You are on page 1of 72

LAPORAN PRAKTEK MAGANG

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT LAMPUNG

OLEH MHD. SUKRILLAH

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

LAPORAN PRAKTEK MAGANG

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT LAMPUNG

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau

OLEH MHD. SUKRILLAH

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK UMUM/MAGANG

Judul

Nama Nomor Induk Mahasiswa Jurusan Program Studi

: Teknik Pembenihan Ikan Kerapu (Cromileptes altivelis) di Balai Pengembangan Budidaya Laut Lampung : Mhd. Sukrillah : 0904114378 : Budidaya Perairan : Budidaya Perairan

Tikus Besar

Disetujui Oleh,

Ketua Jurusan

Pembimbing I

Ir. Mulyadi, M. Phil Nip. 19611231 198702 1 009

Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc Nip. 19700710 199512 1 001

Tanggal Lulus Ujian

: 10 Mei 2012

RINGKASAN Mhd. Sukrillah, 0904114378, Teknik Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung di bawah bimbingan Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) merupakan salah komoditas perikanan memiliki nilai jual yang tinggi karena harganya relatif mahal baik untuk pasar lokal maupun ekpor dan permintaan terhadap ikan ini juga sangat banyak. Sementara itu, permintaan pasar akan ikan ini belum dapat dipenuhi secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya yang mampu membudidayakan ikan ini dalam skala besar. Hal ini disebabkan ketersedian benih ikan ini masih sangat minim. Oleh sebab itu, maka perlu adanya praktek atau pelatihan guna meningkatkan Sumber Daya Manusia untuk melakukan pembenihan ikan ini. Praktek magang ini dilaksanakan pada tanggal 02 Februari 2012 sampai tanggal 05 Maret 2012 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung yang bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan pembenihan ikan kerapu tikus dengan melaksanakan secara langsung praktek magang teknik pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Provinsi Lampung sedangkan manfaatnya dapat menambah pengalaman dan keterampilan, sehingga ilmu yang diperoleh bisa dijadikan bekal untuk di terapkan ke masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) selama praktek magang antara lain pengelolaan induk yang meliputi persiapan wadah induk, penyediaan induk, seleksi induk, pemberian pakan induk, pengeloaan kualitas air induk, pengendaliaan penyakit induk dan pemijahan. Penanganan telur meliputi pemanenan telur, seleksi dan perhitungan telur. Sedangkan metode praktek pemeliharaan larva meliputi persiapan wadah,

penebaran larva, pemberian pakan, pengelolaan kualitas air larva, pengendalian penyakit, serta pemanenan dan grading. Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan dan pemijahan induk berupa bak terkontrol berbentuk tabung dengan kapasitas 84,86 m3. Wadah yang digunakan untuk penetasan telur berupa akuarium fiber dengan ukuran 65 x 40 x 40 cm. Sedangkan wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva berupa bak beton dengan ukuran 4 x 2 x 1,2 m dengan kapasitas 9,6 m3. Pemijahan induk ikan kerapu tikus (Cromileptes alivelis) berlangsung selama 7-10 hari dalam satu kali periode pemijahan. Induk yang dipijahkan berjumlah 28 ekor terdiri dari 12 ekor jantan dan 16 ekor betina. Hasil pemijahan tertinggi dapat mencapai 2.305.333 butir telur dan hasil pemijahan terendah 79.200 butir. Disamping itu, selama periode pemijahan terdapat satu hari induk tidak bertelur atau disebut masa istirahat. Tingkat penetasan telur (Haching Rate) tertinggi dapat mencapai 93,56% dan terendah 0% atau tidak ada telur menetas. Larva yang telah menetas baru diberi makan pada hari ke-2 (D2) sore. Pakan yang diberikan antara lain Nannochloropsis sp atau Tetraselmis sp (D2-D25), Rotifera (D2-D25), Artemia (D14-D40) dan pakan buatan (D16). Sementara itu, jika dilihat standart baku mutu air, air di BBPBL Lampung hampir layak untuk dijadikan media pemeliharaan larva.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan magang dan pembuatan laporan magang ini dengan judul Teknik Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Pada kesempatan ini, Penulis sampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan praktek magang ini. 2. Ibu Dr. Saberina Hasibuan, S.Pi, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan dalam penyusunan laporan magang ini. 3. Bapak Silfester Basi Dhoe. Sp selaku pembimbing lapangan yang telah membantu Penulis dalam mengumpulkan data praktek magang ini. 4. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan praktek magang ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan praktek magang ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan praktek magang ini sangat diharapkan.

Pekanbaru, Mei 2012

Mhd. Sukrillah

ii

DAFTAR ISI

Isi

Halaman i ii iv v vi 1 1 3 3 4 4 4 4 5 6 7 7 7 8 9 10 10 11 11 12 13 14 16 16 16 17 18 19 19 20

KATA PENGANTAR ............................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Tujuan .......................................................................................... 1.3. Manfaat ........................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Biologi Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ....................... 2.1.1. Klasifikasi ......................................................................... 2.1.2. Morfologi .......................................................................... 2.1.3. Penyebaran dan Habitat..................................................... 2.1.4. Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonad .................. 2.2. Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Tikus ..................................... 2.2.1. Lokasi Pembenihan ........................................................... 2.2.2. Pengadaan dan Pemeliharaan Induk.................................. 2.2.3. Pemijahan .......................................................................... 2.2.4. Pemanenan Telur ............................................................... 2.2.5. Fekunditas ......................................................................... 2.2.6. Penetasan Telur ................................................................. 2.2.7. Pemeliharaan Larva ........................................................... 2.2.8. Pendederan ........................................................................ 2.2.9. Kualitas Air ....................................................................... 2.2.10. Penyakit Ikan ..................................................................... 2.2.11. Panen ................................................................................. III. METODE PRAKTEK........................................................................ 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. Waktu dan Tempat ....................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................. Metode Praktek ............................................................................ Analisis Data ................................................................................

IV. KEADAAN UMUM ............................................................................ 4.1. Keadaan Lokasi ............................................................................ 4.2. Sejarah Singkat.............................................................................

iii

4.3. Struktur Organisasi....................................................................... 4.4. Tenaga Kerja ................................................................................ 4.5. Kegiatan Umum ........................................................................... 4.5.1. Sarana Penunjang .............................................................. 4.5.2. Sarana Pelengkap .............................................................. V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 5.1. Pengelolaan Induk ......................................................................... 5.1.1. Wadah Pemeliharaan ......................................................... 5.1.2. Penyediaan Induk .............................................................. 5.1.3. Seleksi Induk ..................................................................... 5.1.4. Pemberiaan Pakan ............................................................. 5.1.5. Pengelolaan Kualitas Air................................................... 5.1.6. Pengendalian Penyakit ...................................................... 5.1.7. Perangsang Kematangan Gonad ....................................... 5.1.8. Pemijahan .......................................................................... 5.2. Penanganan Telur.......................................................................... 5.2.1. Pemanenan Telur ............................................................... 5.2.2. Seleksi dan Perhitungan Telur .......................................... 5.3. Pemeliharaan Larva ...................................................................... 5.3.1. Persiapan Wadah ............................................................... 5.3.2. Penebaran Larva ................................................................ 5.3.3. Pemberiaan Pakan ............................................................. 5.3.4. Pengelolaan Kualitas Air................................................... 5.3.5. Pengendaliaan Penyakit .................................................... 5.3.6. Pemanenan dan Seleksi Benih (Grading) ......................... VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 6.1. Kesimpulan ................................................................................... 6.2. Saran ............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

21 24 25 25 29 30 30 30 31 33 34 36 37 38 39 41 41 41 43 43 45 45 48 51 51 53 53 54

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung ............................................................................................ Mesin genset (A) dan trafo listrik (B) ................................................ Tandon air tawar (A) dan tandon air laut (B)..................................... Mesin blower ..................................................................................... Kultur plankton skala kecil di laboratorium pakan alami .................. Asrama (A) dan masjid (B) ................................................................ Bak pemeliharaan induk .................................................................... Proses pencucian bak induk ............................................................... Induk kerapu tikus ..............................................................................

Halaman

21 25 26 27 27 28 30 31 32 34 34 36 37 39 40 42 44 45 49 51

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. Proses seleksi induk ........................................................................... 11. Pakan ikan rucah dan kerang untuk induk ......................................... 12. Filter air dan proses pemasangan filter .............................................. 13. Perendaman induk ke dalam air tawar ............................................... 14. Spirulina tablet (A) dan kapsul vitamin E (B) ................................... 15. Egg kolektor atau tempat penampungan telur .................................... 16. Perhitungan telur ................................................................................ 17. Pencucian bak pemeliharaan larva ..................................................... 18. Penebaran larva ke bak pemeliharaan ................................................ 19. Penyiponan bak pemeliharaan larva .................................................. 20. Seleksi benih (grading) ......................................................................

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lama pengangkutan, ukuran dan jumlah benih perliter air ................ 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) .................................................... 3. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) ................................................................ 4. Jumlah pegawai BBPBL Lampung berdasarkan tingkat ruang atau golongan .............................................................................................. 5. Jumlah pegawai BBPBL Lampung berdasarkan tingkat pendidikan .. 6. Spesifikasi induk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung ........................................... 7. Jadwal pemberian pakan induk ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung .... 8. Hasil pemanenan telur dalam satu priode pemijahan .......................... 9. Perkembangan panjang larva ikan kerapu tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung ........................................... 10. Parameter kualitas air di bak pemeliharaan larva ikan kerapu tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung hari ketiga. . 11. Parameter kualitas air di bak pemeliharaan larva ikan kerapu tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung hari keenam 12. Parameter kualitas air di bak pemeliharaan larva ikan kerapu tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung hari kesembilan...........................................................................................

Halaman 15

18

17

24 24

32

35 43

48

50

50

50

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta provinsi Lampung ....................................................................... 2. Dokumentasi kegiatan magang ........................................................... 3. Fotocopy sertifikat magang .................................................................

