You are on page 1of 10

Nama NIM

: RAEHANAH : E1M007032

1. Rumusan masalah Apakah ujian nasional sudah layak menjadi tolak ukur kwalitas pendidikan secara nasional? Kata kunci: Ujian nasional 2. Data/ informasi pendukung Idealisme Ujian Nasional Seyogianya, publik tak perlu risau terhadap UN. Sistem evaluasi akhir itu, bukan monster. Kita harus menerimanya sebagai konsekuensi logis dari belum ditemukannya alternatif sistem penilaian yang sesuai untuk mengukur, memetakan dan mengendalikan kualitas pendidikan secara nasional. Tentu, untuk itu memerlukan persiapan dan usaha yang sistematis dari siswa, guru, dan pemerintah. Bagi para siswa, program dan usaha itu tidak hanya mengandalkan proses pembelajaran di sekolah, tetapi juga dari luar sekolah, seperti mengunjungi perpustakaan, berdiskusi kelompok dan latihan memecahkan soal ujian tahun sebelumnya. Bagi para guru, dituntut profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran yang berorientasi pada tujuan pembelajaran, memberikan pelatihan-pelatihan, dan motivasi belajar kepada para peserta didiknya. Usaha dan program tersebut dilakukan secara sistematis, sedini mungkin dan berkelanjutan. Pemerintah memegang peranan strategis dalam menyukseskan UN. Pemerintah seyogianya menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai sebelum bersikukuh tetap menyelenggarakan UN. Dunia pendidikan kita secara nasional masih merupakan bingkai yang belum usai. Banyak sekolah, terutama di daerah-daerah, masih belum siap. Pertanyaannya, mungkinkah dalam kondisi seperti itu, tingkat kesukaran soal dan standar kelulusan UN dapat disamakan dengan daerah perkotaan yang kondisinya lebih siap? Diakui atau tidak, tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil UN sangat rendah, hampir mencapai titik nadir. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya unjuk rasa penolakan publik terhadap UN. Unjuk rasa itu, bukan hanya melibatkan para siswa, tetapi juga orang tua siswa. Bahkan kalangan akademisi, para praktisi dan pengamat pendidikan ikut nimbrung meramaikan unjuk rasa itu. Pemicu rendahnya tingkat kepercayaan publik itu, antara lain penyelenggaraannya yang tidak taat asas. Para penyelenggara dari pengawas dan guru, sampai kepala sekolah dan pihak terkait lainnya, secara berjamaah telah menodai idealisme ujian nasional itu. Tangan-tangan kotor mereka dengan berbagai modus operandinya, melakukan penyimpangan, sejak dari membocorkan soal, memberi peluang siswa mencontoh, sampai dengan menyortir lembaran jawaban siswa oleh guru .Konon pula akhir-akhir ini ada trend, Kepala Dinas Pendidikan atau Bupati menargetkan tingkat kelulusan UN di daerahnya dengan persentase yang tidak membumi dan terkesan cet langet. Guru-guru dan kepala sekolah menerjemahkan pernyataan kepala dinas pendidikan atau bupati itu, dengan kerja keras, kalau perlu menabrak rambu-rambu dan menerobos lampu merah asal target tercapai. Sebagai seorang yang pernah bergelut sebagai praktisi pendidikan, merinding bulu roma, ketika mengingat siswa-siswa yang sejak semester awal menunjukkan prestasi baik, namun pada UN mereka gugur, hanya karena nilai salah satu mata pelajaran yang diujiannasionalkan tidak memenuhi standar kelulusan. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui tingkat kejujuran pelaksanaan Ujian Nasional masih rendah. Dari tiga kategori tingkat kejujuran masing-masing putih, abu-abu dan hitam, tingkat kejujurannya masih memprihatinkan. Nuh, mengatakan bahwa di jenjang SMA/SMK/MA, dari jumlah peserta 1,516.891 siswa, capaian tingkat

kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 baru mencapai 17,19 persen berkategori putih, 42,87 persen abu-abu, 39,95 persen hitam. Kita memberi apresiasi terhadap tekad pemerintah (Depdiknas) untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap UN. Salah satu tekad tersebut adalah menegakkan kejujuran dalam penyelenggaraan ujian nasional. Dalam rangkaian Rembuk Nasional Pendidikan 2010 dilakukan penandatanganan Fakta Kejujuran pelaksanaan Ujian Nasional dengan para Kepala Dinas se-propinsi di Indonesia yang disaksikan para eselon I di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, Badan Standar Nassional Pendidikan, serta Ketua Tim Pemantau Independen dari perguruan tinggi. Mudah-mudahan hal itu, bukan hanya upaya membangun pencitraan. Tetapi, lebih dalam lagi bertujuan menjadikan hasil UN itu objektif dan bisa dijadikan sebagai bahan referensi pemetaan dan pengendalian mutu pendidikan nasional. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab XVI Pasal 57 sampai dengan pasal 59, menyatakan bahwa pengendalian mutu pendidikan nasional perlu dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Salah satunya dilakukan melalui evaluasi pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Ujian nasional idealnya bertujuan memadukan antara penentu kelulusan siswa serta peta atau data kualitas pendidikan. Jadi, selain menentukan kelulusan siswa, UN juga bisa dipakai sebagai peta, sehingga kalau nanti dari hasil UN ada sekolah-sekolah tertentu yang kondisinya tidak bagus, termasuk tingkat kejujurannya rendah, maka bisa dilakukan intervensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah itu. (SUMBER: http://suriyaaceh.blogspot.com/2010/03/idealisme-ujian-nasional.html. diambil pada tanggal 18 Maret 2010 ) Arif Rahman: Jangan Ukur UN dengan Standar Mutlak By admin Kontroversi UN Bandung - Pakar pendidikan dan Guru Besar UNJ Arif Rahman merasa perlu adanya standar norma pada penilaian Ujian Nasional (UN). Standar mutlak yang diterapkan pemerintah dianggap tidak memberikan ukuran pendidikan yang valid. 'Penilaian standar pendidikan jangan standar mutlak, tapi standar norma. Termasuk didalamya UN. Jangan cuma mengejar minimal lulus 5,5. Nilai rata-rata daerah harus dipehitungkan juga. Dan jangan dilupakan nilai kejujuran dan budi pekerti,' tuturnya dalam Seminar Nasional: Mensikapi Polemik Pelaksanaan UN 2010 di Gedung JICA Kampus UPI, Jalan Setiabudi, Senin (25/1/2010). Ditambahkannya, standar mutlak yang diterapkan pemerintah saat ini juga membuat minder sebagian guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak di UN-kan. 'Sekarang fenomenanya guru agama, kesenian dan olahraga kalau menjelang UN jalannya bungkuk, lesu. Beda dengan guru matematika atau Bahasa Inggris. Begitu semangat kalau anak didiknya nilai UN-nya bagus,' jelas Arif. Arif juga mengkiritisi sikap pemerintah pusat yang terus-terusan meningkatkan standar kelulusan dengan dalih peningkatan kualitas pendidikan. 'Mengutip omongan JK pada saat menjabat sebagai wakil presiden. Beliau pernah bilang, Pak Arif kalau tidak dinaikan standar kelulusannya siswa kita tidak akan bisa lompat. Saya jawab, pak kalau lompat tanpa dikasih makan mana bisa pak. Ini kan tandanya beliau tidak melihat daerah,' selorohnya. Dijelaskan Arif, rumus standar norma nilai mentah dikurangi rata-rata daerah dibagi standar deviasi. 'Disini akan lebih adil karena nilai rata-rata daerah diperhitungkan. Jadi benar-benar yang didapat adakah hasil kemampuan siswa berdasarkan kemampuan daerahnya. Fair kan? Mudah-mudahan pemerintah bisa menyadari ini,' tandasnya. (Sumber: http://beritapendidikan.com/mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&cid=17&artid=2087

