You are on page 1of 17

LAPORAN PRAKTIKUM IMMUNOLOGI ISOLASI SEL LIMFOSIT DARI ORGAN-ORGAN LIMFOID

Disusun Oleh : NAMA NIM KELOMPOK NAMA ASISTEN : Adisuryo Nugroho : 0910910027 :4 : 1. Fachreza Rizki 2. FX Esti Rahayu

LABORATORIUM BIOLOGI MOLEKULER DAN SELULER JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

ISOLASI SEL LIMFOSIT DARI ORGAN-ORGAN LIMFOID Adisuryo Nugroho Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, 2011 ABSTRAK Praktikum Isolasi Sel Limfosit Dari Organ-Organ Limfoid bertujuan untuk menginduksi terbentuknya antibodi pada hewan coba dengan injeksi antigen serta untuk menggambil sel-sel limfosit dari organ-organ limfoid. Pada praktikum ini dilakukan penginjeksian antigen (E. coli) pada hewan coba yaitu mencit. Penginjeksian dilakukan dua kali yaitu penginjeksian kembali antigen yang sama ke tubuh mencit (Booster). Mencit diinjeksi suspensi bakteri E. coli sebanyak 1 ml dengan jumlah sel bakteri 107 dan 109. Mencit diinjeksi secara intraperitonial yaitu pada rongga perut. Setelah mencit dipelihara selama dua minggu, sel-sel limfosit yang terbentuk pada organ limfoid diisolasi kemudian dihitung jumlah sel limfosit pada organ timus, limph node, dan spleen dengan haemocytometer. Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah suspensi bakteri E. coli yang diinjeksikan maka akan semakin banyak sel-sel limfosit yang akan diproduksi. Jumlah sel limfosit yang diberi injeksi antigen sebanyak 107 dan 109 lebih banyak dari pada yang kontrol. Sel limfosit yang ditemukan pada organ limph node lebih banyak dibandingkan dengan organ spleen dan timus.

Kata kunci : Antigen, Booster, Injeksi, Limfosit, Organ limfoid

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Teori

1.1.1. Antigen dan Antibodi


Antigen merupakan subtansi asing yang dapat memicu respon imun spesifik, sehingga menyebabkan produksi antibodi dari limfosit sebagai bagian dari pertahanan tubuh terhadap infeksi penyakit. Antigen dapat berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nukleoprotein. Zat-zat yang bersifat antigenik biasanya mempunyai berat molekul yang besar, selanjutnya proses antigenisitas tergantung atas rantai prostetik yang secara teratur timbul pada permukaan molekul besar. Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, dan protozoa. Antibodi, disebut juga imunoglobulin yang merupakan suatu glikkoprotein plasma yang bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenik yang merangsang pembentukan antibodi, antibodi disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B (Mayer, 2011). Imunitas merupakan mekanisme perlindungan biologis untuk menghindari infeksi penyakit maupun invasi biologis lain yang tak diharapkan. Sistem imun terbagi atas dua macam, yaitu sistem imun spesifik dan non-spesifik. Sistem imun non-spesifik sudah ada dan berfungsi sejak lahir dan merupakan penawar antigen atau eliminator atas patogen untuk menghentikan mikroorganisme yang menyebabkan penyakit. Sistem imun spesifik baru berkembang setelah dirangsang atau terkena antigen sehingga sistem imun beradaptasi sendiri terhadap penyakit baru. Sistem imun spesifik terbagi menjadi dua menurut prosesnya tergantung pada pembentukan kekebalan tersebut. Kekebalan alami terjadi melalui kontak dengan patogen secara tidak sengaja, sementara kekebalan buatan didapat dengan jalan vaksinasi (Baratawijaya, 1996).