Halaman 57 58 60

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain memiliki daratan dengan kondisi tanah yang subur sangat cocok untuk bidang pertanian, Indonesia juga dikelilingi laut yang sangat luas dan memiliki potensi yang sampai saat ini belum terkelola dengan baik dan potensi ini sangat cocok untuk dikembang dalam bidang perikanan terutama dalam usaha budidaya. Pada dasarnya usaha budidaya perikanan di Indonesia terbagi atas 3 kelompok, yaitu usaha budidaya perikanan air tawar, usaha budidaya perikanan air payau dan usaha budidaya perikanan air laut. Dari ketiga usaha perikanan tersebut, usaha budidaya perikanan laut kini mulai dilirik untuk dikembangkan. Usaha budidaya ini menjadi salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan taraf hidup pembudidaya ikan. Apabila usaha budidaya ini berkembang, maka hasil produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat pembudidaya ikan mengalami peningkatan. Disamping itu, negara sudah tentu diuntungkan oleh usaha ini karena adanya peningkatan jumlah devisa sebagai hasil ekspor produk perikanan. Dari sekian banyak jenis ikan laut yang dikembangkan, salah satunya adalah ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Pada saat ini, ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) memiliki nilai jual yang tinggi karena harganya relatif mahal baik untuk pasar lokal maupun ekpor dan permintaan terhadap ikan ini juga sangat banyak. Sementara itu, permintaan pasar akan ikan ini belum dapat dipenuhi secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya yang mampu

membudidayakan ikan ini dalam skala besar. Hal ini disebabkan ketersedian benih ikan ini masih sangat minim. Oleh karena itu, banyak pembudidaya hanya mengandalkan benih ikan kerapu hasil tangkapan dari alam sedangkan ketersediaan benih ikan ini di alam jumlahnya sedikit dan semakin lama semakin berkurang dan dikhawatirkan akan habis dan punah. Dengan demikian, pengembangan usaha budidaya kerapu tikus (Cromileptes altivelis) terutama dalam usaha pembenihan atau penyediaan benih memiliki prospek yang baik. Namun, untuk melakukan usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) bukan merupakan hal yang gampang dan dapat dilakukan secara asal-asalan tetapi usaha ini butuh ketelitian, kesabaran dan didukung beberapa faktor penunjang keberhasilan suatu usaha pembenihan seperti kondisi perairan, pengaruh iklim dan cuaca, ketersediaan pakan atau nutrisi baik secara kuantitas maupun kualitas serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan usaha pembenihan. Faktor yang paling utama yang harus dimiliki agar dapat melakukan usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yaitu ketersedian Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tersebut, perlu adanya pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan teknik pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) ini. Salah satu pendidikan dan pelatihan yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti magang atau praktek secara langsung di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.

1.2. Tujuan Adapun tujuan Magang yang dilaksanakan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung adalah: 1. Mendapatkan keterampilan dalam usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang meliputi pengadaan induk, pemijahan, penanganan telur dan pemeliharaan larva. 2. Mengetahui dan memahami macam-macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam menjalankan pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). 3. Mengetahui permasalahan yang timbul dalam pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). 4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.

1.3. Manfaat Adapun manfaat yang akan dapat diambil dari pelaksanaan magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman tentang pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) sehingga nantinya dapat diterapkan dimasyarakat sebagai informasi baru dan diharapkan dengan informasi ini minat masyarakat akan menjadi besar untuk melakukan pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologis Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) 2.1.1. Klasifikasi Menurut BBAP Situbondo (2007), klasifikasi ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) adalah sebagai berikut: Phylum Sub Phylum Class Sub Class Ordo Sub Ordo Family Sub Family Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Osteichtyes : Actinopteright : Percomorphi : Percoidea : Serranidae : Ephinephelinae : Cromileptes : Cromileptes altivelis

Nama menurut FAO, Inggris Perancis Spanyol : Hump Black Grouper : Merdu Bossy : Mero Jurobado

Nama Lokal : Kerapu Bebek

2.1.2. Morfologi Kordi dan Gufran (2001) menyatakan bahwa ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) mempunyai kepala yang datar hampir mirip kepala

bebek, sehingga dikenal juga sebagai ikan kerapu bebek. Adapun mulut atau moncongnya meruncing menyerupai moncong tikus, sehingga ikan ini disebut juga ikan kerapu tikus. Sirip-sirip ikan kerapu tikus membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 17-19 jari-jari lemah. Ikan kerapu tikus bisa mencapai panjang 70 cm bahkan lebih. Namun, ikan kerapu tikus untuk konsumsi biasanya berukuran 30-50 cm (Kordi dan Gufran, 2001).

2.1.3. Penyebaran dan Habitat Paimin (2000) mengemukakan bahwa ikan kerapu tikus hidup di kawasan terumbu karang di perairan dangkal hingga 100 meter di bawah permukaan laut. Selain perairan karang, lokasi kapal tenggelam juga merupakan rumpun yang nyaman dan mereka berdiam di lubang-lubang karang, menempel pada dinding-dinding karang atau rumpun-rumpun yang relative rendah. Paimin (2000) juga mengemukakan bahwa gerak ruayanya sempit dan biasanya membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar. Daerah penyebarannya di Indonesia antara lain di wilayah pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Jawa, Teluk Banten, Luwuk Bangai, Teluk Temini, Ambon, Ternate, Kepulauan Seribu, Bangka, Lampung Selatan dan kawasan lainnya. Kerapu tikus muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 meter. Habitat favoritnya adalah perairan dengan dasar pasir berkarang yang tumbuh padang lamun (seagras). Selanjutnya

menginjak dewasa akan bergerak ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 meter. Perpindahan berlangsung pada siang dan sore hari (Paimin, 2000). Kerapu tikus merupakan salah satu ikan laut komersial yang mulai dibudidayakan baik untuk pembenihan maupun pembesarannya.

Parameter-parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu tikus yaitu temperatur antara 24-30 c, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut (DO) lebih dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8-8,0 (Paimin, 2000).

2.1.4. Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonad Menurut Antoro dkk (1999), ikan kerapu tikus bersifat hemaprodit protogini yaitu pada masa perkembangannya mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut bertambah besar atau bertambah tua umurnya. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu tikus sangat erat kaitannya dengan aktifitas pemijahan, indeks kelamin, umur dan ukuran. Ikan jantan yang beratnya 1-2 kg sudah mampu menghasilkan sperma tetapi belum fungsional, sedangkan sperma yang dihasilkan oleh induk jantan dengan berat 2,5 kg atau lebih telah mampu membuahi telur yang dihasilkan induk betina. Pada umumnya, kerapu bersifat soliter tetapi pada saat memijah bergerombol. Di perairan Indo Pasifik puncak pemijahan berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama pada malam hari. Dari hasil pengamatan di wilayah Indonesia, musim-musim pemijahan ikan kerapu tikus terjadi pada bulan Juni, September dan November (Antoro dkk, 1999).

2.2. Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Tikus 2.2.1. Lokasi Pembenihan Menurut Akbar (2001), usaha pembenihan ikan kerapu tikus akan berhasil apabila factor-faktor pembatasnya dibuat sekecil mungkin. Beberapa faktor pendukung antara lain kemudahan mendapatkan sumber energi (PLN), kedekatan dengan lokasi budidaya dan pasar benih serta kemudahan memperoleh kebutuhan sehari-hari. Sementara faktor

pembatasnya antara lain kualitas air laut, ketersedian air tawar, status lahan dan keamanan. Faktor teknis merupakan segala kegiatan pemebenihan ikan kerapu tikus seperti sumber air (laut dan tawar) dan dasar perairan, kualitas tanah, kemiringan tanah dan ketinggian lokasi. Sedangkan menurut Kordi dan Gufran (2001), aspek teknis meliputi aspek sosial ekonomi yaitu dalam pemilihan lokasi harus

mempertimbangkan efesiensi dan pemasaran hasil.

2.2.2. Pengadaan dan Pemeliharaan Induk Menurut Sudaryanto dkk (1999), syarat-syarat induk yang baik yaitu: 1. 2. 3. Sehat, Tidak cacat fisik, Telah mencapai ukuran dewasa (lebih dari 1,5 kg untuk betina dan 3 kg untuk jantan). Induk dipelihara pada tempat yang telah ditentukan yaitu bak terkendali 100 m3 di darat atau pada keramba jarring apaung (KJA) di laut. Induk yang baru datang perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Dari hasil pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi 2-3

hari. Keberhasilan induk beradaptasi ditandai dengan induk mau makan (Sudaryanto dkk, 1999) Pengadaptasian induk di KJA lebih cepat dari induk yang dipelihara di bak terkendali. Hal ini dikarenakan kondisi parameter air laut cendrung lebih sesuai dengan asal ikan dan jauh dari gangguan. Ada beberapa keuntungan dari sistem pemeliharaan induk di KJA antara lain tidak membutuhkan sumber listrik untuk pompa air dan blower, kualitas air tetap baik dan perawatannya mudah (Sudaryanto dkk, 1999).

2.2.3. Pemijahan Menurut Paimin (2000), pemijahan ikan kerapu tikus dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu manipulasi lingkungan dan dengan sistem rangsangan hormonal. Induk yang memijah dengan teknik manipulasi lingkungan diberi rangsang atau kejut faktor lingkungan dengan teknik penjemuran atau air mengalir. Untuk Gonadotropin teknik atau rangsangan HCG hormonal menggunakan Hormon dan

(Human

Cloronic

Gonadotropin)

Puberrogent yang kini dipasarkan secara bebas. Ikan bisa dipijahkan setiap saat hanya saja harga hormon HCG dan Puberrogent sangat mahal sekitar Rp 1.852.800/gram. Selain itu, rangsangan hormonal mengakibatkan perubahan tingkah laku reproduksi induk ikan yaitu induk ikan tidak akan bertelur kecuali disuntuk (Paimin, 2000).

