You are on page 1of 25

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

DASAR VIROLOGI DAN INFEKSI HIV

I.

STRUKTUR GENOMIK HIV Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV). HIV-1 adalah virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris, tahun 1983. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco, tahun 1984. HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus, gp120 disebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 memiliki afinitas tinggi terutama region V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target. Sedangkan gp41 bertanggungjawab dalam proses internalisasi atau adsorpsi. HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan ke dalam famili Retroviridae, subfamili Lentovirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya HIV termasuk famili retrovirus termasuk virus RNAdengan berat molekul 9,7kb. Dari perangkat untaian RNA HIV tiap untaian memiliki 9 genes (gag, pol, vif, vpr,vpu, env, rev, tat, nef). RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri dari atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope). Selubung virus terdiri atas 2 lapis membran lipid. Masing-masing subunit terselubung virus terdiri atas 2 nonkovalen rangkaian protein membran glycoprotein 120 (gp120), protein membran luar dan glycoprotein 41 (gp41). Struktur gp120 terdiri atas bagian yang tidak stabil yang menentukan antigenitas disebut (v) dan yang stabil disebut (C). Fungsi selubung lebih ditentukan oleh regio V terutama V3 sehingga memungkinkan berinteraksi dengan reseptor dan koreseptor pada permukaan sel host. Genomik HIV tersusun dalam 3 kerangka pada rangkaian pengkode gen. Terdapat berbagai protein pengkode yang berperan sebagai penentu struktur katalitik, regulator dan asesori. Di dalam siklus hidup HIV, rangkaian asam nukleat berperan pada fungsi intrinsik. Asam nukleat merupakan zat kimia yang bertanggung jawab atas penyimpanan dan penyampaian semua informasi genetik yang diperlukan guna perencanaan pembentukan fungsi sel. Asam nukleat terbentuk dari nitrogen yang mengandung basa (purin dan pirimidin), gula (deoksiribosa) dan asam folat. Asam nukleat yang mengandung deoksiribosa disebut asam deoksiribosanukleat atau DNA. Yang mengandung ribose disebut asam ribonukleat atau RNA. DNA berperan membawa informasi genetik untuk sintesis protein. RNA termasuk mRNA, tRNA, dan rRNA bertugas melaksanakan instruksi yang dibawa DNA. Genom HIV terdiri atas ssRNA. Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Intidari virus terdiri atas suatu protein sedang selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DN pada waktu replikasi virus, yang disebut enzim reverse transcriptase. Genom virus pada dasarnya terdiri atas gen

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

bertugas memberika kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase maupun glikoprotein dari selubung. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung protein. HIV lebih suka menginfeksi sel-sel T helper yang selanjutnya akan menimbulkan supresi pada sistem imun. Bila terjadi infeksi membran virus melebur dan bergabung dengan membran plasma sel sasaran dan inti nukleokapsid masuk ke dalam sitoplasma. Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4. Molekul ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit T. Oleh karena itu infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfosit T. Setelah penempelan terjadi diskontinyuitas dari membran sel limfosit T terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit T kecuali selubungnya. Selanjutnya RNA dari virus mengalami transkirpsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DN melalui bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNAsel host dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal di dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel host (limfosit T CD4) yang terinfeksi sampai suatu saat terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi. Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi virus oleh karena sebagian toksin malah dapat menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons imun seperti interleukin 1,3,6, tumor necrosing factor dan , interferon , granulocyte macrophage colony stimulating factor. Yang dapat menghambat adalah inteleukin 4,10, transforming growth factor , interferon dan interferon . Hal lain yang dapat memicu replikasi adalah adanya kofaktor atau koinfeksi seperti infeksi virus DNA seperti virus Epstein Barr, virus sitomegalo, virus hepatitis B, virus herpes simpleks, atau kuman seperti mikoplasma. Karena sitokin daoat dan bekerja lookal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus tinggi untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV dalam jaringan. Oleh karena itu pada keadaan adanya gangguan imunologik di dalam jaringan terutama di dalam kelenjar limfe tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. II. SIKLUS HIDUP HIV HIV merupakan virus obligat intraseluler dengan reolikasi sepenuhnya di dalam sel host. INTERNALISASI HIV KE SEL TARGET Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interkasi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target. Sel target utama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit makrofag, limfosit, Langerhans dendritik). Interaksi

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

gp120 dengan CD4 mengakibatkan terjadinya ikatan antara HIV dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan kehadiran koreseptor kedua yang memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperantarai masuknya virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target. Fusi antar kedua membran memungkinkan semua partikel HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai koreseptor lini kedia adalah 7 reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC chemokin receptors 5 (CCR5) dan CXC-chemokine receptor 4 (CXCR4) dengan melibatkan lebih dari 100 protein terkait. Kekuatan ikatan antara HIV dan sel target sangat ditentukan oleh afinitas koreseptor yang satu sama lain tidak sama. perbedaan tersebut ditentukan oleh tropisme strain HIV. Kemampuan mengikat dan tropisme HIV tergantung pada struktur gp120 terutama pattern rangkaian pada regio V3 dan V4. Pada regio lain gp120 berinteraksi dengan CD4 sesuai afinitas koreseptor. KOMPLEKS PREINTEGRASI Setelah gp120HIV terikat pada reseptor CD4 dan koreseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan konformasi gp41 sehingga memungkinkan terjadinya insersi pada regio N-terminal hydrophobic fusion peptide ke dalam membran sel target. Akibat insersi ini menghasilkan fusi kedua membran, berbagai komponen atau partikelpartikel HIV memasuki sitoplasma sel target. Proses ini sepenuhnya tergantung pada interaksi antara region N dan C terminal pada ectodomain gp41. Interaksi intraprotein inilah yang menjadi dasar target intervensi farmakologik. Informasi genetik HIV yang terbawa melalui genom RNA membawa masuk ke dalam sitoplasma sel host baru. Genom RNA disertai peran enzim reverse transcriptase akan membentuk DNA untaian tunggal (single-stranded DNA) dan lebih lanjut terjadi transkripsi membentuk DNA untaian ganda (double-stranded DNA) untuk berinteraksi ke dalam genom sel host. Genom DNA untaian ganda membentuk kompleks dengan sel host disertai terpadunya berbagai protein virus yang berhasil ditranspor ke dalam inti. INTEGRASI DAN TRANSKRIPSI Genom HIV untaian ganda secara acak berintegrasi ke dalam genom sel host. Atas peran dari integrase terjadi perubahan DNA sehingga DNA menjadi lebih stabil. DNA dibentuk oleh dua untaian molekul fosfat dan deoksiribosa secara bergantian dengan satu basa pirimidin (timin dan sitosin). Dalam satu nukleotida tedapat satu deoksiribosa secara satu kelompok fosfat, satu basa dan satu untai DNA merupakan polinukleotida. Basa tersusun seperti anak tangga, deoksiribosa dan kelompok fosfat tersusun seperti tiang tangga. Kedua untaian tersebut terkait pada satu aksis yang sama membentuk heliks ganda. Urutan basa pada satu untai berpasangan secara saling melengkapi dengan basa yang berada pada untai yang lain. DNA membawa informasi genetik dalam bentuk kode. Kode tersebut disusun dengan memakai basa purin dan dua basa pirimidin. Tiga dari basa-basa ini dalam susunannya pada kode molekul DNA diperlukan untuk asam amino tertentu dan dipakai sebagai sisipan pada peptida yang sudah ada. Basa ini menyampaikan informasi genetik yang diperlukan untuk sintesis protein. Pasangan basa sangat penting selama proses biosintesis protein, baik untuk RNA maupun DNA. Semua DNA yang berada di dalam sel berkedudukan di dalam nukleus. Sintesis protein dari

