You are on page 1of 45

I.

PENDAHULUAN

Saat ini kebutuhan masyarakat semakin meningkat, baik kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam ini membuka peluang bagi pengusaha untuk menciptakan suatu produk memiliki nilai ekonomis sehingga berpotensi untuk dikembangkan seperti produk jamur kering. Selama ini petani jamur dalam mengeringkan jamur menggunakan cara konvensional yaitu dengan penjemuran di bawah panas matahari. Hasil pengeringan jamur dengan cara konvensional ini kurang efektif, dikarenakan jamur masih memiliki kadar air yang cukup tinggi. Proses pengeringan didefinisikan sebagai penerapan panas dalam kondisi terkontrol untuk menghilangkan sejumlah air yang terkandung dalam bahan (Fellow, 1992). Ada dua macam cara mengeringakan jamur yaitu dilakukan secara manual dan secara mekanis, cara manual dilakukan dengan menjemur jamur melalui bantuan sinar matahari. Cara mekanis dilakukan dengan menggunakan bantuan alat pengering (Marlina, 2001). Sistem pengeringan secara mekanis belum banyak digunakan para petani jamur di Indonesia namun dengan menggunakan alat pengering, pengeringan jamur dapat dilakukan secara terus menerus tanpa tergantung adanya sinar matahari ataupun iklim setempat. Di samping itu waktu pengeringan dapat lebih dipercepat (Darsono, 1982). Kelebihan menggunakan pengering buatan adalah suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat, tidak tergantung dengan sinar matahari, produk yang dihasilkan lebih baik dan seragam mutunya. 1

Desain alat pengering yang baik akan berpengaruh terhadap pengendalian mutu jamur selama proses pengeringan yang didasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan proses pengeringan jamur adalah temperatur, kelembaban, dan sirkulasi udara di dalam mesin pengering. Salah satu alat pengering yang banyak digunakan di industri pangan adalah pengering tipe kabinet. Masalah yang sering timbul pada penggunaan alat pengeringan mekanis adalah sebaran suhu atau temperatur di dalam ruang pengering yang kurang merata di setiap rak yang terdapat pada ruang pengering, kecepatan pengeringan yang tidak sama, dan waktu pengeringan yang kurang optimal. Sehingga produk yang lebih dekat dengan aliran udara panas pada alat pengering akan lebih cepat kering (Heldman dan Singh, 1980). Pengeringan konvensional tipe rak jika kelembaban yang jenuh tidak segera diganti dengan udara yang kering maka akan mengakibatkan proses pengeringan yang berlangsung lama. Sedangkan pada pengeringan dengan penambahan dehumidifier udara panas yang dihasilkan dari pembangkit energi panas dialirkan dengan blower masuk kedalam ruang pengering kemudian menjadi lembab setelah melewati permukaan bahan yang dikeringkan, jika kelembaban pada ruang pengering tinggi atau jenuh akan segera dikeluarkan ke lingkungan menggunakan dehumidifier dalam bentuk uap air dan digantikan dengan lagi udara yang kering sehingga kelembaban dalam ruang pengering menjadi rendah. Demikian siklus udara pengeringan bekerja berulang-ulang. Pengeringan dengan penambahan dehumidifier adalah salah satu cara untuk memperbaiki pengering konvensional dimana pada pengering konvensional kelembaban yang ada pada ruang pengering

tidak dapat di kontrol namun dengan adanya penambahan dehumidifier kelembaban yang ada dalam ruang pengering dapat di kontrol sesuai dengan yang kita inginkan. Berdasarkan uraian diatas maka untuk menghasilkan jamur kering yang berkualitas perlu dilakukanya evaluasi kinerja dari mesin pengering dengan penambahan dehumidifier tersebut. Alat pengering yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alat pengering tipe rak dengan dehumidifier Jamur merupakan komoditas pertanian yang mudah mengalamai kerusakan fisik, yaitu mudah patah dan cepat layu dalam proses pengeringan sehingga dibutuhkan alat pengering yang sesuai. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka dirancang alat pengering tepat guna. Rahardjo (2011) telah merancang dan membangun alat pengering jamur tiram tipe rak dengan modifikasi pembagi udara panas dilengkapi dengan sistem kontrol suhu dan kelembaban yang berfungsi sebagai sirkulasi untuk membuang uap jenuh atau perpindahan massa di dalam pengering akibat pengeringan. Sehingga waktu pengeringan menjadi lebih cepat, penggunaan energi yang lebih efisien dan produk yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas. 3

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kinerja alat pengering yang didesain dengan pengaturan kelembaban. Kinerja yang diuji meliputi suhu ruang pengering dan sebaranya, kadar air, kebutuhan energi untuk proses pengeringan, dan efisiensi pengeringan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai kelayakan pengeringan jamur dengan menggunakan alat pengeringan makanis tipe kabinet dengan modifikasi pembagi udara yang dilengkapi sistem kontrol suhu dan kelembaban serta memberikan masukan pengembangan lebih lanjut alat pengering mekanis bahan bakar gas tipe kabinet.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifat Fisik Jamur Tiram

Jamur mempunyai ragam jenis, salah satunya adalah jamur tiram putih (Pleurotos ostreatus). Nama jamur tiram (Pleurotus ostreatus) diberikan karena bentuk tudung jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram. Permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembab, dan tepinya bergelombang. Jamur ini memiliki tubuh yang tumbuh mekar membentuk corong dangkal seperti kulit karang (tiram). Tubuh jamur memiliki tudung (pilues) dan tangkai (stipes atau stalk). Pileus berbentuk mirip cangkang tiram berukuran 5-15 cm dan permukaan bagian bawah berlapis-lapis seperti insang berwana putih dan lunak. Sedangkan pertumbuhan tangkainya dapat pendek atau panjang (2-6 cm). Tangkai ini menyangga tudung lateral (dibagian tepi) atau eksentris (agak ke tengah). Jamur tiram bersih (Pleurotus florida dan Pleurotus ostreatus) memiliki tudung berwarna putih susu atau putih kekuningkuningan dengan garis tengah 3-14 cm (Djarijah dan Abbas, 2001). Bentuk jamur tiram umumnya seperti kulit kerang (tiram), sehingga masyarakat menyebutnya jamur tiram. Daya tarik jamur tiram adalah pada warna tubuh buahnya yang bervariasi, mulai putih (sehingga disibut tiram putih), kecoklatan, keabuan, kekuning-kuningan, kemerah-merahan. Nama tiram didasarkan warna tubuhnya (Suriawiria, 2010). Pengeringan pada jamur tiram umumnya masih sangat jarang, karena kandungan kadar air dalam jamur 5

mencapai 90%. Dari beberapa penelitian pengeringan jamur tentang kadar air meyebutkan bahwa kadar air jamur sebesar 89,41% (Kala, 2009), 86,8% (Kulshreshtha, 2009) dan 90,12% (Tulek, 2011) oleh karena itu dalam pengeringan jamur harus seragam.

