You are on page 1of 30

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. DAFTAR ISI........................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN............................................................................ A. Latar Belakang Masalah ............................................................ B. Rumusan Masalah...................................................................... C. Tujuan dan Manfaat................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................

i ii iii 1 1 2 2 3 3 4 5 13 14 15 16

A. Pengertian Penyakit Lupus..........................................................


B. Etiologi dan pathogenesis Lupus.................................................

C. Gejala dan diagnosis Lupus........................................................ D. Pemeriksaan antibodi pada Lupus..............................................


E. Macam-macam Penyakit Lupus.................................................. F. Mekanisme Imunologis Pada Penyakit lupus.............................. G. Gangguan Imunologis Pada LES.................................................

H. Pengaruh Lupus pada kehamilan............................................. I. Eksaserbasi Lupus Pada kehamilan............................................. J. Penatalaksanaan Lupus pada kehamilan................................. K. Prognosis Lupus..................................................................... .
BAB III PENUTUP.........................................................................................

17
19

20 23
25 25 26

A. Kesimpulan................................................................................. B. Saran-saran.................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Lupus Eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan ekuaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam auto antibodi dalam tubuh. (medicastore,2004) SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan penyakit autoimun organ spesifik (misalnya diabetes mellitus tipe 1, miastenia gravis, penyakit graver, dsb) dimana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinis. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan dalam melawan infeksi. Pada penyakit lupus dan penyakit auto imun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Lupus bisa berdampak pada semua organ tubuh dari kulit, paru-paru, jantung, ginjal, saraf, otak maupun sendi dan menimbulkan kematian. Lupus bisa mengenal siapa saja dari berbagai usia dan kalangan. Bahkan lupus sama bahayanya dengan kanker, jantung maupun AIDS. Penyakit lupus memang belum sepopuler penyakit jantung, kanker, dan lainnya. Padahal penderita lupus di Indonesia ini cukup banyak dan semakin meningkat. Hingga kini, lupus memang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Selain itu, lupus sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah karena penyakit ini menyerupai penyakit lain. Sayangnya, bagi masyarakat penyakit lupus ini masih sangat awam. Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit otoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki laki 5 : 1, 2

dengan demikian terdapat peningkatan kejadian kehamilan dengan LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi didapatkan di negara Cina dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia, RS Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April 2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES (Setyohadi,2003). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. 2. lupus ? 3. 4. 5. C. Tujuan dan Manfaat Dalam rumusan masalah di atas terdapat beberapa tujuan dan manfaat diantaranya : 1. ditimbulkan lupus. 2. lupus. 3. degan lupus Menambah informasa tentang pengaruh kehamilan Menambah pengetahuan dan wawasan penyakit Memberikan informasi tentang bahaya yang Apa saja macam-macam penyakit lupus ? Apa yang menyebabkan timbulnya penyakit lupus ? Bagaimana kehamilan yang disertai Lupus? Apa yang dimaksud dengan penyakit lupus ? Apa saja diagnosa dan gejala-gejala dari penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Penyakit Lupus Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh (nusaindah.2004). Lupus atau istilah kesehatannya disebut systemic lupus erythematosus adalah sejenis penyakit auto-imun. Tak seperti penderita penyakit HIV/AIDS yang kehilangan sistem kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sistem kekebalan tubuh atau antibodi penderita justru hiperaktif dan balik menyerang organ tubuh yang sehat. (Suara Karya,2006) Lupus juga dikenal dengan penyakit seribu wajah, karena gejalanya bermacam-macam, dari satu penderita ke penderita lainnya tidak sama sehingga sulit dikenali. Akibatnya, seringkali terlambat mendiagnosanya. Penyakit yang dijuluki "peniru ulung" ini biasa menyerang wanita produktif dan penderitanya disebut odapus. Meski kulit wajah penderita Lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul ruam-ruam merah dan bercak-bercak merah, penyakit itu tidak menular. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) digambarkan pertama kali oleh Cazenave dan Clausit di tahun 1852. Pada awal abab ke-20 William Osler dkk menggambarkan berbagai bentuk klinis yang melibatkan sendi, ginjal dan susunan syaraf pusat. Di tahun 1948 Hargreaves pertama kali menemukan sel LE tetapi antibodi antinuklear baru ditemukan oleh Friou dkk dengan bantuan teknik imunofluoresen di tahun 1957-1958. Penyakit ini terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 6-10:1. 4

SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponenkomponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multisistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan, genetik dan hormonal. Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibodi. Autoantibodi tersebut ada yang digunakan sebagai petanda penyakit, ada pula autoantibodi yang berperan pada patogenesis dan kerusakan jaringan. Autoantibodi yang berkaitan dengan patogenesis dan kerusakan jaringan ini umumnya berkaitan pula dengan manifestasi klinis. Metode pemeriksaan antibodi juga perlu diperhatikan karena masing-masing metode tersebut mendeteksi antibodi yang mempunyai isotipe serta afinitas tertentu yang berbeda antara metode satu dengan yang lainya. Idealnya suatu pemeriksaan bersifat spesifik, sensitif serta mempunyai nilai prediksi positif dan negatif yang tinggi. Selain itu juga mampu mencerminkan aktivitas penyakit, berkorelasi dengan keterlibatan organ / manifestasi klinis atau dapat memprediksi kekambuhan. Hingga saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang memenuhi kriteria tersebut karena peningkatan spesifisitas umumnya diikuti oleh penurunan sensitivitas, selain itu beberapa gambaran klinik pada SLE tidak diperantarai oleh antibodi. B. Etiologi dan pathogenesis Lupus Etiologi dan patogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas meskipun demikian terdapat banyak bukti, ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Kerusakan jaringan disebabkan oleh autoantibodi, kompleks imun dan limfosit T. Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, suseptibiltas LES tergantung oleh gen yang multipel. Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang 5

abnormal dengan segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, 1020% pasien penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA- DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplementelah terbukti. Gen-gen lain yang berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin. Sistem neuroendokrin dalam beberapa penelitian berhasil ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada SLE, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktivasi sel B poliklonal. Di dalam tubuh sebenarnya terdapat kelompok limfosit yang reaktif terhadap antigen sendiri, baik sel limfosit B yang memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat sitotoksik terhadap diri sendiri. Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit T supresor. Kegagalan mekanisme kendali ini mengakibatkan terbentuknya autoantibodi yang kemudian mengakibatkan terbentuknya autoantibodi yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan jaringan. Komplek antigen antibodi ini mengaktifasi sistem komplemen dan pelepasan mediator peradangan dengan akibat permiabilitas kapiler meningkat, kemotaksis neuropil dansel fagositosis lain dan mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan. Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil mengeluarkan mediator yang meningkatkan reaksi peradangan. Antibodi dan komplemen yang melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh fagosit dan sel Killer. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Dalam keadaan normal, kompleks imun dimusnakan oleh sel fagosit mononuklear, terutama dihati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor 6

yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnakan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnakan, karenanya dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada disirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks tersebut mengendap dijaringan. Terjadinya pengendapan kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan oleh pelepasan histamin. Kompleks imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat dengan tekanan darah yang tinggi yang disertai turbulensi , misalnya dalam kaviler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan dan siliar mata. dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. C. Gejala-gejala atau Diagnosa Penyakit Lupus 1. a. Kelelahan Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. b. Penurunan berat badan Keluhan ini dijumpai pada sebagaian penderita LES dan terjadi pada beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan oleh gejala gastrointestinal. c. Demam Gejala-gejala penyakit lupus

Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai mengigil. d. Lain-lain Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, sakit kepala, mual dan muntah. e. Manifestasi musculoskeletal Keluhan musculoskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhana dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (artragia) atau merupakan suatu arthritis dimana tmpak adanya inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada Les, keterlibatan sendi pada umumnya tidak akan menyebabkan deformitas. f. Manifestasi kulit Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagaian dari LES dapat berupa suatu reaksi fotosensitifitas,discoid LE (DLE), subacute cuataneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus/paniculitis, alopesia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo retikularis, telangiektasia, fenomena Raynauds dan lain-lain. g. Manifestasi paru Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bacterial. Apabila terjadi keraguan untuk diagnosis dapat dilakukan 8

tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Pneumionitis lupus memberikan respons yang baik terhadap pemberian kortikosteroid. h. Manifestasi Kardiologi Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah pericardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri Substernal,friction rub, silhouette sign pada foto dada, ataupun melalui gambaran EKG dan ekokardiografi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pektoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering ditemukan. i. Manifestasi Renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita kejadian ini (10:1) dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik. Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. j. Manifestasi gastrointestinal Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan leterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis vasculitis,tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric inflammatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati k. Manifestasi neuropsikiatrik Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinisnya begitu luas. Kelainan ini dikelompokan sebagai 9

manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakan diagnosis LES. Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan lesi pada susunan syaraf tepi dapat bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multipleks. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik maupun non organik. l. Manifestasi hemik-limfatik Limfadenopati baik menyeluruh maupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES. Organ Limfoid lain yang sering terkena adalah limfa yang biasanya disertai pembesaran hati. Kelainan hematologik sangat bervariasi dan bahkan dapat menyerupai gangguan darah perifer. Anemia dapat dijumpai pada satu periode dalam perkembangan penyakit LES m. Kelainan obstetri 1. Kematian janin Mekanisme dari kematian janin ini belum jelas, namun diduga berhubungan dengan disfungsi plasenta dan peningkatan yang tidak dapat dijelaskan dari alfa fetoprotein serum pada wanita hamil. Pada tiga penelitian retrospektif, kematian janin dikatakan berkisar 22,31 dan 10,5%. Petri dan Allbritton melakukan suatu penelitian retrospektif berskala besar yang melibatkan wanita dengan kehamilan normal dan LES. Didapatkan bahwa angka kematian janin pada wanita hamil dengan LES lebih tinggi secara bermakna (21%) dibandingkan dengan wanita hamil tanpa LES (14%). Pada penderita LES, kematian janin dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Pada sebuah penelitian yang 10