http://bandung.detik.com/read/2010/01/25/102146/ 1285278/486/arif-rahman-jangan-ukur-un-dengan-standar-mutlak. Diambil pada tangal 18 Maret 2010) UAN Dan Kecurangannya UAN dan kecurangan nampaknya tidak akan pernah lepas untuk terus mewarnai pendidikan di Indonesia. Seperti yang pernah saya tulis di blog saya sebelumnya, bahwa UAN adalah sebuah keniscayaan atas kecurangan yang akan terus berlanjut di ranah negeri ini, dan akan berhenti pada suatu saat di mana kita benar-benar paham apa esensi dari sebuah pendidikan. Oleh karenanya, di blog ini, akan saya coba uraikan beberapa sudut pandang mengapa UAN sebenarnya tidak mewakili tujuan pendidikan sebenarnya.. Sebagai awalan, marilah kita buka dengan pertanyaan, "Kenapa kita pergi ke sekolah?". Pertanyaan simpel bukan? Namun, inilah sekiranya pertanyaan simpel yang membutuhkan uraian jawaban yang panjang dan mendalam untuk mewakili esensi pendidikan yang sesungguhnya. Tapi apakah semua orang tahu jawaban "panjangnya" Karena tidak tahu, umumnya siswa atau masyarakat pada umumnya mempersingkat jawaban itu dengan jawaban, "Untuk cari kerja lah!", atau, "Ya... untuk cari sertifikat yang nilainya bagus-bagus, terus disodorin di bursa kerja." dan saya yakin, jawaban ini begitu familiar di telnga anda sehingga anda mau tidak mau hanya mengiyakan saja. "Toh kenyataannya memang begitu," begitu jawab anda di dalam hati. Hasilnya, kita setiap hari bangun pagi, mandi, sikat gigi, makan, cium tangan bapak dan ibu, berangkat ke sekolah, untuk menuntut ilmu dengan mindset mendapatkan ijazah yang "enak dipandang". Dan UAN, sangat berperan penting dalam mengisi data-data yang menentukan apakah ijazah anda "berharga" atau tidak. So... "Inikah tujuan pendidikan yang sebenarnya?" Nah di sinilah peran mata, ada tulisan bagus yang pernah saya baca yang menyimpulkan beberapa poin penting mengenai beberapa tujuan (boleh saya sebut "esensi") pendidikan yang sebenarnya. Poin-poin itulah yang menggambarkan apakah pendidikan yang kita rasakan selama ini dikatakan berhasil atau tidak. Diantaranya: Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem solving) Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk verbal maupun tulisan Membentuk kepribadian yang baik, meliputi sikap-sikap yang sesuai dengan norma dan nilai kehidupan. Seperti, jujur, tanggung jawab, dapat dipercaya, dll. Sebagai refleksi, apakah UAN telah dapat memetakan kemampuan siswa dengan standar yang telah dituliskan di atas? Kalau memang sistem UAN bisa dikatakan untuk mengukur seberapa IQ kita, maka UAN setidaknya telah mewakili satu poin tujuan pendidikan, yaitu poin pertama meningkatkan kemampuan problem solving siswa. Tapi, itu pun kalau pesertanya jujur. Kenyataannya, 100% jujur tampaknya masih sangat sangat sulit untuk dicapai, sehingga UAN dapat disimpulkan tidak mencerminkan apa pun dari tujuan diadakannya pendidikan nasional. Saya sebagai rakyat, yang Alhamdulillah bisa merasakan nikmatnya proses pendidikan, masih belum bisa berbuat apa-apa terkait ini. UAN, bagi saya, tampak seperti sebuah paradoks yang bagi pemerintah adalah harga mati untuk terus dilaksanakan dari tahun ke tahun. Ini lebih seperti menutup mata terhadap kenyataan "dampak sistemik" kecurangan pendidikan yang semakin canggih dan parah dari waktu ke waktu. Yah... inilah kenyataan, dan inilah realitas... kita hanya bisa mengupayakan perubahan diri untuk dapat mengharapkan perubahan di lingkungan terdekat kita. (Sumber: http://my-xscience.blogspot.com/2010/03/uan-kecurangan-yang-kesekian.html. Diambil pada tangal 18 Maret 2010)

PERTANYAAN SEPUTAR UJIAN NASIONAL 2009/2010 Untuk memperoleh kejelasan dan kepastian tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2009/2010, berikut ini kami posting tanya-jawab seputar UN yang dikeluarkan oleh BSNP. 1. Apa dasar hukum pelaksanaan UN? a. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. b. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. - Pasal 63 ayat (1). Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. - Pasal 66 ayat (1). Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. - Pasal 66 ayat (2). Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. - Pasal 66 ayat (3). Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyakbanyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. - Pasal 68. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; d. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. - Pasal 69 ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. - Pasal 69 ayat (2): Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya. - Pasal 69 ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP. c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Smp/Mts), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010. 2. Apa tujuan penyelenggaraan UN? UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Bagaimana pelaksanaan UN berikutnya dengan ditolaknya kasasi pemerintah oleh MA? Putusan MA tersebut menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Diantara isi putusan tersebut pemerintah diminta untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta memberikan akses pendidikan kepada masyarakat. Putusan MA itu tidak secara eksplisit menyatakan melarang penyelenggaraan UN. Artinya, tidak ada

putusan yang menyatakan UN dihapuskan. Jadi UN tahun pelajaran 2009/2010 tetap dilaksanakan. 4. Benarkah hasil UN dijadikan satu-satunya cara untuk menentukan kelulusan? Anggapan UN dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan adalah keliru. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk (i) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan (ii) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya (iii) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, (iv) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. (Sumber: http://mgmpbismp.co.cc/2010/03/12/pertanyaan-seputar-ujian-nasional-20092010. Diambil pada tanggal 18 Maret 2010/)