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

asam amino terjadi di dalam sitoplasma, RNA memainkan peran sebai perantara dalam penyampaian sandi genetik dari nukleus ke sitoplasma oleh mRNA, kemudian membantu pembentukan rantai peptida. Pada awal sintesis protein, mRNA disintesis di dalam nukleus melalui proses yang melibatkan pemasangan basa. Sekali terbentuk mRNA memasuki sitoplasma dan melekat pada struktur yang disebut ribosom. Asam amino bebas tidak langsung melekat pada mRNA tetapi terlebih dahulu diikat tRNA. RNA ini mengatur posisi yang tepat untuk melepaskan asam amino melalui proses pemasangan basa pada mRNA di ribosom. Sistem pemasangan yang kompleks ini akhirnya mengikatkan asam amino dalam urutan yang sesuai dengan urutan yang sudah ditentukan oleh DNA di dalam nukleus. Transfer informasi genetik dari DNA ke mRNA disebut transkripsi. Dari hasil transkrip ini dipergunakan untuk menyusun asam amino menjadi peptida dan proses ini disebut translasi. REPLIKASI HIV Replikasi berlangsung di dalam sel host. Setelah masuk dan berada do dalam sel target HIV melepaskan single stranded RNA. Sementara enzim reverse transcriptase yang telah disiapkan berperan dalam proses sintesis DNA. Enzim reverse transcriptase memanfaatkan RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Selanjutnya RNA dipindahkan oleh ribonuklease sedangkan enzim reverse transcriptase mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double stranded DNA yang disebut provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus dan menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif sehingga sementara proses transkripsi dan translasi terhenti. Sel target yang terpapar HIV tersebut mengalami perubahan aktivitas menjadi aktif memproduksi sitokin. Sitokin memicu nuclear factor kB (NF-kB) yang akan berikatan dengan 5 LTR (Long Terminal Repeat) dan menginduksi terjadinya replikasi DNA. Enzim polimerase mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus kemudian mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida yang terbentuk bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti ini membentuk tonjolan pada permukaan sel dan kemudian polipeptida mengalami deferensiasi fungsi yang dikatalisasi oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsional. Inti virus baru dilengkapi bahan selubung yaitu kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host guna membentuk envelope. Dengan demikian akhirnya terbentuk virus baru yang lengkap dan matur. Virus yang matur ini keluar dari sel target untuk menyerang sel target berikutnya. Dalam satu hari replikasi virus dapat menghasilkan jumlah sekitar 10 milyar. PELEPASAN HIV DARI SEL HOST Akumulasi dan komunikasi RNA HIV dengan berbagai protein di dalam virion diperlukan untuk mengatur aktivitas sel guna menghasilkan, memproses dan mentranspor berbagai komponen sehingga dapat ditempatkan diintegrasi melalui proses katalitik. Dengan demikian komponen-komponen tersebut dapat diposisikan pada membran sel host dalam rangka pelepasan virion baru. Berbagai protein virus berperan penting dalam proses ini. Selain persiapan membran sel host juga terjadi persiapan pada virus sebelum dilepaskan dari sel host. Polipeptida virus yang masih imatur dipersiapkan menjadi

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

matur sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan bantuan enzim protease dan melalui suatu rangkaian proses dapat terbentuk RNA HIV sesuai ukuran dan berat molekul yang dikehendaki. Virus memiliki envelope dna inti serta komponen lengkap terbentuk partikel virus baru. Vpu membantu pelepasan virion dari membran sel host melalui proses budding virus ini menembus keluar dari sel host dan siap menginfeksi sel host berikutnya. III. IMUNOPATOLOGI HIV PRESENTASI ANTIGEN DAN PENGENALAN Antigen presenting cells (APC) memproses protein asing menjadi peptida-peptida kecil yang kemudian diekspresikan pada permukaan sel. Proses ini dikendalikan molekul major histocompability complex (MHC), dikomunikasikan dengan human leukocyte antigens (HLA). Dengan demikian sel T dapat mengenal dan mengekspresikan reseptor CD4 dan CD8 pada permukaannya. Antigen dipresentasikan pada permukaan sel tersebut kemudian dikenal oleh sel T disertai respons. Molekul MHC-1 (HLA-A, B, dan C) dapat ditemukan pada permukaan sel berinti dan mampu mengekspresikan CD8. Pada infeksi HIV molekul MHC II (HLA DR, DP, DQ) diekspresikan melalui APC pada sel tertentu seperti sel dendritik, Langerhans , limfosit B, limfosit T, monosit makrofag, sel Kupfer, astrosit , mikroglia yang kemudian mengekspresikan CD4. Gen pemandu MHC-1 maupun MHC-II adalah polimorfik. Ketika reseptor sel T mengikat antigen melalui CD4 dan CD8 terjadi aktivasi sinyal yang ditransmisikan melalui molekul CD3.aktivasi sinyal akan diikuti berbagai sinyal dari molekul kostimulator seperti CD28 dan CD154. Tanpa proses signaling reseptor sel T akan mengalami krisis energi dan mendorong terjadi apoptosis. Aktivasi molekul stimulatori pada sel-sel disekitarnya memicu produksi dan sekresi sitokin yan g mempunyai pengaruh pada lingkungan mikro di sekitarnya. IV. ASPEK IMUNOLOGI PADA PATIFISIOLOGI HIV Limfosit T CD4 mengatur reaksi sistem kekebalan tubuh manusia yang mengawali, mengarahkan untuk pengenalan serta pemusnahan terhadap berbagai mikroorganisme termasuk virus. Pada infeksi HIV justru limfosit T ini yang diintervensi dan mengalami infeksi serta dirusak oleh HIV sehingga jumlahnya cenderung terus menurun (normal 600-1200/mm3). Sejalan dengan laju penurunan jumlah limfosit T, respon dari limfosit T yang tersisa juga berkurang terhadap stimulasi antigen. Dampaknya terjadi perubahan rasio T4/T8 akibat menurunnya jumlah T4. Terjadi penurunan respons terhadap tes kulit dengan antigen biasa. Menjadi lebih rentan terhadap mikroorganisme yang pada kondisi normal dilindungi oleh sistem kekebalan tubuh yang diperantarai sel. Kelainan sel B dapat terjadi akibat tidak adanya pengaturan dan induksi sel T terhadap fungsi sel B. Demikian pula trombositopenia sering didapatkan pada penderita terinfeksi HIV karena kompleks imun merusak trombosit akibat kehilangan kendali. Imunisasi pada penderita HIV juga tidak akan mendapatkan respons yang memadai. Karena monosit-makrofag memiliki koreseptor CCR5 maka dapat terinfeksi HIV tetapi tidak sampai merusak seperti yang terjadi pada limfosit T. Sehingga monosit makrofag dapat menjadi reservoir bagi HIV dan meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi parasit dan infeksi intraseluler lainnya.

