You are on page 1of 22

PERUBAHAN KARAKTERISTIK TULANG TENGKORAK DAN TULANG WAJAH PADA PENDERITA THALASSEMIA BETA MAYOR

Oleh Tjokorda Raka G.D Ayu Deni Pramita

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA SURABAYA 2011


1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit thalassemia merupakan penyakit kelainan darah herediter. Di Indonesia penyakit thalassemia bukanlah istilah umum bagi masyarakat kebanyakan. Thalassemia secara genetik adalah penyakit akibat dari gangguan sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosomal resesif. Heterogenitas penyakit thalassemia baik thalassemia alpha maupun thalassemia beta sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan pengelompokkan populasi. Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam wilayah thalassemik. Tiap tahunnya tidak kurang dari 100.000 infant yang lahir dengan thalassemia beta dan negara yang paling sering terkena yakni afrika, asia tenggara, india, timur tengah, dan mediterranian. Di Indonesia sendiri data terbaru mengatakan bahwa penderita thalassemia alpha mencapai 0,5% sedangkan thalassemia beta mencapai angka 3,5% dari total penduduk Indonesia. 1 Manifestasi klinis thalassemia sangatlah beragam mulai dari yang tampak dengan mata seperti ciri fisik yang meliputi perubahan bentuk tulang pada wajah, hingga ciri yang hanya dapat diihat melalui pemeriksaan penunjang seperti bentukan hair on end dan penurunan jumlah produksi sel darah. Thalassemia secara umum diklasifikasikan menjadi thalassemia alpha, beta, teta, zeta, epsilon, dan delta, klasifikasi ini didasarkan pada jenis rantai pembentuk hemoglobin yang bermasalah. Dalam penelitian ini yang menjadi topik penelitian adalah thalassemia beta mayor sehingga semua penjelasan akan fokus pada kelainan tersebut. Thalassemia beta digolongkan menjadi dua penggolongan ini berdasarkan banyaknya rantai globin yang hilang. Selain secara genetik thalassemia juga dapat dinilai secara antropologis dengan menitik-beratkan pada perubahan yang terjadi pada rangka tubuh, dalam hal ini tulang, kondisi ini dapat dilihat dari bentukan tulang tengkorak dan tulang wajah. Adanya gambaran hair on end, rodent / chipmunk face, facies cooley dan bentukan porotic hyperostosis merupakan suatu tanda yang penting dalam bidang antropologi untuk mengidentifikasi seseorang dengan kelainan darah salah satunya thalassemia beta mayor. Pembahasan mengenai thalassemia beta mayor khususnya dengan menitik-beratkan pada perubahan karakteristik tulang yang dibahas dengan menggabungkan beberapa sudut

pandang dari cabang ilmu yang berbeda juga masih jarang ditemukan, semenjak thalassemia beta mayor merupakan penyakit dengan manifestasi yang kompleks maka membahasnya dari
2

sisi genetika dan antropologi ragawi akan sangat menarik karena dapat menyajikan informasi dari kombinasi genetika dan antropologi yang dapat berguna bagi masyarakat luas. 2

1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh thalassemia beta mayor terhadap perubahan karakteristik tulang tengkorak dan tulang wajah?

1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh thalassemia beta mayor terhadap perubahan karakteristik tulang tengkorak dan tulang wajah.

1.4 Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai manifestasi klinis penyakit thalassemia beta mayor pada kondisi perubahan karakteristik tulang (tulang tengkorak dan tulang wajah). Penelitian ini secara sendirinya akan menambah wawasan dan ilmu bagi para peneliti. Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat juga menjadi sumber tambahan ilmu bagi para pembaca di bidang kesehatan khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu protein yang terdapat dalam sel darah merah dan tersusun atas asam amino, protein ini berperan dalam transportasi oksigen dengan mengikat oksigen pada paru-paru dan menyebarkannya ke jaringan perifer untuk kebutuhan sel tubuh. 1 Hemoglobin terdiri dari rantai protein globin yang memiliki jenis-jenis yang berbeda. Pada manusia ada beberapa jenis rantai protein globin yang membentuk hemoglobin dengan komposisi berbeda sehingga membentuk jenis hemoglobin yang berbeda juga. Jenis rantai protein globin yang dihasilkan bergantung pada DNA yang menyusun gen globin dan ekspresi dari gen globin itu sendiri. Adapun jenis-jenis rantai globin tersebut yakni: rantai alpha, beta, gamma, delta, zeta, dan epsilon, keenam jenis rantai tersebut akan membentuk berbagai macam hemoglobin tergantung dari fase-fase perkembangan tubuh. Pada stadium perkembangan embrio terdapat tiga jenis hemoglobin yakni Hb gower I ( 2 rantai zeta dan 2 rantai epsilon), Hb gower II ( 2 rantai alpha dan 2 rantai epsilon), Hb Portland I ( 2 rantai zeta dan 2 rantai gamma), ketiga jenis hemoglobin ini tidak ditemukan pada stadium perkembangan tubuh dewasa, pada stadium perkembangan fetus hemoglobin yang dominan terbentuk adalah Hb F ( 2 rantai alpha dan 2 rantai gamma), hemoglobin jenis ini juga masih dapat ditemukan pada manusia dewasa namun dengan proporsi yang sangat sedikit yakni kurang dari 1%, pada orang dewasa hemoglobin yang terbentuk sebagian besar adalah Hb A ( 2 rantai alpha, dan 2 rantai beta ) dengan proporsi 97% - 98%, dan Hb A2 ( 2 rantai alpha dan 2 rantai delta ) dengan proporsi 2% - 3%. 2