melibatkan 21 orang wanita dengan LES, didapatkan bahwa antibodi antifosfolipid merupakan indicator yang paling sensitiv untuk kematian janin. Pada penelitian kedua yang dilakukan oleh peneliti yang sama dijumpai bahwa antifosfolipid ada pada 10 atau 11 wanita dengan kematian janin, dan nilai prediksi positif antibodi antifosfolipid adalah diatas 50%. Penelitian lain menyebutkan bahwa adanya antibodi antifosfolipid dan riwayat kematian janin memberikan angka prediksi kematian janin diatas 85% pada wanita LES Beberapa penulis percaya bahwa suatu penyakit ginjal yang menyertai LES mempunyai efek terhadap kelangsungan kehidupan janin. Derajat kerusakan ginjal juga merupakan suatu aspek yang penting. Hayslett dan Lynn menemukan bahwa kreatinin serum > 1,5mg/dl, digolongkan pada insufisiensi ginjal sedang-berat, dihubungkan dengan kematian janin 50% pada 10 kasus 2. Persalinan preterm Persalinan preterm nampaknya terjadi lebih sering pada penderita LES dibandingkan wanita dengan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang mencatat usia kehamilan pada saat kelahiran, didapatkan nilai median dari 30% kelahiran adalah sebelum 37 minggu (kisaran 3-73%). Sebenarnya ada banyak factor perancu lain seperti adanya tendensi ahli kebidanan untuk melahirkan janin yang telah dianggap matur secepatnya. Persalinan preterm pada LES nampaknya dikaitkan dengan kejadian SLE flare . Pada suatu penelitian kasus kontrol berskala besar, didapatkan hasil bahwa persalinan preterm lebih sering pada kelompok LES dibandingkan dengan kontrol (12% vs 4%) . Sebagai tambahan, pecah ketuban sebelum waktunya lebih sering dijumpai pada kehamilan dengan penyulit LES. 3. Kelainan Pertumbuhan Janin 11

Berdasarkan kenyataan bahwa wanita hamil penderita LES dapat mengidap preeklampsi, sindroma antifosfolipid atau keduanya, tidaklah mengejutkan bila terjadi kejadian kelainan pertumbuhan janin. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Mintz dkk., menemukan bahwa 20 dari 86 (23%) kehamilan diatas 20 minggu menghasilkan janin dengan kelainan pertumbuhan, termasuk 4 kasus kematian janin. Hanya 4% dari kelompok kontrol yang melahirkan janin dengan gangguan pertumbuhan. 2. Diagnosa Penyakit Lupus Pada tahun 1982, para dokter di The American Rheumatism Association (ARA) menemukan terdapat 11 gejala serta tanda yang akan membedakan lupus dari penyakit lainnya. Untuk seorang dokter dapat mendeteksi lupus, seorang pasien harus memiliki paling tidak 4 atau lebih gejala-gejala di bawah ini selama suatu waktu dari masa penyakitnya itu berjangkit, diantaranya : 2.1. Ruam (rash) di daerah malar Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di daerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis. 2.2. Lesi diskoid Lesi ini berupa bercak eritematora yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks. 2.3. Fotosensitivitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter. 2.4. Ulserasi mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter. 2.5. Artritis Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi. 12

2.6. Serositis a. b. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura. bunyi gesekan perikard atau adanya efusi perikard. 2.7. Kelainan ginjal a. b. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+ Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin

granular, tubular atau campuran 2.8. Kelainan neurologis a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit. b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. 2.9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis b. Leukopenia, kurang dari 400/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih. c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih. d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin menyebabkannya. 2.10. Kelainan imunologi a. Adanya sel LE. b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-ds DNA) dengan titer abnormal. c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.