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

Untuk dapat mengenal antigen sel T harus teraktivasi menjadi sel efektor. Sel efektor CD4 breperan sebagai sel helper yang dimediasi oleh sekresi sitokin yang berpengaruh di sekitar sel tersebut. Sel T CD4 mempunyai kemampuan mensekresi berbagai sitokin. Limfosit Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2) dan interferon menginduksi gen NF-kB sehingga memicu terjadinya replikasi HIV dan mendorong peningkatan beban virus. Sitokin tersebut dipicu oleh kehadiran mikroorganisme lain sehingga beban virus sering meningkat pada infeksi oportunistik atau stadium AIDS. Limfosit Th2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 yang berperan menghambat pengaruh sitokin proinflamatori sehingga inflamasi dan replikasi HIV dapat dikendalikan. Inhibisi replikasi HIV tersebut juga dibantu oleh peran interferin dan . HIV begitu masuk ke dalam tubuh akan dihadapi oleh berbagai mekanisme ketahanan tubuh termasuk ketahanan tubuh alamiah. Ada tiga mekanisme ketahanan untuk menghadang HIV agar tidak mencapai sel target yang mampu mengekspresikan CD4. Pertama komplemen akan berusaha memusnahkan virus melalui opsonisasi. Dampak hiperaktivitas komplemen terjadi peningkatan kadar histamin. Pada saat ini penderita sering mengeluh gatal-gatal dikulitnya. Bila proses ini berlangsung lama akan diikuti perubahan warna kulit menjadi lebih gelap disebut dermatitis HIV. Kedua, mekanisme berikutnya untuk menghadapi HIV agar tidak mencapai sel target adalah melalui peran interferon dan yang berusaha mencegah upaya replikasi HIV. Ketiga, mekanisme yang lebih kompleks terjadi pada sel target. Pada sel target menjadi sasaran dan terpapar HIV terdapat tiga mekanisme ketahanan untuk menyikapi keberdaan HIV tersebut. Pertama, sel yang terpapar akan segera dimusnahkan oleh sel NK yang dihadapi sendiri maupun didukung ADCC (antibody dependent cell cytotoxic). Kedua, sel yang terpapar dimusnahkan secara perlahan melalui proses apoptosis patologis. Bila HIV diikuti oleh koinfeksi oleh virus lain atau bakteri , jamur, protozoa akan terjadi kematian yang lebih cepat dan difus disebut apoptosis patologis dipercepat. Proses inilah yang dapat menjelaskan penderita AIDS sering meninggal mendadak tanpa didahului pertanda jegawatan klinik sebelumnya. Ketiga, sel yang terpapar HIV tetap bertahan hidup menjelajahi tubuh dengan mengikuti sirkulasi sitemik. Sel yang terpapar ini mengalami aktivasi sehingga terjadi peningkatan produksi dan sekresi sitokin proinflamatori (IL-1b, TNF ), enzim fosfolipase A2, meningkatnya kadar reactive oxygen species (ROS) akibat tuntutan terhadap mitokondria untuk meningkatkan ATP akan diikuti peningkatan ROS. Sitokin proinflamatori memicu peningkatan produksi dan sekresi prostaglandin yang bisa memengaruhi sentral termoregulasi. Bila terjadi gangguan homeostasis pada pusat termoregulasi tersebut memicu panas badan yang merupakan gejala penting infeksi HIV. Dampak dair IL-1b selain memicu panas juga pusing, myalgia, atralgia, mual, muntah, nafsu makan menurun, sulit tidur. Keluhan dan gejala tersebut sering menyertai penderita terinfeksi HIV pada saat terjadi viremia. Pengaruh enzim PLA2 dapat memicu produksi dan sekresi mediator sekunder seperti leukotrien, prostaglandin E2, prostasiklin, tromboksan A2, yang dapat mendorong pendeirta jatuh je sepsis, syok septik akibat infeksi HIV. Dampak ROS berlebihan adalah memicu terbukanya pore MPT (mitochondrial permiability transition) memicu terjadinya apoptosis. Sel yang paling potensial mengalami apoptosis ini adalah limfosit T karena selain menjadi sasaran utama HIV karena terdapat reseptor CD4, koreseptor CCR5,

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

CXCR4 juga dipicu peningkatan produksi ROS. Hal ini diperberat oleh menurunnya peran protektor limfosit T. Respons limfosit T-CD4 terjadi terutama pada infeksi akut kemudian jumlahnya berangsur-angsur menurun sejalan dengan perjalanan infeksi HIV yang cenderung berjalan progresif. Penurunan jumlah limfosit T-CD4 menyebabkan terjadinya imunodefisiensi pada infeksi HIV membuka peluang munculnya infeksi sekunder dari kehadiran mikroorganisme yang berasal dari eksternal maupun internal.