2.2 Sintesis Hemoglobin Hemoglobin terdiri dari heme dan globin. Heme merupakan suatu molekul prostetik yang dapat mengikat oksigen, sedangkan globin merupakan suatu protein yang mengelilingi dan melindungi heme. Sintesis heme merupakan suatu proses yang panjang yang berlangsung di mitokondria dan sitosol dengan melibatkan aktivitas enzim yang kompleks, salah satu yang paling berperan adalah feeroselatase yang mengubah senyawa corpropirinogen III mejadi protoporphyrine IX yang mampu menghasilkan heme.
3

Sintesis globin dipengaruhi

sepenuhnya oleh asam amino yang menyusun protein dari globin. Sintesis globin bergantung pada ekspresi gen globin yang tersusun atas DNA yang membawa cetakan / blue-print dari
4

masing-masing jenis rantai globin yang ada pada tubuh manusia. Tiap jenis rantai globin yang dihasilkan memiliki jumlah asam amino penyusun protein yang berbeda. Jenis rantai globin yang paling banyak adalah alpha dan beta sehingga rantai yang ada dapat digolongkan menjadi dua tipe yaitu rantai globin yang meyerupai alpha (alpha-like globin) maupun beta (beta-like globin). Rantai protein globin alpha terdiri dari 141 asam amino sementara beta terdiri dari 146 asam amino, susunan asam amino rantai globin zeta dan gamma memiliki kesamaan dengan rantai globin alpha namun tidak sepenuhnya identik, sedangkan rantai globin delta dan epsilon memiliki kesamaan dengan rantai globin beta, ini juga tidak sepenuhnya identik. Dengan adanya ikatan antara heme dan globin maka akan terbentuk hemoglobin dengan segala fungsinya. 2

2.3 Mutasi Gen Pembentuk Rantai Globin Mutasi gen pembentuk rantai globin akan menyebabkan kelainan dari hemoglobin, kondisi ini sering disebut sebagai hemoglobinopati/ hemoglobin disorders. Mutasi pada gen globin akan menyebabkan modifikasi struktur produk gen itu sendiri dan mengganggu ekspresi dari gen. 4 Pada dasarnya penyebab kelainan hemoglobin dapat digolongkan menjadi dua yaitu : Varian dari struktur rantai globin Kelainan sintesis daripada rantai globin

Thalassemia merupakan golongan hemoglobinopati akibat adanya kelainan sintesis rantai globin oleh mutasi gen. Mutasi gen pada thalassemia memiliki tipe mutasi yang banyak, dua kelainan hemoglobin yang paling sering yakni thalassemia alpha dan beta contohnya, memiliki jenis mutasi yang bervariasi, thalassemia alpha cenderung disebabkan oleh delesi pada gen alpha globin yang dipercaya terjadi akibat adanya ketidakmerataan proses crossover pada pembelahan meiosis, selain itu dapat juga disebabkan oleh point mutations atau adanya varian ( Hb variant constant spring). Mutasi pada thalassemia beta dapat disebabkan oleh berbagai jenis mutasi, yang paling sering adalah mutasi titik atau point mutations. Mutasi titik terjadi apabila ada perubahan pada urutan rantai basa DNA dimana satu jenis basa diganti dengan basa lainnya Selain itu mutasi pada thalassemia beta secara umum dapat digolongkan menjadi enam antara lain : transcriptions mutations, mRNA splicing mutations, polyadenylation signal mutations, RNA modification mutations, chain termination mutations, missense mutations. 2

2.4 Thalassemia Beta Globin beta adalah sebuah komponen (subunit) dari protein yang lebih besar yang disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. HBB (Hemoglobin Beta) gen yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut globin beta. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan menyebabkan thalassemia beta. Sebagian besar mutasi melibatkan perubahan dalam satu blok bangunan DNA (nukleotida) dalam atau di dekat gen HBB. Mutasi lainnya menyisipkan atau menghapus sejumlah kecil nukleotida dalam gen HBB.
1

Thalassemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin yang Thalassaemia Beta Minor ( / 0 atau / +) : Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi, dimana gen yang bermutasi ini menyebabkan produksi ranta beta globin berkurang atau tidak diproduksi sama sekali. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer). Thalassaemia Intermedia (0 / +)

ada. Thalassemia beta dibagi menjadi : 3


a.

b.