2.2.4. Pemanenan Telur Menurut Mustamin (2004), sebelum melakukan pemanenan telur, dipersiapkan terlebih dahulu akuarium yang akan diisi air laut sebanyak 90 liter dengan kapasitas akuarium 100 liter. Telur yang telah terbuahi dalam bak pemijahan akan terapung di permukaan air dan langsung keluar (dialiri) melalui pipa peralon dari bak egg colektor (bak penampungan telur), egg colektor yang telah berisi telur dipasangan melalui pipa paralon tersebut. Kemudian telur diambil dengan cara diserok dengan seser dan dimasukkan ke dalam ember yang telah berisi air laut 0,5 dari volume ember lalu dipindahkan ke dalam akuarium yang telah diisi air laut. Setelah dimasukkan ke dalam inkubari telur (seleksi telur), telur didiamkan selama 5 menit. Telur yang mengendap dapat disipon atau dibuang. Biasanya telur yang tidak terbuahi (jelek) akan mengendap di dasar bak dan berwarna putih susu (Mustamin, 2004). Menurut Akbar (2001), kepadatan tebar telur sekitar 10-20 butir/liter air media. Dengan suhu air 270-290 c. Sebelum telur ditebar, bak penetasan telur dibersihkan dahulu dengan menggunakan beckarbon atau clorin dengan dosis 10 ppm. Setelah clorin telah dimasukkan kemudian bak didiamkan selama 1 hari, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih lalu diisi air laut yang telah ditreamen dengan beckarbon dengan dosis 100 butir/hari hingga mencapai 8-10 m3. Kemudian bak dibilas lagi dengan air twar dan air laut lalu dikeringkan selama 1 hari hari setelah itu barulah bak siap untuk ditebar.

10

2.2.5. Fekunditas Wardana (2002) mengemukakan bahwa fekunditas adalah jumlah telur yang masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Istilah lain dari fekunditas adalah fekunditas nisbi yaitu jumlah telur (satuan) atau panjang ikan. Dari jumlah telur yang dihasilkan induk betina dapat diketahui fekunditas yang dihasilkan induk betina dalam 1 siklus reproduksi. Fekunditas akan semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya umur dan berat ikan. Selain itu, makanan dapat juga mempengaruhi fekunditas.

2.2.6. Penetasan Telur Menurut Antoro dkk (1999), telur pertil berwarna bening atau tranparan, melayang di badan air atau mengapung di permukaan air dengan diamater antara 850-950 mikron dan mempunyai gelembung minyak dengan diameter antara 170-220 mikron terletak dibagian posterior, sehingga posisi emberio larva menungging ke bawah. Telur yang terbuahi akan mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi emberio dan menetas menjadi larva 19 jam sejak telur dibuahi. Telur yang tidak terbuahi akan segera berubah menjadi keruh atau putih dan mengendap di dasar bak. Telur yang baik akan menetas dalam waktu 18-22 jam pada suhu 270-280 dan salinitas 30-32 ppt (Kordi dan Gufran, 2001).

11

2.2.7. Pemeliharaan Larva Menurut Paimin (2000), larva ikan kerapu tikus yang baru menetas mempunyai panjang 1,69-1,79 mm. Biasanya cadangan makanan berupa kuning telur (youl shack) diserap pada saat larva berumur 3 hari. Dengan demikian, larva memerlukan pasokan makanan dari luar. Makanan dapat diberi berupa rotifera (Brachionus pucatitis), Artemia salina, dan sok plankton lainnya yang mempunyai nutrisi yang tinggi dan cocok dengan bukaan mulut larva. Untuk menjaga keseimbangan kualitas air dan pakan rotifera dalam bak pemeliharaan diberi pula phitoplankton Chlorella sp dan Tetracelmis chuii. Chlorella sp diberi sejak larva berumur 1 hari (D1) dengan kepadatan 1-5 x 100 sel/ml. rotifera dengan kepadatan 5-20 ekor/ml diberikan sejak berumur D3-D15. Selanjutnya kepadatan rotifera dikurangi menjadi 3-5 ekor/ml sampai ikan berumur D25-D30. Selain itu, pada umur D25-D35 mulai diberikan artemia muda dengan kepadatan 1 ekor/ml. Benih umur D35-D45 diberi pakan artemia dewasa atau udang jambret (Paimin, 2000).

2.2.8. Pendederan Menurut Paimin (2000), biasanya benih mulai dipasarkan untuk dibesarkan setelah berumur 45 hari. Saat berukuran 2-3 cm dengan bobot rata-rata 1,2 gram. Pada umur ini ukuran larva tidak seragam, tingkat kematiaannya masih tinggi karena itu perlu dipelihara secara khusus di bak terkendali atau keramba jaring apung (KJA).

12

Padat penebaran di bak pendederan 1-2 ekor/liter. Kondisi aerasi harus berlangsung lancar sepanjang hari dengan sistem air mengalir, ini dimaksud agar pergantian air dapat berlangsung sempurna minimal 10% perhari. Untuk mengurangi penurunan kualitas air akibat sisa pakan dilakukan penyiponan (pengeluaran sisa pakan dan kotoran lain dengan cara dihisap menggunakan selang). Penyiponan dilakukan setiap hari setelah selesai pemberian pakan (Paimin, 2000). Pendederan di waring apung juga harus melalui proses aklimatisasi dengan cara yang sama. Padat penebaran di waring apung 300-500 ekor/kantong waring atau 70-80 ekor/m2, kemudian setelah masa pemeliharaan 1,5-2 bulan kepadatan dikurangi menjadi 150 ekor/kantong waring pendederan. Ukuran pakan pada masa pendederan disesuaikan dengan bukaan mulut benih. Jenis pakan berupa rebon dan daging ikan segar yang digiling. frequensi pemberiannya 4-5 kali/hari sampai benarbenar kenyang (Paimin, 2000).

2.2.9. Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam suatu pembenihan ikan kerapu tikus. Pada penentasan telur, suhu sangat menentukan keberhasilan telur itu menetas. Telur-telur ikan kerapu tikus yang telah terbuahi akan menetas 17-20 jam setelah pemijahan pada suhu 290-300 c. Selama pemeliharaan larva kualitas air yang baik yaitu suhu sekitar 270-280 c, salinitas 33-35 ppt, pH 7,1-8,1 dan DO mencapai 5,8-7,5 (Asliyanti, 1996).

13

Beberapa syarat kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain kualitas fisik air dan kualitas kimia air. Kualitas fisik air yang dimaksud adalah dalam memilih lokasi terbaik untuk pembenihan atau pembesaran ikan kerapu tikus antara lain kecepatan arus dan kecerahan air. Sedangkan kualitas kimia air biasanya menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi ini disebabkan kualitas air erat hubungannya dengan ikan yang dipelihara. Untuk itu kualitas kimia air perlu diketahui sebelum lokasi pembenihan atau pembesaran ditentukan. Adapun parameter kimia air yaitu salinitas, suhu, pH dan DO (Akbar, 2001).

2.2.10. Penyakit Ikan Menurut Kurniastuty dkk (1999), penyakit yang terdapat pada pemeliharaan ikan kerapu tikus disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor pathogenik dan non pathogenik. Faktor pathogenik umunya disebabkan oleh parasit dan bakteri. Parasit yang sering dijumpai pada pembenihan ikan kerapu tikus adalah akibat serangan cacing nematoda dan penyakit cryptocarioniasis. Untuk menanggulangi serangan parasit ini dapat dilakukan perendaman baik menggunakan air tawar selama 15 menit atau methylene blue 0,1 ppm selama 30 menit. Perendaman dapat diulang sebanyak 2-3 kali. Sedangkan terhadap infeksi sekunder seperti pembusukan sirip dapat dicegah menggunakan acriflavin 10 ppm/ jam (Kurniastuty dkk, 1999). Selain penyakit yang disebabkan oleh faktor pathogenik, pada pemeliharaan ikan kerapu tikus juga timbul penyakit yang disebabkan faktor non pathogenik yang umumnya banyak ditemui adalah penyakit

14

yang disebabkan seperti lingkungan. Faktor lingkungan erat kaitannya dengan kualitas air. Kualitas air yang mempengaruhi kesehatan ikan adalah temperatur, oksigen terlarut, bahan organik, amonia dan beberapa senyawa yang bersifat racun. Beberapa penyakit non pathogenik pada larva ikan kerapu tikus adalah defesiensi oksigen, acidosis dan alkalosis, skeledosis (tubuh bengkok), gas bublle diseases serta keracunan (Kurniastuty dkk, 1999).

2.2.11. Panen Dalam melakukan pemanenan haruslah memalui beberapa tahapan antara lain: a. Pesiapan panen Menurut Agus dkk (1999), untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal, maka persiapan sebelum melakukan pemanenan hendaknya disiapkan alat panen yang akan digunakan berupa skop nett, ember dan jaring. Umur dan ukuran sangat menentukan kemampuan benih ikan kerapu tikus untuk dipanen. Oleh karena itu, ukuran ikan hendaknya sudah mencapai 1,5-2 cm atau ikan telah berumur 40 hari. Waktu pemanenan hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari. b. Pemanenan Cara pemanenan diawali dengan mengurangkan air di dalam bak sampai tersisa 1/3 dari volume awal. Ikan digiring dengan waring ke sudut bak agar memudahkan penangkapannya. Ikan ditangkap dengan skop nett dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (Agus dkk, 1999).

15

c. Pasca Panen Kegiatan pasca panen terutama pada pengangkutan menjadi faktor penentu mutu benih di lokasi pembesaran. Cara pengangkutan benih yang biasa digunakan antara lain pengakutan benih secara terbuka dan tertutup. Pengakutan benih secara terbuka biasanya digunakan untuk jarak dekat atau jalan yang dapat ditempuh melalui darat. Sedangkan pengakutan benih secara tertutup merupakan cara yang paling umum digunakan karena dianggap sebagai cara yang paling aman baik untuk jarak dekat maupun jauh (Agus dkk, 1999). Kapasitas untuk persatuan liter akan berbeda menurut lamanya pengangkutan, ukuran dan jumlah benih. Tabel 1. Lama pengangkutan, ukuran dan jumlah benih per liter air. Ukuran (cm) 57 57 34 23 Sumber: Agus dkk, 1999 Jumlah/liter 6 10 13 15 Lama (jam) 20 10 10 10

III. METODE PRAKTEK

3.1. Waktu dan Tempat Praktek magang ini dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2012 sampai dengan tanggal 5 Maret 2012 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung yang terletak di jalan Yos Sudarso, Desa Hanura, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