KECENDERUNGAN HIV MENYERANG LIMFOSIT T-CD4

Berbagai sel dapat menjadi target dari HIV tetapi HIV virion cenderung menyerang limfosit T karena pada CD4 terdapat reseptor pada permukaannya yang ideal bagi gp120 di permukaan luar HIV (envelope). Meskipun demikian kompleks gp120 dan reseptor C4 tersebut masih belum memungkinkan HIV masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi. Internalisasi ke dalam limfosit T di tubuh host perlu dibantu oleh peran coreceptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T. Dengan peran gp41 transmembran maka permukaan terluar dari HIV terjadi fusi dengan membran plasma limfosit T-CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim revese transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma limfposit T-CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi doublestranded DNA dengan bantuin enzim reverse transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase, terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Begitu terbentuk proviral DNA proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase. Terjadilah rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan ltranslasi protein virus, serta replikasi virus HIV virion. Jumlah HIV virion yang berlipat ganda kemudian meninggalkan inti dan sel host. Setelah mengalami modifikasi, saling melengkapi kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding). Virion yang baru terbentuk siap menginfeksi limfosit T-CD4 berikutnya, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T-CD4 cenderung terus menurun. I. BERBAGAI PERISTIWA PADA LIMFOSIT T-CD4 TERINFEKSI HIV

Begitu proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadi perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupoun HIV, juga membangkitkan timbulnya protein stres termasuk heat shock protein 70 (Hsp70). Induktor sintesis Hsp adalah lingkungan stres, ROS, serta banyaknya polipeptida yang tidak terlipat.

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

Intervensi dan internalisasi HIV dapat berpengaruh terhadap limfosit T-CD4 yang terpapar. Begitu kontak dengan limfosit T maka HIV sebagai stresor bioloogis akan memicu limfosit T sehingga mengalami stres dengan berbagai perubahan. Perubahan diawali dari ekspresi resptor CD43 pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang terekspresi tersebut kemudian menjadi aktivatir baik terhadap limfosit T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Selain itu Rcd43 juga berpengaruh terhadap peningkatan ekspresi reseptor CD69 dan CD40 L. CD40 merupakan glikoprotein 40-50 kDa, anggota superfamili reseptor tumour necrosing factor (TNF). Akhir-alhir ini diketahui bahwa CD40 merupakan ligand untuk Hsp 70. Peningkatan aktivitas limfosit T-CD4 tersebut menginduksi Th-1 untuk mensekresi IL-1, IL-2, TNF- dan IFN- sehingga kadarnya meningkat dalam darah serta berpengaruh terhadap peningkatan ROS. IL-1, IL-2, TNF- dan IFN- serta CD69 dan CD40L yang terekspresi tersebut secara simultan meningkatkan aktivitas berbagai protein yang terlibat dalam proses signaling termasuk protein kinasi C (PKC) dan mobilisasi kalsium transmembran mitokondria limfositTCD4. Meningkatnya aktivitas PKC dan mobilisasi kalsium dalam sirkulasi tersebut berpengaruhg terhadap mitokondria sehingga meningkatkan produksi ATP dan memproduksi ROS. Peningkatan ROS juga terjadi sebagai efek toksik langsung dari HIV virion melalui gp41, maupun secara tidak langsung oleh efek bifasik dari nitrit oxide (NO). HIV yang telah berada di dalam limfosit T-CD4 tersebut juga teraktivasi oleh pengaruh rCD43 kemudian menginduksi pembentukan kompleks TCR-CD3 dan bersama-sama CD28 memengaruhi HIV menjadi lebih aktif. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas NkKB, aktivitas transkripsi, aktivitas translasi protein, dan replikasi HIV lebih progresif sehingga di dalam sirkulasi mencapai jumlah sangat tinggi, terbentuk hingga berjuta-juta genom HIV per ml. Produksi selama infeksi aktif berlangsung mencapai . Partikel virus per hari. Bila infeksi berlangsung tanpa upaya pengobatan maka jumlah virus bisa mencapai 500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus meningkat tersebut akan berusaha menyerang limfosit T-CD4 berikutnya. Pada infeksi akut penurunan tersebut berlangsung dramatis sehingga kurang dari 1000 CD4 / mm . Kemudian naik lagi pada saat serokonversi, dalam fase kronis turun terus dengan laju penurunan 70 sel/ul setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui batas kritis 200 sel/mm, maka berarti telah memasuki stadium AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinis. Manifestasi klinis dapat terjadpi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD 4 500 sel/mm) atau saat terjadi penurunan sedang (CD 4 200-500 sel/mm). Demikian proses ini akan berjalan berkesinambungan. Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari waktu ke waktu jumlah limfosit T CD4 akan semakin rendah, membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinis AIDS hingga sepsis.

TRANSMISI INFEKSI HIV

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara yaitu : 1. Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, menyusui)

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

2. Transeksual (homoseksual maupun heteroseksual) 3. Horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakain jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi) HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urine, air mata, cairan alveoler, cairan serebrospinal. Sejauh ini transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina dan serviks, serta ASI. Di Indonesia kasus HIV & AIDS pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987. Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru penyebaran HIV & AIDS, cenderung menggeser transmisi melalui kontak antar darah terutama pada pengguna narkotika intravena. Penularan pada drug user ini terjadi secara cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran pandemi HIV secara nyata melalui pekerja seks di Indonesia. Pada awalnya transmisi terjadi dari cara homoseksual dari pasangan pria homoseksual dan biseksual di California, kemudian menyebar ke berbagai negara terutama melalui heteroseksual. Kini transmisi lebih bergeser ke kontak antardarah. Terutama pengguna narkotika intravena. Selama tahun 2002 orang yang rawan tertular HIV di Indonesia antara 13 juta sampai 20 juta sedangkan orang dengan HIV & AIDS (ODHA) diperkirakan antara 90.000 130.000 orang. Tahun 2006 diperkirakan terdapat 5,3 8,7 juta orang beresiko tinggi tertular HIV dengan jumlah terbesar adalah lelaki pelanggan penjaja seks yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 2 juta orang. Pemakai narkotika suntik diestimasi 191 248.000 dan yang memiliki pasangan seksual sekitar 85.700 orang. I. TRANSMISI MELALUI KONTAK SEKSUAL Studi Kohort yang dilakukan Lifson pada pria homoseksual dan biseksual di California yang serpositif HIV sebelum januari 1981, ternyata 52% diantaranya mengidap AIDS pada tahun 1989.diperkirakan 54% akan menjadi AIDS dalam 8-10 tahun kemudian. Di Indonesia waktu yang diperlukan menjadi AIDS dapat lebih singkat karena penderita hidup pada lingkungan dengan kejadian berbagai infeksi. Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan di dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks. Virus terkonsentrasi dalam cairan semen terutama bila terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan seperti pada keadaan peradangan genitalia misalnya uretritis, epididimitis dan kelenjar lain yang berkaitan dengan penyakit menular seksual. Virus juga dapat ditemukan di cairan serviks dan cairan vagina. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi. Pada kontak seks pervaginal kemungkinan transmisi HIV dari laki-laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali lebih besar daripada perempuan ke laki-laki. Hal ini disebabkan oleh paparan HIV secara berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta endometrium dengan semen yang terinfeksi. TRANSMISI MELLAUI DARAH ATAU PRODUK DARAH Hal ini terutama terjadi pada pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik secara bersama dalam satu kelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang menerima tranfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan

II.

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

10

HIV. Namun, pada saat ini hal tersebut jarang terjadi dengan semakin meningkatnya perhatian dan semakin baiknya sistem penapisan terhadap darah yang akan ditransfusikan. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1 melalui transfus dari donor yang terinfeksi HIV berkisar diantara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000. III. TRANSMISI SECARA VERTIKAL Hal ini dapat terjadi pada ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan, dan setelah melahirkan dan setelah melahirkan melalui pemberian ASI. Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20% dan saat pemberian ASI 10-20%. Namun diperkirakan penularan ibu kepada janin atau bayi terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini didasarkan pada saat identifikasi infeksi oleh teknik kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian) sehingga ASI meruoakan perantara penularan HIV dari ibu kepada bayi pasca natal. Bila mungkin pemberian ASI oleh ibu yang terinfeksi sebaiknya dihindari. POTENSI TRANSMISI MELALUI CAIRAN TUBUHLAIN Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat, dan urin dapat merupakan media transmisi HIV. Namun, cairan tubuh tersebut tetap harus diperlakukan sesuai tindakan pencegahan melalui kewaspadaan universal. TRANSMISI PADA PETUGAS KESEHATAN DAN PETUGAS LABORATORIUM Meskipun risiko penularan kecil tetapi risiko tetap ada bagi kelompok pekerjaan berisiko terpapar seperti petugas kesehatan, petugas laboratorium dan orang yang bekerja dengan spesiumen atau bahan yang terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam. Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tersemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV akibat paparan bahan yang tercemar HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekiar 0,09%.

IV.

V.

PATOFISIOLOGI INFEKSI HIV

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal, dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai dengan benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

11

kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparanpertama HIV dapat dideteksi dalam darah. Selama dalam sirkulasi terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk pilek, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral Load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS. Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit-makrofag, Langerhans, sel dendrit, astrosit, mikroglia. Selain itu untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3, intensitas ikatan gp120 HIV dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3. Stabilitas dan potensi ikatan diperkuat oleh koreseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin kuat da meningkatnya intensitas akan dikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk ke dalam sel target HIV melepaskan single stranded RNA. Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double stranded DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yant tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus dari keadaan laten tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor kB (NFkB) sehingga menjadi aktif dan berikatan pada 5LTR (Long Terminal Repeats) yang mengepit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NFkB menginduksi replikasi DNA. Induktor nuclear factor kB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan memengaruhi jalannya replikasi keempat golongan mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non HIV terutama adalah virus DNA. Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur berfungsi sebagai RNA genimik dan m RNA. RNA keluar dari nukleus mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan berlangsung bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Birus yang sudah lengkap ini keluar dari sel akan menginfeksi sel target

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

12

berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi sehingga mencapai baru.

virus

Secara perlahan tetapi pasti imfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut : 1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nukleus dan gangguan terjadinya sintesis makromolekul. 2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi. 3. Respons imun humoral dan selulor terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun, respon ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal disekitarnya (innocent-bystander) 4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. 5. Kematian sel yang terpogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 di regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis. 6. Kematian sle target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70 sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan iraman dan waktu folding protein terganggu terjadi miss folding dan denaturasi protein, jejas dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal berkisar 600-1200 / mm menjadi 200 /mm atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sitem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjaidnya infeksi sekunder sehingga masuk ke dalam stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

PERJALANAN INFEKSI HIV Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus, dan gejala klinis melalui 3 fase : 1. Fase infeksi akut Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) yang jumlahnya berjuta-juta virion. Viremia dari begitu banyak virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dnegan gejala yang mirip sindrom semacam flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Diperkiraka bahwa sekitar 50 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi selama 3 6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu : - Demam - Faringitis - Limfadenopati

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

13

Atralgia Myalgia Letargi Malaise Nyeri kepala Mual muntah Diare Anoreksia Penurunan berat badan

HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Menyebabkan meningitis, ensefalitis, neuropati perifer dan mielopati. Gejala dari dermatologi meliputi ruam mukopapuler eritematosa dan ulkus mukokutan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500 sel / mm dan kemudian akan mengalami pernunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. 2. Fase infeksi laten Pembentukan respon imunspesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Pada fase laten ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar replikasi. Sehingga penurunan jumlah limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 200 sel / mm, meskipun telah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Beberapa pasien terdapat sarkoma Kaposis, herpes simpleks, sinusitis bakterial, herpes zooster dan pneumonia yang sering berlangsung tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung rata-rata 8 10 tahun (3 13 tahun) setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik. 3. Fase infeksi kronis Selama berlangsungnya infeksi ini di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan dicurahkan ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit TCD4 hingga dibawah 200 sel / mm. Penurunan jumlah limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

14

histoplasmosis, koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi.

Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antobodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium yang kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul 3 6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap : 1. Tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala teteapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot, dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran KGB. Dapat juga disertai meningitis aseptik yang ditandai demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf oak. 2. Tahap asimtomatis. Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi. Pada saat ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini aktivitas penderita masih normal. 3. Tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran napas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak berada di tempat tidur meskipun kurang dari 12 jam per hari dalam bulan terakhir. 4. Tahap lanjut atau tahap AIDS. Tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%,diare lebih dari 1 bulang, panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Penderita diserbu berbagai macam infeksi sekunder misalnya pneumonia pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporodiosis, penyakit sitomegali virus, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru serta infeksi jamu lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan beberapa jenis malignasi termasuk kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi. Hipereaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamin. Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.