Ujian Nasional Lagi


UN juga menjadi awal ketegangan yang sudah dimulai sejak pertengahan tahun, bahkan awal tahun ajaran. Ketegangan bertambah karena terpicu sibuknya pejabat Diknas yang memberi catatan atau wejangan agar semua sekolahnegeri dan swastadi wilayahnya menyiapkan diri menghadapi UN. Pesannya, Siapkan diri sebaik mungkin, raihlah angka setinggi mungkin. Bisa jadi, perolehan angka tinggi akan menaikkan gengsi dan pamor sekolah, suku dinas pendidikan kota, dinas pendidikan provinsi, kementerian pendidikan, atau bahkan pejabat terkait lain yang lebih tinggi wewenangnya. Belum lagi pengadaan program penggemblengan mental khusus untuk menghadapi UN; tawaran-tawaran bimbingan belajar khusus UN yang bermunculan. Yang paling nyata adalah para kepala sekolah terbakar untuk superserius menyiapkan guru dan peserta didik agar siap menghadapi UN. UN dijadikan barometer kualitas pendidikan? Para guru dan peserta UN sibuk memburu soal-soal latihan ujian sambil menata diri untuk memastikan jenis soal-soal mana yang akan keluar dalam UN. Latihan-latihan ujian atau yang dikenal dengan try-out (TO) mereka jadikan menu sehari-hari. Maka, pusat perhatian hanya pada mata pelajaran yang di-UN-kan. Ada yang menyelenggarakan TO sejak tahun ajaran baru dimulai, ada yang memulai TO pada pertengahan tahun ajaran, serta tidak sedikit yang menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi dan menggunakan waktu libur, seperti Sabtu (untuk sebagian) atau bahkan Minggu, sebagai tambahan waktu TO. Jika diamati lebih saksama, tampaknya kesempatan belajar di bangku sekolah lanjutan, yang dituntut mengikuti UN, hanya berlangsung dua tahun. Itu terjadi pada sekolahsekolah tertentu yang mendewakan UN karena tahun terakhir diisi latihan-latihan menghadapi UN. Dengan kata lain, lembaga pendidikan yang dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mendidik peserta didik, seperti diamanatkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yakni disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan satuan pendidikansama sekali tidak berarti karena ujung-ujungnya dipaksa untuk fokus pada UN. Seperti sudah dipahami semua, kebijakan UN kontradiktif dengan jiwa atau roh KTSP bahwa performance atau kualitas sekolah hanya ditentukan oleh hasil UN dan ini tidak menarik lagi untuk diamati. Yang menarik untuk ditelaah adalah bahwa dari tahun ke tahun UN dijadikan acara rutin pendidikan tanpa kebaruan semangat pedagogis. Artinya, sekadar berpusat pada usaha pencapaian angka tinggi. Terkesan, pelibatan dosen PTN mulai 2009 sebagai pengawas independen UNsebelumnya dilakukan mahasiswaterasa mengada-ada. Tidak jelas hal itu sebagai usaha meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN agar menjadi obyektif atau sebagai introduksi bahwa UN adalah bagian persyaratan masuk PT seperti sedang diwacanakan? Sebenarnya, masalah pokok UN bukan pada pelaksanaannya, melainkan pada persiapan atau menjelang pelaksanaan. Alasannya, pada saat itulah berbagai penyimpangan paling mungkin dilakukan. Kita biasa mendengar suara sumbang, seperti seruan ketua

pelaksana UN tingkat sekolah, jangan ketat-ketat dalam pengawasan. Penggalangan tim sukses UN di tingkat wilayah dengan segala jurusnya, kunci jawaban tersebar meski tidak gratis, pengiriman/pengambilan soal UN bagi wilayah yang jauh dari pusat mengundang kecurangan atau penyelewengan, dinding toilet penuh jawaban atau contekan atau rumus dan sebagainya. Pembenahan mutu penyelenggaraan harus dilaksanakan serentak di semua lini. UN tidak selayaknya dijadikan ukuran mutu pendidikan, terlebih bila tidak dilengkapi evaluasi pendampingan UN bagi tiap sekolah atau satuan pendidikan. (Sumber: http://ipnukotabatik.blogspot.com/2009/04/ujian-nasional-lagi.html. Diambil pada tanggal 18 Maret 2010)