1.1.2. Escherichia coli


E. coli merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif, aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. E. coli memiliki ukuran sel dengan panjang 2,0 6,0 m dan lebar 1,1 1,5 m. E. coli merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada usus manusia dan merupakan flora normal di usus. Namun, beberapa jenis E. coli dapat bersifat pathogen. Berikut ini merupakan klasifikasi dari E. coli (Pelczar, 2006) :

Domain Filum Ordo Famili Genus Spesies

: Bacteria : Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Escherichia : Escherichia coli

1.1.3. Injeksi
Injeksi adalah sediaan farmasetis steril berupa larutan yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan melalui kulit menggunakan alat suntik. Pemberian injeksi memiliki beberapa rute tergantung lokasi pemberian injeksi dan volume larutan yang akan diinjeksikan. Berikut ini merupakan rute injeksi (Gennaro, 1998) : a. Intradermal merupakan injeksi ke dalam lapisan kulit. Injeksi ini digunakan untuk obat yang sensitif atau untuk menentukan sensitivitas terhadap mikroorganisme. b. Intramuskular merupakan injeksi ke dalam otot. Rute ini digunakan untuk obat yang diberikan dalam jumlah kecil dan obat dapat diserap dengan cukup cepat secara bertahap. c. Intravena merupakan injeksi ke dalam vena. Rute ini digunakan ketika aksi obat dibutuhkan lebih cepat. d. Subkutan merupakan injeksi yang diberikan di bawah kulit. Rute ini mempunyai aksi obat yang lambat dengan absorpsi sedikit. e. Intra-arterial merupakan injeksi yang disuntikkan ke dalam arteri. Injeksi ini digunakan ketika aksi segera diinginkan dalam daerah perifer tubuh. f. Intrakardial merupakan injeksi yang disuntikkan ke dalam jantung. Injeksi ini digunakan ketika kehidupan terancam dalam keadaan darurat seperti gagal jantung. g. Intraserebral merupakan injeksi ke dalam serebrum. Injeksi ini digunakan khusus untuk aksi lokal yaitu penggunaan fenol dalam pengobatan trigeminal neuroligia. h. Intraspinal merupakan injeksi ke dalam kanal spinal. Injeksi ini menghasilkan konsentrasi tinggi dari obat dalam daerah lokal yaitu untuk pengobatan penyakit neoplastik seperti leukemia. i. Intraperitoneal dan intrapleural merupakan rute yang digunakan untuk pemberian berupa vaksin rabies dan larutan dialisis ginjal. j. Intra-artikular merupakan injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat antiinflamasi secara langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.

l. Intrakutan merupakan injeksi yang dimasukkan secara langsung ke dalam epidermis di bawah stratum corneum. Rute ini digunakan untuk memasukkan bahan-bahan diagnostik atau vaksin dengan volume yang kecil (0,1-0,5 ml). 1.1.4. Booster Booster merupakan perlakuan ulangan untuk injeksi antigen yang sama pada hewan coba. Booster dilakukan untuk meningkatkaan respon imun sehingga imunitas adaptif akan bekerja sehingga limfosit akan diproduksi. Respon imun sekunder dilakukan dengan booster, sehingga apabila terdapat injeksi antigen untuk kedua kalinya, maka jumlah sel limfosit yang dihasilkan juga lebih tinggi dan respon imunnya juga lebih cepat (Baratawijaya, 1996).

1.1.5. Sel Limfosit


Sel-sel limfosit banyak terdapat pada organ yang disebut organ lymphoid. Organ lymphoid dapat dibagi menjadi dua yaitu organ lymphoid sentral atau organ lymphoid primer dan organ lymphoid peripheral atau organ lymphoid sekunder. Organ lymphoid primer yaitu sumsum tulang dan thymus. Organ lymphoid sekunder yaitu spleen, lymph node, payers patch, appendix, adenoid, dan tonsil. Sel-sel limfosit dihasilkan oleh organ lymphoid primer dan akan menuju ke organ lymphoid sekunder. Limfosit B maupun limfosit T berasal dari sumsum tulang. Limfosit B mengalami pemasakan pada sumsum tulang sedangkan limfosit T mengadakan migrasi ke organ thymus dan mengalami pemasakan peyeleksian pada organ ini. Limfosit yang telah mengalami pemasakan pada organ lymphoid primer akan memasuki peredaran darah untuk menuju organ lymphoid sekunder (Baratawijaya, 2009). Sel limfosit B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing. Kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel T killer dari organisme yang menyerang. Sel limfosit T bertanggung jawab terhadap reaksi imun seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing (Baratawijaya, 2009).