DERAJAT BERAT INFEKSI HIV DAN AIDS TABEL 1. Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

15

STADIUM STADIUM 1

GEJALA KLINIS 1. Asimtomatis 2. Limfadenopati persistent generalisata 1. Penurunan berat badan tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya 2. Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborrhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis) 3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir 4. Infeksi berulang pada saluran napas atas 1. Penurunan berat badan > 10% 2. Diare kronis dengan penyebab tidak jelas > 1 bulan 3. Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau menetap) 1 bulan 4. Kandidiasis oral 5. Oral hairy leukoplakia 6. TB pulmoner dalam 1 tahun terakhir 7. Infeksi bakterial berat (misalkan pneumonia, piomiositosis) 1. HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC 2. PCP 3. Ensefalitis toksoplasmosis 4. Diare karena Cryptosporodiasis > 1 bulan 5. Cryptococcosis ekstrapulmoner 6. Infeksi virus sitomegalo 7. Infeksi herpes simpleks > 1 bulan 8. Berbagai infeksi jamur berat (histoplasma,

PENAMPILAN / AKTIVITAS FISIK Asimtomatis dengan aktivitas normal Simtomatis dengan aktivitas normal

STADIUM 2

STADIUM III

Lemah Berada di tempat tidur <50% per hari dalam bulan terakhir

STADIUM IV

Sangat lemah Selalu berada di tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

16

coccidiodomycosis) 9. Kandidiasis esofagus, trakea atau bronkus 10. Mikobakteriosis atipikal 11. Salmonelosis non tifoid disertai septikemia 12. TB ekstrapulmoner 13. Limfoma maligna 14. Sarkoma Kaposi 15. Ensefalopati HIV

Tabel 2. KLASIFIKASI KLINIS DAN CD 4 ORANG DEWASA MENURUT CDC KATEGORI A GEJALA 1. Infeksi HIV asimtomatis 2. Limfadenopati generalisata yang menetap 3. Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan : 1. Angiomatosis 2. Kandidiasis orofaringeal 3. Kandidiasis vulvovaginal 4. Displasia servikal 5. Demam 38,5 C atau diare lebih dari 1 bulan 6. Herpes zoster 7. ITP 8. Penyakit radang panggul 9. Neuropati perifer 1. Kandidiasis bronkus, trakea dan paru 2. Kandidiasis esofagus 3. Kanker leher rahim 4. Coccidiodomycosis yang menyebar atau di paru 5. Kriptokokosis ekstrapulmoner 6. Retinitis virus sitomegalo 7. Ensefalopati HIV 8. Herpes simpleks, ulkus kronis lebih dari 1 bulan 9. Histoplasmosis sistemik atau LIMFOSIT CD4 500 sel / mm 200 499 sel / mm < 200 sel / mm SUBKATEGORI A1 A2 A3

500 sel / mm 200 499 sel / mm < 200 sel / mm

B1 B2 B3

500 sel / mm 200 499 sel / mm < 200 sel / mm

C1 C2 C3

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

17

ekstrapulmoner Sarkoma kaposi Limfoma imunoblastik Limfoma primer di otak TB di berbagai tempat PCP pneumonia berulang Septicemia salmonela berulang 16. Toksoplasmosis ensefalitis 17. HIV wasting syndrome (penurunan berat badan lebih dari 10% disertai diare kronis lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan yang bukan disebabkan penyakit lain) 10. 11. 12. 13. 14. 15.

DIAGNOSIS INFEKSI HIV DAN AIDS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium mulai dari uji penapisan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western Blot assay. Uji western blot lebih spesifik karena mampu mendeteksi komponen-komponen yang terkandung p-ada HIV antara lain gp120, gp41, p24, p18, p31, p36. Untuk negara berkembang seperti di Indonesia mengingat uji western blot belum merata dilakukan secara rutin, maka dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan tiga metode yang berbeda. Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari metode yang berbeda-beda tersebut menunjukkan hasil reaktif. I. BERBAGAI FAKTOR RISIKO TERINFEKSI HIV

Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut : 1. Perilaku berisiko tinggi a. Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan kondom. b. Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara bersama tanpa sterilisasi yang memadai. c. Hubungan seksual yang tidak aman multipartner, pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontak seks per anal. 2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual. 3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan. 4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi.

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

18

Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdsarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. TABEL 3. GEJALA MAYOR DAN MINOR PADA PASIEN HIV & AIDS GEJALA MAYOR KARAKTERISTIK 1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan 2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan 3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis 5. Ensefalopati HIV 1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan 2. Dermatitis generalisata 3. Herpes zoster multisegmental berulang 4. Kandidiasis orofaringeal 5. Herpes simpleks kronis progresif 6. Limfadenopati generalisata 7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita 8. Retinitis oleh virus sitomegalo

MINOR

II.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HIV

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi HIV. Salah satu cara penentuah berupa serolgi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot. Untuk mendeteksi seorang terinfeksi HIV dapat dilakukan tes langsung pada virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara penentuan antibodi. Bila individu didapatkan adanya antibodi terhadap HIV berarti pernah atau sedang terpapar HIV. a. Pemeriksaan serologi HIV Pemeriksaan penapisan terhadap antibodi HIV bila didapatkan hasil positif dilakukan pemeriksaan ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar yang berbeda dan atau menggunakan preparasi antigen berbeda dari tes yang pertama. Biasanya digunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Apabila tersedia sarana yang cukup dapat dilakukan tes konfirmasi dengan Western blot (WB), indirect immunofluorescence assays (IFA) atau dengan radio-imunoprecipitation assay (RIFA). Hasil pemeriksaan bisa reaktif atau nonreaktif. Makna hasil pemeriksaan antibodi non reaktif atau negatif antara lain : memang tidak terinfeksi HIV, berada dalam masa jendela, atau individu yang baru saja terinfeksi dengan kadar antobodi yang belum meningkat, stadium AIDS sangat lanjut sehingga respons imun tubuh sangat lemah atau tidak mampu memberikan respons terhadap pembentukan antibodi. Tes serologi standar terdiri atas EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB dapat ditentukan antobodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p12, p24, p55), polimerase (p31, p51, p66) dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160). Bila

