresi manis meneduhkan, Gabriel berlagak membaca telapak tangan Sivia. Sivia tidak menarik tangannya, melainkan tertawa-tawa melihat Gabriel merakting sebagai peramal profesional. "Hmm, terbaca jelas di sini..." cowok itu menyusuri telapak Sivia dengan

telunjuknya. "ada seseorang yang sangat memperhatikan lo. Bahkan... dia mencintai lo, dan selalu kepingin melihat lo happy." Gabriel mengangkat wajah menatap Sivia sambil tersenyum tulus, ia melanjutkan. "Orang itu berharap, sekarang atau kapan pun ia bisa menjadi sosok yang paling membahagiakan lo." Gabriel meletakkan tangan Sivia ke pangkuan gadis itu, lalu menatap Sivia lembut. "Itu ramalannya. Mudah di mengerti dan nggak bertele-tele, kan?" Sivia merasa wajahnya memerah dan jantungnya berdegup luar biasa kencang. Ia mencoba tetap tetrlihat santai. Ia tersenyum. "Apakah ramalan itu benar dan bisa dipertanggungjawabkan? Gue nggak yakin..." balasnya. Gabriel tersenyum kemudian menggigit bibir bawahnya, tampak dari matanya, ia berpikir sejenak lalu menjawab, "Tentu saja bisa. Mau taruhan sama gue?" "Apa taruhannya?" "Biar gue mikir sebentar." Gabriel menyandarkan tubuhnya dengan rileks, lalu menatap langit. "Begini.." cowok itu menghadap Sivia. Gabriel membulatkan matanya sedikit, memandang Sivia. "Kalau lo benar, hati gue boleh buat lo. Tapi kalau lo salah, hati lo buat gue..." katanya lembut, sangat lembut, bahkan. Suara itu, ditambahkan betapa teduh sorot mata gabriel, bikin Sivia semakin deg-degan. Angin bertiup mengacak-acak rambut panjang Sivia yang dibiarkan terurai. Cewek itu nggak tau harus jawab apa. Ia tau persis maksud Gabriel, namun sekarang ia hanya mendapati dirinya totally speechless untuk menanggapinya. Tiba-tiba tangan Gabriel mendekat, menyisihkan helai-helai rambut sivia yang tertiup angin dengan lembut. Keduanya tidak bicara. Hanya saling bertatapan dengan jarak yang dikatakan sangat dekat. Kemudian Gabriel menyelipkan rambut Sivia ke belakang telinga cewek itu. Sivia hanya diam. Dan tiba-tiba saja.... "Ehem..." terdengar suara orang berdeham. "Maaf banget mengganggu..." Baik Sivia maupun Gabriel kontan menoleh. Seorang cowok berseragam sekolah lain berdiri nggak jauh dari mereka dengan wajah penuh dendam. Sivia langsung ingat siapa cowok itu. Ia cowok di minimarket yang berkelahi dengan Alvin waktu itu!!!!! "Tian..." desis Gabriel tajam. Cowok itu bangkit dari duduknya, sementara Tian

berjalan mendekati. "Apa kabar, Gabriel? Masih belum berubah rupanya... Selalu cewek, cewek, dan cewek." Tian mengangkat alis. "Mau apa lo kesini?" Gabriel bertanya dingin. Tian mendelik. "Lho, memangnya nggak boleh? Gue kangen sekolah sialan ini. Kangen gedung raksasanya, lantai yang mengilap, dan tentunya festival tahunannya." "Apa mau lo?" Gabriel bertanya garang, matanya tajam menatap Tian dengan sorot mata yang menyatakan ketidaksukaan. "Jangan bikin kericuhan di sini!" "Hei... sabar, Gabriel!" Tian masih terkekeh sambil menepuk pundak Gabriel. "Orang ganteng nggak boleh gampang emosi!" Gabriel menyingkirkan tangan Tian dengan kasar, sama sekali tidak menganggap gurauan Tian lucu. "Gue sengaja bolos demi datang ke festival ini, untuk bertemu siapa pun dan kilima pangeran berengsek SCS, dan ngasih tau bahwa urusan kalian dengan Septian belum selesai." Tian mengertakan gigi. "Ternyata takdir mempertemukan kita..." tambahnya sambil nyengir. Rahang Gabriel tampak mengeras. "Semuanya sudah selesai. Silahkan lo pulang!" "Lo sama aka dengan si Alvin itu!" Tian mencibir. "dengan enteng menganggap semuanya selesai. Kalian semua memang sama! Jangan kalian pikir, karena kepopuleran kalian atau kehebatan nenek moyang yang nangkring di belakang nama kalian, lantas gue takut?" Gabriel menyipitkan mata. Apakah Tian sudah pernah bertemu Alvin setelah kejadian di The Nine Ballz? "Pergi, Tian!" tegas Gabriel. "Gue nggak takut. Gue malah akan menghancurkan kalian." Tian melanjutkan. Ia mendekatkan wajahnya kepada Gabriel, yang membuat bau napasnya yang sarat aroma alkohol dan rokok dapat terhirup lancar oleh Gabriel. "Ingat baikbaik!" "Pergi!" Gabriel berkata datar.