1.1.6. Organ Limfoid


Lymph node merupakan organ limfoid yang tersebar dalam tubuh sebagai titik berkumpulnya sistem pembuluh limpha. Limpha

merupakan cairan ekstraselluler yang berasal dari filtrasi darah. Limpha akan masuk ke jaringan lymph node melalui pembuluh limpha afferent. Cairan limpha membawa antigen dari jaringan yang terinfeksi dan APC yang telah bermuatan berbagai macam antigen. Limpha juga berperan membawa kembali limfosit ke luar dari lymph node ke dalam sirkulasi darah. Di dalam organ lymph node sel limfosit B menempati daerah folikel, sedangkan sel limfosit T menempati daerah parakortikal (Murphy dkk., 2008). Spleen merupakan organ limfoid yang terletak di belakang lambung. Organ ini bertugas mengumpulkan antigen dari darah dan menghancurkan darah merah yang telah kehilangan fungsi. Organ spleen terdiri dari daerah yang disebut pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah merupakan tempat penghancuran darah merah yang telah tua. Pulpa putih merupakan tempat berkumpulnya sel limfosit B yang berasal dari arteri dan tempat berkumpulnya sel limfosit T. GALT merupakan organ limfoid yang mencakup adenoid, tonsil, appendix, dan Payers patches pada usus halus. GALT mempunyai tugas mengumpulkan antigen yang berasal dari daerah pencernakan (Murphy dkk., 2008). Thymus merupakan organ yang terletak dalam mediastinum di depan pembuluh-pembuluh darah besar yang meninggalkan jantung. Pada organ thymus, limfosit T mengalami seleksi berdasarkan responnya terhadap antigen. Apabila sel limfosit T mengikat antigen secara kuat atau tidak merespon antigen, maka sel tersebut akan langsung dimusnahkan sedangkan sel limfosit T yang merespon antigen akan tetap hidup dan masuk ke dalam peredaran darah sampai ke organ limfoid sekunder (Murphy dkk., 2008). 1.2. Tujuan Tujuan pelaksanaan praktikum Isolasi Sel Limfosit dari OrganOrgan Limfoid adalah untuk menginduksi terbentuknya antibodi pada hewan coba dengan injeksi antigen serta untuk menggambil sel-sel limfosit dari organ-organ limfoid.

BAB II METODE 2.1. Waktu dan Tempat Praktikum yang berjudul Isolasi Sel Limfosit dari Organ-Organ Limfoid dilaksanakan pada tanggal 14, 21, dan 28 Oktober 2011 pukul 07.30 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB dan bertempat di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler serta Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya. 2.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu suspensi E. coli 106 per 100 l, PBS dingin, alkohol 70%, vital dye 5 L, dan mencit (Mus musculus). Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu gunting, papan bedah, wire, cawan petri, api bunsen, spuit 1 ml dan 3 ml, mikrotube, tabung Eppendorf, mikropipet, haemocytmeter, ice box, sentrifus, cover glass, mikroskop cahaya. 2.3. Prosedur Kerja 2.3.1. Penginjeksian Antigen E.coli pada Hewan Coba Bakteri E. coli dalam media LB

diambil 100 L, dimasukkan ke dalam mikrotube diencerkan dengan 98 L PBS dihomogenkan dihitung jumlah sel dengan haemocytometer (107 dan 109) diambil 1 ml, disentrifugasi 13000 rpm selama 15 menit pada suhu 40C

Suspensi Bakteri E. coli

Homogenat

supernatan dibuang, pelet diresuspensi dengan PBS hingga 1 ml dihomogenkan dihomogenkan dimasukkan dalam spuit 1ml

diinjeksikan ke mencit secara intraperitonial mencit dipelihara selama 2 minggu

Mencit terinjeksi E. coli 2.3.2. Booster : Penginjeksian Antigen E.coli pada Hewan Coba Prosedur kerja sama dengan prosedur kerja penginjeksian antigen E.coli pada hewan coba. 2.3.3. Pengambilan Organ-Organ Limfoid Mencit

dibunuh dengan cara dislokasi leher diletakkan terlentang pada papan bedah, disemprot alkohol 70% pada bagian ventral dicubit sedikit bagian kulit perut dan digunting disterilkan wire dengan cara disemprot alkohol 70%, dibakar pada api bunsen, dibiarkan sampai suhu ruang, diletakkan di atas cawan petri berisi 1ml PBS dingin diambil lymph node pada pangkal lengan dan paha, diletakkan di atas wire dilakukan hal yang sama untuk timus dan spleen pada wire yang terpisah