: Pada kondisi ini kedua gen mengalami

mutasi tetapi masih bisa memproduksi sedikit rantai beta globin, dimana dari dua gen beta globin satu gen sudah tidak mampu memproduksi rantai beta globin dan gen lainnya mampu memproduksi rantai beta globin namun hanya sedikit. Penderita biasanya mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c.

Thalassaemia Mayor (0 / 0 atau + / +)

: Pada kondisi ini kedua gen mengalami

mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul pada bayi ketika berumur tiga bulan berupa anemia yang berat. Tanpa rantai beta, hemoglobin tidak dapat terbentuk dan akan mengganggu perkembangan normal sel-sel darah merah. Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang nantinya didistribusikan ke seluruh tubuh dan membuat tubuh kekurangan oksigen. Kurangnya oksigen dalam jaringan tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ dan masalah kesehatan lainnya. HBB gen terletak di kromosom 11 lengan pendek di posisi 15.5. HBB gen dari pasangan basa 5.203.271 sampai pasangan basa 5.204.876 pada kromosom 11. 5

2.5 Thalassemia Beta Mayor Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter yang palig sering ditemui, diakibatkan kelainan produksi rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Ketidakseimbangan dalam rantai protein yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin disebabkan oleh gen yang mengalami mutasi.
6

Kelainan ini disebabkan akibat kurangnya

jumlah rantai beta yang dihasilkan atau tidak ada sama sekali. Thalassemia beta mayor memiliki karakter homozigot (00 / ++ ), dimana terdapat dua gen yang bermutasi sehingga expresi gen tidak dapat terjadi dengan baik, alih-alih menghasilkan rantai beta dalam jumlah dan fungsi yang adekuat, gen akan memicu terbentuknya rantai beta globin dalam jumlah yang sedikit atau tidak sama sekali yang menyebabkan kelainan sistemik pada tubuh. Hemoglobin beta memiliki dua rantai globin yang menyusunnya sehingga dapat berfungsi secara sempurna, kekurangan satu rantai atau lebih akan menyebabkan penumpukan produksi jenis rantai globin lainnya, seperti rantai alpha, delta, maupun gamma, zeta, dan epsilon hal ini akan menimbulkan pembentukan rantai tetramer yang tidak sempurna yang akan menyebabkan hemoglobin yang tersusun menjadi tidak stabil dan menyebabkan sel darah mudah lisis juga terganggunya prose produksi hemoglobin.
7

Thalassemia beta mayor

merupakan penyakit kelainan genetis yang diturunkan secara autosomal resesif ini berarti bahwa apabila kedua orang tua membawa gen thalassemia (karier) maka kesempatan anak untuk mewaris gen dari setiap kelahiran adalah 25 % untuk terkena thalassemia dengan mewarisi gen dari kedua orang tua (thalassemia beta mayor), 50% untuk terkena thalassemia dengan mewarisi satu gen dari salah satu orang tua (thalassemia beta minor) yakni bentuk heterozigot, dan 25 % tanpa membawa gen yang termutasi dari orang tua (sehat). Kurangnya jumlah rantai penyusun hemoglobin, dalam hal ini dua rantai yang hilang akibat kelainan proses sintesis rantai globin karena mutasi gen menyebabkan tidak adanya rantai beta globin yang terbentuk atau hanya diproduksi dalam jumlah yang tidak memadai sehingga hemoglobin tidak terdiri dari tetramer yang sempurna (2 alpha dan 2 beta). 8

2.5.1 Epidemiologi Thalassemia secara global dilaporkan memiliki angka insiden yang tinggi di beberapa daerah di dunia seperti Mediterranean, Afrika, dan Asia Tenggara, angka kejadian thalassemia beta mayor diperkirakan rata-rata 10% pada daerah-daerah tersebut. 7% dari total populasi dunia merupakan karier hemoglobinopati trait.
1

di Indonesia statistik thalassemia

belum tersedia secara terperinci dan pasti, namun secara umum dikatakan bahwa sumatera
7

selatan merupakan salah satu tempat di Indonesia dengan populasi penderita thalassemia terbanyak yakni dengan frekwensi 10-12%, artinya dari tiap seratus penduduk di sumatera selatan 10 sampai 12 individu membawa gen thalassemia, angka ini tanpa membedakan jenis thalassemianya.
9

Di Indonesia secara umum diprediksi frekwensi individu pembawa gen

thalassemia mencapai 4% yang mana 0.5% adalah individu dengan kelainan alpha thalassemia dan 3.5% individu dengan kelainan beta thalassemia. Iskandar Wahidayat (1979) melaporkan bahwa tiap tahunnya selalu didapat kasus baru thalssemia beta di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya lebih sering di jumpai kasus thalassemia beta Hb E.
10

Menurut studi yang dilakukan oleh Bagian Genetika

Medik Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, prosentase Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Soetomo mencapai 47.0%.