B. Alat Pengering Mekanis

Pengeringan pada umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan alami dengan sinar matahari dan pengering buatan. Pengeringan buatan merupakan suatu proses pengendalian suhu di dalam ruangan (lingkungan mikro) dengan suatu alat pengring (Desroiser, 1988). Tray dryer atau alat pengering berbentuk rak, mempunyai bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak, yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Beberapa alat pengering jenis ini rak-raknya mempunyai roda sehingga dapat dikeluarkan dari alat pengeringnya. Bahan diletakkan di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alas yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara panas dan uap air (Taib et al, 1988). Wirakartakusumah et al, (1989), menyebutkan bahwa jenis alat pengering banyak digunakan secara konvensional secara umum dibagi menjadi dua tipe proses pengeringan yaitu kontinyu dan curah, Taib et al, (1988), menyebutkan pengeringan kontinyu adalah pengeringan dimana pemasukan dan pengeluaran bahan berlangsung secara terus menerus. Sedangkan pengeringan curah adalah pengeringan dimana bahan masuk ke dalam alat pengering dan keluar setelah

kering, kemudian dimasukan lagi bahan berikutnya. Dari penggolongan ini selanjutnya dapat dibedakan lagi atas pengering dan pemanasan langsung dan tidak langsung (Heldman dan Singh, 1980). Namun demikian, Heldman dan Singh (1980), menambahkan masalah-masalah diatas dapat diatasi dengan cara perpindahan atau perputaran letak rak. Selain itu dapat diatasi juga dengan pembalikan arah udara. Pengeringan ini sangat cocok untuk mengeringkan buahbuahan dan sayuran (Henderson dan Perry, 1976). Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan melalui lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak tersebut akan mengalir melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi proses penguapan air dari bahan (Desroiser, 1988). Dengan demikian, semakin ke bagian atas rak suhu udara pengering semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur agar pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan terjadinya penguapan air. Di samping itu kelembaban udara pengering pada saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan sehingga hasil kering yang diharapkan dapat tercapai.

C. Kelembaban Relatif

Secara umum pengeringan pada dasarnya terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap air di dalam bahan dengan tekanan uap air udara. Kelembaban relatif (RH) udara adalah perbandingan antara tekanan uap air udara aktual dengan tekanan uap air pada keadaan jenuh pada suhu yang sama. Dalam proses pengeringan. RH udara haruslah cukup rendah untuk dapat menyerap air dari bahan yang dikeringkan. Perbedaan tekanan uap air pada udara pengering dan permukaan bahan akan mempengaruhi laju pengeringan. Pada proses pengeringan yang baik diperlukan RH yang rendah sesuai dengan kondisi bahan yang akan dikeringkan. Untuk meningkatkan perbedaan tekanan udara antara permukaan bahan dengan udara sekelilingnya dapat dilakukan dengan memanaskan udara yang dihembuskan ke bahan. Makin panas udara yang dihembuskan mengelilingi bahan, maka banyak pula uap air yang dapat di tarik oleh udara panas pengering (Padua, 1976 dalam Helmi, 1994). Kelembaban relatif udara pengering yang tinggi akan menyebabkan tekanan uap air di udara lebih tinggi daripada tekanan uap air di dalam bahan. Hal ini menyebabkan bahan menyerap uap air dari sekeliling. Demikian pula sebaliknya, apabila kelembaban relatif udara lebih rendah maka bahan akan melepaskan uap air ke udara disekeliling. Besarnya kelembaban sangat dipengaruhi oleh suhu udara (Batubara, 2000). Pada kelembaban udara yang tinggi, laju penguapan air bahan akan lebih lambat dibandingkan dengan pengeringan pada kelembaban rendah. Selain itu kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat

kemampuan udara pengering dalam menampung uap air sekitar permukaan bahan. Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya, maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya. Karena udara kering dapat mengabsorpsi dan menahan uap air. Setiap bahan khususnya bahan pangan mempunyai keseimbangan kelembaban udara masing masing, yaitu kelembaban pada suhu tertentu dimana bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfir (Earle, 1969).

D. Efisiensi Pengeringan

Efisiensi pengeringan mempunyai arti penting untuk nilai kualitas kerja dari alat pengering yang dibuat. Kualitas kerja dari pengering meliputi aspek konversi energi dan perpindahan massa. Aspek konversi energi ditunjukan olah efisiensi bahan bakar, sedangkan aspek perpindahan massa dinyatakan dengan laju pelepasan massa air dari produk ke udara yang memanasinya. Efisiensi pengeringan dinyatakan sebagai perbandingan kalor yang digunakan untuk pengupan kandungan air dari bahan terhadap energi koveksi panas yang tiba di alat pengering. Efisiensi pengeringan adalah perbandingan antara panas yang secara teoritis dibutuhkan dengan penggunaan panas yang sebenarnya dalam pengeringan (Earle, 1969). Untuk menentukan efisiensi pengeringan dapat digunakan rumus :

Energi yang termanfaa tkan x 100% input energi

Oleh karena dengan mengetahui efisiensi alat pengering dapat dilakukan penyesuaian terhadap bahan yang akan dikeringkan misalnya untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan agar tercapai kadar air yang diinginkan (Taib et al, 1987).

10

III.

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman dan UKM jamur tiram Afal Mas. Tanjung, Purwokerto Selatan. Penelitian dilaksanakan mulai Februari sampai Maret 2012.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi jamur tiram. Sedangkan alat yang digunakan dalam` penelitian ini meliputi, mesin pengering tipe rak, timbangan digital, oven listrik, cawan, termometer alkohol, termometer bola basah, bola kering, termometer inframerah, kalkulator, alat ukur panjang, dan alat tulis.

C. Metode Penelitian

Proses pengeringan dilakukan dengan empat macam perlakuan yaitu perlakuan pertama menggunakan pengaturan kelembaban 20% pada ruang pengering. Perlakuan ke dua menggunakan pengaturan kelembaban 30% pada ruang pengering. Perlakuan ke tiga menggunakan pengaturan kelembaban 60% pada ruang pengering serta perlakuan ke empat menggunakan pengaturan 11

kelembaban 80%, masing-masing perlakuan menggunakan kapasitas pengeringan sebanyak 10 kg bahan jamur tiram dan bertujuan untuk mengetahui kinerja alat pengeringan sehingga pengeringan dapat berjalan secara efektif dan efisien.

D. Variabel Pengamatan dan Pengukuran

Variabel yang diamati dan diukur dalam penelitian ini meliputi: 1. Kadar Air Penentuan kadar air meliputi kadar air awal (bahan segar). kadar air selama proses pengeringan berlangsung dan kadar air bahan kering, pengukuran dilakukan dengan menggunakan oven sampai diperoleh berat yang konstan (Taib et al, 1997) pengukuran kadar air bahan dihitung dengan persamaan:
Kabb (Bobot awal Bobot kering oven) x 100% ................................ (1) Bobot awal

Kabk

(Bobot awal Bobot kering oven) x 100% ................................ (2) Bobot kering oven

Dimana:

Kabb = Kadar air basis basah (%) Kabk = Kadar air basis kering (%)

2. Kebutuhan Energi untuk Proses Pengeringan Energi untuk proses pengeringan (QU) QU = Q1 + Q2 ...................................................................................................................................... (3) Dimana: Q1 Q2 = Energi yang digunakan untuk menaikan suhu bahan (kJ) = Energi yang digunakan untuk menguapkan air bahan (kJ)

12

Q1 = mo Cpb (TR TL) ............................................................................ (4) Dimana: mo Cpb TR TL = Massa produk awal (kg) = Panas jenis produk (kJ/kgoC) = Suhu produk pada saat pengeringan (oC) = Suhu produk pada awal sebelum dikeringkan (oC)

Q2 = mu Hfg ............................................................................................ (5) Dimana: mu Hfg = Massa air yang diuapkan (kg) = Panas laten penguapan air produk (kJ/kg)

3. Energi Input Total (Bahan Bakar dan Listrik) QT = Q3 + Q4 ........................................................................................... (6) Dimana: Q3 Q4 = Energi bahan bakar (LPG) = Energi listrik yang digunakan

Energi gas Liquid Petroleum Gas (LPG) Energi gas Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang dibutuhkan adalah banyaknya pemakaian gas dalam satu kali proses pengeringan. Kebutuhan gas LPG dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut. Q3 = (mgi mga) x Nkg ............................................................................ (7) Dimana: Q3 mgi mga Nkg = Jumlah kalor yang terpakai (kkal) = Massa gas awal (kg) = Massa gas akhir (kg) = Nilai kalor gas (Kkal/kg)