13

d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi treponemapallidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi treponema. 2.11. Antibodi antinuklean Titer abnormal antibodi anti nuklean yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat. (medicastore,2004) Diagnosis luput tidak mudah dan tidak ada tes tunggal. Jika penderita mengeluhkan sejumlah gejala yang mengarah ke lupus, dokter akan minta pemeriksaan laboratorium terhadap kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit juga antibodi seperti antinuclear antibodi (ANA), anti double stranded DNA (antids DNA), protein C3 dan C4, serta pemeriksaan urine.(Kompas, 2007) D. Pemeriksaan antibodi pada Lupus Diagnosis LES didasarkan pada gejala klinis yang mendukung, dipastikan dengan adanya autoantibodi yang ada dalam sirkulasi, banyak sekali autoantibodi yang telah dikenal dan berhubungan dengan LES . Autoantibodi yang baik dalam mendiagnosis LES adalah yang berhubungan langsung terhadap nuclear antigen, yaitu antinuklear antibodi (ANA). Fenomena sel LE tidak lagi penting dalam diagnosis LES, telah digantikan dengan imunofluorescent assays for ANA. Nilai ANA yang positif dapat diinterpretasikan pada berbagai tingkatan tergantung pola ikatannya. Empat pola dasar ikatan tersebut adalah homogenous,peripheral,speckled dan nucleolar. Ikatan homogenous ditemukan pada 65% penderita LES, sedangkan ikatan peripheral adalah ikatan yang paling spesifik untuk LES walaupun tidak terlalu sensitive. Pola ikatan speckled dan nucleolar lebih spesifik terhadap penyakit autoimun yang lain. Antibodi terhadap double stranded (native) DNA (dsDNA) adalah yang paling spesifik terhadap LES dan ditemukan pada 80-90-% penderita yang tidak diobati. Kehadiran ataupun titer anti -dsDNA dikaitkan dengan aktifitas LES beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan titer anti-DNA mendahuluin lupus flares pada lebih dari 80% penderita peningkatan kadar 14

antibodi ini telah dikaitkan dengan eksaserbasi penyakit dan prematuritas dalam kehamilan. Antibodi terhadap single-stranded DNA (ssDNA) juga ditemui pada persentase yang cukup tinggi pada penderita LES yang tidak diobati, tetapi kurang spesifik jika dibandingkan dengan anti-ds DNA. Penderita LES j(nRNP), Ro/SSA juga mempunyai antibodi terhadap RNA yang meliputi Sm antigen, nuclear ribonucleoprotein (nRNP),Ro/SSA antigen dan La/SSB antigen.5,11 E. Macam-macam Penyakit Lupus Menurut jenisnya, lupus dibagi menjadi 3 macam yaitu : 3.1. Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik (lupus eritematosus disseminata) adalah penyakit auto imun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian, dan organ dalam. SLE biasanya lebih parah dibandingkan dengan diskoid. Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Organ yang terkena tidak terbatas pada gangguan kulit dan sendi, tetapi juga pada organ yang lain seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ atau jaringan lain yang terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak aktif (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif (flare). 3.2. Lupus Eritematosus Diskoid Lupus eritematosus diskoid adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan pembentukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kepala, dan kadang pada bagian tubuh lainnya. Lesi (kelainan) kulit ini tampak sebagai bercak kemerahan yang bersisik dan berkeropeng, yang jika membaik akan meninggalkan jaringan parut berwarna putih. Bagian tengahnya berwarna lebih terang dan bagian pinggirnya berwarna lebih gelap dari kulit yang normal. Jika lesi timbul di daerah yang berambut (misalnya dagu atau kulit kepala), maka bisa terjadi pembentukan jaringan parut yang permanen dan kerontokan rambut.

15

3.3. Lupus Obat Lupus obat umumnya berkaitan dengan pemakaian obat hydralazine (obat hipertensi) dan procarnamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur). Hanya saja, Cuma 4% dari orang yang mengkonsumsi obat-obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4% itu pun sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. F. Mekanisme imunologis pada kehamilan normal Bertahannya alograf janin in utero pada kehamilan normal diduga terjadi akibat terbentuknya toleransi maternal terhadap alograf janin yang merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor seperti peranan plasenta, aktivitas sistem imunitas janin, imunitas seluler dan humoral maternal, blocking faktors maternal dan janin dalam kehamilan Plasenta merupakan sawar selektif terhadap perlintasan sel imunokompeten dan faktor humoral antara ibu dan janin. Diduga plasenta merupakan suatu organ penyerap imunologik, yang tertama berperanan dalam melakukan pembersihan antibodi maternal yang dapat menyebabkan pembentukan dan pengendapan kompleks imun atau antibodi sitotoksik terhadap antigen janin. Plasenta juga mengikat dan menginaktivasi antibodimaternal terhadap berbagai antigen paternal seperti antigen kompleks selaras jaringan utama (MHC antigen) paternal yang melintasi plasenta. Dengan demikian semua antigen maternal, kompleks imun dan agregat IgG yang melintasi lapisan trofoblas plasenta akan dieliminasi oleh makrofag janin. Perubahan imunitas humoral maternal pada kehamilan normal juga berperanan dalam mencegah terjadinya penolakan alograf janin. IgG calon ibu dalam kehamilan normal dapat menghambat sifat limfositotoksis maternal terhadap sel trofoblast janin. Peningkatan kadar hormon progesteron, estrogen, kortisol, human chorionic gonadotropin (hCG) dan somatotropin dapat menghambat imunitas seluler pada pertemuan (interface) antara janin dan ibunya. Hormon estrogen dan progesteron kehamilan diduga bersifat imunosupresif secara lokal pada situs plasenta, sedangkan hCG dapat menghambat proliferasi limfosit. Terbentuknya faktor penghambat dalam kehamilan serum pregnancy blocking 16