2.5.2 Etiologi Dasar kelainan pada thalassemia yaitu delesi pada gen atau terhapus karena mutasi dari gen. thalassemia beta terjadi akibat tidak diproduksi atau berkurangnya jumlah rantai globin pembentuk hemoglobin, (+) / (+) atau (0) / (0). Lebih dari seratus mutasi pada pasangan basa yang berbeda dapat menyebabkan thalassemia beta. Ada berbagai tipe mutasi yang menyebabkan terjadinya thalassemia beta termasuk didalamnya mutasi titik, insersi, dan delesi. Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11, mutasi gen disertai berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Pada thalassemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada keadaan normal, hal ini merupakan mekanisme kompensasi untuk menutupi kekurangan rantai beta. Kelebihan rantai globin ini nantinya tidak dapat digunakan dengan baik karena tidak ada pasangannya yang akan membentuk tetramer yang sempurna dan akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritrosit mudah lisis dan eritropoiesis berlangsung tidak efektif dimana eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. 2

2.5.3 Manifestasi Klinis Penderita yang mengalami thalassemia tipe silent karier dan mild thalassemia biasanya tidak menampakkan gejala. Adapun beberapa kasus dari thalassemia dapat ditemukan gejala8

gejala, seperti badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah, denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat serta permukaan abdomen yang asimetris dengan pembesaran hati dan limfa. Pada penderita thalassemia beta mayor (homozigot) menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah yang khas, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi.
1

Akibat sumsum tulang yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel

darah merah pada thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang kepala dan wajah. Disamping itu, anak yang menderita thalassemia ini akan tumbuh lebih lambat dan masa pubertas juga lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat akibat lisis eritrosit yang berlebih dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.
5

Seringkali pada bayi yang sudah

terdiagnosa thalassemia beta mayor (dengan kedua orang tuanya fenotip normal), dapat ditemukan adanya gejala depresi napas dan foto rontgen menunjukkan ciri khas yakni hair on end, hal ini terkait dengan kondisi tubuh yang masih dini dan tingkat keparahan gejala penyakit seperti hipoksia serta penurunan hemoglobin. 7

2.5.3.1 Perubahan Pada Tulang Tengkorak 2.5.3.1.1 Porotic Hyperostosis Porosis pada permukaan tulang kranial sering disebut porotic hyperostosis dan pada orbital disebut cribra orbitalia. Namun, pada kasus thalassemia beta jarang ditemukan penampakan cribra orbitalia kecuali pada kasus anemia defisiensi besi. Porosis selalu dimulai dari tulang frontal bagian atas (yang mana sering menunjukkan penebalan dan penonjolan pada frontal), kemudian meluas secara progresif dan mengarah ke bagian parietal dan ke bagian kranial yang lain, misalnya tulang dagu, sphenoid, dan tulang mastoid. 13 Porosis terjadi sebagai akibat mekanisme kompensasi yang dilakukan oleh sumsum tulang secara berlebihan dalam bentuk hyperplasia dan proliferasi sumsum tulang, hal ini dipicu oleh penurunan pembentukan sel darah merah secara sistemik akibat dari pembentukan rantai globin penyusun sel darah merah yang diproduksi dalam jumlah yang sedikit atau sama sekali tidak ada. 3 Ada dua prinsip dari penyebab pembentukan sel darah merah di sumsum tulang terganggu pada kasus thalassemia beta, yakni eritropoisis yang
9

inefektif dan meningkatnya hemolisis. Sel darah merah normalnya matur pada hari ketujuh dan rentang usianya 120 hari. Ketika terjadi suatu kondisi yang menyebabkan level hemoglobin rendah ( < 7 g/dl ), tubuh akan menjadi kekurangan oksigen, sehingga memicu sekresi eritropoietin (salah satu hormon yang diproduksi oleh ginjal) untuk mempercepat produksi sel darah merah dan proses maturasinya. Jika respon hormonal tidak adekuat, maka sumsum tulang dipicu untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Pada kubah kranial ekspansi diploe (spons tulang) terjadi sampai ke permukaannya, dimana sedikit demi sedikit terjadi reabsorbsi. Reabsorbsi inilah yang menimbulkan porosis pada kranial (porotic hyperostosis) dan terlihat seperti spons (lubang-lubang kecil). 13

2.5.3.1.2 Hair on End Perubahan tulang yang paling sering terlihat terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Kepala penderita thalassemia beta mayor menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal dan pembesaran diploe (spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih besar dari orang normal. Hal ini memberikan gambaran menyerupai rambut berdiri dengan potongan pendek atau hair on end pada foto rontgen. Perubahan pada tulang tengkorak terbentuk karena tertekannya trabekular vertikal antara bagian dalam dan luar tengkorak akibat hiperplasia pada sumsum tulang.
7 14

Penampakan diploe pada foto rontgen tengkorak

ditandai dengan bentukan stria vertikal yang menyerupai rambut berdiri pada permukaan tulang tengkorak. Adanya penampakan ini diakibatkan oleh hiperaktifitas sumsum tulang.