Lymph node, Timus, Spleen 2.3.4. Isolasi Sel Limfosit Secara Mekanik Organ Lymphoid

dimasukkan dalam cawan petri yang berisi 1000 L PBS dipencet searah 2-3 kali dengan pangkal spuit dipindah suspensi sel-sel limfosit ke dalam tabung Eppendorf atau propilen disentrifugasi 2500 rpm selama 5 menit pada suhu 40C

Supernatan + Pelet

supernatan dibuang, pelet diresuspensi dengan 1000 L PBS dipipeting dan disentrifugasi 2500 rpm selama 5 menit pada suhu 40C

Suspensi sel limfosit 2.3.5. Penentuan Keberhasilan Isolasi: Menghitung Sel Limfosit yang Hidup Suspensi sel limfosit

diambil 5 L, dimasukkan dalam tabung Eppendorf, ditambah 5 L vital dye dihomogenkan dengan cara pipeting, diletakkan dalam ice box diamati dan dihitung jumlah sel limfosit yang hidup dengan haemocytometer, angka yang didapat dikonversikan menjadi a x 10n sel/ml data dimasukkan pada tabel

Jumlah sel limfosit

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Analisa Prosedur 3.1.1. Penginjeksian Antigen E.coli pada Hewan Coba Bakteri E. coli dalam media LB (Luria Berthani) diambil 100 L dan dimasukkan ke dalam mikrotube. Kemudian diencerkan dengan 98 L PBS untuk mengurangi jumlah bakteri agar mudah dihitung. PBS berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis sel. Setelah itu suspensi dihomogenkan agar bakteri dan PBS tercampur. Selanjtnya dihitung jumlah sel dengan haemocytometer untuk mengetahui jumlah sel bakteri yang akan dimasukkan yaitu 107 dan 109. Kemudian suspensi diambil 1 ml dan disentrifugasi 13000 rpm selama 15 menit pada suhu 40C untuk memisahkan bakteri dengan medianya. Setelah itu supernatan dibuang untuk membuang media lalu pelet diresuspensi dengan PBS hingga 1 ml. Selanjutnya dihomogenkan dan dimasukkan dalam spuit 1ml. Kemudian diinjeksikan ke mencit secara intraperitonial mencit untuk memasukkan antigen (E. coli) ke dalam tubuh mencit. Penginjeksian dilakukan secara intraperitonial untuk mengelola bahan ke dalam ruang yang mengelilingi organ-organ perut yang banyak terdapat organ limfoid sekunder yaitu GALT serta menghindari suntikan langsung ke organ. Injeksi intraperitoneal atau injeksi pada rongga perut tidak dilakukan untuk manusia karena ada bahaya infeksi dan adesi yang terlalu besar (US National Institutes of Health, 2008). Setelah itu mencit dipelihara selama 1 minggu. Minggu berikutnya dilakukan booster yaitu penginjeksian kembali antigen yang sama pada mencit untuk mentrigger terbentuknya sel limfosit sebagai respon imun sekunder (Baratawijaya, 1996). 3.1.2. Isolasi Sel Limfosit dari Organ-Organ Limfoid Mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher untuk membunuh mencit tanpa merusak kondisi fisiologis sel. Kemudian mencit diletakkan terlentang pada papan bedah untuk memudahkan pembedahan lalu disemprot alkohol 70% pada bagian ventral agar steril. Setelah itu dicubit sedikit bagian kulit perut dan digunting untuk mengambil organ limfoid. Selanjutnya disterilkan wire dengan cara disemprot alkohol 70% lalu dibakar pada api Bunsen agar terbebas dari kontaminasi. Kemudian wire diletakkan di atas cawan petri berisi 1ml PBS dingin. Setelah itu diambil lymph node, timus dan spleen dan diletakkan di atas wire. Organ-organ limfoid dimasukkan dalam cawan