3.2. Bahan dan Alat Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam melakukan pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes altifelis) antara lain, sebagai berikut: Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altifelis)
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Nama Bahan Induk Kerapu Tikus Larva Kerapu Tikus Air laut Air tawar Kaporit Minyak ikan Naupli Artemia Zooplankton Fitoplankton Pakan buatan Ikan rucah Cumi-cumi Kerang Suplemen Minyak cumi Probiotik Acriflavin Ukuran/Spesifikasi Cromileptes altifelis Cromileptes altifelis Diperoleh dari perairan sekitar Berasal dari air tanah Merek tjiwi kimia Berbentuk kapsul Brachiounus sp Nannochloropsis sp dan Tetraselmis sp Merek love larva Ikan kuniran Cumi-cumi merah Vitamin C, E dan Spirulina tablet Merek epicore Berwarna kuning Kegunaan Objek yang diteliti untuk menghasilkan larva Objek penelitian Media pemeliharaan Untuk membersihkan dan mensterilkan alat-alat Digunakan dalam pencucian dan sterilisasi bak Penahan larva ke permukaan Pakan larva Pakan larva Pakan larva dan zooplankton Pakan larva Pakan induk Pakan induk Pakan induk Multivitamin induk Pengkayaan napli artemia Untuk menjaga dan memperbaiki kualitas air. Obat pencegah serangan penyakit

Sumber: BBPBL Lampung

17

Tabel 3. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altifelis)
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 Nama Bahan Bak pemeliharaan induk Bak pemeliharaan larva Egg colektor Aquarium Tutup botol Kotak kain kasa Bak kultur naupli artemia High blower Selang dan Batu aerasi Selang sipon Filter bag Ukuran/Spesifikasi Bak beton berbentuk tabung kapasitas 50 ton Bak beton persegi volume 9,6 m3 80x55x60 cm Aquarium dengan ukuran 65x40x40 cm 5 ml 20x30 cm Bak fiberglass berbentuk tabung Kapasitas 5.5 kw dan 4.0 kw Terbuat dari pipa PVC Terbuat dari sisa kain Kegunaan Tempat pemeliharaan dan pemijahan induk Tempat pemeliharaan larva Tempat penampungan telur Tempat penetasan telur Media sampel perhitungan telur Media perhitungan telur Tempat mengkultur artemia Sumber oksigen Penyalur oksigen dari Blower kepada bak induk dan larva Untuk penyiponan Menyaring air masuk pada kran pemasukan air ke bak pemeliharaan Alat serbaguna yang menyokong setiap kegiatan Menimbang berat induk dan pakan Mengukur juwana panjang tubuh

12

Ember, gayung

baskom

dan

Terbuat dari plastik

13

Timbangan

14

Meteran

Timbangan analitik (sartorius) dengan ketelitian 0,0001 mg Terbuat dari karet

Sumber: BBPBL Lampung

3.3. Metode Praktek Metode yang digunakan dalam praktek ini adalah praktek langsung. Artinya metode praktek dilakukan sesuai dengan apa yang telah dikerjakan pada saat melaksanakan praktek magang, seperti pengelolaan induk yang meliputi persiapan wadah induk, penyediaan induk, seleksi induk, pemberian pakan induk, pengeloaan keaulitas air induk, pengendaliaan penyakit induk dan pemijahan. Penanganan telur meliputi pemanenan telur, seleksi dan perhitungan telur. Sedangkan metode praktek pemeliharaan larva meliputi persiapan wadah,

18

penebaran larva, pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit, serta pemanenan dan grading. Dalam pelaksanaan praktek magang juga digunakan beberapa rumus khususnya pada proses penanganan telur, antara lain: Rumus perhitungan jumlah total telur Sampel a + Sampel b + Sampel b Total Telur = 3 Rumus tingkat pembuahan telur (Fekunditas Rate (FR)) Telur Terbuahi FR (%) = Total Telur Rumus derajat penetasa telur (Haching Rate (HR)) Telur Menetas HR (%) = Telur Terbuahi x 100% x 100% 200 x Volume Air

3.4. Analisis Data Data yang di peroleh selama praktek magang di analisa secara deskriptif dan ditabulasikan dalam beberapa bentuk tabel dan gambar untuk memberikan gambaran tentang teknik pembenihan serta permasalahannya, kemudian dicari alternatif pemecahannya sesuai dengan kenyataan di lapangan yang mengacu pada literatur-literatur yang ada. Data-data yang telah diperoleh dapat dilihat pada bagian hasil dan pembahasan yang telah dikembangkan menjadi uraian tertulis.

IV. KEADAAN UMUM

4.1. Keadaan Lokasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung berlokasi di Jalan Yos Sudarso, Desa Hanura, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Jarak lokasi 15 km dari kota bandar lampung. Lokasi ini dapat ditempung menggunakan kendraan pribadi maupun angkutan umum dapat dilihat pada Lampiran 1. BBPBL Lampung dibangun diatas lahan seluas 5,9 ha, terletak dikawasan Teluk Hurun yang merupakan bagian dari Teluk Lampung dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sukajaya dan Desa Lempasing. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Lampung. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Hanura. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sidodadi. Teluk Hurun merupakan teluk kecil dengan luas perairan sekitar 1,5 km2 dengan panjang 1,5 km dan lebar 1 km. Dasar perairan teluk bagian barat daya dan bagian selatan umumnya landai dengan kedalaman kurang dari 5 m. Sedangkan dasar sekitar mulut teluk atau bagian tenggara cukup dalam yaitu 1015 m. Perairan Teluk Hurun cukup bersih dengan ombak yang relatif kecil sepanjang tahun. Perairan ini memiliki pantai yang berdasar lumpur pasir dan berkarang serta dikelilingi oleh hutang mangrove sehingga keadaan ini sangat menunjang usaha budidaya.

20

4.2. Sejarah Singkat Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung merupakan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung didirikan sejak tahun 1982 melalui proyek Pengembangan Budidaya Laut, yang didasarkan adanya keputusan Presiden RI No.23 tahun 1982 tentang pembangunan budidaya laut Indonesia, yang dimaksudkan agar pembangunan budidaya laut dapat meningkatkan penghasilan nelayan atau petani ikan, pencukupan gizi dan perluasan kerja. Pelaksanaan pengembangan proyek tersebut tertuang dalam surat Keputusan No.347/Kpts/Um/82 tanggal 8 Juli 1982 tentang penetapan lokasi budidaya, teknik budidaya dan izin usaha, serta pengantarDirektorat Jendral Perikanan No IK-21004.5055/82 sebagai salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dibidang perikanan. Hingga 1985/1986, UPT ini berstatus proyek yaitu Pelaksanaan Teknis Budidaya Laut. Melalui surat No. Kp 210/452/211/85 K tanggal 24 Septemer 1985 diusulkan ke Departemen Pertanian untuk menjadi Balai. Kemudian dengan dikeluarkan Surat Keputusan No.347/Kpts/OT.201/8/86 tanggal 5 Agustus 1986 dan surat keputusan No.347/Kpts/OT.201/5/94 tanggal 6 Mei 1994 keberadaan BBPBL Lampung secara resmi diakui. Kemudian disempurnakan kembali dengan surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.26 F/MEN/2001.

21

4.3. Struktur Organisasi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.26 F/MEN/2001, tentang organisasi dan tata kerja BBPBL Lampung. Adapun struktur organisasi BBPBL Lampung pada gambar 1.

Kepala Balai

Bagian Tata Usaha

SubBag. Keuangan

SubBag. Umum

Bid. Pelayanan Teknis

Bid. Standarisasi dan Informasi

Seksi Sarana Laboratorium

Seksi Sarana Lapang

Seksi Standarisasi

Seksi Informai

Kelompok Jabatan Fungsional (Perekayasaan/Litkayasa/PHPI/Analis Kepegawaian/Pranata Humas/Pustakawan


Gambar 1. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Adapun tugas dan tanggung jawab dari pegawai yang disesuaikan dengan jabatan masing-masing, yaitu: 1. Kepala Balai Bertugas mengawasi pelaksanaan tugas bawahan dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan

22

peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasi bawahan dan memberi bimbingan serta petunjuk pelaksaan tugas kepada bawahannya. 2. Bagian Tata Usaha Bagian Tata Usaha bertugas melaksanakan urusan keuangan dan pelaksanaan urusan kepegawaian, persuratan perlengkapan dan rumah tangga serta pelaporan. Bagian tata usaha dibagi menjadi dua sub bagian yaitu sub bagian keuangan yang bertugas mengatur urusan yang berkaitan dengan keuangan dan sub bagian umum yaitu mengurusi segala urusan selain dari tugas sub keuangan. 3. Bidang Standarisasi dan Informasi Bidang standarisasi dan informasi dibagi menjadi dua seksi yaitu seksi standarisasi dan seksi informasi. Seksi standarisasi bertugas menyiapkan bahan standar teknik pengawasan pembenihan dan pembudidayaan ikan laut, pengendalian hama dan parasit ikan, lingkungan, sumber daya induk dan benih. Sedangkan seksi informasi bertugas mengolahan jaringan informasi dan perpustakaan yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. 4. Bidang Pelayanan Teknik Seksi pelayanan teknik bertugas melakukan pelayanan teknis kegiatan pengembangan, pengawasan teknik pembenihan dan pembudidayaan ikan laut serta menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses pembenihan dan pembudidayaan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut. Seksi pelayanan teknik dikelompokkan menjadi dua yaitu seksi sarana laboratorium yang

memiliki peran melayani kegiatan yang dilakukan di laboratorium dan seksi sarana lapang memiliki peran melayani kegiatan di lapangan. Disamping itu, seksi

23

lapang juga yang mengkoordinir kegiatan magang, PKL dan praktek lainnya untuk siswa, mahasiswa maupun untuk umum. 5. Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok jabatan fungsional bertugas melakukan kegiatan perekayasaan, pengujian, penerapan dan bimbingan penerapan standarisasi atau sertifikat pembenihan dan pembudidayaan ikan laut, pengendalian hama dan parasit, pengawasan benih dan budidaya, penyuluhan, serta kegiatan lain sesuai dengan tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung menyelenggarakan beberapa fungsi seperti : a. Pengkajian, pengujian dan bimbingan penerapan standar pembenihan dan pembudidayaan ikan laut. b. Pengkajian standar pelaksanaan sertifikat sistem mutu dan sertifikat personil, pembenihan dan pembudidayaan ikan laut. c. Pengkajian sistem dan tata laksana produksi dan pengelola induk sejenis dan induk induk dasar kan laut. d. Pelaksanaan penguji teknik pembenihan dan pembudidayaan ikan laut. e. Pengkajian standar pengawasan benih, pembudidayaan serta pengendalian hama dan penyakit ikan. f. Pengkajian standar pengendalian lingkungan sumber daya induk dan benih ikan laut. g. Pelaksanaan sistem jaringan laboratorium pengujian, pengawasan benih dan pembudidayaan ikan laut.