13

Energi listrik (Suryatmo, 2002) Energi listrik yang dibutuhkan adalah untuk mengoperasikan blower, rangakaian kontrol suhu dan kelembaban. Energi listrik yang diperlukan selama pengoperasian alat, dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut. Q4 = W = P x t ......................................................................................... (8) Dimana: W P t = Energi listrik (Joule) = Daya listrik (Watt) = Waktu (detik)

4. Efisiensi pengeringan Efisiensi pengeringan adalah perbandingan antara jumlah panas total yang digunakan untuk memanaskan dan menguapkan air bahan dengan jumlah panas yang diterima udra pengering.
........................................................................................(9)

Dimana:

= Efisiensi pengeringan total (%) Qu = Energi yang digunakan untuk proses pengeringan (kJ) QT = Energi input bahan bakar (kJ)

14

E. Prosedur Penelitian

1. Persiapan bahan uji. Bahan uji adalah jamur tiram segar dengan berat 10 kg, bahan kemudian dihamparkan pada 10 rak yang ada masing-masing sebanyak 1 kg. 2. Bahan bakar gas yang akan digunakan dalam proses pengeringan ditimbang terlebih dahulu bobotnya dan dicatat. 3. Pengambilan data kondisi awal bahan sebelum dikeringkan, meliputi penimbangan bobot keseluruhan dan bobot sampel untuk tiap rak yang ukur. 4. Bahan dihamparkan merata satu lapis pada 10 rak yang tersedia dengan massa masing masing rak sebesar 1 kg, kemudian dilanjutkan memasukan bahan ke dalam mesin pengering dan memulai proses pengeringan. 5. Pengkondisian pengaturan pengeringan diatur dengan sistem kontrol pada ruang pengering dengan suhu yang telah ditentukan yaitu 45oC dengan berbagai perlakuan terhadap pengaturan kelembaban 20%, 30%, 40% dan 80%. 6. Pengambilan data pada panel kontrol serta lingkungan selama proses pengeringan berlangsung, data yang diambil meliputi suhu, kelembaban, kadar air, dan jumlah bahan bakar yang digunakan sehingga mencapai kadar air bahan yang dikehendaki sesuai waktu yang ditentukan. Pengambilan data pada panel kontrol ditunjukan pada Gambar 2.

15

Suhu terkontrol Kontrol kelembaban

Pengaturan suhu

Gambar 2. Panel kontrol pengambilan data pada alat pengering 7. Menghentikan proses pengeringan, jika seluruh bahan telah kering sesuai yang dikehendaki kemudian mengeluarkan bahan dari mesin pengering ke tempat penyimpanan. 8. Mengambil data kondisi akhir bahan setelah pengeringan, meliputi bobot kering keseluruhan dan berat tiap sampel. 9. Pengambilan data bobot bahan bakar gas yang digunakan setelah proses pengeringan. 10. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan persamaan untuk perhitungan kinerja pengeringan sehingga diperoleh nilai efisiensi ruang pengering. Analisis data secara keseluruhan digunakan untuk evaluasi kinerja pengering tersebut sehingga diperoleh efisiensi energi.

16

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Mesin Pengering

Objek penelitian ini adalah alat pengering tipe rak yang dilengkapi dengan dehumidifier untuk membantu menurunkan kelembaban dalam ruang pengering. Alat pengering ini dibuat mengunakan bahan stainless steel yang diberi insulasi kayu balsa. Secara keseluruhan dimensi rangka sebagai berikut: panjang 133 cm, lebar 97 cm, tinggi 160 cm. Dalam alat pengering ini terdiri dari 10 rak dalam ruang pengering yang terdapat lubang penyalur udara panas pada sisi kanan dan kiri pada tiap rak yang berfungsi sebagai penyalur udara panas pada tiap rak karena terhubung dengan ruang penyalur udara panas, dalam alat pengering ini terdapat beberapa komponen tambahan yaitu sistem kontrol suhu dan kelembaban udara yang terletak disamping rung pengering, lubang inlet menggunakan dua buah blower yang berfungsi mengalirkan udara lingkungan ke dalam ruang penyalur udara panas untuk dipanaskan dan didistribusikan ke ruang pengering dan lubang outlet menggunakan satu buah blower sebagai dehumidifier yang berfungsi

mengeluarkan uap air hasil proses pengeringan dan udara panas yang berlebih pada ruang pengering. Sumber panas pengering menggunakan bahan bakar LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan disalurkan pada bagian bawah, sisi kiri dan kanan ruang pengering. Bagian sisi kiri dan kanan ruang pengering terpasang sirip pembagi udara yang berfungsi untuk membagi udara panas agar merata pada setiap rak di dalam ruang pengering. 17

Mekanisme kerja alat yaitu panas yang bersumber pada pembakaran gas digunakan untuk memanaskan kolektor panas dan udara yang berada di dalam ruang penyalur udara dan dibantu oleh blower inlet yang menghembuskan udara lingkungan masuk kemudian dipanaskan dan didorong kedalam ruang pengering melalui sirip-sirip pembagi udara panas yang terpasang pada ruang pembagi udara. Pengkondisian pengering diatur oleh sistem kontrol suhu dan kelembaban, dimana suhu dan kelembaban pada ruang pengering akan dikondisikan mendekati pengaturan yang telah ditetapkan pada sistem kontrol suhu dan kelembaban.

B. Uji Kinerja Menggunakan Pengaturan Kelembaban

Rancangan

ruang

pengering

sangat

berpengaruh

terhadap

proses

pengeringan yang berlangsung. Pada proses pengeringan selain udara panas berpengaruh sekali terhadap perubahan suhu, pergerakan udara didalam proses pengeringan juga ditentukan oleh kelembaban udara. Kelembaban merupakan ukuran kandungan uap air yang terdapat diudara. Kelembaban udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke permukaan bahan, bila perbedaan tekanan uap air antara cairan di dalam permukaan bahan dan uap air di luar bahan kecil menyebabkan pemindahan cairan akan menjadi terhambat (Taib, 1998). Semakin rendah kelembaban relatif udara pengeringan, maka kemampuannya dalam menyerap uap air akan semakin besar. Hal sebaliknya akan terjadi jika kelembaban relatif udara pengeringan semakin besar maka kemampuan dalam menyerap uap air akan semakin kecil (Brooker et al, 1981),

18

Muchtadi (1989) menambahkan, apabila bahan pangan dikeringkan dengan menggunakan udara sebagai medium pengering, maka semakin panas udara tersebut semakin cepat pengeringannya. Pengaturan kelembaban pada ruang pengering akan mudah dikontrol apabila pada pengeringan berjalan cepat, sehingga kelembaban ruang pengering harus disesuaikan agar kelembaban menjadi rendah, pengaturan kelembaban dilakukan dengan bantuan blower. Pada kelembaban udara tinggi perbedaan tekanan uap air di dalam dan di luar bahan kecil, sehingga pemindahan uap air dan bahan ke luar menjadi terhambat. Jika kelembaban tinggi maka kondisi ruangan semakin jenuh sehingga air yang menguap akan kembali ke tempat semula, sesuai dengan kondisi keseimbangan dinamik (Fellow, 1992). Hal ini menyebabkan pengeringan berjalan lambat. Kelembaban relatif udara yang rendah merupakan syarat berhasilnya suatu pengeringan (Fellow, 1992). Beban yang digunakan dalam pengujian ini adalah jamur tiram dengan massa 10 kg. Jamur tiram sebanyak 1 kg diletakkan pada tiap rak dan disusun selapis. Rak yang sudah terisi jamur tiram kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering. Data pengukuran diambil berdasarkan hasil pengukuran pada saat proses pengeringan berlangsung, yaitu setelah semua jamur tiram dimasukkan dan alat mulai dioperasikan. Berdasarkan hasil uji diperoleh data alat pengering jamur tiram tipe rak dengan modifikasi pembagi udara panas dilengkapi sensor suhu dan kelembaban adalah sebagai berikut:

19

1. Pengaturan kelembaban 20%. Pada perlakuan ini diperoleh data sebagai berikut. a. Distribusi suhu dan kelembaban Karakteristik suhu dalam ruang pengering diukur pada sepuluh titik pengukuran yaitu pada setiap rak, kontrol suhu dan kelembaban. Hasil penelitian distribusi suhu selama pengeringan pada pengaturan s h 45C menunjukan

bahwa pada awal pengeringan suhu tiap ruangan langsung meningkat tajam kemudian selama proses pengeringan suhu mengalami naik dan turun, Fluktuasi suhu ruangan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya api pembakaran gas LPG pada kompor dan laju aliran udara dari blower inlet maupun outlet. Perubahan suhu pada proses pengeringan ditunjukan pada Gambar 3.
70 60 50 Suhu (c) 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Rak 1 Rak 2 Rak 3 Rak 4 Rak 5 Rak 6 Rak 7 Rak 8 Rak 9 Rak 10 Suhu Kontrol 1 Suhu Kontrol 2

Gambar 3. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 3 menunjukan distribusi suhu pada ruang pengering pada pengaturan kelembaban 20% menunjukan adanya fluktuasi suhu pada ruang pengering dengan kecenderungan suhu tertinggi terjadi pada rak 1 dan paling 20

rendah pada rak 10, disebabkan oleh perbedaan penyaluran panas pada tiap bagian. Nilai rata-rata suhu pengering di dalam ruang pengering sebesar 45,34C. Suhu tertinggi yang dapat dicapai sebesar 61C yaitu pada rak 1, sedangkan suhu terendah 33C pada rak 10. Perbedaan suhu pada masing-masing rak sangat dipengaruhi oleh aliran udara. Aliran udara yang tidak merata akan menyebabkan distribusi suhu yang tidak merata pula. Kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan yang tidak terlalu cepat. Perubahan kelembaban pada ruang pengering disajikan pada Gambar 4.
90 80 70 Kelembaban (%) 60 50 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Kelembaban Ruang Pengering Kelembaban Lingkungan

Gambar 4. Perubahan kelembaban pada uji menggunakan beban. Gambar 4 menunjukan kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan tidak terlalu cepat dari kelembaban awal sebesar 76,9% sampai 67,9% yang terjadi selama 30 menit awal pegujian kemudian pada menit selanjutnya terjadi penurunan kelembaban sebesar 60%. Kenaikan dan penurunan kelembaban pada ruang pengering disebabkan oleh adanya penguapan air dari bahan, dimana suhu dalam rak tinggi maka penguapan air dari bahan akan besar, sedangkan jika 21

suhu rak pengering rendah dengan kelembaban tinggi maka penguapan air semakin kecil sehingga menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama. Penurunan kelembaban terus terjadi sampai akhir proses pengujian dengan kelembaban yang terukur sebesar 28,1%. b. Kadar air Pengukuran kadar air jamur tiram pada uji menggunakan beban dilakukan untuk mengetahui kadar air jamur tiram yang dikeringkan. Kadar air awal ratarata dari sampel jamur tiram memiliki nilai relatif sama, yaitu 92,16% bb atau 1234,01% bk. Menurut Taib et al. (1988), dalam suatu analisis bahan, kadar air ditentukan berdasarkan sistem basis kering. Ini disebabkan karena perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah nilai pembaginya masih dapat berubah setiap saat, sedangkan jika berdasarkan basis kering hal ini tidak akan terjadi karena basis kering pembaginya akan selalu tetap. Kadar air jamur tiram setelah dikeringkan selama 11 jam disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data kadar air setelah pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 20% sampel Massa awal (g) Massa akhir (g) KA bb (%) KA bk (%) Rak 1 1000 80,1 13,19 15,19 Rak 2 1000 88,5 14,98 17,62 Rak 3 1000 97 15,54 18,40 Rak 4 1000 125,7 26,50 36,05 Rak 5 1000 137,5 30,92 44,76 Rak 6 1000 171,4 48,50 94,17 Rak 7 1000 233,6 54,21 118,4 Rak 8 1000 234,9 54,21 118,4 Rak 9 1000 196 58,29 139,8 Rak 10 1000 204,3 50,67 102,7 Rata-rata 36,70 70,54 Tabel 1. menunjukkan rata-rata kadar air jamur tiram kering adalah 36,70% bb atau jika dalam basis kering sebesar 70,54% bk. 22

c. Kebutuhan energi pengeringan Kebutuhan energi dalam penelitian ini adalah berasal dari gas LPG dalam tabung 3 kg dan energi listrik dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Energi panas dalam pengeringan dibutuhkan untuk mengubah air pada bahan yang dikeringkan menjadi uap, dalam hal ini sumber energi panas berasal dari energi gas. Banyaknya gas yang terpakai selama proses pengujian sebesar 3,110 kg atau setara dengan 145.834,12 kJ. Energi listrik yang digunakan pada pengujian menggunakan beban dihitung dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, konsumsi energi listrik selama uji kinerja menggunakan beban adalah 0,63626 kWh atau setara dengan 2.290,53 kJ. Biaya listrik PLN per kWh adalah Rp. 600,00, jadi biaya listrik yang digunakan selama pengujian sebesar Rp. 381,76. Proses pengeringan selama 11 jam menggunakan total energi sebesar 148.124,65 kJ. d. Efisiensi energi Efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan adalah perbandingan penggunaan seluruh output energi dengan hasil input energi selama pengeringan. Semakin tinggi efisiensi sistem pengering maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk mengeringkan tiap kilogram bahan. Efisiensi ini menunjukkan baik tidaknya performansi alat untuk pengeringan atau efektif tidaknya energi panas yang termanfaatkan. Kebutuhan energi untuk proses pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 20% sebesar 20.472,47 kJ dan kebutuhan energi total untuk proses pengeringan jamur tiram sebesar 148.124,65 kJ. Sehingga efisiensi alat untuk pengeringan jamur tiram sebanyak 10 kg adalah 13,82%.

23

2. Pengaturan kelembaban 30%. Pada perlakuan ini diperoleh data sebagai berikut. a. Distribusi Suhu dan kelembaban. Karakteristik suhu dalam ruang pengering diukur pada sepuluh titik pengukuran yaitu pada setiap rak, kontrol suhu dan kelembaban. Hasil penelitian distribusi suhu selama pengeringan pada pengaturan s h 45C menunjukan

bahwa pada awal pengeringan suhu tiap ruangan langsung meningkat tajam kemudian selama proses pengeringan suhu mengalami naik dan turun, Fluktuasi suhu ruangan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya api pembakaran gas LPG pada kompor dan laju aliran udara dari blower inlet maupun outlet. Perubahan suhu pada proses pengeringan ditunjukan pada Gambar 5.
70 60 50 Rak 1 Rak 2 Rak 3 Rak 4 Rak 5 Rak 6 Rak 7 Rak 8 Rak 9 Rak 10 Suhu Kontrol 1 Suhu Kontrol 2 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit)

Suhu (c)

40 30 20 10 0

Gambar 5. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 5 menunjukan distribusi suhu pada ruang pengering pada pengaturan kelembaban 30% menunjukan adanya fluktuasi suhu pada ruang pengering dengan kecenderungan suhu tertinggi terjadi pada rak 1 dan paling

24

rendah pada rak 10, disebabkan oleh perbedaan penyaluran panas pada tiap bagian. Nilai rata-rata suhu pengering di dalam ruang pengering sebesar 42,16C. Suhu tertinggi yang dapat dicapai sebesar 60C yaitu pada rak 1, sedangkan suhu terendah 32C pada rak 10. Perbedaan suhu pada masing-masing rak sangat dipengaruhi oleh aliran udara. Aliran udara yang tidak merata akan menyebabkan distribusi suhu yang tidak merata pula. Kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan yang tidak terlalu cepat. Perubahan kelembaban pada ruang pengering disajikan pada Gambar 6.
90 80 70