Tian mengangkat bahu. "Oke." katanya sambil memandang Sivia yang masih duduk di bangku kayu. Pandangan mereka bertemu. Tiba-tiba Tian tersenyum dan mengedip penuh arti pada Sivia, sebelum akhirnya melangkah pergi. Sebuah pemikiran muncul di otaknya. Tian ingat betul siapa gadis yang duduk bersama Gabriel tadi...

Kupu-Kupu Salju. Part7


~~PIECE 11~~ Setiap orang pasti punya rahasia yang benar-benar sangat rahasia sampai tak seorang pun akan diberitahu. Begitu juga Alvin. Cpwpk itu punya sebuah rahasia yang belum pernah diberitahu, bahkan kepada teman-teman terdekatnya. Ia menyimpan sendiri rahasia itu, sambil berusaha mengatasi sekaligus mencegahnya terjadi lagi. Mungkin juga karena rahasianya itu, kadang Alvin agak tertutup. Kadang Alvin juga merasa kurang nyaman dengan dirinya sendiri. Saat bersama temantemannya, cowok itu memang merasa bahagia dan bisa melupakan rahasianya. Namun bila sedang sendirian, menatap langit yang cerah atau menikmati hujan dikamarnya, rasa gelisah itu datang lagi. Setumpuk pertanyaan tak terjawab kembali menghantuinya. Kenapa gue selalu merasa ada yang hilang dari hidup gue? Alvin Sindhunata tidak bisa mengingat masa kecilnya. Seakan masa-masa indah itu masa-masa ia mengenakan seragam TK, berangkat ke sekolah membawa bekal makanan terlezat, dan naik ayunan denga nteman-teman di taman bermain menguap begitu saja dari memorinya. Semudah men-delete file-file tidak penting dari laptopnya. Kadang Alvin meminta maaf pada dirinya sendiri, menyesal karena tidak bisa mengingat masa-masa yang ingin diingatnya. Namun Alvin tidak pernah berterus terang pada teman-temannya. Ia merasa malu dan aneh. Mana ada orang kayak gue? Yang nggak bisa ingat apa pun di masa kecilnya? Gue nggak ingat pertama kali gue bisa menulis nama gue, atau pertama kali gue sukses mengikat tali sepatu. Di mana sekolah gue waktu TK? Apakah gue ikut kelompok bermain? Anehkah gue? Demi Tuhan, gue nggak mau jadi orang abnormal... Teresa Sindhunata pernah menunjukkan sebuah gedung sekolah TK kecil di Seoul nggak terlalu jauh dari rumahnya. Kata beliau, itu sekolah Alvin dulu. Namun Alvin hanya menatap hampa sambil berusaha mengingat aoakah ia memang pernah bersekolah disana. Tidak ada yang berhasil di ingat Alvin. Ia merasa tidak pernah memasuki TK itu.

Alvin juga tidak ingat hari pertamanya menjadi siswa Sekolah Dasar. Ia bahkan tidak tahu asal-muasal bekas luka di sisi kiri wajahnya. Ia tidak ingat pernah terluka di bagian wajah apalagi luka yang sampai sekarang meninggalkan bekas. Mungkin gue bisa bilang, nama gue Alvin. Tapi, siapa Alvin? Gue nggak tahu siapa diri gue. Semuanya hanya seperti potongan-potongan puzzle yang nggak lengkap dari hidup gue. Gue selalu merasa ada yang hilang dari hidup gue. Masa-masa yang nggak bisa gue ingat, sekerasa apa pun gue mencoba. Gue nggak pernah terbenas dari rasa kehilangan ini. Jujur, perasaan gue nggak pernah tenang. Seolah beban ini terus membayangi hati dan jiwa gue. Bahkan pikiran gue jarang sepenuhnya terlepas dari masalah ini. Memang, gue belum punya keberanian untuk membiarkan seorang pun tahu kayak apa diri gue ini. Pasti mereka mengira, di balik sosok Alvin Sindhunata yang kelihatannya punya segalanya, terkulai lemas seorang cowok yang tersesat dalam hidup ini, yang bahkan nggak tahu masa kecilnya. Tapi nggak pa-pa, gue yakin suatu saat gue bakal menemukan potongan itu.... Kalau gue udah tahu siapa gue, nggak akan ada lagi rasa kehilangan rasa nggak lengkap. Semua bakal lenyap, karena nggak ada sepercik pun bagian dari gue dari hidup gue yang menghilang. Sebenarnya, Alvin pernah satu kali mempertanyakan hal ini pada kakeknya. Saat itu Alvin 11 tahun, kebetulan kakeknya tengah mengunjungi Alvin di Korea. Jason Sindhunata mengajak cucunya berjalan-jalan di Dongdaemun, dan ketika itulah Alvin bertanya mengenai ketidakmampuannya mengingat masa kecilnya. Kakeknya menjawab bahwa Alvin pernah mengalami kecelakaan saat belajar bersepda dan mungkin itu membuat bagian memorinya hilang dari ingatannya. Mendengar penjelasan kakeknya, Alvin kecil hanya mengangguk. Dalam hati ia tahu sang kakek tidak sepenuhnya benar. Alvin merasa dirinya kehilangan semua memori masa kecilnya bukan hanya sebagian. *** Kini rahasia Alvin bertambah satu lagi. Entah mengapa, sejak suatu pagi ketika ia nyaris bertabrakan dengan Sivia di koridor lantai 4 SCS, ia jadi sering memikirkan cewek itu. Lebih tepatnya, sejak