Ujian Nasional sebagai Instrumen Pendongkrak Kualitas SDM


Tiap kali momentum ujian nasional (UN) dilaksanakan, tiap kali pula saya terjebak dalam sebuah persimpangan jalan. Di satu sisi, berdasarkan keyakinan saya sebagai seorang praktisi pendidikan, UN itu lebih banyak mudhorat-nya daripada manfaatnya. Di sisi lain, toh saya tidak dapat berbuat apa-apa. Seperti guru-guru yang lain, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain sendiko dhawuh. Kami boleh berpendapat, bahkan dengan demonstrasi sekali pun, tapi kalau sang penguasa tetap berkehendak, UN akan tetap jalan terus. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya tidak akan melakukan penentangan terhadap UN, sebagaimana dalam beberapa tulisan saya sebelumnya. Sebaliknya, saya mencoba memahami, mengapa UN mesti dilaksanakan lengkap dengan standar kelulusan yang naik terus. Menurut Mendiknas, seperti sering diungkapkan pada berbagai kesempatan, UN merupakan alat untuk memacu semangat belajar siswa. UN sebagai dasar penentu kelulusan di mana standar kelulusan selalu dibuat naik, akan mendorong siswa untuk belajar makin rajin. Kata kuncinya di sini adalah adanya saringan yang mampu memilah antara siswa yang layak lulus dan siswa yang tidak layak lulus. Dengan adanya saringan ini, hanya siswa dengan kemampuan standarlah yang lulus. Yang tidak, terpaksa harus mengulang tahun depan atau belajar mandiri untuk mengikuti ujian persamaan kejar paket B atau C Memang kita akui, dalam praktik pendidikan selama ini, sekolah cenderung untuk meluluskan siswanya seratus persen. Sekolah selama ini tidak memiliki keberanian untuk tidak meluluskan siswa yang secara nyata berkemampuan kurang. Kita masih ingat. Dulu, ketika kelulusan ditentukan dengan rumus yang melibatkan variabel nilai rapor kelas III pada semester genap, pihak sekolah menyiasati agar semua siswa lulus dengan memberi siswa bekal berupa nilai bagus pada rapor siswa kelas III pada semester genap itu. Terjadilah apa yang disebut penyulapan nilai rapor. Dengan siasat itu, siswa yang berkemampuan kritis akan tetap dapat lolos meski nilai ujian nasionalnya (saat itu ebtanas) jeblok. Pasalnya, bekal yang telah diberikan, ketika dimasukan ke dalam rumus akan mendongkrak nilai akhir menjadi cukup tinggi untuk melampaui standar kelulusan. Praktik pendidikan yang seperti itulah -salah satunya- yang menyebabkan kualitas pendidikan kita menjadi semu. Siswa sangat gampang untuk bisa lulus meski kemampuannya secara real kurang memadai. Bahkan, dengan kualitas pembelajaran yang sangat buruk, dengan jalan memberi bekal berupa nilai rapor yang tinggi, ebtanas tidak akan menjadi penghalang untuk meluluskan siswanya 100%. Agaknya, terdorong oleh semangat untuk memperbaiki kualitas pendidikan sekaligus untuk menghentikan malpraktik tersebut di atas, lalu pemerintah membuat keputusan berani. Kriteria kelulusan tidak lagi melibatkan variabel nilai rapor, melainkan murni berdasarkan hasil ujian nasional di mana standar kelulusan ditentukan sendiri oleh masing-masing sekolah. Dengan model kriteria kelulusan yang seperti ini, sekolah bisa saja meluluskan semua siswanya dengan memasang standar kelulusan minimal. Semua siswa akan lulus 100%, tapi