Kelembaban (%)

60 50 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Kelembaban Ruang Pengering Kelembaban Lingkungan

Gambar 6. Perubahan kelembaban pada uji menggunakan beban. Gambar 6 menunjukan kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan tidak terlalu cepat dari kelembaban awal sebesar 75,5% sampai 61,8% yang terjadi selama 30 menit awal pegujian kemudian pada menit selanjutnya terjadi penurunan kelembaban sebesar 52,9%. Kenaikan dan penurunan kelembaban pada ruang pengering disebabkan oleh adanya penguapan air dari bahan, dimana suhu dalam rak tinggi maka penguapan air dari bahan akan besar,

25

sedangkan jika suhu rak pengering rendah dengan kelembaban tinggi maka penguapan air semakin kecil sehingga menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama. Penurunan kelembaban terus terjadi sampai akhir proses pengujian dengan kelembaban yang terukur sebesar 29,2%. b. Kadar air Pengukuran kadar air jamur tiram pada uji menggunakan beban dilakukan untuk mengetahui kadar air jamur tiram yang dikeringkan. Kadar air awal ratarata dari sampel jamur tiram memiliki nilai relatif sama, yaitu 92,16%bb atau 1234,01%bk. Menurut Taib et al. (1988), dalam suatu analisis bahan, kadar air ditentukan berdasarkan sistem basis kering. Ini disebabkan karena perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah nilai pembaginya masih dapat berubah setiap saat, sedangkan jika berdasarkan basis kering hal ini tidak akan terjadi karena basis kering pembaginya akan selalu tetap. Kadar air jamur tiram setelah dikeringkan selama 11 jam disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Data kadar air setelah pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 30% sampel Massa awal (g) Massa akhir (g) KA bb (%) KA bk (%) Rak 1 1000 94,6 12,23 13,93 Rak 2 1000 102,1 26,64 36,31 Rak 3 1000 114,8 24,85 33,07 Rak 4 1000 125,5 31,73 46,48 Rak 5 1000 144,3 39,57 65,48 Rak 6 1000 227,4 49,79 99,16 Rak 7 1000 254,2 55,21 123,3 Rak 8 1000 241,7 54,05 117,6 Rak 9 1000 266,6 56,44 129,6 Rak 10 1000 192,5 52,22 109,3 Rata-rata 40,27 77,42 Tabel 2. menunjukkan rata-rata kadar air jamur tiram kering adalah 40,27% bb atau jika dalam basis kering sebesar 77,42% bk. 26

c. Kebutuhan energi pengeringan Kebutuhan energi dalam penelitian ini adalah berasal dari gas LPG dalam tabung 3 kg dan energi listrik dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Energi panas dalam pengeringan dibutuhkan untuk mengubah air pada bahan yang dikeringkan menjadi uap, dalam hal ini sumber energi panas berasal dari energi gas. Banyaknya gas yang terpakai selama proses pengujian sebesar 3,150 kg atau setara dengan 147.709,80 kJ. Energi listrik yang digunakan pada pengujian menggunakan beban dihitung dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, konsumsi energi listrik selama uji kinerja menggunakan beban adalah 0,56494 kWh atau setara dengan 2.033,78 kJ. Biaya listrik PLN per kWh adalah Rp. 600,00, jadi biaya listrik yang digunakan selama pengujian sebesar Rp. 338,96. Proses pengeringan selama 11 jam menggunakan total energi sebesar 149.734,58 kJ. d. Efisiensi energi Efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan adalah perbandingan penggunaan seluruh output energi dengan hasil input energi selama pengeringan. Semakin tinggi efisiensi sistem pengering maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk mengeringkan tiap kilogram bahan. Efisiensi ini menunjukkan baik tidaknya performansi alat untuk pengeringan atau efektif tidaknya energi panas yang termanfaatkan. Kebutuhan energi untuk proses pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 30% sebesar 19.982,11 kJ dan kebutuhan energi total untuk proses pengeringan jamur tiram sebesar 149.734,58 kJ. Sehingga efisiensi alat untuk pengeringan jamur tiram sebanyak 10 kg adalah 13,34%.

27

3. Pengaturan kelembaban 60%. Pada perlakuan ini diperoleh data sebagai berikut. a. Distribusi Suhu dan kelembaban. Karakteristik suhu dalam ruang pengering diukur pada sepuluh titik pengukuran yaitu pada setiap rak, kontrol suhu dan kelembaban. Hasil penelitian distribusi suhu selama pengeringan pada pengaturan s h 45C menunjukan

bahwa pada awal pengeringan suhu tiap ruangan langsung meningkat tajam kemudian selama proses pengeringan suhu mengalami naik dan turun, Fluktuasi suhu ruangan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya api pembakaran gas LPG pada kompor dan laju aliran udara dari blower inlet maupun outlet. Perubahan suhu pada proses pengeringan ditunjukan pada Gambar 7.
70 60 50 Suhu (c) 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Rak 1 Rak 2 Rak 3 Rak 4 Rak 5 Rak 6 Rak 7 Rak 8 Rak 9 Rak 10 Kontrol Suhu 1 Kontrol Suhu 2

Gambar 7. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 7 menunjukan distribusi suhu pada ruang pengering pada pengaturan kelembaban 60% menunjukan adanya fluktuasi suhu pada ruang pengering dengan kecenderungan suhu tertinggi terjadi pada rak 1 dan paling 28

rendah pada rak 10, disebabkan oleh perbedaan penyaluran panas pada tiap bagian. Nilai rata-rata suhu pengering di dalam ruang pengering sebesar 42,28C. Suhu tertinggi yang dapat dicapai sebesar 58C yaitu pada rak 1, sedangkan suhu terendah 33C pada rak 10. Perbedaan suhu pada masing-masing rak sangat dipengaruhi oleh aliran udara. Aliran udara yang tidak merata akan menyebabkan distribusi suhu yang tidak merata pula. Kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan yang tidak terlalu cepat. Perubahan kelembaban pada ruang pengering disajikan pada Gambar 8.
90 80 70 Kelembaban (%) 60 50 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Kelembaban Ruang Pengering Kelembaban Lingkungan

Gambar 8. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 8 menunjukan kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan tidak terlalu cepat dari kelembaban awal sebesar 78,9% sampai 66,4% yang terjadi selama 30 menit awal pegujian kemudian pada menit selanjutnya terjadi penurunan kelembaban sebesar 58,7%. Kenaikan dan penurunan kelembaban pada ruang pengering disebabkan oleh adanya penguapan air dari bahan, dimana suhu dalam rak tinggi maka penguapan air dari bahan akan besar, 29

sedangkan jika suhu rak pengering rendah dengan kelembaban tinggi maka penguapan air semakin kecil sehingga menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama. Penurunan kelembaban terus terjadi sampai akhir proses pengujian dengan kelembaban yang terukur sebesar 29,8%. b. Kadar air. Pengukuran kadar air jamur tiram pada uji menggunakan beban dilakukan untuk mengetahui kadar air jamur tiram yang dikeringkan. Kadar air awal ratarata dari sampel jamur tiram memiliki nilai relatif sama, yaitu 92,16%bb atau 1234,01%bk. Menurut Taib et al. (1988), dalam suatu analisis bahan, kadar air ditentukan berdasarkan sistem basis kering. Ini disebabkan karena perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah nilai pembaginya masih dapat berubah setiap saat, sedangkan jika berdasarkan basis kering hal ini tidak akan terjadi karena basis kering pembaginya akan selalu tetap. Kadar air jamur tiram setelah dikeringkan selama 11 jam disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Data kadar air setelah pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 60% sampel Massa awal (g) Massa akhir (g) KA bb (%) KA bk (%) Rak 1 1000 103,8 11,13 12,52 Rak 2 1000 75,4 21,92 29,74 Rak 3 1000 97,4 29,88 42,61 Rak 4 1000 94,2 35,34 54,66 Rak 5 1000 150,3 38,89 63,64 Rak 6 1000 203,8 50,02 100,1 Rak 7 1000 220,0 58,01 138,2 Rak 8 1000 240,9 55,12 122,8 Rak 9 1000 298,4 57,32 134,3 Rak 10 1000 243,7 55,71 125,8 Rata-rata 41,33 82,27 Tabel 3. menunjukkan rata-rata kadar air jamur tiram kering adalah 41,33% bb atau jika dalam basis kering sebesar 82,27% bk. 30