ia menyadari ada sesuatu yang spesial di antara Sivia dan Gabriel. Namun yang membuat Alvin merasa aneh, ia kini jadi lebih nyaman bila berhadapan dengan Sivia dibandingkan sebelumnya. Sekarang Alvin tidak lagi merasa sesak dan kepingin menghindari tatapan cewek itu. Ia lebih bisa bersikap biasa meskipun tidak menghilangkan sikap naturalnya yang cenderung cuek. Malam ini ketika Alvin baru saja tiba ri rumah, ia melihat Sivia baru saja keluar dari ruang belajar Janice. "Hai..." sapa cewek itu ketika menemukan Alvin berdiri di puncak tangga dengan tas sekolah tergantung di bahu kiri dan tas olahraga tergantung di bahu kanan. Cowok itu mengenakan kaus Von Dutch putih dan celana Banana Republic selutut warna khaki, rambutnya agak berantakan. Alvin mengangat alis cuek, namun senyum tipis menghiasi wajahnya. "Baru selesai mengajar?" Sivia mengangguk. "Baru pulang?" "Ya," Alvin mendekati Sivia. "Perlu diantar?" "Nggak usah." Sivia merapikan beberapa buku dan alat tulis di dalam pelukannya. "Sekarang bokap gue mempekerjakan sopir untuk antar-jemput gue mengingat kakak gue akan kembali ke Amerika sebentar lagi." "Oh, begitu?" Alvin menanggapi datar. Sivia tersenyum (agak bingung dengan sikap Alvin yang lebih ramah malam ini) sambil mengangguk, "Oke, gue pulang dulu. Sopirnya udah datang... Ouch!" pensil dan bolpoin Sivia terjatuh ketika ia mencoba memasukannya ke tas. Kenapa gue jadi begini? Apakah Alvin bikin gue gugup? Well, biasanya sih dia memang bikin gue gugup, tapi kali ini... rasanya 'berbeda'. Alvin membantu Sivia memungut pensil dan bolpoin, lalu menyerahkannya pada cewek itu. Sivia mencoba pensil mekaniknya, menekan tombol untuk mengeluarkan isi pensil namun tidak terjadi apa-apa. Pensilnya rusak. "Rusak?" Alvin bertanya sambil membenarkan letak tasnya. Sivia nyengir. "Iya. Nggak pa-pa. Besok beli baru!" ujarnya.

Alvin membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan pensil mekanik warna merah dari saku depan tas. "Pakai dulu aja." katanya sambil menyodorkan pensilnya kepada Sivia. "Eh, nggak pa-pa nih?" cewek itu tampak ragu lagi pula pikirannya masih amburadul, antara heran dengan sikap Alvin dan heran dengan jantungnya yang berdegup cepat. "Iya." Alvin mengangguk. Wajahnya tanpa ekspresi. Akhirnya Sivia mengambil pensil itu. "Makasih yaa.." "Non Sivia, spornya sudah menunggu di depan." kata pembantu keluarga Sindhunata. "Oke, gue pulang dulu, ya!" Sivia berkata, sebelum melangkah menuruni anak tangga. Masih terpaku di tempatnya berdiri beberapa langkah dari ruang belakar Janice Alvin tersenyum. Kemudian ia membayangkan ekspresi Sivia tadi saat mendapati pensilnya rusak. Cemberut dengan alis mengerut. Alvin tertawa pelan. "Oppa, wasseoyo?! (kakak sudah datang?!)" Janice tiba-tiba keluar dari ruang belajarnya. "Wae misonyoguyo? Kippeujyo? (kenapa tersenyum sendiri? lagi senang ya?)" kata Janice ceria. Alvin melenyapkan tawanya seketika. "Ah ani... (ah nggak)" Alvin memasukan tangannya ke saku celana. "Bab meogeosseo? (sudah makan?)" Janice mendekati Alvin. "Ajikyo... Oppa-rang bab meoggo shipeoyo... (belum... aku ingin makan bersama kakak...)" Janice merentangkan kedua tangannya isyarat sehari-harinya bila minta di peluk Alvin. Cowok itu pun berjongkok dan memeluk adiknya. "Geurae.... (baiklah..)" Alvin melepas pelukannya. "Oppa ke kamar dulu untuk taruh tas-tas berat ini." ia mengecup pipi Janice. "Setelah itu kita makan malam, ya..." Janice mengangguk, kemudian berkata lagi, "A-Oppa, Sivia-onnie neun ippeujyo!? ( kakak, kak Sivia itu cantik, ya?)"

