You are on page 1of 5

Tak ada yang mudah, semua butuh proses dan kerja keras. (Ayahnda).

Novel ini aku persembahkan untuk Ibunda Shofiatun dan Ayahnda Mulyono yang telah merawat dan membesarkanku di dunia ini. Untuk adik-adikku tercinta ; Achmad Rifai, Lilik Wahyu Prasetyo, dan Suci Fatmawati yang telah memberiku inspirasi dasyat. Aku ucapkan terima kasih untuk Tante Rini, yang selalu mendukung hobby gile-ku ini. Buat teman-temanku ; Hendrawan, Suhariyadi, Jepri, Cholik, Sri Suparni, Bahadul, Roy, Candra, Dian Rita, Rossi Yumarni, Wahidayati, Edi, Beni, Alfian, Juan, Detha, Angga Darmanto, Arya, Indra, Aulia, Dhita, Ryan, Risti, Lina, Adit, Siti Mahmudah, yang Go-Kill abiss. Terima kasih juga buat Tello yang rela gue kunyah saben ari dan menemani gue dikala Galau. Memberi gue ide-ide konyol. Bagi gue gak Tello gak rame Dab*! (*sapaan anak jogja)

----------

Sang Pemimpi Ulung| Who Am I ?

PROLOG Who Am I ? Tuhan, aku gugup banget. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkrak-jingkrak di balik tumpukan buku, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau kaos kakiku yang busuk merebak dari sepatu kusutku, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut. Botet yang gendut dan invalid kakinya panjang sebelah tersendak-sendak di belakangku. Wajahnya pudar. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilau-kilau. Di sampingnya, Jepri, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah tiga kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apapun, Botet selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-kejar seorang guru yang paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas lantai yang ditaburi kertas-kertas busuk. Kami mengendap. Tersengal Botet memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Cukk.... Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat pegawai itu...?" Aku menoleh cepat. Satu meter di depan sana terlihat pintu keluar dari ruangan ini dan para pegawai sedang sibuk melototin komputer mereka masing-masing. Di berandanya, buku-buku berserakan. Ada salah satu pegawai yang aku kenal. "Lari kepintu itu, menyelinap ke kantin Bu Jum, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman ...."

Sang Pemimpi Ulung| Who Am I ?

Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok warung Bu Jum untuk melempar kepalanya. "Hebat sekali teorimu, Dab! Tak masuk akal sama sekali! Jepri mau kau apakan??!!" Jepri yang penakut memohon putus asa. "Aku tak bisa lari, cukk...." Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik pegawai itu berdiri rumah turunan prajurit katak, orang tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang Jawa membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Botet, dan Jepri tinggal di salah satu kos di kator kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi tukang cleaning service di kantor. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang tumpukan buku ini. Aku mengawasi sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang ventilasi seperti batangan baja stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesatlesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 2001 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian dikota Pelajar di Pulau Jawa, sampai Maret tahun depan.
3 Sang Pemimpi Ulung| Who Am I ?

Semuanya gara-gara Botet. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Jawa untuk melabraknya. Tapi lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma mara bahaya. Botet menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa buah kardus kecil. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya: AGUS SURYONO, S.Pd.T. Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis itu. Wakil kepala SMK kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih, matanya sipil. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata. Pak Agus menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras dalam penegakan disiplin. Ia guru Gambar Teknik, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari gelar S.Pd.T. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Jawa Macan Tutul yang ditakuti. "Dancukkkk...!!" Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku
4 Sang Pemimpi Ulung| Who Am I ?

melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan tubuh. Sebenarnya Pak Agus adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kan pernah punya SMK. Ia salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMK, sebuah SMK Negeri! Bukan main! Dulu kami harus sekolah SMK ke Kota Jogja, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMK kami itu, sebuah SMK Negeri! Benarbenar bukan main! Namun, Pak Agus berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMK Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di SMK yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75. Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Yogyakarta, kota yang kaya budaya itu, memiliki sebuah SMK Negeri. Bukan main. SMK ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit.

Bersambung...

Sang Pemimpi Ulung| Who Am I ?

You might also like