Hiperplasia dari sumsum tulang menyebabkan pelebaran rongga diploe dan penipisan pada permukaan tulang, selain itu destruksi trabekular dengan penebalan pada residu trabekular itu sendiri. Bentukan trabekular pada diploe terkadang tersusun secara peripendikular pada kurvatura tulang tengkorak. Hiperplasia pada sumsum tulang yang bersifat radiolusen, penebalan trabekular dan penampakan warna opaque, tiga hal inilah yang menyebabkan penampakkan hair on end. 12

2.5.3.2 Perubahan pada Tulang Wajah 2.5.3.2.1 Facies Cooley Thalassemia beta mayor merupakan kelainan thalassemia beta yang bersifat homozigot, sering pula disebut dengan anemia Cooley. Kelainan ini merupakan bentuk
10

terparah dari thalassemia dan penderita akan mengalami anemia berat dengan hematokrit kurang dari 20% sehingga bergantung pada pemberian transfusi darah.
7 3

Gejala yang sering

terjadi yaitu pembesaran limfa dan hati, pertumbuhan yang terhambat dan perubahan pada tulang. Perubahan tulang yang terjadi disebabkan oleh hiperaktivitas dari sumsum tulang

sehingga mengakibatkan pertumbuhan berlebih pada tulang frontal, parietal, zigomatikus serta protrusi maxilla. Perubahan bentuk ini menghasilkan wajah yang khas yaitu facies cooley. akibat abnormalnya tulang wajah dan pertumbuhan tulang cranial. Pada hidung tampak pesek tanpa nasal bridge. Jarak antara kedua mata melebar begitu pula dengan dahi yang melebar juga. Selain itu, tulang pipi dan kranial mengalami penebalan, gigi yang protrusif (menonjol), dan pertumbuhan maxilla yang maloklusi. Pembentukan sutura pada lobus occipital mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tulang mandibula hingga struktur maxilla anterior, yang bermanisfestasi pada pertumbuhan maxilla yang berlebihan (protrusi maxilla dan atrofi mandibula). Selain itu gangguan ini juga menyebabkan perubahan posisi orbita ke arah lateral sehingga tampak wajah Cooley.
15

Disamping itu, pertumbuhan gigi

penderita thalassemia beta mayor biasanya buruk disertai refraksi tulang rahang. Konsekuensi dari produksi rantai beta yang terganggu menyebabkan kadar hemoglobin turun drastis. 16

Gambar 1 : Tampilan Facies Cooley Pada anak usia 5 tahun

Gambar 2 : Tampilan Facies Cooley ( hasil foto rontgen- lateral).

11

2.5.3.2.2 Chipmunk Appearance / Rodent Face Perubahan struktur tulang pada penderita thalassemia meningkat seiring dengan usia, hal ini berhubungan dengan hipoksia oleh keadaan anemis yang parah. Manifestasi orofacial dari thalassemia terjadi karena perubahan tulang akibat proses erithropoiesis yang inefektif. Perubahan struktur oral yang paling besar pada pasien thalassemia adalah pembesaran maxilla oleh sebab ekspansi sumsum tulang. Pertumbuhan berlebih ini menghasilkan suatu penampakkan dengan karakteristik khusus yang disebut sebagai chipmunk appearance / rodent face. Manifestasi orofacial yang paling sering dilaporkan adalah protrusi maxilla yang diasosiasikan dengan pembesaran tulang alveolar, pelebaran bagian bawah rahang diikuti peregangan pada gigi atas bagian depan. Tulang malar yang prominent dan depresi nasal bridge juga menjadi salah satu tanda khas yang menyertai chipmunk appearance / rodent face.
11