kalau standar kelulusan yang dipakai begitu rendahnya, sekolah harus siap menanggung label sebagai sekolah berkualitas rendah. Tapi terbukti, dengan kebijakan tersebut, banyak sekolah yang tidak malu memasang standar kelulusan rendah, asalkan semua siswanya lulus. Sekali lagi, ini mengurangi kepercayaan pemerintah terhadap institusi sekolah dalam turut mendukung peningkatan kualitas lulusan. Bisa jadi, pemerintah sudah tidak lagi percaya terhadap itikad baik institusi sekolah dalam mendukung upaya peningkatan kualitas SDM. Merasa telah berkali-kali disiasati oleh sekolah, maka sejak beberapa tahun lalu diterapkanlah sebuah kebijakan yang lebih berani: kelulusan ditentukan dari nilai ujian nasional dengan standar yang ditentukan secara nasional pula. Siswa yang dalam ujian nasional memperoleh nilai di bawah standar, otomatis tidak lulus. Tidak hanya itu, dalam tiga tahun berturut-turut, pemerintah manaikkan standar kelulusan itu dari 4,01 pada tahun 2005 menjadi 4,51 pada tahun 2006, dan kini menjadi 5,01. Untuk bisa lulus -begitu pikir pemerintah- siswa harus belajar keras. Guru-guru juga tidak boleh main-main, mereka harus mengajar dengan baik dan mengembangkan kreativitasnya agar siswa memiliki kemampuan yang memadai. Model kriteria kelulusan inilah yang diyakini pemerintah akan bisa mendongkrak kualitas SDM kita. Pertanyaannya sekarang, mampukah kebijakan ujian nasional dengan standar kelulusan secara nasional itu mengantarkan bangsa Indonesia kepada kondisi yang makin maju dalam hal kualitas SDM-nya? Jawaban saya adalah bisa, tapi dengan sejumlah asumsi. Asumsi pertama, kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diujikan itu bisa merepresentasikan semua kemampuan siswa sebagai hasil belajarnya. Artinya, kalau nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika tinggi berarti secara keseluruhan kemampuan siswa dapat dikatakan tinggi. Begitu pula sebaliknya. Asumsi kedua, semua orang tua, siswa, guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan kota/kabupaten adalah orang-orang yang jujur, obyektif, terbuka dan siap menerima hasil ujian nasional apa adanya. Asumsi ini sangat penting. Ada satu saja di antara unsur-unsur ini yang tidak jujur alias curang, atau tidak terbuka, maka lagi-lagi, kebijakan ujian nasional dan standar kelulusannya tidak ada gunanya sebagai pendongkrak kualitas SDM. Asumsi ketiga, tim pemantau independen (TPI) dapat berfungsi dengan baik. Tugas TPI adalah menjamin agar pelaksanaan ujian nasional berjalan fair, obyektif dan jujur. Ini penting untuk mendukung asumsi yang kedua. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, seberapa kuatkah nilai kebenaran asumsiasumsi itu? Artinya, pada dataran realitas, apakah asumsi-asumsi itu bisa dipenuhi? Maaf, menurut hemat saya, berdasarkan penilaian subyektif saya, semua asumsi di atas sangat-amat lemah. Setidaknya dalam rentang tiga tahun yang telah berjalan ini. (Sumber: http://pendidikanyangdemokratis.blogspot.com/2007/06/ujian-nasional-sebagaiinstrumen.html. Diambil pada 18 Maret 201l) Ujian Nasional dan Cerita Lainnya Ujian Nasional untuk siswa sekolah SMA dan SMP akhirnya dilaksanakan juga. Meskipun tahun sebelumnya kontroversi tentang hal yang sama tak pernah selesai dengan jelas, sekarang silang sengkarut dalam kasus yang sama kembali menguras banyak tenaga. Yang juga berpotensi tak akan selesai dengan sempurna. Situasi Pendidikan Tanpa repot mencari data, memang situasi pendidikan di Indonesia dalam situasi yang tak menggembirakan. Banyak pakar pendidikan menyebutkan hal itu di media massa, seminarseminar, atau juga tv. Atau jika kita cukup rajin membaca koran, hampir setiap hari ada berita yang tak sedap tentang keadaan pendidikan di negeri kita. Bisa tentang fasilitas yang sangat jauh dari memadai, gedung sekolah yang tak lebih bagus dari kandang ayam, kurikulum yang setiap saat berubah, kesejahteraan guru yang tak layak, dan sekian banyak persoalan lain yang bertumpuk. Demikian gambarannya. Sudah barang tentu masalah ini perlu penyelesaian. Kita