petri yang berisi 1000 L PBS. PBS berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis sel. Selanjutnya organ limfoid dipencet searah 2-3 kali dengan pangkal spuit untuk mendapatkan sel limfosit. Kemudian dipindah suspensi sel-sel limfosit ke dalam tabung Eppendorf atau propilen lalu disentrifugasi 2500 rpm selama 5 menit pada suhu 40C untuk memisahkan suspensi sel limfosit. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensi dengan 1000 L PBS untuk mengencerkan pelet. Setelah itu dipipeting agar homogen dan disentrifugasi 2500 rpm selama 5 menit pada suhu 40C untuk mendapatkan pelet yang hanya terdapat sel limfosit. Suspensi sel limfosit diambil 5 L lalu dimasukkan dalam tabung Eppendorf dan ditambah 5 L vital dye. Vital dye berfungsi sebagai pewarna sel limfosit. Kemudian dihomogenkan dengan cara pipeting dan diletakkan dalam ice box. Setelah itu diamati dan dihitung jumlah sel limfosit yang hidup dengan haemocytometer. Penghitungan secara langsung dapat dilakukan secara mikroskopis yaitu dengan menghitung jumlah bakteri dalam satuan isi yang sangat kecil menggunakan Haemocytometer. Jumlah cairan yang terdapat antara coverglass dan alat ini mempunyai volume tertentu sehingga satuan isi yang terdapat dalam satu kotak juga memiliki volume tertentu. Ruang hitung terdiri dari 9 kotak besar dengan luas 1 mm. Satu kotak besar di tengah, dibagi menjadi 25 kotak sedang dengan panjang 0,2 mm. Satu kotak sedang dibagi lagi menjadi 16 kotak kecil. Dengan demikian satu kotak besar tersebut berisi 400 kotak kecil. Tebal dari ruang hitung ini adalah 0,1 mm. Sel bakteri yang tersuspensi akan memenuhi volume ruang hitung tersebut sehingga jumlah bakteri per satuan volume dapat diketahui (Hadioetomo, 1993).

Gambar 1. Haemocytometer (Hadioetomo, 1993).

3.2. Analisa Hasil 3.2.1. Tabel Hasil Pengamatan Berikut ini merupakan tabel hasil perhitungan sel limfosit yang diitemukan pada organ timus, limph node dan spleen : Tabel 1. Jumlah sel limfosit yang ditemukan pada organ timus, limph node, dan spleen. Kel Organ Timus Limph node Spleen 1 (Kontrol) 139 1750 243 2 (107) 158 2350 262 3 (107) 173 2750 280 4 (109) 186 3250 299 5 (109) 214 2850 306

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah suspensi bakteri E. coli yang diinjeksikan maka akan semakin banyak sel-sel limfosit yang akan diproduksi. Hal ini dapat dilihat pada mencit kelompok 1, jumlah sel limfosit yang ditemukan paling sedikit diantara kelompok yang lainnya pada ketiga organ limfoid (timus, limph node, dan spleen) karena kelompok 1 sebagai kontrol (tidak dilakukan penginjeksian antigen) sehingga sel limfosit yang terbentuk juga sedikit. Pada mencit kelompok 2 dan 3 diinjkesikan suspensi bakteri E. coli sebanyak 107 sedangkan mencit kelompok 4 dan 5 diinjkesikan suspensi bakteri E. coli sebanyak 109 sehingga jumlah sel limfosit yang terbentuk semakin banyak. Pada saat penginjeksian antigen terdapat ruam-ruam pada tubuh mencit. Hal ini menunjukkan suatu respon imun terhadap antigen yang dimasukkan ke dalam tubuh sehingga tubuh akan memproduksi antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Dosis 108 adalah dosis maksimum bagi mencit untuk mentolerir masuknya antigen E. coli. Sel limfosit diambil dari tiga organ limfoid (timus, limph node, dan spleen) karena pada organ tersebut terdapat banyak sel-sel limfosit. Sel limfosit yang ditemukan pada organ limph node lebih banyak dibandingkan dengan organ spleen dan timus karena organ tersebut merupakan organ limfoid sekunder yang banyak tersebar di seluruh tubuh dan pada organ tersebut sel limfosit bertemu dengan antigen. Pada organ limfoid sekunder, sel-sel limfosit dijaga kehidupannya dan pada organ limfoid sekunder pula sel-sel limfosit mengalami adaptasi akibat adanya antigen yang masuk dalam tubuh. Organ limfoid sekunder