"Mwo? (apa?)" Alvin mengerutkan kening. "Aniya..(nggak)" sahutnya cemberut. "Wae geureohke mudnyagu?! (kenapa bertanya seperti itu?!)" Tapi Janice hanya cekikikan melihat ekspresi kakak tersayangnya. *** SAN CRISTOFORO SCHOOL, KEESOKANNYA... Bel waktu makan siang berbunyi. Ify bernapas lega. PErutnya sudah keroncongan sejak berjam-jam yang lalu. Ia mendambakan seporsi gado-gado di stan masakan Jawa Timur di food court SCS. Hmm.. betapa sedapnya. "Vi, ngisi perut yuk!" Ify melirik Sivia yang duduk di sebelahnya. "Sudah lapar banget nih!" Sivia mengangguk. "Sebentar. lagi nanggung!" Sivia menyelesaikan mencatat materi pelajaran accounting yang belum dilengkapinya. "Oke, gue tungguin. Cepetan!" Ify mengeluarkan HP dari saku rok dan sepertinya membalas SMS yang masuk. Sivia tengah sibuk mencatat ketika suara Shilla terdengar. "Ngel, lo dipanggil Mr. Darwis disuruh bawa laporan keuangan kelas." kata Shilla pada Angel bendahara kelas yang duduk satu bangku di depan Sivia. Ify menoleh ke arah Shilla sebelum kembali menekuri layar HP. Ia baru saja tahu dari Sivia bahwa Shilla adalah pacar Alvin. Ify sempat syok, karena lagilagi kata kakaknya, Alvin itu dingin banget sama orang yang kurang di kenalnya, apalagi cewek. Tapi ia memang pernah melihat Shilla dengan manja menggandeng lengan Alvin sambil membawakan blackforest buat Alvin. Shilla menghampiri meja Sivia. Ia menatap tajam. Ify bergidik melihatnya. Bodohnya, Sivia sama sekali tidak merasa Shilla sedang bersiap menerkamnya dari jarak tak lebih dari setengah meter. "Sivia..." Shilla memanggil lembut namun menusuk. Wajah Sivia terangkat. Ia berhenti menulis dan meletakkan pensil "Gue pingin bicara..." desisnya tajam, tanpa memberi kesempatan Sivia untuk bersuara.

Sivia mengerutkan kening, menoleh sebentar ke arah Ify yang sedang memperhatikan Shilla lalu berdiri. "Di koridor aja!" Shilla mendesis lagi, kemudian berjalan cepat ke luar kelas. Sivia mengikutinya dengan bingung. Sepertinya ada yang nggak beres, Ify membantin sambil ikut berdiri. Ia mengikuti Shilla dan Sivia. Mereka berdiri tak jauh dari pintu kelas. Ify merdiri di balik pintu, berusaha mendengar semampunya. "Ada apa?" tanya Sivia. Shilla tersenyum sinis. "Jawab aja pertanyaan gue dengan jujur." alisnya yang tipis terangkat sebelah, "Dari siapa lo dapatkan pensil merah itu?" Oh my... ini petaka, Sivia langsung menyadari arah pembicaraan Shilla. Bodoh banget sih gue mau nerima pensil itu kemarin! "Hmm... papa gue yang beliin.. memangnya kenapa?" tanya Sivia cuek. "Jujur aja deh, Sivia!" Shilla mendesis. "Lo berharap gue jawab apa sih?" "Gue udah tau lo ngajar Janice di rumah Alvin. Dan itu artinya, lo punya banyak waktu untuk ketemu Alvin!" Shilla melotot. "Kenapa lo ngerayu dia supaya memberikan pensil itu ke lo?" Sivia mendengus kecil. "Jangan sembarangan, Shilla!" "Benar kan? Pensil itu bukan dari bokap lo. Kebohongan lo menandakan lo menyembunyikan sesuatu dari gue. Apa mau lo, Sivia? Jangan ganggu gue sama Alvin! Jangan pernah!" "Gue nggak pernah ganggu kalian! Maaf kalau gue udah bikin lo jealous!" "Apa kata lo? Cewek sialan!" Shilla mengayunkan tangan hendak menampar wajah cewek di hadapannaya itu. Sok manis di depan, tapi perayu di belakang! "Ada apa ini?" tangan seorang cowok menahan pergelangan tangan Shilla yangn yaris mendarat di pipi Sivia. Keduanya serentak menoleh.