rasanya tak punya nurani jika dengan senang hati memandang keadaan tersebut tanpa ada kegalauan bahwa itu harus diperbaiki. Namun pertanyaan besar yang menggelantung adalah bagaimana memperbaikinya? Ujian Nasional Mengapa ada Ujian Nasional. Saya tak punya jawaban akurat. Dari sekian banyak alasan tentang perlunya Ujian Nasional, kenyataannya salah satu alasan adalah untuk menentukan kelulusan siswa. Apakah tepat menjadikan UN sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa? Mari kita lihat pelajaran yang diujikan dalam UN untuk siswa SMA. Ada tiga pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Jika siswa bisa mencapai nilai minimal untuk ketiga pelajaran yang diujikan tersebut, maka berarti siswa lulus. Andaikan ada salah satu saja yang tidak melewati nilai batas, maka siswa dinyatakan tak lulus. Sederhana sekali bukan? Ya memang sederhana. Namun tak sederhana akibatnya. Evalusai Proses Belajar Sekarang kita loncat ke masalah evaluasi. Dalam proses belajar tentu saja diperlukan evaluasi. Jika tidak ada evaluasi, tentu kita tak bisa mengukur sejauh mana keberhasilan proses tersebut. Dari hasil evaluasi, lalu bisa diambil kebijakan yang berguna untuk memperbaiki hal yang belum sempurna, atau meningkatkan sesuatu yang sudah tepat di jalurnya. Dalam wilayah pendidikan, evaluasi merupakan sebuah aktivitas yang tak sederhana. Banyak elemen yang terkait di dalamnya. Evaluasi pendidikan bukanlah sebuah kalkulasi rumus matematika yang kaku. Ada aspek dalam pendidikan yang tak begitu saja bisa dikonversi ke dalam angkaangka. Jika kita kaitkan kembali ke Ujian Nasional yang menguji tiga pelajaran dalam waktu beberapa jam, lalu bisa dengan mudah diputuskan lulus tak lulusnya seorang siswa, sungguh naif rasanya kejadian ini. Jika saja kerangka berfikir yang digunakan adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya dalam sistem pendidikan, maka UN bisa menjadi alat yang membantu. Tapi jangan paksakan UN untuk menjadi pisau pemutus untuk kelulusan siswa. Sebenarnya tepat gagasan yang menyatakan bahwa UN cukup sebagai alat untuk memetakan keadaan pendidikan siswa. Lalu dari sana diambil kesimpulan yang mungkin untuk memperbaiki keadaan pendidikan yang tak layak. Adalah tepat jika yang menetukan kelulusan siswa adalah pihak sekolah. Di sanalah siswa menempuh pendidikannya dalam kurun waktu tertentu. Guru dan lingkungan sekolah yang mengetahui siswa lebih banyak. Hanya saja, hal ini juga menjadi isu yang panas. Misalkan saja pertanyaan berikut : Apakah sekolah bisa dengan baik menentukan kelulusan siswa? Bagaimana dengan standar kelulusannya? Apakah tidak akan ada manipulasi? Dengan kualitas pendidikan yang sekarang, bisakah sekolah menentukan kelulusan siswa? Lalu kita jatuh pada situasi "telur dan ayam". Banyak lingkaran setan yang tak pernah bisa diputus. Sementara kita berhenti di sini. (Sumber: http://daunsalam.net/umum/un.html. Dambil pada tangga 18 Maret 2010 ) 3. Kajian teoritis Ujian nasional merupakan alternatif sistem penilaian yang digunakan untuk mengukur, memetakan dan mengendalikan kualitas pendidikan secara nasional. Hukum pelaksanan UN diantaranya: Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Smp/Mts), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah

(SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala persiapan dilakukan oleh siswa, guru, dan pemerintah dalam menghadapi uian nasional. Persiapan siswa tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi juga di luar sekolah. Para guru sibuk memberikan les tambahan, dan latihan soal atau memberikan try out, dan pemerintah (Depdiknas) berusaha untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap UN yaitu dengan menegakkan kejujuran dalam penyelenggaraan ujian nasional. Bahkan dalam rangkaian Rembuk Nasional Pendidikan 2010 dilakukan penandatanganan Fakta Kejujuran pelaksanaan Ujian Nasional dengan para Kepala Dinas se-propinsi di Indonesia yang disaksikan para eselon I di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Selama ini kejujuran pelaksanaan ujian nasional memang masih rendah. Hal ini di jelaskan sendiri oleh menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh. Nuh, mengatakan bahwa di jenjang SMA/SMK/MA, dari jumlah peserta 1,516.891 siswa, capaian tingkat kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 baru mencapai 17,19% berkategori putih, 42,87% abu-abu, 39,95% hitam. Ujian nasional memang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Banyak tanggapan tentang UN diantaranya: 1. Perlu adanya standar norma pada penilaian Ujian Nasional . Standar mutlak yang diterapkan pemerintah dianggap tidak memberikan ukuran pendidikan yang valid. Penilaian standar pendidikan jangan standar mutlak, tapi standar norma seperti kejujuran dan budi pekerti. Selain standar mutlak yang diterapkan pemerintah saat ini juga membuat minder sebagian guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak di UN-kan 2. Ujian nasional belum mampu memetakan kemampuam siswa dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini dilihat dari tujuan pendidikan yang sebenarnya yaitu meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem solving), meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk verbal maupun tulisan, membentuk kepribadian yang baik, meliputi sikap-sikap yang sesuai dengan norma dan nilai kehidupan. Kalau memang sistem UAN bisa dikatakan untuk mengukur seberapa IQ kita, maka UAN setidaknya telah mewakili satu poin tujuan pendidikan, yaitu poin pertama meningkatkan kemampuan problem solving siswa. Tapi, itu pun kalau pesertanya jujur. Kenyataannya, 100% jujur tampaknya masih sangat sangat sulit untuk dicapai, sehingga UAN dapat disimpulkan tidak mencerminkan apa pun dari tujuan diadakannya pendidikan nasional. 3. Dalam proses belajar tentu saja diperlukan evaluasi. Dari hasil evaluasi, lalu bisa diambil kebijakan yang berguna untuk memperbaiki hal yang belum sempurna, atau meningkatkan sesuatu yang sudah tepat di jalurnya. Dalam wilayah pendidikan, evaluasi merupakan sebuah aktivitas yang tak sederhana. Banyak elemen yang terkait di dalamnya. Ada aspek dalam pendidikan yang tak begitu saja bisa dikonversi ke dalam angka-angka. Sangat tidak adil rasanya keputusan lulus atau tidak lulusnya siswa hanya diukur dari Ujian Nasional yang menguji tiga pelajaran dalam waktu beberapa jam. 4. Dengan adanya UN lembaga pendidikan yang dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mendidik peserta didik, seperti yang diamanatkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yakni disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan satuan pendidikan sama sekali tidak berarti karena ujung-ujungnya dipaksa untuk fokus pada UN. Seperti sudah dipahami semua, kebijakan UN kontradiktif dengan jiwa atau roh KTSP bahwa performance atau kualitas sekolah hanya ditentukan oleh hasil UN dan ini tidak menarik lagi untuk diamati. 5. UN tidak selayaknya dijadikan ukuran mutu pendidikan, terlebih bila tidak dilengkapi evaluasi pendampingan UN bagi tiap sekolah atau satuan pendidikan.

6. UN merupakan alat untuk memacu semangat belajar siswa. UN sebagai dasar penentu kelulusan di mana standar kelulusan selalu dibuat naik, akan mendorong siswa untuk belajar makin rajin. Intinya UN sebagai penyaring siswa yang layak lulus dengan yang tidak layak lulus. 7. Masih banyak kecurangan-kecurangan dalam ujian nasional baik dari pihak siswa maupun guru. Bahkan pemerintah setempat menargetkan angka kelulusan yang tinggi walaupun dengan menabrak rambu-rambu aturan. 8. Standar kelulusan (UN) sekolah di pelosok seharusnya tidak disamakan dengan sekolah di perkotaan yang memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai. Akan tetapi jika kelulusan ditentukan oleh sekolah maka sekolah akan cendrung meluluskan semua siswanya dengan angka kelulusan 100%. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan ebtanas sebelum berlakunya UN. Sekolah tidak malu memasang standar kelulusan rendah asalkan semua siswanya lulus. Hal ini mengurangi kepercayaan pemerintah terhadap institusi sekolah dalam turut mendukung peningkatan kualitas lulusan. Pemerintah sudah tidak lagi percaya terhadap itikad baik institusi sekolah dalam mendukung upaya peningkatan kualitas SDM. Sehingga diadakan ujian nasional dengan standar yang ditentukan oleh pemerintah. Ujian nasional sebenarnya mampu mengantarkan bangsa Indonesia kepada kondisi yang makin maju dalam hal kualitas SDM, tapi dengan sejumlah asumsi. Pertama, kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diujikan itu bisa merepresentasikan semua kemampuan siswa sebagai hasil belajarnya. Artinya, kalau nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika tinggi berarti secara keseluruhan kemampuan siswa dapat dikatakan tinggi. Begitu pula sebaliknya. Asumsi kedua, semua orang tua, siswa, guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan kota/kabupaten adalah orang-orang yang jujur, obyektif, terbuka dan siap menerima hasil ujian nasional apa adanya. Asumsi ini sangat penting. Jika ada satu di antara unsur-unsur ini yang tidak jujur , atau tidak terbuka, maka kebijakan ujian nasional dan standar kelulusannya tidak ada gunanya sebagai pendongkrak kualitas SDM. Asumsi ketiga, tim pemantau independen (TPI) dapat berfungsi dengan baik. Tugas TPI adalah menjamin agar pelaksanaan ujian nasional berjalan fair, obyektif dan jujur. Ini penting untuk mendukung asumsi yang kedua.

You might also like