c. Kebutuhan energi pengeringan. Kebutuhan energi dalam penelitian ini adalah berasal dari gas LPG dalam tabung 3 kg dan energi listrik dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Energi panas dalam pengeringan dibutuhkan untuk mengubah air pada bahan yang dikeringkan menjadi uap, dalam hal ini sumber energi panas berasal dari energi gas. Banyaknya gas yang terpakai selama proses pengujian sebesar 3,320 kg atau setara dengan 155.681,44 kJ. Energi listrik yang digunakan pada pengujian menggunakan beban dihitung dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, konsumsi energi listrik selama uji kinerja menggunakan beban adalah 0,51514 kWh atau setara dengan 1.854,50 kJ. Biaya listrik PLN per kWh adalah Rp. 600,00, jadi biaya listrik yang digunakan selama pengujian sebesar Rp. 309,08. Proses pengeringan selama 11 jam menggunakan total energi sebesar 157.535,94 kJ. d. Efisiensi energi. Efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan adalah perbandingan penggunaan seluruh output energi dengan hasil input energi selama pengeringan. Semakin tinggi efisiensi sistem pengering maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk mengeringkan tiap kilogram bahan. Efisiensi ini menunjukkan baik tidaknya performansi alat untuk pengeringan atau efektif tidaknya energi panas yang termanfaatkan. Kebutuhan energi untuk proses pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 60% sebesar 19.829,02 kJ dan kebutuhan energi total untuk proses pengeringan jamur tiram sebesar 157.535,94 kJ. Sehingga efisiensi alat untuk pengeringan jamur tiram sebanyak 10 kg adalah 12,58%.

31

4. Pengaturan kelembaban 80%. Pada perlakuan ini diperoleh data sebagai berikut. a. Distribusi Suhu dan kelembaban. Karakteristik suhu dalam ruang pengering diukur pada sepuluh titik pengukuran yaitu pada setiap rak, kontrol suhu dan kelembaban. Hasil penelitian distribusi suhu selama pengeringan pada pengaturan s h 45C menunjukan

bahwa pada awal pengeringan suhu tiap ruangan langsung meningkat tajam kemudian selama proses pengeringan suhu mengalami naik dan turun, Fluktuasi suhu ruangan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya api pembakaran gas LPG pada kompor dan laju aliran udara dari blower inlet maupun outlet. Perubahan suhu pada proses pengeringan ditunjukan pada Gambar 9.
70 60 50 Suhu (c) 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Rak 1 Rak 2 Rak 3 Rak 4 Rak 5 Rak 6 Rak 7 Rak 8 Rak 9 Rak 10 Suhu Kontrol 1 Suhu Kontrol 2

Gambar 9. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 9 menunjukan distribusi suhu pada ruang pengering pada pengaturan kelembaban 80% menunjukan adanya fluktuasi suhu pada ruang pengering dengan kecenderungan suhu tertinggi terjadi pada rak 1 dan paling 32

rendah pada rak 10, disebabkan oleh perbedaan penyaluran panas pada tiap bagian. Nilai rata-rata suhu pengering di dalam ruang pengering sebesar 41,04C. Suhu tertinggi yang dapat dicapai sebesar 59C yaitu pada rak 1, sedangkan suhu terendah 31C pada rak 10. Perbedaan suhu pada masing-masing rak sangat dipengaruhi oleh aliran udara. Aliran udara yang tidak merata akan menyebabkan distribusi suhu yang tidak merata pula. Kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan yang tidak terlalu cepat. Perubahan kelembaban pada ruang pengering disajikan pada Gambar 10.
90 80 70

Kelembaban (%)

60 50 40 30 20 10 0 0 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 Waktu (Menit) Kelembaban Ruang Pengering Kelembaban Lingkungan

Gambar 10. Perubahan suhu pada tiap rak serta pada sensor suhu. Gambar 10 menunjukan kelembaban pada ruang pengering mengalami penurunan tidak terlalu cepat dari kelembaban awal sebesar 76,6% sampai 65,6% yang terjadi selama 30 menit awal pegujian kemudian pada menit selanjutnya terjadi penurunan kelembaban sebesar 60,9%. Kenaikan dan penurunan kelembaban pada ruang pengering disebabkan oleh adanya penguapan air dari bahan, dimana suhu dalam rak tinggi maka penguapan air dari bahan akan besar, 33

sedangkan jika suhu rak pengering rendah dengan kelembaban tinggi maka penguapan air semakin kecil sehingga menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama. Penurunan kelembaban terus terjadi sampai akhir proses pengujian dengan kelembaban yang terukur sebesar 29%. b. Kadar air. Pengukuran kadar air jamur tiram pada uji menggunakan beban dilakukan untuk mengetahui kadar air jamur tiram yang dikeringkan. Kadar air awal ratarata dari sampel jamur tiram memiliki nilai relatif sama, yaitu 92,16%bb atau 1234,01%bk. Menurut Taib et al. (1988), dalam suatu analisis bahan, kadar air ditentukan berdasarkan sistem basis kering. Ini disebabkan karena perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah nilai pembaginya masih dapat berubah setiap saat, sedangkan jika berdasarkan basis kering hal ini tidak akan terjadi karena basis kering pembaginya akan selalu tetap. Kadar air jamur tiram setelah dikeringkan selama 11 jam disajikan pada Tabel 2. Tabel 4. Data kadar air setelah pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 80% sampel Massa awal (g) Massa akhir (g) KA bb (%) KA bk (%) Rak 1 1000 74,8 11,89 13,49 Rak 2 1000 90,2 20,09 25,14 Rak 3 1000 108,5 24,80 32,98 Rak 4 1000 134,6 27,17 37,31 Rak 5 1000 146,7 44,16 79,08 Rak 6 1000 217,3 48,13 92,79 Rak 7 1000 265,8 61,94 162,7 Rak 8 1000 269,8 61,48 159,6 Rak 9 1000 316,8 54,67 120,6 Rak 10 1000 291,3 52,15 109 Rata-rata 40,64 83,26 Tabel 1. menunjukkan rata-rata kadar air jamur tiram kering adalah 40,64% bb atau jika dalam basis kering sebesar 83,26% bk. 34

c. Kebutuhan energi pengeringan. Kebutuhan energi dalam penelitian ini adalah berasal dari gas LPG dalam tabung 3 kg dan energi listrik dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Energi panas dalam pengeringan dibutuhkan untuk mengubah air pada bahan yang dikeringkan menjadi uap, dalam hal ini sumber energi panas berasal dari energi gas. Banyaknya gas yang terpakai selama proses pengujian sebesar 3,250 kg atau setara dengan 153.399,00 kJ. Energi listrik yang digunakan pada pengujian menggunakan beban dihitung dari kontrol suhu dan kelembaban serta blower inlet dan outlet. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, konsumsi energi listrik selama uji kinerja menggunakan beban adalah 0,47750 kWh atau setara dengan 1.719,00 kJ. Biaya listrik PLN per kWh adalah Rp. 600,00, jadi biaya listrik yang digunakan selama pengujian sebesar Rp. 286,50. Proses pengeringan selama 11 jam menggunakan total energi sebesar 154.118,00 kJ. d. Efisiensi energi. Efisiensi penggunaan energi pada proses pengeringan adalah perbandingan penggunaan seluruh output energi dengan hasil input energi selama pengeringan. Semakin tinggi efisiensi sistem pengering maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk mengeringkan tiap kilogram bahan. Efisiensi ini menunjukkan baik tidaknya performansi alat untuk pengeringan atau efektif tidaknya energi panas yang termanfaatkan. Kebutuhan energi untuk proses pengeringan jamur tiram dengan pengaturan kelembaban 80% sebesar 19.618,52 kJ dan kebutuhan energi total untuk proses pengeringan jamur tiram sebesar 154.118,00 kJ. Sehingga efisiensi alat untuk pengeringan jamur tiram sebanyak 10 kg adalah 12,72%.