merupakan tempat terjadinya penangkapan antigen oleh sel-sel immunocompetent. Antigen dan sel limfosit akhirnya akan bertemu pada organ limfoid peripheral yaitu pada limph node dan spleen (Murphy dkk., 2008). 3.2.2. Mekanisme Respon Imun Terhadap E. coli Sistem imun terdiri dari dua macam, yaitu sistem imun humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistem imun humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk dilepaskan ke darah. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah. Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi), namun tidak dilepaskan ke dalam darah melainkan langsung bereaksi dengan antigen di jaringan. Sistim kekebalan seluler disebut juga respon yang diperantarai sel (Playfair, 2005). Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh maka tubuh akan terangsang dan memunculkan suatu respon awal yang disebut sebagai respon imun primer. Respon ini memerlukan waktu lebih lama untuk memperbanyak limfosit dan membentuk ingatan imunologik berupa selsel limfosit yang lebih peka terhadap antigen. Kalau antigen yang sama memasuki tubuh kembali maka respon yang muncul dari tubuh berupa respon imun sekunder. Respon ini muncul lebih cepat, lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada respon imun primer (Playfair, 2005). Ketika limfosit menemukan agen penginfeksi pada jaringan limphoid maka sel-sel tersebut akan tetap tinggal pada jaringan limphoid dan mengadakan proliferasi dan deferensiasi menjadi sel yang disebut sel efektor. Sel-sel efektor mempunyai kemampuan untuk melawan antigen. Ketika terjadi infeksi di daerah peripheral, maka sel dendritik akan segera menangkap antigen tersebut dan segera membawanya dari tempat infeksi ke lymph node melalui pembuluh lymphatic afferent. Pada lymph node sel dendritik akan menampilkan antigen yang ditangkap dalam bentuk peptida ke sel T yang bersirkulasi di daerah tersebut. Peptida ditampilkan pada permukaan APC dalam keadaan terikat oleh MHC. Limposit mengenali antigen yang terikat oleh MHC itu. Sel dendritik juga memproduksi sitokine untuk membantu aktivasi sel T. Sehingga sel T akan membunuh antigen

tersebut (Burmester, 2003). Berikut ini merupakan gambar mekanisme respon imun :

Gambar 2. Mekanisme respon imun (Burmester, 2003).

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah suspensi bakteri E. coli yang diinjeksikan maka akan semakin banyak sel-sel limfosit yang akan diproduksi. Jumlah sel limfosit yang diberi injeksi antigen sebanyak 107 dan 109 lebih banyak dari pada yang kontrol. Sel limfosit yang ditemukan pada organ limph node lebih banyak dibandingkan dengan organ spleen dan timus. 4.2. Saran Diharapkan para praktikan lebih disiplin dan lebih hati-hati dalam merawat hewan coba serta lebih teliti dalam menghitung jumlah sel bakteri yang akan dimasukkan ke dalam tubuh mencit dan jumlah sel limfosit pad organ limfoid.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K.G. 1996. Imunologi Dasar. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta Burmester, G.R., Pezutto, A. 2003. Color Atlas Of Immunology. Thiemme : New York Gennaro, A.R. 1998. Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition. Marck Publishing Co : Easton Hadioetomo, R.S. 1993. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Gramedia : Jakarta Mayer, G. 2011. Immunology, Antigens. University of south carolina school of medicine. http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/antigens2000.htm. Tanggal akses 13 Oktober 2011 Murphy, K.P., Travers, P., dan Walport, M. 2008. Janeways Immunobiology.7th Ed. Garland Sciene : London Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta Playfair, J.H.L., Chain, B.M. 2005. Immunology At A Glance Eight Edition. Blackwell Publishing : Massachussets US National Institutes of Health. 2008. Injections. http://nature.com. Tanggal akses 20 November 2011

You might also like