"Nggak pa-pa, Gabriel!..." kata Sivia pelan. "Shilla, ada apa?" ia melepaskan tangna shilla sambil menoleh ke arah cewek itu, mengharapkan penjelasan. "Nothing. Jaga cewek lo baik-baik!" geram Shilla sebelum melangkah cepat meninggalkan mereka. Di balik pintu kelas X-2, Ify menggigit bibir bawahnya. Ia berpikir keras. Kenapa jadi begini? Permainan apa yang sedang di lakukan Sivia sebenarnya? *** THE BIG EAST CAFE, SEPULANG SEKOLAH... "Seva nyerang lo lagi sepanjang sisa jam pelajaran sekolah?" tanya Gabriel. "Nggak." kata Sivia sambil menggeleng. Gabriel tersenyum. "Jangan khawatir!" Sivia mengaduk kopi susunya. "Gue bisa jaga diri." "Memangnya apa sih yang dipermasalahkan Shilla? Kalau gue boleh tau.." tanya Gabriel. Sivia menggigit bibir. "Shilla... dia curiga. Curiga gue merayu Alvin. Dia tahu gue ngajar Janice. Padahal, nggak berarti gue merayu Alvin, kan?" Perlahan senyum Gabriel lenyap. Ia menyimak perkataan Sivia. Tempo hari ia tahu dari Sivia mengenai pekerjaan cewek itu di rumah Sindhunata. Gabriel sempat heran kenapa Alvin nggak pernah memberitahunya bahwa cewek yang diperkenalkannya saat festival sekolah itu guru privat Janice. Tapi Alvin memang hampir nggak pernah tahu apa yang terjadi di rumahnya. Jadi mungkin aja diaj uga baru tahu Sivia mengajar adiknya. "Gue jarang ketemu Alvin, meskipun seminggu dua kali gue ke rumahnya. Sebagai teman dekat Alvin, pasti lo tau kan cowok itu lebih sering pulang malang sama kayak lo. Ya kan?" Sivia tersenyum Gabriel mengangguk diam.

"Tapi Shilla mengira yang nggak-nggak." Sivia meneruskan. "Ah... sudahlah. Mungkin hari ini Shilla lagi bad mood aja, jadinya berpikir macam-macam." "Ya.. Tapi kalau ada siapa pun Shilla mau oun orang lain yang menyerang lo atau pun bikin lo nggak nyaman, lo bisa cerita ke gue." Gabriel berkata lembut tapi tegas. "Gue nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo."

"Ehmm... gue punya sesuatu buat lo." Gabriel meraih tas sekolahnya. Ah, baru aja mikirin segala kebaikannya, ternyata siang ini Gabriel menyiapkan kejutan untuk gue lagi. Gabriel, you're too nice... "Lagu yang gue ciptakan untuk lo." Gabriel menyerahkan sebuah CD pada Sivia. "Sudah pernah gue ceritain, kan?" "Gue nggak tau harus bilang apa Gabriel." Sivia meraih CD yang diberikan Gabriel. "Gue... gue bersyukur banget bisa bertemu dan mengenal lo..." ucapnya tulus. "Semoga lo suka lagunya." ucap Gabriel. :Selain itu gue juga memasukkan lagu-lagu lain. Ada beberapa lagu Brian McKnight yang gue mainkan juga." "Ah, lo hebat banget!" Sivia kagum. "Gue pasti suka semuanya." Sivia merasa terlalu senang menemukan sosok gabriel dalam hidupnya sampai pingin menangis rasanya. ~~PIECE 12~~ Mbak Ranti mengetuk pintu kamar Sivia. "Non, ada tamu nyari non Sivia..." "Siapa mbak? Cewek atau cowok?" tanya Sivia "Cowok. Katanya sih namanya Alvin." "Alvin?" seru Sivia nggak percaya. Alvin ke rumah gue? Pasti Mbak Ranti ngaco deh! Namun ketika Sivia turun dan mendapati Alvin duduk di sofa di ruang tamunya, Sivia merasa bersalah pada mbak ranti.