factors (SPBF) merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang telah diketahui berpengaruh dalam melindungi fetus dalam penolakan sistem imunitas maternal. SPBF terdiri dari berbagai protein seperti yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Sistem imunitas janin juga berperanan dalam menghambat pengaruh antibodi maternal. Mekanisme ini diduga terjadi karena terdapatnya suatu soluble suppressor factor yang disekresi oleh sel T penekan janin yang melintasi plasenta dan masuk kedalam sirkulasi ibu untuk menekan antibodi maternal. Selain itu feto protein (AFP) juga diduga memiliki sifat imunosupresif dan dapat mengaktivasi selT penekan janin G. Gangguan imunologis pada LES Pada penderita LES, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan aktifitas sel T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan peningkatan proliferasi dan aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas respon imunitas humoral. Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan terjadinya produksi auto antibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen tubuh sendiri seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel mononuklear (MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai bentuk molekul antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan phospolipid. Autoantibodi yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan terbentuknya komplek imun. Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan amina vasoaktif seperti histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan 17

permeabilitas vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriol. Peningkatan permeabilitas vaskuler ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan kompleks imun pada sel endotel arteri dan arteriol jaringan yang selanjutnya akan menginduksi terjadinya agregasi trombosit membentuk mikro trombus pada jaringan kolagen membran basalis sel endotel. Sel radang seperti PMN, MN, basofil, dan sel mast, yang tertarik kearah lesi oleh peptida kemotaktik komplemen, tidak mampu untuk melakukan fagositosis terhadap seluruh endapan komplek imun ini dan akan membebaskan enzim lisosomal yang merupakan mediator inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan vaskuler yang lebih jauh. Pada LES aktif dapat dijumpai infiltrasi perivaskuler oleh sel MN. Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membran atttack complex yang akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas seluler dan humoral pada calon ibu penderita LES, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap membran fosfolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai antibodi antifosfolipid . Terdapat dua jenis APL yang berperan penting dalam LES yaitu lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL). Kedua jenis antibodi ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus habitualis pada wanita hamil tampa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas yang jelas. Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa tejadinya abortus spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis desidual plasenta, diatesis trombotik akibat pengaruh LAC dan aCL, trobositopenia serta hipokomplementemia pada calon ibu penderita LES. Kelainan diatas akan menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, hematoma intra plasenta, dan penebalan membran basalis trofoblast yang akan menggagu aliran darah kearah plasenta sehingga menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus atau kematian janin. Wanita penderita LES juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum 18

meraka sadari. SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari antibodi igM terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La (SSB) dan Anti-RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah lesi kutaneus lupus sub akut yan g bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung kongenital relatif jarang dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat dijumpai dapat pula dijumpai manifestasi kelainan tersebut secara bersamaan. H. Pengaruh LES pada kehamilan Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi reproduksinya, dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita LES lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal. Kelainan organ vital merupakan kontra indikasi bagi wanita penderita LES untuk hamil. Dengan meluasnya cara penatalaksanaan LES seperti yang umum digunakan sekarang, prognosa penderita LES saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat. Walaupun pada eksaserbasi LES selama kehamilan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu terutama pada masa peripartum. Prognosa ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada pada saat konsepsi, bila konsepsi pada masa tenang prognosanya lebih baik. Hal ini bisa dicapai dengan manipulasi terapetik selama beberapa bulan sebelum konsepsi. Selama itu dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat.Pada pendrita LES yang ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan. Kontrasepsi yang efektif merupakan hal yang sangat penting, kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi LES, mengingat estrogen juga dapat menimbulkan tromembolik dan membentuk antibodi antikardiolipin. penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak dianjurkan karena kemungkinan timbulnya infeksi . Kontrasepsi yang aman adalah preparat oral progesteron murni, kondom, atau diafragma.

19

Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak dianjurkan pada penderita LES, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi klinis pascaabortus, bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus dilakukan sedini mungkin. Pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan. I. Eksaserbasi LES pada kehamilan Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi reprodiksinya, dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya sudah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada penderita LES lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal. Deteksi LES pada kehamilan kadangkala sulit dikarenakan manifestasi klinis yang khas dari penyakit ini dapat merupakan temuan normal pada wanita yang sedang hamil. Sebagai contoh, adanya preeklamsia pada wanita hamil dapat mengacaukan eksarsebasi LES pada kehamilan. Kelainan organ vital ,erupakan kontraindikasi bagi wanita untuk hamil. Walaupun demikian, dengan bertambah baiknya penatalaksanaan LES, prognosis penderita LES jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lalu Dari berbagai laporan dapat diketahui bahwa 10% dari penderita LES aktif masih dapat mengalami kehamilan. Walaupun demikian terjadinya eksarsebasi LES selama kehamilan dan menyebabkan bertambah tingginya tingkat mortalitas dan morbiditas ibu terutama pada masa peripartum. Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksarsebasi LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu past partum. Beberapa ahli mengganggap bahwa kehamilan mempresipitasi timbulnya LES, dimana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut secara bermakna lebih tinggi. Hal ini merupakan alsan sebagian ahli bahwa penderita dengan LES tidak diperbolehkan untuk hamil. Dewasa ini para klinisi menganggap bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, dimana diagnosis dan penatalaksanaan LES saat ini telah lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa 150605 wanita dengan LES akan mengalami eksarsebasi selama kehamilan dan masa post partum. 20