Pertumbuhan abnormal dari maxilla dan tulang-tulang di sekitar seperti

dikatakan di atas terpengaruh oleh usia yang dikaitkan dengan hiperplasia dimana dalam hal ini stadium dari deformitas orofacial dapat dibagi menjadi tiga yakni : a. Stadium 1 : berupa penebalan kelopak mata tanpa disertai dengan pertumbuhan

berlebih dari maxilla b. Stadium 2 : pertumbuhan berlebih dari tulang maxilla sudah mulai nampak

namun masih belum terlalu signifikan. c. Stadium 3 : pertumbuhan berlebih tulang maxilla yang nampak jelas disertai

penampakan tulang malar dan gigi atas bagian depan yang prominent. Dengan adanya stadium perkembangan tulang maxilla yang abnormal yang dikaitkan oleh umur maka banyak studi yang menyatakan golongan-golongan usia tertentu dimana tulang mengalami fase-fase perkembangan abnormal yang disebut di atas, namun dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang paling signifikan kebanyakan dapat dilihat pada usia 7,5 tahun, tetapi hal ini tidak harus selalu karena pada beberapa kasus, pertumbuhan yang abnormal ini dapat terjadi pada usia dini bergantung pada tingkat keparahan anemia dari pasien dan ketergantungannya pada transfusi darah. 12

Adanya kelainan lubang oral pada penderita thalassemia beta menjadi tanda pasti adanya perubahan mekanisme faal tulang yang diakibatkan oleh proses kompensasi oleh sumsum tulang akibat kurangnya jumlah sel darah merah dengan fungsi yang normal yang terdapat dalam tubuh, hal ini tidak hanya menyebabkan deformitas tulang yang mengakibatkan
12

penampakkan chipmunk appearance / rodent face namun juga berefek pada tulangtulang yang lain di wajah yang berupa rahang bawah melebar dari bentuk normal,ligamen periodontal melebar dan pucatnya gingiva, itu terjadi biasanya pada pasien yang hemoglobinnya menurun sampai dibawah 7 gr/dl. Ukuran lidah membesar (makroglossi) dan warna ginggiva terkadang cenderung lebih gelap, hal ini disebabkan tingginya level feritin darah. 9

Gambar 1 : Tampilan chipmunk appearance / rodent face ( tampak samping).

Gambar 2 : Tampilan chipmunk appearance / rodent face ( hasil foto rontgen- lateral).

2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesa 4 Ada beberapa poin yang menjadi ciri dari thalassemia beta mayor yang dapat membantu menegakkan diagnosa yakni: Umumnya penderita thalassemia berasal dari ras Mediterranean, Afrika, atau Asia Tenggara. Memilki riwayat penyakit keluarga anemia, transfusi yang berkepanjangan, atau splenektomi. 2.6.2 Tanda-tanda Pada Pemeriksaan Fisik 9 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui tanda-tanda sebagai berikut: Pucat tanda dari anemia. Bentuk muka facies Cooley akibat adanya maloklusi pada tulang maxilla Tampak chipmunk appearance dengan bentuk rahang dan gigi yang abnormal Gangguan pertumbuhan
13

Heart murmur: merupakan tanda signifikan anemia. Tanda dapat juga ditemui pada CHF (Congestive Heart Failure)

Tanda ikterus: terjadi hemolisis akibat peningkatan produksi bilirubin. Bentuk muka yang asimetris (abnormal) dengan ciri tulang frontal menonjol, maxilla yang protrusi, dan tulang wajah hipertropi.

Hepatosplenomegali hingga extramedullar hematopoiesis

2.6.3 Pemeriksaan penunjang 7

1. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan : Pada penderita thalassemia level Hb menurun sampai <7 g/dl, Mean Corpuscular Volume (MCV) > 50 < 70 fl dan Mean Corpuscolar Hb (MCH) > 12< 20 pg. Sedangkan level HbA antara 10-30% , HbF 70-90%, dan HbA2 jumlahnya variabel meningkat (> 3,5% dari Hb total). 18 Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basofilik stappling, badan Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas. Retikulosit meningkat
10

2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) -

Hiperplasia sistem eritropoiesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil. Granula Fe (dengan pengecatan prussian biru) meningkat.

3. Pemeriksaan radiologi: Dalam penelitian yang ada hubungannya dengan perubahan karakteristik tulang tengkorak dan wajah pada anak penderita thalassemia beta mayor, maka pemeriksaan radiologi sangat membantu. Pada foto rontgen tengkorak dapat dilihat gambaran hair on end menyerupai rambut berdiri potongan pendek, penipisan tulang korteks, pelebaran diploe.
8

Adanya penampakan ini oleh karena hiperplasia dari sumsum tulang yang menyebabkan pelebaran diploe. Bentukan trabekular pada diploe terkadang tersusun secara peripendikular pada kurvatura tulang tengkorak. Hiperplasia pada sumsum tulang yang bersifat radiolusen, penebalan trabekular dan penampakan warna opaque, tiga hal inilah yang menyebabkan
14

penampakkan hair on end.

12

Selain terlihatnya gambaran hair on end, pada rontgen


13

kepala juga dapat ditemukan gambaran porotic hyperostosis yang merupakan porosis (lubang-lubang kecil) pada permukaan tulang tengkorak. Perubahan patologis tulang tidak

hanya terjadi pada tulang tengkorak, juga dapat kita lihat perubahan tulang wajah (deformitas orofacial) pada foto rontgen, seperti: Facies Cooley dan Chipmunk Appearance / Rodent Face.