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

19

memungkinkan pemeriksaanWB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui EIA terdapat potensi false negative 2%. Interpretasi WB meliputi : - Negatif : tidak ada bentukan pita - Positif : reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24 - Indeterminate : terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi hasil positif. Akurasi pemeriksaan standar (EIA dan WB atau immunofluorescent assay) sensitivtias dan spesifitasnya mencapai > 98%. b. Hasil negatif palsu Negatif palsu dapat terjadi pada beberapa keadaan. Potensi terjadinya hasil negatif palsu 0,3% pada populasi prevalensi tinggi dan < 0,001% pada populasi prevalensi rendah. 1. Penyebab negatif palsu - Masa jendela (window period) Melalui pemeriksaan terkini, hasil positif dari paparan pertama HIV hingga EIA rata-rata 10-14 hari. Serokonversi umunya terjadi 3 minggu 3 bulan. - Seroreversi (seroreversion) Jarang terjadi seroreversi pada stadium akhir penyakit. Seroreversi juga dilaporkan pada pasien yang mengalami rekonstitusi imun berkepanjangan akibat HAART. - Atypical host response - Agammaglobulinemia - Strain tipe N atau O atau HIV-2 c. Hasil positif palsu Frekuensi positif palsu dari pemeriksaan serologi HIV melalui cara EIA maupun WB adalah 0,0004% - 0,0007%. Beberapa informasi penting sehubungan dengan positif palsu adalah : - Tidak adanya faktor risiko tinggi - Beban virus yang tidak terdeteksi - CD4 normal Dalam menghadapi kasus dengan positif palsu sebaiknya dilakukan pengulangan pemeriksaan tes serologi. 1. Penyebab positif palsu - Autoantibodi Keadaan ini dapat terjadi pada penderita SLE dan gagal ginjal terminal - Vaksin HIV - Factitious HIV infection Dalam menghadapi keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan ulang tes konfirmasi anonymous melalui pemeriksaan serologi dan beban virus. - Technical atau clerical error 2. Penyebab hasil indeterminate - Tes serologi dilakukan sedang pada proses serokonversi. Anti-p24 biasanya yang pertama muncul

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

20

Infeksi HIV stadium lanjut Reaksi silang antibodi nonspesifik seperti penyakit vaskuler kolahen, penyakit autoimun, limfoma, penyakit liver, pengguna narkotika suntik, sklerosis multipel, parity, baru saja imunisasi Infeksi strain O atau HIV-2 HIV vaccine recipient Technical atau clerical error

TABEL 4. TES DIAGNOSTIK UNTUK INFEKSI HIV TUJUAN Screening TES 1. Enzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya 2. Aglutinasi latek untuk HIV-1 1. 2. 3. 1. 2. Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2 Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1 Radioimmunoprecipitation antiboy assay (RIFA) untuk HIV-1 ELISA untuk HIV-1 p24 antigen Polimerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

Konfirmasi

Lain-lain

Beberapa penyebab meningkatnya beban virus : 1. Penyakit yang berlangsung progresif 2. Kegagalan terapi ARV disebabkan oleh potensi obat tidak adekuat, dosis obat kurang tepat, nonadherence, dan resisten. 3. Terdapat infeksi aktif. Pada infeksi sekunder TB aktif, beban virus dapat meningkat 5-160 kali. Bila terdapat infeksi sekunder pneumonia pneumokistik karinii (PCP) beban virus dapat meningkat 3-5 kali lipat. 4. Imunisasi. Misalnya imunisasi influenza pneomovax, biasanya beban virus bertahap sekitar 2-4 minggu. III. DETEKSI HIV HIV juga dapat dideteksi melalui amplifikasi komponen atau gen HIV sebelum dapat ditentukan melalui ELISA atau Western Blot. Cara ini dapat memperkecil haril negatif palsu pada infeksi HIV dini. Untuk deteksi dini adanya HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan teknik polimerase chain reaction (PCR). Teknik ini dilakukan apabila tes serologi beberapa kali, beberapa metode tidak konklusif. Maka direkomendasikan suatu pemeriksaan untuk memastikan individu berada dalam periode jendela (window period), ingin segera mengetahui infeksi HIV, untuk kepentingan riset. Berbagai metode PCR dapat meliputi DNA-PCR, RNA-PCR, DNA assay, dan p24 antigen capture. Bila anamnesis didaptkan faktor resiko mendukung pemeriksaan fisik didaptkan gejala dan tanda infeksi, pemeriksaan laboratorium menunjukkan seropositif HIV, dengan atau pemeriksaan Western blot, langkah diagnostik berikutnya adalah melakukan pemeriksaan untuk menentukan status imun (limfosit total, CD4), viral load,

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

21

evaluasi terhadap infeksi sekunder dan atau malignansi sehingga dapat ditetapkan stadium penyakit, prognosis serta strategi penatalaksanaan.

PENATALAKSANAAN KLINIS INFEKSI HIV & AIDS

Berbagai faktor ikut berpengaruh dalam peningkatan angka kesakitan dan kematian HIV & AIDS, ytiu faktor eksternal dan internal. Tidak tertutup kemungkinan tingginya tingkat keseriusan dan kematian penderita HIV & AIDS juga akibat penatalaksanaan penderita yang belum optimal. Selama ini penatalaksanaan hanya dikonsentrasikan pada terapi umum dan terapi khusus dengan mengandalkan antiretroviral therapy (ART). Pengaruh radikal bebas dan proteksi mitokondria hingga kini belum mendapatkan perhatian secara serius. Padahal tubuh penderita HIV & AIDS terdapat peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang potensial mendorong terjadinya preogresivitas ke arah tingkat penyakit yang lebih berat. Untuk itu selain pemberian ART dengan highly active retroviral therapy (HAART), dukungan nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu diperhatikan di dalam penatalaksanaan penderita HIV & AIDS. Penentuan stadium kilinis WHO (2002) maupun klasifikasi CDC (1993) sangat penting untuk menjadi landasan pemberian antiretroviral therapy (ART). PENATALAKSANAAN UMUM Istiharat. Dukunguan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat. PENATALAKSAAN KHUSUS Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi.