24

h. Pengolahan, pelaksanaan informasi, publikasi pembenihan dan pembudidayaan ikan laut. i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

4.4. Tenaga Kerja Tenaga kerja di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung umumnya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Jumlah PNS Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung seluruhnya berjumlah 127 orang, jumlah CPNS dan kontrak 16 orang (Tabel 4 dan 5). Jumlah pegawai berdasarkan ruang atau golongan adalah sebagai berikut: Tabel 4. Jumlah Pegawai BBPBL Lampung Berdasarkan Tingkat Ruang atau Golongan Ruang atau Golongan No. 1. 2. 3. PNS CPNS Tenaga Kontrak Total Sumber: BBPBL Lampung BBPBL Lampung merupakan salah satu intansi besar milik pemerintah, oleh sebab itu wajar jika jumlah pegawai negeri sipil (PNS) banyak bekerja di instansi ini. Namun untuk meningkatkan produktivitas dan pengembangan, BBPBL Lampung masih kekurangan tenaga sehingga di terimalah karyawan dengan status tenaga kontrak. Apabila karyawan tenaga kontrak dinilai memiliki kemampuan yang baik, maka akan dicalonkan menjadi PNS atau diistilahkan CPNS. Status IV 9 9 III 66 1 67 II 47 3 10 60 I 5 2 7 127 4 12 143 Jumlah

25

Sedangkan jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Jumlah Pegawai Pendidikan No 1 2 3 Status S3 PNS CPNS Kontrak Jumlah S2 12 12 S1/D4 44 1 45 D3 13 3 16 SLTA 47 10 57 SLTP 5 5 SD 5 2 7 BBPBL Lampung Berdasarkan Tingkat

Kepegawaian

Sumber : BBPBL Lampung Jumlah PNS di BBPBL Lampung saat ini masih didominasi oleh lulusan SLTA dan S1, CPNS dengan pendidikan D3 dan keseluruhan lulusan SLTA. tenaga kontrak hampir

4.5. Kegiatan Umum Rekayasa teknologi yang dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung masih terfokus pada jenis komoditas yang secara ekonomis mempunyai nilai jual tinggi, baik di pasaran domestik maupun pasar luar negeri. Komoditas ini berhasil dikembangkan, baik dalam teknologi pembenihan maupun pembesaran. 4.5.1. Sarana Penunjang a. Sumber Tenaga Listrik Tenaga listrik di BBPBL Lampung bersumber dari PLN sebesar 105.000 KW dengan tegangan 220 volt dan sebagai cadangan digunakan generator set

26

(genset) sebanyak 3 unit dengan kapasitas masing-masing 50 KW dan 1 unit berkapasitas 125 KWH. Ruang genset terletak berseberangan dengan mushola.

(A)

(B)

Gambar 2. Mesin genset (A) dan trafo listrik (B) b. Penyediaan Air Laut dan Air Tawar Air Laut Kebutuhan air laut merupakan kebutuhan pokok suatu usaha pembenihan ikan laut. Proses pengambilan dan distribusi dari perairan sumber air memerlukan pompa yang sesuai. Pemilihan pompa yang benar diharapkan dapat bekerja secara efisiensi, efektif dan jangka usia ekonomisnya panjang. Pompa tersebut mempunyai pipa saluran inlet dan pipa outlet. Air Tawar Air tawar dalam suatu usaha pembenihan banyak berperan dalam sanitas dan higienitas sarana pembenihan serta untuk keperluan pengelolaan dan karyawan. Air tawar yang dibutuhkan dalam usaha kegiatan pembenihan di BBPBL Lampung bersumber dari sumur bor yang dipompa dan dialirkan ke tower tempat penampungan air tawar dan selanjutnya dialirkan keunit-unit

27

pembenihan dan rumah karyawan melalui pipa distribusi air tawar. Air tawar yang terdapat di BBPBL Lampung ini tidak layak dikonsumsi oleh manusia karena mengandung Fe tinggi, selain itu kadar salinitasnya berkisar antara 2-3 ppt.

(A)

(B)

Gambar 3. Tandon air tawar (A) dan tandon air laut (B) c. Suplai Oksigen Suplai oksigen pemeliharaan induk, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung berasal dari 6 unit root blower dan 4 unit vortex blower yang digunakan secara bergantian. Sulai oksigen ini terdiri dari dari 2 unit root blower dengan merek Show Fu yang berkapasitas 5.5 kw, 7.5 hp, A380V, 6.60A dan 1440 rpm yang didistribusikan ke unit pembenihan dan pendederan kerapu bebek dan 2 unit lagi didistribusikan untuk bak induk ikan kerapu kertang, pembenihan kuda laut dan pembenihan ikan kakap. Sedangkan 2 unit root blower dan 1 unit vortex blower dengan merek teco Motor yang berkapasitas 4.0 kw, 5.5 hp, A380V, 8.74A dan 1400 rpm yang disistribusikan untuk kegiatan kultur

28

plankton, pembenihan kerapu macan, pembenihan clownfish, pembenihan cobia, laboratorium basah dan bak-bak unit budidaya lainnya.

Gambar 4. Mesin blower d. Laboratorium Laboratorium yang ada di BBPBL Lampung diantaranya laboratorium pakan alami, laboratorium penyakit dan laboratorium lingkungan.

Laboratorium pakan alami berperan dalam kultur murni plankton skala kecil.

Gambar 5. Kultur murni plankton skala kecil di laboratorium pakan alami

29

4.5.2. Sarana Pelengkap Sarana pelengkap lainnya yang berfungsi untuk kelancaran kegiatan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Lampung adalah sarana yang dapat memenuhi kesejahteraan karyawan. Sarana yang disediakan adalah kantor, perumahan untuk karyawan, tempat ibadah, asrama, pos penjaga, kendaraan dinas, sarana olah raga dan koperasi.

(A) Gambar 6. Asrama (A) dan Masjid (B)

(B)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengelolaan Induk 5.1.1. Wadah Pemeliharaan Wadah merupakan bagian yang sangat penting yang harus diperhatikan sebelum melakukan hal-hal yang berkaitan dengan

pembenihan ikan termasuk dalam pengelolaan induk. Wadah yang digunakan di BBPBL Lampung untuk pemeliharaan dan pemijahan induk merupakan wadah yang sama. Wadah ini terbagi atas 2 jenis yaitu keramba jaring apung dan bak terkontrol yang terbuat dari beton dan berbentuk tabung dengan diameter 3 dengan ketinggian 3 meter dan kapasitas daya tampung 84,86 m3. Bak ini dilengkapi dengan saluran inlet, outlet dan 10 buah aerasi.

Gambar 7. Bak pemeliharaan induk Setiap 4-5 minggu sekali, bak induk dicuci dari kotoran lumpur dan lumut yang menempel (Gambar 8). Sebelum dicuci, air bak dibuang hingga ketinggian air tinggal 30 cm dan induk-induk dipindahkan ke

31

dalam bak kecil berukuran 1,5 m x 1,5 m yang biasanya digunakan sebagai bak penampung egg kolektor. Bak yang telah dikeringkan kemudian dicuci dengan cara menyiramkan kaporit sebanyak -1 kg yang telah dilarutkan ke dalam 1520 liter air. Bak kemudian disikat dan dibilas sampai bersih dan dibiarkan sampai kering. Setelah kering, bak diisi air laut seperti keadaan semula. Setelah bak terisi air, induk-induk lalu dipindahkan kembali ke dalam bak tersebut. Untuk menjaga agar bak induk tetap bersih setiap hari setelah diberi pakan, saluran outlet dibuka agar kotoran dan sisa pakan terbuang. Selain itu, setiap seminggu sekali dasar bak disikat dari endapan lumpur menggunakan sikat yang berukuran 4 meter.

Gambar 8. Proses pencucian bak induk

5.1.2. Penyediaan Induk Induk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) (Gambar 9) di BBPBL Lampung diperoleh dari penangkapan di perairan bebas daerah Halmahera, Ambon dan benih yang dibesarkan hingga menjadi induk. Induk yang

32

dipelihara di bak terkontrol BBPBL Lampung saat ini berjumlah 28 ekor terdiri dari 12 ekor jantan dan 16 ekor betina (Tabel 6).

Gambar 9. Induk Kerapu Tikus Table 6. Spesifikasi Induk Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Induk Jantan Induk Betina No. Panjang (cm) Berat (kg) Panjang (cm) Berat (kg) 1. 46 2,1 40 2,3 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 48 58 51 60 45 59 48 48 49 46 50 2,1 3,5 2,6 3,3 1,8 3,8 2,6 2,2 2,0 1,9 2,7 51 45,5 62 56 63 42 48 55 49 56 47 57 45 48 44 2,5 2 4,8 3,4 4,5 1,5 2,3 3,5 2,2 3,3 3,2 3,9 1,9 2 1,4

33 Sumber: BBPBL Lampung Dari data tabel diatas, ada variasi ukuran panjang dan berat induk jantan dan betina ikan kerapu tikus. Sehingga ukuran panjang dan berat tidak dapat dijadikan sebagai indikator perubahan jenis kelamin pada induk seperti yang disampaikan oleh Chua dan Teng dalam Zainal (1994), bahwa ikan kerapu tikus akan matang kelamin apabila mempunyai berat 1,5-2,5 kg untuk betina dan akan menjadi jantan setelah mencapai berat 2,5 kg atau lebih. Sementara dari data tersebut masih terdapat induk betina dengan ukuran berat 4,8 kg dan belum berubah menjadi jantan.

5.1.3. Seleksi Induk Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) termasuk ikan hemaprodit protogini dimana pada awal kehidupan sampai dewasa berjenis kelamin betina dan ketika melewati masa dewasa sampai akhir hayatnya berjenis kelamin jantan. Hal ini sesuai dengan penyataan Antoro dkk (1999) ikan kerapu tikus bersifat hemaprodit protogini yaitu pada masa

perkembangannya mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut bertambah besar atau bertambah tua umurnya. Seleksi induk (Gambar 10) dilakukan untuk mengecek jumlah induk jantan dan betina yang terdapat di dalam bak. Pengecekan dilakukan setiap 4-5 minggu sekali atau pada saat pembersihan bak setiap bulan.Pengecekkan induk dapat dilihat dari ciri-ciri luar induk. Induk jantan memiliki 2 lobang genital dan agak menonjol sedang induk betina memiliki 3 lobang genital dan tidak menonjol.