"Alvin..." sapa Sivia. "Ada apa?" tanya-nya sambil duduk di depan Alvin. Cowok itu kelihatan enjoy, sedang menyeruput minumannya. Sivia mengenggam tangannya sendiri deng-degan melihat Alvin malam ini. Ia nggak pernah menyangka Alvin bakal datang ke rumahnya mendadak seperti ini, dan dengan tujuan yang tidak ia ketahui pula. Alvin menatap Sivia. "Lo nggak tau tujuan gue kemari?" tanya cowok itu. Seolah-olah Sivia seharusnya tau benar tujuan kedatangannya. Cewek itu menggeleng bingung. Isi perutnya serasa diaduk-aduk. Dengan santai Alvin melepas topi Von Dutch hitam yang di pakainya. "Gue mau ngambil tas sepatu gue. Masih ingat tas itu nggak?" cowok itu tersenyum sedikit. "Owww..." Sivia melongo. Ternyata itu tujuannya.... "Masih kok. Sebentar gue ambil!" Ketika kembali ke ruang tamu, nggak hanya tas sepatu Alvin saja yang dibawanya. "Pensil lo ini juga gue kembaliin." "Kenapa?" Alvin menggigit bibir. Jangan-jangan Shilla.... "Nggak pa-pa. Gue udah beli pensil baru." Sivia duduk. "Lagian, lo juga pasti perlu pensil itu kan untuk sekolah." Sivia tersenyum kecil. "Ya udah." Alvin menggumam, lalu menerima tas dan pensilnya. "Alvin..." "Ya?" cowok itu menyahut cuek, memandang Sivia. "Kenapa waktu itu lo bilang tas itu bukan punya lo?" Alvin menghela napas. "Yah, gue hanya nggak mau Shilla mikir macammacam." "Oh..." Sivia mengangguk lemah. "Oke, gue cabut dulu." kata Alvin sambil berdiri.

Sivia menengadah, memandang Alvin. Secepat itu dia mau pergi? Setelah menarik napas panjang, Alvin perpikir... Sekonyong-konyong hadir perasaan yang tak pernah ia alami sebelumnya. Apa ini? Kenapa hari ini gue aneh banget? Tadi gue cuma kepingin ketemu Sivia tapi sayangnya ia nggak ada jadwal mengajar Janice jadi gue memutuskan ke rumahnya dengan alasan mau mengambil tas sepatu. Tapi sekarang, setelah bertemu dan mendapat tas sepatu itu, gue malah... belum kepingin beranjak. "Ada apa Alvin? Kok lo bengong?" tanya Sivia heran.

Alvin berdecak keras. "Siapa yang bengong?" sangkalnya judes. Ia nggak kepingin kelihatan konyol, berbengong-ria di depan orang? "Ehm, lo keberatan nggak nemenin gue?" tanya Alvin datar setelah beberapa detik. "Hah?" Sivia membulatkan mata. "Nemenin ke mana? Ngapain?" Alvin memutar otak. Pikir, Alvin! Dan ketika matanya melihat setumpuk brosur cabang Rossopomodoro Cafe di Mal Puri Indah di samping meja ruang tamu, ia seketika mendapat ide cemerlang. "Belanja..." Alvin mengangkat bahu sedikit melirik brosur tersebut. "Bahanbahan untuk masakan Italia." "Hah?" Sivia semakin bingung. Cowok ini ngomong apa sih? Alvin menatap Sivia dengan ekspresi bosan memberi kesan bahwa sebenarnya ia malas banget belanja. "Nyokap minta gue belanja untuk keperluan masak. Besok relasi bisnisnya dari kota Turin mau datang, dan Nyokap kepingin menjamu mereka di rumah." "Begitu?" Sivia mengernyitkan kening. Seorang Teresa Sindhunata pastinya punya terlalu banyak pegawai, bawahan, dan pembantu untuk disuruh belanja bukannya meminta tolong sang putra mahkota ini, kan? Tapi Sivia tidak protes. Ia membiarkan Alvin bicara. Sambil memperhatikan cowok itu terlihat keren namun kasual dengan kaus Calvin Klein abu-abu, celana tujuh perdelapan bermotif army dan sepasang sandal Oakley. Kemudian Alvin mengatakan, karena ayah tiri Sivia pemilik resto Italia pasti

mengerti bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat spaghetti vongole, misalnya. Sivia setuju menemani Alvin belanja. Entah kenapa ia tak ingin menolak cowok itu. Bahkan Sivia juga setuju untuk membuatkan daftar belanja Alvin. Seusai Sivia berpamitan pada Mama lewat telepon, mereka masuk ke Nissan Alvin yang di parkir di depan rumah, sama sekali tidak menyadari bahwa.... Beberapa meter dari sana seseorang mengawasi mereka memasuki mobil. Dan saat Alvin melajukan Fairlady-nya si pengemudi misterius itu ikut menyalakan mesin mobil. Memulai kegiatan menguntitnya malam ini. *** DI SEBUAH HYPERMARKET, JAKARTA SELATAN... Orang itu merapatkan jaket Reebok hitamnya yang ia kenakan. Matanya dengan awas memantau kemana pun mereka pergi. Sambil sesekali mendengus, ia mengamati gerak-gerik sepasang siswa SMA yang sedang berbelanja keperluan memasak itu lekat-lekat. Tidak kurang cerdik, ia selalu menjaga jarak aman. Tak lupa mendorong troli dan secara acak memasukan barang-barang ke dalamnya. Paling tidak ia terlihat seperti orang-orang lain yang sedang berbelanja di tempat ramai itu. Sepasang remaja itu terlihat sangat menikmati waktu belanja mereka. Si cowok mendorong troli dengan santai, sedangkan si cewek kelihatannya membawa catatan daftar barang yang mereka beli, si jaket hitam mengeluarkan kamera dari sakunya. Tak sampai semenit, Olympus mungil itu telah mengabadikan beberapa momen yang terlihat 'akrab' di antara Sivia dan Alvin. Ketika mereka memilih-milih spageti... Ketika mereka mengobrol sangat dekat sambil mengambil anggur putuih... Ketika mereka bercanda sewaktu memilihmilih tomat segar... Ketika Alvin menyentuh kepala Sivia lembut, di konter sayuran... Si jaket hitam tersenyum sendiri sambil memarkir troli dengan asal di ujung koridor hypermarket. Foto yang terakhir itulah yang paling disukainya. Ia puas. Maka setelah menyimpan kembali Olympus-nya, ia bergegas keluar. ***