Lockshin dkk Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian eksarsebasi LES dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda yang spesifik untuk LES, maka kejadiannya hanya 13%. J. Penatalaksanaan LES pada kehamilan 1. Masa pra kehamilan Idealnya wanita dengan LES yang ingin hamil harus terlebih dahulu menjalani konseling pra kehamilan. Pada saat itu harus dijelaskan masalah obstetri yang akan timbul jika wanita tersebut hamil, termasuk resiko kematian janin, persalinan preterm, preeklampsi dan gangguan pertumbuhan janin. Perhatian khusus juga diberikan terhadap kemungkinan timbulnya sindroma antifosfolipid dan lupus neonatal. Penderita yang hendak hamil harus berada dalam fase remisi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan sitotoksik dan OAINS sebelum terjadi konsepsi,juga harus dinilai apakah penderita menderita anemia, trombositopenia, penyakit ginjal dan antibodi antifosfolipid.5,15,16,17 2. Prenatal Penderita LES yang hamil harus melakukan pemeriksaan ke ahli kebidanan setiap 2 minggu pada trimester satu dan dua, dan setiap minggu setelahnya. Pada setiap kunjungan, penderita harus dianamnesis mengenai gejala atau tanda aktivitas LES. Penatalaksanaan optimal tidak harus memerlukan evaluasi serologis untuk hipokomplementania, kompleks imun yang bersirkulasi atau sekadar autoantibodi, selama penderita asimtomatik. Mondalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria dan imunosupresan. Akan tetapi untuk penggobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak memberikan penggobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktivitas LES. Kortikosteroid 21

Kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting dalam pengobatan LES pada kehamilan. Tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami eksarbasi selama kehamilannya sampai pada masa postpartum. Jika penderita LES mengalami eksarsebasi akut selama masa kehamilan, penggunaan kortikosteroid dalam dosis adekuat harus segera diberikan sampai 6 bulan postpartum untuk menekan aktivitas penyakit. Penggunaan kortikosteroid tertentu seperti prednison, prednisolon, hisrokortison dan kortisol dalam jangka panjang oleh ibu selama hamil umumnya relativ aman dalam kehamilan. Diperkirakan hanya 10% dari dosis yang diterima oleh ibu akan melintasi plasenta dan sampai kepada janin. Sedangkan penggunaan deksametason dan beta metason hendaknya dihindari penggunaannya selama kehamilan dikarenakan kemampuannya yang lebih besar dalam melintasi plasenta. Pemberian steroid juga akan menstimulasi pematangan paru janin pada janin yang preterm. Pada wanita hamil yang hanya menunjukkan gejala konstitusional yang ringan atau yang tidak menunjukkan keterlibatan organ vital, misalnya arthritis, ruam kulit ataupun alopesia umumnya hanya memerlukan terapi prednison oral 5-15 mg/hari. Untuk penderita yang mengalami demam, serositis, flebitis dan miositis, dapat diberikan prednison 15-45 mg/hari, Untuk pengobatan kelainan organ vital yang aktif seperti nefritis dan selebritis, diperlukan prednison oral dosis tinggi sebesar 1mg/kg/bb/hari atau 60-80 mg/hari. Untuk penderita yang tidak memberikan respon dapat diberikan metilprednisolon 100 mg intravena setiap 4-8 jam. Jika 24-48 jam keadaan tidak membaik, maka dosis metilprednisolon dapat ditingkatkan sampai 25-100% dari dosis awal. Pada keadaan dimana terdapat kegawatan dimana efek sistemik yang berat dapat diberikan steroid dengan dosis yang sangat tinggi dalam wkatu singkat. Cara ini dikenal sebagai pulse steroid therapy, walaupun umumnya efektif tetapi cara ini akan memberikan 22