35

C. Pembahasan Umum

Hasil unjuk kerja alat pengering tipe rak dengan dehumidifier untuk pengeringan jamur tiram pada UKM disajikan pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Data observasi hasil unjuk kerja alat pengering Suhu Kelembaban Kadar terukur terukur air Kebutuhan rataPengaturan rataakhir energi RH ratarata rata (kJ) rata (C) SD (%) SD (%) 20% 45,34 7,88 43,20 15,29 36,70 20.472,47 30% 42,16 7,06 42,56 12,04 40,27 19.982,11 60% 42,28 7,07 45,07 12,77 41,33 19.829,02 80% 41,04 7,51 45,63 12,67 40,64 19.618,52

Input energi (kJ)

Efisiensi (%)

148.124,65 149.734,58 157.535,94 154.118,00

13,82 13,34 12,58 12,72

Tabel 5. menunjukan nilai unjuk kerja alat pengering tipe rak dengan dehumidifier untuk pengeringan jamur tiram. 1. Distribusi suhu dan kelembaban Udara pengering dalam percobaan ini berasal dari lingkungan yang dialirkan oleh kipas kedalam alat pengering yang membentuk sirkulasi dengan sistem konveksi paksa. Suhu ruang pengering selama pengujian dengan pengaturan kelembaban 20% menghasilkan suhu rata-rata 45,34C dan kelembaban rata-rata 43,20% disebabkan karena masih adanya pengaruh hubungan antara blower inlet, outlet dan kompor menyala secara bersamaan pada awal proses pengeringan selama pengaturan suhu mencapai set point 45C sehingga udara panas yang dihembuskan keruang pengering sama besarnya dengan udara yang dikeluarkan outlet sehingga terjadi sirkulasi udara yang cepat pada proses pengeringan.

36

Suhu pada pengaturan kelembaban 30% menghasilkan suhu rata-rata 42,16C, dan rata-rata kelembaban ruang pengering sebesar 42,56% disebabkan adanya pengaruh antara blower inlet, outlet dan kompor menyala secara bersamaan selama awal pengeringan. Suhu pada pengaturan kelembaban 60% disebabkan adanya pengaruh hubungan antara pengaturan suhu dan pengaturan kelembaban, apabila suhu ruang pengering yang mencapai pengaturan terlebih dahulu maka secara otomatis blower outlet akan hidup untuk membuang kelembaban berlebih yang ada didalam ruang pengering sehingga menghasilkan rata-rata suhu sebesar 42,28C dan kelembaban rata-rata sebesar 45,07%. Suhu pada pengaturan kelembaban 80% menghasilkan rata-rata suhu sebesar 41,04C dan kelembaban rata-rata sebesar 45,63% dipengaruhi oleh adanya hubungan pengaturan suhu dan kelembaban sehingga apabila salah satu dari set point tersebut mencapai pengaturan terlebih dahulu maka blower outlet dan inlet akan otomatis menyala. Perkembangan suhu selama pengerigan menunjukan adanya fluktuasi pada masing masing ruang pengering dengan kecenderungan suhu tertinggi terjadi pada rak no 1 dan paling rendah pada rak no 10, disebabkan antara lain (1) posisi rak dari sumber panas yang tidak sama, (2) perbedaan penyaluran panas pada tiap-tiap bagian rak (3) kurang meratanya laju penguapan air dari bahan serta adanya pembukaan pintu pengering untuk keperluan pemeriksaan suhu. Menurut Hall (1975) semakin tinggi suhu pengering makin besar energi yang dibawa udara, sehingga semakin bertambah banyaknya massa uap air yang diuapkan dari dalam bahan yang dikeringkan. Suhu udara pengering memegang

37

peranan penting dalam menentukan cepat lambat tercapainya kadar air yang diinginkan. Semakin tinggi suhu udara semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan suhu bahan yang dikeringkan, semakin besar pula perbedaan tekanan uap jenuh antara permukaan bahan dengan lingkungan, sehingga penguapan air akan lebih banyak dan lebih cepat. Pada pengujian masing-masing pengaturan kelembaban, kelembaban yang terjadi pada ruang pengering mengalami penurunan yang tidak terlalu cepat. Kelembaban udara dalam ruang pengering dipengaruhi oleh laju aliran udara oleh blower dan laju penguapan uap air dari bahan selama proses pengeringan. Pada awal pengeringan kelembaban yang terjadi masih tinggi dikarenakan suhu ruang pengering pada awal pengeringan masih rendah sehingga belum dapat memindahkan cairan secara cepat dari dalam bahan. Kelembaban udara pengering sangat berpengaruh terhadap pemindahan cairan atau uap air ke dalam permukaan bahan, serta menentukan besarnya tingkat kemampuan dalam menyerap uap air dari pemukaan bahan sehingga laju pengeringan akan semakin cepat (Brooker, et al 1981). Pada proses pengeringan yang baik diperlukan kelembaban yang rendah sesuai dengan kondisi bahan yang dikeringkan. Untuk meningkatkan perbedaan tekanan udara antara permukaan bahan dengan udara sekelilingnya dapat dilakukan dengan memanaskan udara yang dihembuskan ke bahan. Makin panas udara yang dihembuskan mengelilingi bahan, maka banyak pula uap air yang dapat di tarik oleh udara panas pengering (Padua, 1976 dalam Helmi, 1994).

38

2. Kadar air Jumlah jamur tiram yang dikeringkan pada penelitian ini adalah 10 kg, waktu total yang dibutuhkan untuk proses pengeringan adalah 11 jam. Terdapat penurunan kadar air pada setiap rak untuk masing-masing pengujian pengeringan, dengan penurunan kadar air terbanyak pada rak no 1 dan terendah pada rak no 10. Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa kadar air akhir rata-rata jamur tiram kering untuk setiap masing-masing pengujian dengan pengaturan kelembaban 20% sebesar 36,70% bb, pengaturan kelembaban 30% sebesar 40,27% bb, pengaturan kelembaban 60% sebesar 41,33% bb serta pada pengujian dengan pengaturan kelembaban 80% sebesar 40,64% bb. Hasil kadar air akhir yang masih tinggi pada proses pengeringan pada masing-masing rak pada pengujian terjadi dikarenakan waktu pengeringan yang kurang dari waktu minimal. Karena dengan asumsi pengeringan jamur tiram yang memilik kadar air awal sebesar 92,16% kemudian dikeringkan hingga 11-15% maka dibutuhkan waktu yang lebih lama dari 11 jam. Disamping itu semakin tinggi tingkatan rak, kadar airnya pun semakin tinggi. Hal ini pun berkaitan dengan suhu pengering, semakin tinggi tingkatan rak semakin rendah suhu pengering oleh karena itu penguapan air didalam jamur tiram berjalan lambat. Suhu udara pengering memegang peranan penting dalam menentukan cepatlambat tercapainya kadar air yang dikehendaki. Semakin tinggi suhu udara semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan suhu bahan yang dikeringkan, semakin besar pula perbedaan tekanan uap jenuh antara permukaan