KAMAR SIVIA, 23.01... "Masuk aja, Biet!" seru Sivia dari kamar, menanggapi ketukan pintu dan suara Obiet yang memanggilnya. Obiet pun masuk. "Apa kabar, adik manisku?" gombalnya. Sivia menutup agenda sekolahnya. "Ada apa?" Obiet menggeleng, lalu duduk di samping Sivia sambil memeluk boneka Spongebob. "Kangen aja. Udah lama nggak ngobrol sama lo." katanya ringan. Bibir Sivia mengerucut. "Siapa suruh keluyuran terus? Jadinya jarang ketemu sama gue, kan?" "Hahaha!" Obiet tertawa lepas. "Nggak kebalik tuh? Since that gorgeous Gabriel tries to get you, pastinya kalian sering keluar bareng, kan?" Sivia menyikut pinggang Obiet. "He doesn't try to get me." katanya sambil tersepu. "Oh yeah? Dan untuk apa CD berisi alunan piano itu? Bukankah khusus dibuat Gabriel untuk lo?" Obiet mengedip jail, lalu mencubit pipi Sivia dengan gemas. "Scusi, Signorina...(maaf, nona...) Gue nemu CD itu tersimpan di laci paling rahasia di kamar ini." ia setengah berbisik dengan senyum kemenangan. "Stop it, Obiet! I'm not an elementary school girl..." Sivia menyingkirkan tangan kakaknya. "Lo tega banget sih menggeledah kamar gue! Dan soal Gabriel... kayaknya dia bukan buaya darat kayak yang lo bilang..." "Mungkin aja dia udah berubah sekarang." Obiet tersenyum. "Memangnya bagaimana perasaan lo terhadap dia?" Sivia menarik napas. "Entah, gue... seneng bareng sama dia. He's really fun to be with..." mata Sivia menerawang, "Gue... kepingin dia bahagia seperti dia selalu bikin gue dan orang lain di sekitarnya bahagia." "Itu artinya lo jatuh cinta sama dia?A" Obiet mengernyit. Sivia tidak menyahut. Ia hanya memandang kosong ke depan. Obiet berdiri. "Sebaiknya lo pelajari dulu perasaan lo sendiri..." Katanya sambil

melemparkan si Spongebob ke pangkuan Sivia kemudian mengacak rambut adiknya. "Gue mau online dulu, ada janji sama teman di Tokyo." Sivia mengangguk pelan. "Night, bro..." ujarnya pelan. *** "Sebaiknya lo pelajari dulu perasaan lo sendiri..." Sivia menggigit bibirnya. Apanya yang harus gue pelajari? Perasaan gue? Seumur hidup Sivia baru satu kali menentukan seseorang sebagai pangeran di hatinya. Dan itu terjadi sudah lama sekali. Namun sejujurnya Sivia masih mengharapkan orang itu kembali memasuki kehidupannya (tapi lupakan sejenak tentang cinta pertama Sivia itu, karena mengharapkannya kembali sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami). Jatuh cinta... Apakah itu sam dengan perasaan gue terhadap Gabriel, perasaan bahwa gue selalu lepingin dia mendapat yang terbaik... Selalu bahagia, tetap bahagia. Gue nggak kepingin senyuman itu hilang dari dunia ini. Senyuman hangat yang menentramkan itu... Atau... Apakah itu seperti perasaan gue ke Alvin? Perasaan seolah-olah gue selalu merasa ada jutaan kupu-kupu kecil dalam perut gue berlompatan, beterbangan? Jantung gue berdegup cepat dan tentu itu bikin gue gugup. Sivia menutupi wajahnya di dalam tumpukan bantan dan boneka. Melayang ke saat dia dan Alvin berbelanja tadi. Sivia senang karena Alvin bersikap lebih manis maksudnya nggak jutek. Bahkan Alvin bisa di ajak bercanda. Ia mulai merasa bisa berteman dengan sang pangeran muda Sindhunata. Namun yang paling membuat hatinya berdesir adalah ketika Alvin mengusap kepalanya dengan lembut ketika mereka berjalan di koter sayuran di hypermarket. "Ada potongan sayur di rambut lo." ujar Alvin sambil tersenyum kecil. Meskipun Alvin menyentuh rambut Sivia hanya karena ingin menghilangkan secuil daun bayam yang nyasar di sana, Sivia tetap merasa jantungnya berdegup cepat. Bahkan lututnya lemas, dan saat itu ia bingung apakah harus tersenyum atau tidak. Karena sebenarnya ia sangat ingin tersenyum....