efek samping yang berbahaya. Steroid dosis tinggi juga diberikan pada penderita LES yang akan menjalani seksio sesaria, dapat diberikan metilprednisolon intravena sampai 48 jam pasca operasi untuk kemudian dilakukan tapering off. Salisilat dan OAINS Penggunaan salisilat seperti yang dilaporkan oleh Lewis dan Schulman (1973) akan menyebabkan postmaturitas, persalinan yang lama dan perdarahan yang relativ yang lebih banyak selama persalinan jika diberikan dalam dosis lebih dari 50 mg selama 6 bulan. Tuner dan Collins dalam penelitiannya menunjukan peningkatan bayi berat lahir rendah pada penggunaan aspirin. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh jick dkk,justru memberikan hasil yang sebaliknya, dikatakan bahwa pemberian aspirin selama kehamilan relativ aman. Aspirin dosis rendah profilaktik antikoagulasi sangat berguna pada penderita ini. OAINS juga memiliki efek yang relative sama terhadap kehamilan dalam derajat yang bervariasi . Penggunaan OAINS sedapat mungkin dihindari selama kehamilan dikarenakan dapat menyebabkan penutupan duktus arteriosus in utero. Antimalaria Penggunaan antimalaria tidak dianjurkan, walaupun efek samping yang terjadi dilaporkan sangat jarang. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari dapat digunakan dengan aman selama kehamilan. Jika antimalaria tidak menunjukkan hasil yang baik setelah digunakan selama 6 bulan, maka antimalaria dihentikan penggunaannya. Jika penggunaannya memberikan respon yang baik,penghentian secara mendadak akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas LES, yang merupakan suatu keadaan yang harus dihindari pada penderita LES yang mengalami kehamilan. Golongan imunosupresan Penderita LES yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan antimalaria dapat dicoba dengan penggunaan 23

golongan imunosupresan. Yang banyak digunakan adalah azathioprine (Imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan/Endoxan). Penggunaan Azathioprin selam kehamilan masih merupakan kontroversi. Obat ini akan melewati plasenta dan memberikan efek janin. Walaupun dilaporkan bahwa tidak bersifat teratogen, tetapi akan sangat mempengaruhi sistim imunitas janin. Dosis insial harian berkisarantara 100-200 mg.hari yang diberikan bersama dengan kortikosteroid. Dosis dikurangi jika dijumpai perbaikan secara klinis. Penggunaan siklofosfamid selama kehamilan tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan efek tetratogenik pada janin. Diberikan hanya jika keadaan penyakit sangat mengancam ibu. Pemberian biasanya digunakan bersamaan dengan kortikosteroid dan dengan cara pulse therapy. Dosis yang diberikan adalah 750-1000 mg/m2 permukaan tubuh bersama dengan kortikosteroid dosis tinggi setiap 3 minggu sampai 3 bulan. K. Prognosis Lupus A. Terhadap kehamilan Terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas pada janin, terjadi abortus rekuren dan kematian janin. Kini telah ditmukan bukti bahwa prognosa bisa diperbaiki dengan pemberian aspirin dosis rendah ( sekitar 75 mg ) diberikan bersama dengan prednisone 20-80 mg perhari. Gant(1986) melaporkan peningkatan bayi lahir hidup dari 6 menjadi 80 persen dengan pengobatan tersebut Lubbe(1985) menganjurkan pengobatan hanya diberikan pada wanita dengan riwayat kematian janin. B. Terhadap ibu Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Pemakaian preparat kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik pada penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana, pemakaian obat imunosupresif, dan penggunaan antibiotic, antihipertensi, dialysis serta transplatasi ginjal lebih memperpanjang survival rate lagi. Survave rate 5 tahun sebersar 50 % pada tahun 1954 menjadi 95% pada tahun 1976. Angka ini 24

tidak banyak berubah sampai sekarang . Kematian paling sering terjadi karena komplikasi pada ginjal dan susunan syaraf pusat.

25

BAB IV PENUTUP

A. 1.

Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Tanda dan gejala penyakit lupus bervariasi, tidak khas, dapat timbul mendadak atau perlahan, spontan maupun dengan faktor pencetus. 2. Bentuk penyakit lupus ada tiga macam yaitu cutaneus lupus atau diskoid yang mempengaruhi kulit, Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh, Drug Induced Lupus (DIL) yang timbul karena menggunakan obat-obat tertentu. 3. 4. Faktor penyebab timbulnya Dibidang obstetri penyakit lupus adalah adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus. LES dapat menyebabkan serangkaian kelainan berupa kematian janin, persalinan prematur dan gangguan pertumbuhan janin. 5. 6. 7. obat penekan kekebalan tubuh. Penangganan Penderita LES dengan dalam LES kehamilan meliputi konseling pra konsepsi dana prenatal. dimungkinkan untuk hamil asalkan penyakit dalam keadaan tenang. Pengobatan penyakit lupus dengan menggunakan obat anti radang, non steroid, kortikosteroid, dan

B. 1.

Saran Berdasarkan kesimpulan di atas penulis dapat memberi saran kepada : Penderita agar melakukan berbagai upaya untuk mengobati penyakit lupus meskipun membutuhkan waktu yang lama untuk kesembuhan penyakit tersebut. 26

2.