STRATEGI PENATALAKSANAAN 1. 2. 3. 4. 5. I. Terapi antiretroviral Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignanasi Dukungan nutrisiberbasis makronutrien dan mikoronutrien Konseling terhadap penderita dan keluarganya Membudayakan pola hidup sehat TERAPI ANTIRETROVIRAL a. Rekomendasi terapi antiretroviral

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

22

Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita uang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana serta mempertimbangkan berbagai faktor : - Dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV - Kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas - Saat yang tepat memulai terapi TABEL 5. KLASIFIKASI INFEKSI HIV DENGAN GRADASI KLINIS (WHO, 2006) KLINIS INFEKSI HIV Asimtomatik Ringan Lanjut Berat STADIUM KLINIS WHO I II III IV

TABEL 6. REKOMENDASI MEMULAI TERAPI ANTIRETROVIRAL PENDERITA DEWASA MENURUT WHO (2006) Stadium Klinis WHO I II III Pemeriksaan CD4 Tidak Dapat Dilakukan ARV belum direkomendasi ARV belum direkomendasi Mulai terapi ARV Pemeriksaan Dapat Dilakukan Terapi bila CD4 < 200 sel/mm Mulai terapi bila CD4 < 200 sel/mm Pertimbangkan terapi bila CD4 < 350 sel/mm dan mulai ARV sebelum CD4 turun < 200/mm Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4

IV

Mulai terapi ARV

Keterangan : CD4 perlu diperiksa segera terturama untuk penetapan terapi, seperti pada TB pulmoner dan infeksi bakteri berat. Total limfosit 1200/mm atau kurang, dapat dipergunakan bila CD4 tidak dapat diperiksa dan infeksi HIV mulai manifes. Tidak diberlakukan pada asimptomatis, stadium klinis 2. Memulai ARV direkomendasikan pada infeksi HIV stadium 3 dengan kehamilan CD4 < 350 sel/mm. Memulai ARV direkomendasikan pada semua infeksi HIV dengan CD4 <350 sel/mm dengan TB pulmoner. b. Tujuan terapi antiretroviral i. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan kematian akibat AIDS ii. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin iii. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

23

iv. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HI dalam plasma <50 kopi/ml Terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, serta kemungkinan timbulnya resisten. TABEL 7. REKOMENDASI MEMULAI TERAPI ARV BERDASAR CD4 PENDERITA DEWASAN(WHO,2006)

CD4 (sel/mm)
<200 200 350 >350 Keterangan : -

Rekomendasi Terapi
Mulai terapi ARV pada semua stadium klinis Pertimbangkan untuk memulai terapi sebelum CD4 turun < 250 sel/mm Jangan memulai ARV dulu

CD4 perlu ditetapkan setelah dilakukan upaya stabilisasi Dalam membuat keputusan pemberian ARV seyogyanya berdasarkan CD4 dengan stadium klinis Penurunan CD4 hingga < 200 sel/mm nerupakan kondisi serius, terkait infeksi sekunder dan kegawatan Memulai ARV direkomendasi pada semua stadium klinis 4 dan stadium 3 pada keadaan tertentu, terutama TB pulmoner dan infeksi bakteri berat Memulai ARV direkomendasikan pada infeksi HIV stadium klinis 3 dengan kehamilan dan CD4 <350 sel/mm

c. Sasaran atau Target ARV Bila telah ada indikasi tepat maka ARV dapat diberikan kombinasi. Pemberian kombinasi selain bertujuan mengoptimalkan efikasi ARV, mengurangi potensi resistensi, juga teknik pemberiannya, pemilihan obatnya perlu dilandasi pemahaman yang mendalam. Hal ini penting karena masing-masing ARV mempunyai sasaran intervensi yang berbeda meskipun tujuannya sama yaitu mengeliminasi dan mencegah replikasi HIV melalui cara masing-masing.

d. 1O Prinsip Terapi Antiretroviral i. Indikasi ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat ii. Kombinasi Antiretroviral harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk mendapatkan efek optimal serta memperkecil resistensi iii. Pilihan obat Pemilihan obat-obat lini pertama diprioritaskan baru kemudian dipilih lini kedua atau obat lain bila dipandang perlu guna meminimalkan munculnya mutan yang resisten

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

24

iv. Kompleksitas Terapi antiretrovirus sangat kompleks karena beberapa ibat dapat mengalami interaksi dan efek samping termasuk potensi interaksi dengan obat nonARV. Mengkonsumsu ARV dalam waktu yang tidak terbatas juga bukan tanpa hambatan. Sering kali ARV dalam waktu yang tidak terbatas juga bukan tanpa hambatan. Sering kali ARV diberikan bersama obat untuk mengatasi infeksi sekunder, maka interaksi obat satu sama lain perlu dipertimbangkan dengan seksama. v. Resistensi Perlu disadari adanya potensi terjadinya resistensi. Resistensi dapat terjadi ARV lini pertama dan aau resistensi silang yang dapat terjadi antara NNRTI dan sebagian PI dan NRTI. Perlu dievaluasi secara genetik potensi munculnya gen resisten. vi. Informasi Memulai dan mempertahankan terapi antiretroviral secara efektif sangat diperlukan adanya informasi dari dokter terhadap penderita. Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap maksud dan tujuan terapi ARV. Informasi tentang efek samping segera, lambat atau tertunda perlu disampaikan. Resistensi obat juga perlu disampaikan dengan jelas. Penderita juga diberikan informasi mengenai kerugian bila menghentikan ARV secara speihak. Pentingnya informasi tentang monitoring pemberian ARV secara klinis, laboratoris (biokimiawi, CD4, beban virus). Radiologis secara berkala. vii. Motivasi Motivasi untuk mengkonsumsi ARV harus ada. Penderita perlu ditekankan untuk tidak terlarut pada kesedihan, kecemasan, ketakutan secara berlebih setelah mengetahui terinfeksi HIV. Perlu diingatkan, disadarkan, diposisikan secara wajar bahwa di dalam tubuhnya terdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian ARV. Penderita memerlukan obat-obatan secara teratur, dosis tepat, kombinasi tepat untuk keberhasilan suatu pengobatan. Dengan demikian penderita mempunyai keinginan kuat untuk menjadi lebih baik melalui pengobatan. Dan mampu melakukan aktivitas normal seperti sedia kala. viii. Monitoring Efikasi pengobatan antivirus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan klinis berkali disertai pemeriksaan laboratoris guna menentukan HIV-RNA virus dan hitung CD4 secara periodeik dan teratur. Efek samping dan resisten ARV juga perlu dimonitor secara cermat dan hati-hati. ix. Target pengobatan Target pengobatan antiretroviral adalah a. Target virologis Menekan RNA virus hingga < 50/ml dalam plasma b. Target imunologis Menaikkan dan mempertahankan selama mungkin jumlah CD4 > 500 sel/mm

CASE DAN REFERAT : HIV AIDS (Michelle Athina 07094)

25

c. Target terapeutik

You might also like