Jatuh cinta... Bolehkah aku jatuh cinta? Sivia berbaring menatap langit-langin kamarnya, teringat cinta pertamanya... *** KAMAR ALVIN, 23.45... Di depan layar notebook, wajah Alvin tanpa ekspresi. Cowok itu membiarkan pikirannya berkelana bebas, memikirkan apa pun atau siapa pun yang ingin ia pikirkan saat ini. Sosok cewek bernama Sivia. Rambut panjang yang lembut. Wajah oval dengan kulit seputih salju. Sepasang mata jitam jernih. Senyumnya... mencerminkan betapa polos dirinya. Ekspresinya saat bicara kadang judes, kadang tampak lugu, dan kadang kocak. Cewek yang ekspresif seperti itu mungkin memang cocok bersanding dengan Gabriel, paling nggak mereka punya kesamaan. Alvin menghembuskan napas. Ia merasa tolol banget hari ini. Berangkat ke rumah Sivia dengan mengatasnamakan tas sepatunya, lalu mencari-cari alasan untuk bisa pergi bersama cewek itu agar bisa lebih lama di dekatnya. Ia bahkan berbohong mengenai ibunya. Tidak ada tamu yang bakal datang. Semuanya cuma alasan. Ada apa sebenarnya? Belum cukup anehkah gue yang nggak bisa mengingat masa lalu, sehingga perlu ditambah dengan gue yang tiba-tiba punya keinginan untuk menemui seorang cewek yang biasanya paling enggan gue temui? Bahkan gue mulai berasa 'bisa' berteman dengannya. Setiba di rumah, Alvin langsung meletakkan semua belanjaannya di dapur dengan cuek. Itu membuat Martha sang koki keluarga Sindhunata yang diimpor Teresa dari negeri gingseng mendelik bingung. Sejak kapan Tuan Muda belanja keperluat memasak? pikirnya sambil mengeluarkan sebungkus kerang lalu menggeleng. Sebuah suara muncul dari komputernya, mengagetkan alvin. Ternyata Gabriel, ia mengirimkan alvin sebuah nudge (fitur pada MSN Messenger, fungsinya seperti BUZZ! pada Yahoo! Messenger)

.:Gabriel-D:. : dari mana aja lo? dari tadi gue telp ga diangkat =( Sejenak Alvin terpekur. Ia memang tidak membawa HP saat pergi tadi. Sebenarnya bukan karena menghindari telepon dari Gabriel, namun telepon rutin Shilla-lah yang bikin Alvin malas bawa HP. Dan setelah ia tiba di rumah pum, belum disentuhnya HP yang tergeletak di sambil bantal itu. Gue nggak mungkin bicara jujur, bilang gue ke rumah Sivia lalu menculik cewek itu untuk nemenin gue belanja. Ah! Kenapa Gabriel mesti mempertanyakan hal ini?! -Alvin-Jo-Sin- : hmm.. tadi nemenin sepupu gue ke udangan di Mulia... HP ketinggalan. :D lagian mentar doang kok... buktinya skrng udah nangkring di kamar. Alvin merasa napasnya sesak. Ia tidak suka berbohong seperti ini kepada sahabatnya sendiri apalagi Gabriel kayaknya percaya aja dengan kebohongan Alvin. Tapi kalau ia mengatakan sejujurnya, Gabriel mungkin marah dan akibatnya parah untuk persahabatan mereka. Kalau saja ia nggak merasa kepingin ketemu Sivia tadi. Kalau saja ia tidak ke sana, maka ia akan merasa nyaman seperti biasa terhadap Gabriel. Kini Alvin merasa seperti penjahat. Meskipun di antara ia dan Sivia tidak ada apa-apa, tetap saja ia takkan memberitahu Gabriel. Hingga satu setengah jam berikutnya ketika alvin, Gabriel, dan Cakka tengah bermain Point Blank bersama, Alvin masih merasakan butir-butir perasaan bersalah terhadap Gabriel. Sori, Gabriel... Nggak akan terulang lagi. Sahabat nggak berbohong, kan?

You might also like