2.7 Penatalaksanaan 2.7.1 Medikamentosa a. Transfusi darah Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl. Jadwal transfusi jaraknya antara 3-4 minggu untuk mempertahankan level hemoglobin 9-9,5 g/dl, setelah itu baru dilanjutkan transfusi lagi. Walaupun dengan transfusi memperpanjang hidup penderita, transfuse juga menimbulkan masalah yang serius, misalnya kelebihan zat besi pada tubuh pasien yang menimbulkan akumulasi zat besi pada hati, jantung, kelenjar endokrin. Terkadang transfuse tidak memberi gangguan pada hati ataupun jantung, namun akan menghambat pertumbuhan dan maturasi seksual. Untuk meminimalkan terjadinya deposit besi pada tubuh, penderita harus diterapi dengan chelation (iron removing). Terapi ini dapat dilakukan melalui mulut, subcutan, atau intravena, dan perlu diingat agar dipantau terus agar tidak terjadi komplikasi. 17

b. Pemberian Iron Chelating agent (Deferoxamine): Diberikan setelah kadar feritin serum mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Deferoxamine diberikan dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari diberikan subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam selama 5-7 hari selama seminggu dengan menggunakan pompa portable. Lokasi umumnya di daerah abdomen, namun daerah deltoid maupun paha lateral menjadi alternatif bagi pasien. Adapun efek samping dari pemakaian deferoxamine jarang terjadi apabila
15

digunakan pada dosis tepat. Toksisitas yang mungkin bisa berupa toksisitas retina, pendengaran, gangguan pertumbuhan tulang, reaksi lokal dan infeksi. c. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi. d. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. e. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah

2.7.2 Bedah Splenektomi umumnya tidak dianjurkan bagi penderita thalassemia karena resiko dari komplikasinya, misalnya: infeksi pulmoner, hepar, ataupun terjadi trombotik. Bagaimanapun splenektomi (baik total atau partial) dapat dilakukan jika ada indikasinya sebagai berikut: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya terjadinya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg BB dalam satu tahun. 17 2.7.3 Thalassemia Diet Pasien dianjurkan untuk menghindari makanan yang kaya akan zat besi, seperti daging berwarna merah, hati, ginjal, sayur-sayuran bewarna hijau, sebagian dari sarapan yang mengandung gandum, semua bentuk roti dan alkohol. Karena jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi akumulasi besi yang berlebihan dalam tubuh. 17

2.8 Evaluasi - Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.

- Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan. 17

16

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual

Thalassemia Beta Mayor

Produksi hemoglobin menurun atau tidak ada


Tubuh

Gangguan pembentukan rantai beta globin

Eritrosit lisis

Penurunan jumlah sel darah sistemik


Tubuh Mekanisme kompensasi Tubuh

Proliferasi dan Hiperplasia sumsum tulang

Tulang tengkorak Perubahan karakteristik tulang tengkorak

Tulang wajah Perubahan karakteristik tulang wajah

Hair on End, Porotic Hyperostosis, Criba Orbitalia

Chipmunk Appearance / Rodent Face, Facies Cooley

BAB IV
17

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 4.1.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif 4.2.2 Rancangan Penelitian

Populasi Penelitian adalah pasien thalassemia beta mayor umur 5 th dengan tanda perubahan tulang tengkorak dan tulang wajah di bagian IKA, RSUD Dr. Soetomo.

Sampel

Pengamatan dan pengambilan data primer dan sekunder

Pengolahan data dan Pendeskripsian

4.2 Populasi, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel dan Kriteria Sampel 4.2.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah pasien thalasemia beta mayor yang tergabung dalam POPTI (Persatuan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia) di bagian IKA (Ilmu Kesehatan Anak) RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 4.2.2 Besar Sampel Besar sampel didapatkan sesuai dengan metode dan dana penelitian yang ada, dalam penelitian ini digunakan 10 sampel yang memenuhi kriteria sampel pada populasi penelitian. Selanjutnya sampel diambil datanya, baik primer yang meliputi anamnesa, pemberian kuisioner dan foto rontgen, maupun sekunder yang meliputi rekam medis lengkap dari pasien.

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel

18

Pengambilan sampel pada penelitian ini bersifat proposif, dimana pengambilan data dilakukan dengan permohonan kepada pasien guna mendapat informed consent secara

tertulis sehingga dapat melakukan pengambilan data. 4.2.4 Kriteria Sampel a. Penderita Thalassemia beta Mayor b. Usia 5 Tahun c. Memiliki tanda-tanda kelainan karakteristik tulang e. Tergabung dalam POPTI (Persatuan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia), dalam hal ini yang kesekreariatannya berkedudukan di Bagian IKA (Ilmu Kesehatan Anak) RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.3.1 Lokasi Penelitian Penelitian akan di lakukan di lembaga POPTI (Persatuan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) dan RSUD dr. Soetomo, Surabaya. 4.3.2 Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan mulai dari saat proposal penelitian ini disetujui, hingga batas akhir yang ditentukan.