34

Gambar 10. Proses seleksi induk

5.1.4. Pemberian Pakan Pakan diberikan pada induk untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan perkembangan gonad. Pakan yang diberikan berupa ikan rucah jenis ikan kuniran, cumi-cumi dan kerang-kerangan (Gambar 11). Pakan disimpan dalam lemari pendingin guna mempertahankan kualitas agar tetap baik. Sebelum diberikan, terlebih dahulu pakan ini di rendam kedalam air guna mencairkan es-es yang terdapat pada pakan.

Gambar 11. Pakan ikan rucah dan kerang untuk induk

35

Selain pakan ikan rucah dan cumi, induk juga diberikan vitamin C dan E berbentuk kapsul dan spirulina berbentuk tablet. Menurut Wardoyo dan Muchsin (1990), vitamin E dapat memperlancar kerja fungsi sel-sel kelamin dengan bertambahnya fungsi hormon gonadotropin serta menguatkan jaringan indung telur dan vitamin C berperan dalam menjaga kondisi kesehatan induk, mempercepat kematangan gonad dan dapat meningkatkan kualitas telur. Vitamin diberikan 2 kali dalam seminggu sementara spirulina diberikan setiap hari. Vitamin dan spirulina diberikan dengan cara menyelipkan ke dalam tubuh ikan rucah atau cumi. Tabel 7. Jadwal pemberian pakan Induk Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Hari Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Jenis pakan Cumi-cumi+kerang+spirulina+vitamin E Cumi-cumi atau ikan Frequensi 1 x sehari 1 x sehari 1 x sehari ikan 1 x sehari 1 x sehari 1 x sehari ikan 1 x sehari

rucah+kerang+spirulina Cumi-cumi atau

rucah+kerang+spirulina ikan rucah+kerang+spirulina+vitamin C

Minggu Cumi-cumi atau S rucah+kerang+spirulina u m b er: BBPBL Lampung Cumi-cumi atau

ikan

rucah+kerang+spirulina ikan rucah+kerang+spirulina

Tabel di atas menjelaskan jenis-jenis pakan yang diberikan pada induk untuk setiap harinya. Namun, jadwal ini tidak selalu berjalan dengan baik sebab tergantung pada ketersediaan pakan yang ada. Selain itu, Pakan ini diberikan pada pagi hari dan diberikan secara terus menerus sampai

induk kenyang (adlibitum) pada satu titik. Namun, jika dilihat rata-rata pemberian pakan jumlah pakan yang habis sekitar 25-30 ekor ikan rucah atau cumi perhari. 36

5.1.5. Pengelolaan Kualitas Air Pengelolaan kualitas air pada bak induk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) mengguna sistem air mengalir 24 jam. Air masuk memalui saluran outlet yang terdapat di permukaan bak kemudian keluar melalui saluran outlet yang terdapat di dasar bak. Air yang masuk ke dalam bak berasal langsung dari pompa air utama sehingga sebelum dimasukkan terlebih dahulu difilter untuk meminimalisir lumpur atau kotoran-kotoran lainnya agar tidak ikut masuk ke bak. Filter ini terdiri atas pasir, arang kayu dan arang tempurung.

Gambar 12. Filter air dan proses pemasangan bahan-bahan filter Selain penggunaan filter, untuk menjaga kualitas air setiap 3-4 hari sekali dasar bak disikat menggunakan sikat yang dilengkapi pipa panjang sebagi pegangan. Hal ini dilakukan dengan cara mendorong kotoran dari pinggir bak ke arah saluran outlet yang terletak di tengah bak sehingga

kotoran akan terbawa bersamaan dengan air yang keluar dari saluran outlet. 37

5.1.6. Pengendalian Penyakit Pengendalian terhadap penyakit induk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dilakukan apabila ada induk yang terserang penyakit atau paling tidak dilakukan sekali dalam sebulan. Parasit pembawa penyakit yang ditemukan pada induk banyak dari jenis Argulus sp. Pencegahan dan pengobatan dilakukan menggunakan air tawar dan obat acriflavin. Air tawar dipakai untuk merendam induk-induk dengan tujuan agar parasitparasit yang menempel pada tubuh induk mati karena ada sebagian parasit yang hidup di air laut akan mati setelah terkena air tawar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugama dkk (2001), bahwa untuk menghindari serangan penyakit disarankan untuk membersihkan induk dengan perendaman air tawar setiap bulan sebelum induk memijah.

Gambar 13. Perendaman induk ke dalam air

Sementara itu, acriflavin digunakan dengan dosis 1 ppm. Setelah dilarutkan kedalam air, cairan acriflavin kemudian dioleskan ke tubuh induk yang luka atau terdapat parasit menggunakan kapas atau busa. Induk yang telah diobati harus terus dikontrol untuk mencegah terjadinya stres bahkan kematian. 5.1.7. Perangsang Kematangan Gonad Pemijahan akan terjadi apabila induk telah matang gonad. Kematangan gonad induk terjadi secara alami apabila telah sampai waktunya memijah. Namun, proses kematangan gonad ini dapat dipercepat dengan perangsangan melalui beberapa perlakuan. Di BBPBL Lampung, proses perangsangan kematangan gonad tidak menggunakan hormon melainkan melalui pemberian pakan yang bernutrisi tinggi dan perlakuan manipulasi lingkungan dengan penjemuran tubuh induk. Pakan yang dapat merangsang kematangan gonad adalah pakan yang banyak mengandung protein. Oleh sebab itu pada saat pemberian pakan, diberikanlah pakan cumi-cumi dalam jumlah yang lebih besar dibanding ikan rucah. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein cumi-cumi lebih tinggi dibanding ikan rucah. Disamping itu, pemberian vitamin C, vitamin E dan Spirulina juga ikut memacu proses pematangan gonad (Gambar 14). Selain pemberian pakan, perlakuan manipulasi lingkungan dengan penjemuran tubuh induk juga tidak kalah penting dalam proses kematangan gonad induk. Sudaryanto (1999) mengemukakan bahwa metode manipulasi lingkungan memiliki kelebihan bila dibandingkan metode lain, karena selain biayanya murah, kualitas telur terjamin, 38

memijah disaat waktu yang sesuai dan kecil kemungkinan terjadi efek samping pada induk. Perlakuan ini pada dasarnya bertujuan agar bagian kepala induk terkena cahaya matahari sehingga organ-organ dalam kepala bekerja lebih cepat begitu juga hipofisa. Hipofisa adalah hormon yang membantu proses pematangan gonad. Dengan demikian, apabila hipofisa bekerja cepat maka proses pematangan gonad induk juga cepat. Penjemuran induk dilakukan setiap hari setelah pemberian pakan dengan cara mengurangi jumlah air di bak dengan menyisakan air setinggi 30 cm. Perlakuan ini juga menggunakan sistem air mengalir. 39

(A)

(B)

Gambar 14. Spirulina tablet (A) dan Kapsul vitamin E (B)

5.1.8. Pemijahan Induk-induk yang telah matang gonad akibat rangsangan

menggunakan manipulasi lingkungan telah siap untuk dipijahkan. Sebelum pemijahan, terlebih dahulu dipasang penampung telur (egg colektor) dan pipa outlet atas (Gambar 15). Egg colektor berfungsi sebagi media

penampung telur hasil pemijahan induk-induk tersebut sedangkan pipa outlet atas berfungsi untuk mengalirkan telur dari bak pemijahan ke egg 40 colektor. Egg colektor berupa kain straming berukuran 80 x 55 x 60 cm dan pipa outlet berukuran 4 inchi. Pemijahan kerapu tikus (Cromileptes alivelis) pada umunya berlangsung selama 7-10 hari dalam satu kali periode pemijahan. Pemijahan ini berlangsung antara pukul 21.00 wib sampai dengan pukul 03.00 wib. Namun menurut Sugama dkk (1998), waktu pemijahan ikan kerapu tikus terjadi pada dini hari pukul 02.00-05.00 wib dan intensitas pemijahan tertinggi pada saat lima hari sebelum dan sesudah bulan gelab. Pada saat proses pemijahan diusahakan agar tidak ada cahaya yang mengenai bak pemijahan karena hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan induk tidak mau memijah.

Gambar 15. Egg colektor atau tempat penampungan telur hasil pemijahan Induk-induk yang telah memijah dapat ditandai dengan terciumnya bau yang sedikit amis yang berasal dari telur di egg kolektor. Telur-telur ini dapat tertampung ke dalam egg colektor karena telur kerapu tikus (Cromilevtes altivelis) memiliki sifat melayang di permukaan air sehingga

terbawa arus ke egg colektor melalui pipa outlet atas. Telur-telur yang terdapat di egg colektor selanjutnya siap untuk dipanen. 41

5.2. Penanganan Telur 5.2.1. Pemanenan Telur Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00-08.00 wib. Pemanenan harus dilakukan secara hati-hati agar perkembangan emberio tidak terganggu sehingga dapat berkembang dengan baik dan sempurna. Pemanenan menggunakan scop net berukuran 400 mikron. Telur-telur yang telah diserok dimasukkan ke dalam ember berukuran 10 atau 20 liter yang telah berisi air laut. Kemudian telur-telur tersebut dipindahkan ke dalam akuarium yang berukuran 65 x 40 x 40 cm lalu ditambah air hingga volume air mencapai 90 liter dan diberi aerasi.

5.2.2. Seleksi dan Perhitungan Telur Seleksi telur bertujuan untuk memisahkan antara telur yang baik dengan telur yang jelek. Telur yang baik memiliki ciri-ciri yaitu berwarna bening kekuning-kuningan, memiliki emberio dan melayang-layang di dalam air. Sedangkan telur yang jelek memiliki ciri-ciri yaitu berwarna putih susu dan mengendap di dasar akuarium. Mayunar dan Ahmad (1994) mengemukakan bahwa telur yang besar memiliki kuning telur yang lebih besar sehingga peluang untuk hidup tinggi. Sebelum dilakukan pemisahan telur, terlebih dahulu telur akan hitung untuk mengetahui jumlah total telur dari hasil pemijahan.