Pembaca agar lebih berhati-

hati dalam menjaga kesehatannya serta menghindari faktor penyebab timbulnya penyakit lupus dengan cara monitoring teratur, foto proteksi, dan lain sebagainya. II. III. IV. V. 21. Mackay IR. Autoimmunity in relation to lupus erythematosus. In. Dubois EL, Duboiss lupus Erythematosus 4th ed, Philadelphia: Lea and Febenger, 1987;44-52 In: Dubois EL. Duboiss Lupus Erytematosus 4th ed. Philadelphia: Lea and febinger, 1987;15-32 VI. Ames RRJ, Hughes GRV. Antiphospholipid antibodi syndrome : clinical and therapeutic aspects. Rheumatology Highlights. XIIIth European Congress of Rheumatology. 1995 VII. Anonim, Lupus Antibody yang Menyerang Tubuh Sendiri DAFTAR PUSTAKA

(www.nusa_indah.tripod.com/13/9/2007) VIII. Anonim, Lupus Eritematosus Sistemik

(www.medicastore.com/13/9/2007) IX. X. Anonim, Odapus, (www.news@indosiar.com/13/9/2007) Baratawidjaya KG. Aspek imunologis dan peranan pemeriksaan autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik. Maj Kedok Indones 1996; 46: 383-384 XI. Baratawidjaya KG. Imunologi dasar. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 1996:84-7 XII. Belmon HM. Lupus clinical overview. New York University Medical Center, 1998

27

XIII.

Branch DW, Porter TF. Autoimmune disease In: james dK, steer PJ, Weiner CP. High risk pregnancy. Philadelphia: WB Sauders 2000;85364

XIV. Cassidy JT, Petty RE. Sistemic lupus erythemotosus In: Textbook of pediatric rheumatology. 2th ed. USA: Churchill Livingstone.1990;261-314 XV. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD, William obstetrics. 20st ed . New York-Chicago-San Fransisco: Mc Graw-Hill, 1997:1239-44 XVI. Daud R, Wibowo N, Akib AA. Lupus eritematosus sistemik pada kehamilan. Maj Kedok Indones 1996; 46; 375-376 XVII. Daud R, Wibowo N, Akib AA. Sistemic lupus eryhematosus pada kehamilan. Simposisum Nasonal I syatemic Lupus Erythematosus, Jakarta, 1995 XVIII. Djoerban, Zubairi, Lupus Penyakit dengan Seribu Wajah, Kompas, 11 Mei 2007, hlm. 48. XIX. Dubois EL, Wallace DJ. Etuology and pathophysiology: Introduction and historical review. In: Dubois EL. Duboiss Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea and febinger,1987;33-37 XX. Hahn BH, Management of sistemic lupus erythematosus. In: Kelley WN, Harris ED, ruddy S, Sledge CB. Textbook of rheumatology 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1985;1040-56 XXI. Haln BH. Pathogenesis of sistemic lupus eryhematosus. In : Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Textbook of rheumatology.2nd ed.. Philadelphia.W.b. Saudres Company,1985;1015-27 XXII. Handono K, Kalim H, Hidayat A, Proprsi antibodi antifosfolopid pada penderita abortus berulang di RSUD Dr. saiful anwar ,malang. Simposium Nasional I sistemic Lupus erythematosus, Jakarta 1995 28

XXIII. Isbagio H, Kasjmir YI. Manifestasi klinis penyakit lupus eritematosus sistemik. Simposium Nasional I Sistemic Lupus erythematosus Jakarta,1995 XXIV. Kalim H, Handono K. Gambaran klinik dan harapan hidup penderita lupus Eryhematosus sistemik (SLE) pada orang jawa di RSUD Dr. saiful anwar Malang, 1985-1994. Simposium Nasional I Sistemic Lupus Erythematosus Jakarta,1995 XXV. Lahita RG. Clinical presentation of sistemic lupus erythematosus. In: Kelley WN, harris ED, Ruddy S,Sledge CB. Textbook of rheumatology. 2nd ed. Philadelphia. W.B. Saunders Company, 1985; 1029-39 XXVI. Nasution AR,Kasjmir YI, masalah penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) si RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Simposium Nasional I Sistemic lupus Eryhematosus. Jakarta 1995 XXVII. Rachmat Gunadi, Jumlah Pasien Lupus Naik

(www.Republika.com/13/9/2007) XXVIII. Ritonga P, Jacoeb TZ. Lupus eritematosus sistemik dalam obstetri

dan ginekologi. Maj Obstet Ginekol Indones 1996; 4; 241-242 XXIX. Talal N. The etiology of sistemic lupus erytematosus, In: Dubois EL. Duboiss Lupus Erythematosus 4th ed. Philadelphia: Lea and Febinger, 1987;39-43 XXX. Wahyuni, Tri, Waspadai Bila Nyeri Sendi dan Terjadi Kelainan Kulit. Suara Karya, 21 Mei 2006, hlm. 2. XXXI. Wallace DJ, Dubois EL. Lupus, pregnancy, and neonatal lupus. In: Duboiss Lupus Erythematosus.4th ed. Philadelphia: Lea and Febinger, 1987;565-79 XXXII. Yuliasih, Lupus si Penyakit Seribu Wajah

(www.medicastore.com/13/9/2007) 29

30

You might also like