4.4 Prosedur Pengumpulan Data 4.4.1 Tahap Perizinan Melakukan permohonan izin melalui Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya agar diberi surat pengantar penelitian untuk melakukan pengumpulan data dan mengajukan pada lembaga dan rumah sakit lokasi penelitian. 4.4.2 Pengambilan Data Pengambilan data diawali dengan memohon persetujuan/ijin dari pasien dan lembaga yang terkait dengan penelitian kemudian data diambil dengan menggolongkannya menjadi primer dan sekunder, data primer meliputi anamnesa baik auto-anamnesa maupun heteroanamnesa (disesuaikan dengan kondisi pasien), pemberian kuisioner yang mana terdiri dari pertanyaan terbuka yang akan megacu ke data kualitatif, kuisioner berisikan sembilan pertanyaan umum, dan pemeriksaan laboratorium dalam hal ini foto rontgen. Pengambilan data sekunder dilakukan dengan mencermati data rekam medis yang ada dari pasien
19

kemudian menginterpretasikannya dengan menganalisa dan mendeskripsikan data yang didapat.

4.5 Teknik Pengolahan Data yang sudah diperoleh akan dideskripsikan dengan mengolah data yang didapat serta menyesuaikan dengan referensi yang ada yang dijadikan sebagai acuan penelitian.

20

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Takeshita K. Beta thalassemia. Blood article [ serial online]. 2011 [ cited 2011 Sept 10 ]. Available from http://www.emedicine.medscape.com/article/ 2. Turnpenny P, Ellard S. Emerys elements of medical genetics. 13th ed. Philadelphia: Elsevier;2007 3. Lawson JP. Thalassemia imaging. Blood article [serial online]. 2011 [cited 2011 Aug 12]. Available from http://www.emedicine.medscape.com/article/ 4. Permono B, Ugrasena IDG , A Mia. Thalassemia (e- article). Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2007 Dec 3 (cited 2011 Aug 17). Available from: http://www.pediatrik.com/ 5. Piomelli S, Loew T. Management of thalassemia major (Cooley's anemia). Hematol Oncol J. 1991;5:557-69 6. How do people get thalassemia. Harvard medical online news [document on the internet]. 1998 Apr 6 [ cited 2011 Aug 20 ]. Available from: http://sickle.bwh.harvard.edu/ 7. Thalassemia. Harvard medical online news [document on the internet ]. 1999 Oct 10 [ cited 2011 Aug 20 }. Availabe from: http//sickle.bwh.harvard.edu/ 8. Samantha V. Beta Thalassemia: The anaemia coming from the sea. Italian J of Anthropology. 2007;1:115-125 9. Oswari LD. Tahlassemia sebagai penyakit keturunan. Info - online. 2000 [ cited Sept 2011 ]. Available from http://www.kadnet.info/web/ 10. Yunanda Y. Thalassemia. Fakultas kedokteran, [ skripsi ]. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara; 2008. Available from http:// www.usu.ac.id/ 11. Takriti M, Dashash M. Craniofacial parameters of Syrian children with -thalassemia major. J of Investigative and Clinical Dentistry. 2011;2:135-143

21

12. Elham S J, Alhaija A, Hattab F N, Al-Omari M A. Cephalometrics measurements and facial deformities in subjects with -thalassemia major. European J of Orthodentics. 24;2002:9-19 13. Phillip L. W. Rhonda R. B. Rebecca R. Thor G.and Valerie A. Andrushko. The Causes of Porotic Hyperostosis and CribraOrbitalia: A Reappraisal of the IronDeficiency-Anemia Hypothesis. American journal of physical anthropology 139:109125 (2009) 14. Britton H A, Canby J P, Kohler C M. Iron deficiency anemia producing evidence of marrow hyperplasia in the calvarium. Pediatrics 1960. 25621628.628 15. Greenberg, M.S and M.Glick. burkets oral Medicine. 10th ed pain. BC.Decker Inc.2003 16. Cohen, A.and E. Schwartz. Practice of pedriatics. Volume 5. Philadelphia: Harper and Row. 1986 17. Olivieri NF, Brittenham GM. Iron-Chelating Therapy and the Treatment of Thalassemia [serial online]. Journal of The American Society of Hematology. 1997 [cited 2011 Sept 15] ;89 (3); 739-76. 18. Renzo G, Raffaella O. RBeta-thalassemia. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2010 [cited 2011 Sep 15]; :11. Available from: http://www.ojrd.com/content/

22

You might also like