Perhitungan dilakukan menggunakan metode volumetrik. Perhitungan dimulai dengan membesarkan aerasi akuarium penampungan telur yang bervolume 90 liter. Hal ini bertujuan agar seluruh telur teraduk. Telur-telur yang telah teraduk diambil menggunakan tutup botol volume 5 ml sebagai sampel. Telur-telur tersebut kemudian dihitung di atas nampan yang terbuat dari kain kasa 200 mikron yang berbentuk persegi panjang ukuran 20 x 30 cm. Pengambilan sampel ini sebanyak 3 kali. 42

Gambar 16. Perhitungan telur Telur-telur hasil panen yang telah dihitung dicatat sebagai pembukuan untuk membandingkan hasil telur dalam setiap priode pemijahan. Setelah diperoleh data total telur, aerasi dimatikan dan dibiarkan sekitar 20 menit agar telur yang jelek mengendap di dasar. Telur yang mengendap disipon menggunakan selang kecil. Penyiponan dilakukan dengan hati-hati agar telur yang melayang di air tidak ikut terbuang. Setelah disipon, aerasi dihidupkan dan dilakukan pehitungan untuk melihat telur yang terbuahi menggunakan rumus yang sama. Hasil dari perhitungan tersebut dimasukkan ke dalam rumus untuk melihat FR (Fekunditas Rate).

Telur yang telah dihitung total dan diseleksi pada pagi hari, maka dilakukan perhitungan kembali pada sore atau malam hari sebelum penebaran. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah telur yang telah menetas. Adapun hasil pemanenan telur selama pemijahan satu periode adalah sebagai berikut. Tabel 8. Hasil Pemanenan Telur Dalam Satu Periode Pemijahan Jumlah Pemijahan No Hari Tanggal total FR HR ketelur 18/02/201 1 Sabtu 1 231.000 0 0 2 19/02/201 2 Minggu 2 209.000 0 0 2 20/02/201 3 Senin 3 0 0 0 2 21/02/201 4 Selasa 4 332.000 55% 92,93% 2 22/02/201 5 Rabu 5 124.000 70,9% 93,56% 2 23/02/201 2.305.33 6 Kamis 6 9,9% 44,4% 2 3 24/02/201 7 Jumat 7 515.000 49% 35,8% 2 25/02/201 8 Sabtu 8 202.400 90% 0 2 26/02/201 9 Minggu 9 79.200 30% 0 2 27/02/201 10 senin 10 312.000 7,6% 0 2 Sumber: BBPBL Lampung 43

5.3. Pemeliharaan Larva 5.3.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan larva dilakukan menggunakan bak beton berukuran 4 x 2 x 1,2 m dengan kapasitas 9,6 m3. Sebelum pemeliharaan larva yang harus dilakukan adalah persiapan bak. Persiapan bak meliputi pencucian

bak, terpal penutup bak dan perangkat aerasi, pembilasan bak, pemasangan perangkat aerasi dan saluran otulet serta pengisian air. Pencucian bak menggunakan kaporit 200-300 gram yang dilarutkan ke dalam air 15-20 liter. Larutan tersebut disebar ke sekeliling bak secara merata menggunakan gayung lalu dibiarkan 2-3 jam, selanjutnya disikat dan dibilas. Selain bak, terpal penutup bak juga harus dicuci. Pencucian ini dilakukan dengan cara disikat, dibilas lalu dijemur. Sementara itu, pencucian perangkat aerasi yang terdiri atas selang dan batu aerasi dilakukan dengan merendam seluruh perangkat tersebut ke dalam larutan kaporit, dibiarkan selama 1-2 hari kemudian dibilas dan dijemur. 44

Gambar 17. Pencucian bak pemeliharaan larva Pembilasan bak, pemasangan perangkat aerasi dan pipa saluran outlet serta pengisian air biasanya dilakukan pada waktu yang sama. Pembilasan bak bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa kaporit setelah dicuci. Perangkat aerasi dipasang secara rapi. Jumlahnya berkisar antara 19-23 buah perbak. Setelah bak dibilas dan dipasang perangkat aerasi, selanjutnya dilakukan penutupan saluran outlet dan pengisian air. Saluran outlet ditutup menggunakan pipa paralon berukuran 4 inchi.

Pengisiaan air sebanyak 70% dari volume total bak. Air yang isi yang berasal dari tandon yang telah difilter melalui filter ultraviolet yang kemudian disaring lagi menggunakan saringan kain kasa. Bak kemudian ditutup menggunakan terpal setelah pengisian air. 45

5.3.2. Penebaran Larva Penebaran larva dilakukan setelah telur menetas yakni 18-20 jam setelah pembuahan. Hal ini dilakukan pada malam hari pukul 20.00 wib. Penebaran larva dilakukan dengan cara mengambil larva dari akuarium penetasan menggunakan baskom atau gayung kemudian dipindahkan ke bak pemeliharaan yang telah disiapkan. Penebaran harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah larva stres dan mati.

Gambar 18. Penebaran larva ke dalam bak pemeliharaan Pada saat penebaran larva tidak dilakukan aklimatisasi, karena air yang berada di bak pemeliharaan dan akuarium penetasan berasal dari sumber yang sama sehingga kualitas air juga relatif sama. Padat tebar berkisar antara 8-10 ekor/liter atau 20-25 ekor/liter.

5.3.3. Pemberian Pakan Salah satu kunci keberhasilan hidup larva adalah adalah adanya pasokkan makanan dari luar setelah cadangan makanan di tubuh larva 46 habis. Slamet dkk (1996) mengemukakan bahwa larva yang baru menetas mempunyai kuning telur (yolk) dan pada ujung kuning telur tedapat butitan minyak dan berfungsi sebagai cadangan makanan larva. Pemberian pakan pertama dimulai sejak larva berumur D2 yakni pada sore hari. Adapun jenis pakan yang diberikan antara lain, sebagai berikut: a. Nannochloropsis sp atau Tetraselmis sp Diberikan sejak larva berumur D2-D25 dan ini merupakan tahap awal pemberian pakan bagi larva. Hal ini dikenal dengan metode green water system. Adapun kepadatan untuk Nannochloropsis sp 2-4 x 105 sel/ml dan Tetraselmis sp 1-2 x 105 sel/ml. Selain untuk pakan larva, plankton ini juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan insensitas cahaya dan suplai oksigen (siang hari) serta sebagai makanan rotifera. b. Minyak ikan Diberikan pada pagi hari saat larva umur D3-D7. Minyak ikan diperkaya asam lemak tidak jenuh (omega 3) dengan tujuan untuk suplai vitamin a untuk larva dan rotifera sekaligus sebagai pelicin agar larva tidak mengapung di permukaan air. c. Rotifera Rotifera diberikan pada larva mulai umur D2 tepatnya pada sore hari sampai pada larva umur D25. Kepadatannya antara 5-7 ind/ ml bahkan lebih, seiring bertambahnya umur larva. Rotifera diperoleh dari bak

kultur massal yang dipanen setiap hari. Pemberian ini dilakukan 2 kali dalam sehari. Sebelum diberikan kepadatan larva dicek menggunakan gelas kaca, bertujuan untuk mengetahui kepadatan rotifera yang terdapat di dalam bak. 47

d. Artemia Naupli artemia mulai diberikan pada larva umur D14. Pemberian naupli artemia 2 x sehari yakni pada pagi dan sore hari. Naupli artemia diperoleh dari hasil kultur. Kultur artemia dilakukan menggunakan bak fiber hitam yang terdapat di ruang pembenihan. Lama pengkulturan 18-20 jam. Hasil panen naupli artemia dibagi menjadi 2 bagian yaitu untuk pemberian pagi dan pemberian sore. Naupli yang diberikan pada sore hari diberikan pengkayaan berupa minyak cumi. Ini bertujuan untuk menambah nutrisi dan supaya ukuran artemia menjadi besar. Kepadatan naupli artemia yang diberikan berkisar antara 1-3 ind/ml. Pemberian naupli artemia akan dihentikan jika larva telah mampu mengkonsumsi pakan bauatan secara utuh. e. Pakan buatan Pakan yang digunakan bermerek Love Larva. Ukuran pakan yang diberikan bervariasi tergantung umur dan ukuran larva. Pakan ini diberikan sejak larva berumur D16. Pada awal pemberiannya, pakan diberikan sedikit demi sedikit gunanya untuk membiasakan sekaligus merangsang larva untuk memakan pakan ini. Pakan ini diberikan sampai larva masuk ke tahap pendederan.

Pakan sangat berkaitan dengan pertumbuhan larva, sehingga dilakukanlah pengukuran larva untuk melihat tingkat pertumbuhannya. Pengukuran larva dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva sebagai sampel lalu diukur panjang larva dan diambil rata-rata dari pengukuran tersebut. Pengukuran panjang larva dilakukan sebilan hari sekali atau ketika larva telah melewati masa-masa kritis dimana masamasa kritis yakni pada umur D7 sampai dengan D10. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9. Perkembangan Panjang Larva Kerapu Tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Kelompok Umur Kode Bak Umur 9 hari Bak Induk F2 Laut (B) Bak Induk Darat Sumber: BBPBL Lampung 0,47 cm 0,55 cm Umur 18 hari 0,7 cm 0,9 cm Umur 27 hari 1,0 cm 1,2 cm 48

5.3.4. Pengelolaan Kualitas Air Keberhasilan pemeliharaan larva kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dalam suatu pembenihan salah satunya ditentukan oleh kondisi lingkungan atau kualitas air. Menurut Erlina dan Arif (2010), kualitas air adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam

memproduksi ikan kerapu tikus. Langkah-langkah yang digunakan di BBPBL Lampung untuk menjaga kualitas air meliputi: a. Filterisasi air. Meliputi penyaringan di tandon, penyaringan

menggunakan flter elektronik dan penyaringan menggunakan kain kasa.