39

bahan dengan lingkungan, sehingga penguapan air akan lebih banyak dan lebih cepat (Wahyuni, 2002). 3. Kebutuhan energi pengeringan Konsumsi energi selama proses pengeringan adalah jumlah energi yang digunakan selama proses pengeringan, karena alat yang diuji menggunakan energi listrik dan gas LPG (Liquefied Petroleum Gas). Energi panas dalam pengeringan dibutuhkan untuk mengubah air bahan yang dikeringkan menjadi uap, dalam penelitian ini sumber energi panas yang berasal dari gas dan listrik. Dengan total input energi pada masing-masing pengaturan kelembaban sebesar 148.124,65 kJ, 149.743,88 kJ, 157.535,94 kJ dan 154.118,00 kJ. Selain perhitungan konsumsi energi listrik dan gas, juga dilakukan perhitungan konsumsi energi panas spesifik dan konsumsi energi pengeringan yang dihitung per kilogram air yang diuapkan. Konsumsi energi panas spesifik adalah total jumlah energi panas per total jumlah air yang diuapkan. Konsumsi energi pengeringan merupakan jumlah energi yang terpakai selama proses pengeringan per kilogram uap air yang diuapkan dari bahan. Dari konsumsi tersebut maka diperoleh kebutuhan energi untuk proses pengeringan yang pada masing-masing pengaturan kelembaban diperoleh hasil 20.472,47 kJ, 19.982,11 kJ, 19.829,02 kJ serta 19.618,52 kJ 4. Efisiensi pengering Unjuk kerja alat pengering dinyatakan dalam nilai efisiensi yang merupakan perbandingan antara besarnya energi yang digunakan untuk mengeringkan bahan (memanaskan danmenguapkan air bahan) dengan besarnya energi yang diberikan oleh semua sistem yang menghasilkan energi (energi listrik dan gas LPG). Pada

40

penelitian ini nilai efisiensi pengaturan kelembaban 20% sebesar 13,82%, pengaturan kelembaban 30% sebesar 13,34%, pengaturan kelembaban 60% sebesar 12,58% dan pengaturan kelembaban 80% sebesar 12,72%. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi dalam proses pengujian antara lain (1) kehilangan panas melalui dinding ruang pengering, (2) jumlah bahan yang dikeringkan, (3) suhu dan kelembaban udara ruang pengering, (4) arah dan kecepatan angin sehingga terjadi fluktuasi pengyediaan oksigen untuk pembakaran sehingga kurang efisien. Faktor yang disebutkan diatas secara keseluruhan mempengaruhi efisiensi pengeringan yang menunjukan besarnya energi panas yang digunakan untuk menguapkan air pada bahan yang dikeringkan. Semakin tinggi nilai efisiensi pengeringan maka akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk mengeringkan tiap kilogram bahan.

41

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Suhu udara rata-rata ruang pengering yang dapat dicapai alat pengering pada pengaturan kelembaban 20% adalah 45,34C dengan kelembaban rata-rata ruang pengering sebesar 43,20%, pada pengaturan kelembaban 30% sebesar 42,16C dengan kelembaban rata-rata ruang pengering sebesar 42,56%, Serta rata-rata suhu pengaturan kelembaban 60% dan 80% masing-masing pada suhu 42,28C dan 41,04C dengan kelembaban rata-rata ruang pengering sebesar 45,07% dan 45,63%. 2. Kadar air akhir pada pengujian dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya berkaitan dengan suhu, semakin tinggi letak rak semakin rendah suhu pengering oleh karena itu penguapan air dalam bahan berjalan lambat. Nilai kadar air rata-rata tertinggi pada pengujian ini pada pengaturan kelembaban 60% sebesar 41,33% basis basah dan kadar air rata-rata terendah pada pengaturan kelembaban 20% sebesar 36,70% basis basah. 3. Kebutuhan energi pengeringan terbesar adalah pada pengaturan kelembaban 20% sebesar 20.472,47 kJ dan kebutuhan energi pengeringan terendah adalah pada pengaturan 80% sebesar 19.618,52 kJ. Sedangkan untuk total input energi pengeringan terbesar pada pengaturan kelembaban 60% sebesar 157.535,94 kJ dan terendah pada pengaturan kelembaban 20% sebesar 148.124,65 kJ,

42

4. Efisiensi penggunaan energi pada alat pengering berdasarkan perhitungan diperoleh efisiensi tertingi pada pengaturan kelembaban 20% sebesar 13,82% dan terendah pada pengaturan kelembaban 60% sebesar 12,58%.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

43

Bala, B.K., M.A Morshed and M.F Rahman. 2009. Solar Drying of Mushroom Using Solar Tunnel Dryer. International Solar Food Processing Conference. Department of Farm Power and Machinery Bangladesh Agricultural University. Bangladesh Batubara, S.T. 2000. Uji Performansi Alat Pengering Mekanis Tipe Cabinet Pada Pengeringan Cabe Merah. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Burgess, G.H.O., C.L Cutting, J.A Lovern, J.J Waterman. 1967. Fish Handling and Processing. Chemichal Publishing Company, inc. New York. Clulas, I.J. dan A.R ward. 1996. Post Harvest Fisheries Development ; A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Natural Resource Institut. London, United Kingdom. Darsono. 1982. Lombok kering pilihan di panen raya. Tarik III (23) : 36-38 De padua, D.B. 1981. Design and Analysis of Performance of Grain Driers. Prosiding Grain Post-Harvest Processing Technologi, noffict LWH/IPB Desrosier, N.W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan oleh Muchji Muljohaardjo. 1988. UI-Press. Jakarta. Djarijah, N.M dan A.S Djarijah. 2001. Budidaya Jamur Tiram Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama Penyakit. Yogyakarta. Kanisius Earle, R.L. 1969. Unit Operations in Food Prodessing (edisi terjemahan). Sastra Hudaya, Bogor Fellows, P. 1992. Food Processing Technology Principles and Practis. Ellis Horwoods Press. London. Hall, C.W. and D.C Davis. 1979. Processing Equiptment for Agricultural Product. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Conecticut. Heldman D.R., and R.P. Singh. 1980. Food Process Engineering. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Conecticut. Henderson, S.M. and R.L. Perry. 1976. Agriculture Process Engineering. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Conecticut. Karwito. 1998. Kajian Distribusi Aliran dan Suhu Udara Dalam Model Alat Pengering. Ipb, bogor.

44

Kulshreshtha, M., A.S. Deepti. 2009. Effect of Drying Conditions on Mushroom Quality. Journal of Engineering Science and Technology Vol. 4, No. 1 90 98 Marbun, J.H.P. 2010. Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan pada Pengering Surya Tipe Rak. Skripsi. Fakultas pertanian. Universitas Sumatra Utara. Miles, P.G and S.T. Chang. 1997. Mushroom Biology Concice Basics And Current Developmens. Wordl Scientific, Hongkong. Muchtadi T. R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Pangan. Depdikbud PAU IPB, Bogor. Rahardjo, B. 2011. Rancang Bangun Alat Pengering Jamur Tiram Tipe Rak Dengan Modifikasi Pembagi Udara Panas Dilengkapi Sistem Kontrol Suhu Dan Kelembaban. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, purwokerto. (tidak dipublikasikan). Suriawiria, U. 2010. Budi Daya Jamur Tiram. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Suryatmo, F. 2002. Dasar-Dasar Teknik Listrik. PT Rineka Cipta. Jakarta. Taib, G., F.G Said, dan S. Wiraatmaja. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Tulek. Y. 2011. Drying Kinetics of Oyster Mushroom ( Pleurotus ostreatus ) in a Convective Hot Air Dryer. J. Agr. Sci. Tech. Vol. 13: 655-664 Wahyuni, D. 2002. Analisis Suhu dan Kecepatan Udara Pada Model Pengering Tipe Efek Rumah Kaca Berenergi Surya Untuk Pengeringan Cabai Merah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Depdikbud PAU Pengan dan Gizi, ipb. Bogor.

45

You might also like