b. Sirkulasi atau pergantian air. Pergantian air dimulai sejak umur D7 sebanyak 5% dan ditingkatkan menjadi 10% setelah berumur D10. Pada umur D20 sampai panen pergantian air ditingkatkan menjadi 20-50%. c. Sipon. Penyiponan dilakukan ketika larva menginjak umur D16 atau jika banyak terdapat kotoran di dasar bak. d. Penggunaan penutup bak. Penutup bak berbahan plastik terpal. Tujuannya untuk menjaga kestabilan suhu dan mencegah kotoran masuk ke dalam bak. e. Penggunaan probiotik. Probiotik yang digunakan bertujuan untuk menumbuhkan bakteri baik yang dapat menguraikan lumpur ataupun kotoran-kotoran sisa pakan. 49

Gambar 19. Penyiponan bak pemeliharaan larva Selain menjaga kualitas air menggunakan metode-metode diatas, juga dilakukan pengukuran kualitas air. Pengukuran ini dilakukan sekali dalam 3 hari sampai larva umur D10. Hal ini disebabkan karena pada umur ini kondisi larva masih rentan atau masih pada masa kritis sehingga perlu perhatian khusus. Setelah itu pengukuran kualitas air dilakukan sebulan sekali sampai larva menjadi benih. Pengukuran kualitas air dilakukan di

Laboratorium Kualitas Air BBPBL Lampung. Hasil pengukuran kualitas air ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

50

Tabel 10. Parameter Kualitas Air di Bak Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Hari Ketiga. Bak Larva No Parameter F2 (A) 1 DO (mg/l) 2 Salinitas (ppt) 3 Suhu (0C) 4 pH 5 Amoniak (mg/l) 6 Nitrit (mg/l) Sumber: BBPBL Lampung 4,3 32,7 27,5 7,1 0,44 0,22 F2 (B) 4,6 31,9 28 7,4 0,57 0,30 Darat (C) 4,1 32,2 28 7,4 0,52 0,28
Standart baku mutu air (keputusan menteri lingkungan hidup no 51 tahun 2004)

>5 33-34 28-30 7-8,5 0,30 -

Tabel 11. Parameter Kualitas Air di Bak Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Hari Keenam. Bak Larva No Parameter F2 (A) 1 DO (mg/l) 2 Salinitas (ppt) 3 Suhu (0C) 4 pH 5 Amoniak (mg/l) 6 Nitrit (mg/l) Sumber: BBPBL Lampung F2 (B) 4,1 31,8 27 7,6 0,67 0,38 Darat (C) 4,3 32,1 27 7,5 0,55 0,49
Standart baku mutu air (keputusan menteri lingkungan hidup no 51 tahun 2004)

>5 33-34 28-30 7-8,5 0,30 -

Tabel 11. Parameter Kualitas Air di Bak Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Tikus di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Hari Kesembilan. No Parameter Bak Larva
Standart baku mutu air (keputusan

F2 (A) 1 DO (mg/l) 2 Salinitas (ppt) 3 Suhu (0C) 4 pH 5 Amoniak (mg/l) 6 Nitrit (mg/l) Sumber: BBPBL Lampung -

F2 (B) 4,4 31,8 28 7,2 0,59 0,33

Darat (C) 4,7 32,3 28 7,5 0,51 0,46

menteri lingkungan hidup no 51 tahun 2004)

>5 33-34 28-30 7-8,5 0,30 -

51

Jika diperhatikan Disolvet Oxigent (DO) atau oksigen terlarut, salinitas perairan dan amoniak, hasil pengukuran menunjukkan nilai dibawah standart baku mutu air walaupun rentan angka tidak begitu signifikan. Sementara itu suhu dan pH, telah menunjukkan nilai positif karena telah sesuai dengan standart baku mutu air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kualitas air di BBPBL Lampung hampir layak dijadikan media pemeliharaan larva ikan kerapu tikus.

5.3.5. Pengendalian Penyakit Pengendalian penyakit meliputi pencegahan dan pengobatan. Pencegahan lebih sering dilakukan dibanding dengan pengobatan. Pencegahan terhadap penyakit dilakukan dengan menggunakan media dan alat-alat yang bersih sebelum pemeliharaan larva. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian 5-10 ppm acriflavin.

5.3.6. Pemanenan dan Seleksi Benih (Grading) Pemanenan dilakukan ketika larva telah mencapai umur D35-D40 atau berukuran 1,5-2 cm. Pemanenan bertujuan untuk memindahkan larva yang telah menjadi benih ke proses pendederan atau juga untuk dijual.

Sementara itu, selama proses pemanenan juga dilakukan grading (Gambar 20). Bak benih yang di grading diturunkan air hingga mencapai 30 cm. Benih ditangkap menggunakan serok lalu dipindahkan ke baskom dan dibawa ke tempat grading. Tempat grading berupa bak fiber bulat yang biasanya juga digunakan untuk pemeliharaan benih untuk pendederan. Benih kemudian di grading. Grading ini dibagi menjadi 3 ukuran yaitu kecil, sedang dan besar. Setelah dipisahkan selanjutnya benih siap ditebar di bak pendederan sesuai ukurannya. Dari hasil grading hampir 20% ukuran benih kecil atau belum mencapai ukuran 1,5 cm. Hal ini dapat disebabkan karena pada masa pemeliharaannya kurang memperoleh pakan akibat kalah dalam persaingan perebutan pakan tersebut sehingga pertumbuhannya terhambat. Dengan demikian, maka pemeliharaan selama larva sudah mendekati berhasil karena 80% benih telah sesuai ukuran untuk dipanen. 52

Gambar 20. Seleksi benih (grading)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan Dari paparan hasil praktek magang yang telah dijelaskan dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: Ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis) merupakan salah satu jenis komoditi unggulan yang terdapat di BBPBL Lampung. Pengembangan ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis) di BBPBL Lampung meliputi pembenihan, pembesaran dan penghibritan. Pembenihan ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis) melalui beberapa tahapantahapan yaitu pengelolaan induk, penangganan telur dan pemeliharaan larva. Jumlah induk 28 ekor terdiri dari 16 ekor betina dan 12 ekor jantan. Induk-induk ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis) dapat menghasilkan telur hingga mencapai 2.305.333 butir dan tingkat penetasan 93,56% dalam sekali pemijahan. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva antara lain, Nannochloropsis sp atau Tetraselmis sp, minyak ikan, rotifera, artemia dan pakan buatan.

Langkah-langkah yang digunakan BBPBL Lampung dalam usaha pengelolaan kualitas air pemeliharaan larva meliputi filterisasi air, sirkulasi air, siponisasi, penggunaan tutup bak dan penggunaan probiotik.

Terdapat beberapa teori yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, seperti 54 pada indikator berat untuk menentukan perubahan jenis kelamin dan waktu pemijahan induk yang tidak sama.

6.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap beberapa teori yang tidak sesuai dengan dengan fakta di lapangan, seperti pada indikator berat untuk menentukan perubahan jenis kelamin dan waktu pemijahan induk yang tidak sama. Dengan adanya penelitian terhadap masalah tersebut diharapkan mampu meningkatkan usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis) semakin baik. Keberhasilan dalam usaha pembenihan ikan kerapu tikus (Cromilevtes altifelis), tidak lepas pada pengelolaan manajemen usaha tersebut. Oleh karena itu, perlu diterapkan manajemen usaha yang baik guna mencapai suatu usaha pembenihan yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Agus. H, Mustamin dan Hanung. S. 1999. Panen dan Transportasi dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung Akbar. S. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kerapu Bebek. Jakarta. Penebar Swadaya Antoro. S, Endang. W dan P. Hartono. 1999. Biologi Kerapu Tikus dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung Asliyanti. 1996. Pemeliharaan Ikan Kerapu Bebek Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Departemen Pertanian. Jakarta BBAP Situbondo. 2007. Pelatihan Manajemen Pengendalian Mutu Pembenihan. Direktorat Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo Erlina. D.T.S dan M. Arif. 2010. Artikel Ilmiah Teknik Pembenihan Kerapu Tikus di BBAP Situbondo. Universitas Airlangga. Surabaya Kordi .K dan Gufran. M. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek di Tambak. Yokyakarta. Penerbit Kanisius Kurniastuty, P. Hartono dan Agus. H. 1999. Hama dan Penyakit dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung Mayunar dan Akhamd. 1994. Pemantauan Musim, Fekunditas dan Kualitas Telur Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan hasil Pemijahan Alami dalam Kelompok. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. BBAP Balitbang. Maros

Mustamin. 2004. Produksi Telur dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung Paimin. F.R.. 2000. Rahasia Membesarkan Ikan Kerapu Tikus. Jakarta. Direksi Trubus Slamet. H, Tridjoko, E. Setiadi dan S. Kawahara. 1996. Penyerapan Nutrisi, Tabiat makan dan Morfologi Larva Ikan Kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Vol II No 2. Hal 13-21. Sudaryanto, M. Thariq dan Herno. W. 1999. Produksi Telur dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung Sugama. K, B. Selamet, S. Ismi, E. Setiadi dan S. Kawahara. 2001. Petunjuk Teknis Produksi Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Balai Besar Riset Budidaya laut Gondol. Bali. Wardana. 2002. Budidaya Laut dan Pengembangan Seafarming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Wardoyo. STH dan I. Muchsin 1990. Menerapkan Usaha Budidaya Perairan Tangguh dalam Menyonsong Era Tinggal Landas Simposium Masa Depan Perikanan. Fakultas Perikanan. Universitas Riau. Pekanbaru. 28 hal. Zainal. 1994. Laporan Praktek Lapangan Budidaya Ikan Kerapu di BBL Lampung. Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

57

Lampiran 1. Peta Provinsi Lampung

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Teluk Hurun, Desa Hanura, Kecamatan PadangCermin Kabupaten Peswaran Provinsi Lampun g

58

Lampiran 2. Dokumentasi kegiatan praktek magang

Pos Penjagaan

Lab. Pembenihan Kerapu Bebek

Packing Benih

Pengecekan Telur

Alat Ukur Kualitas Air

Bak Penampung Rotifera

59

Bak Penetasan Cyste Artemia

Pengkayaan Artemia

Foto Bersama Keluarga Pemilik Kos Selama Magang Bapak Wartono

Foto Bersama Teknisi Pembenihan Bapak Sugeng

60 Foto Bersama Pembimbing Lapang Bapak Silfester Basi Dhoe. Sp Foto Bersama Anggota Magang Lainnya

Lampiran 3. Fotocopy sertifikat magang

You might also like