You are on page 1of 6

UJI DISOLUSI (KETERSEDIAAN HAYATI IN VITRO)

Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku, komposisi/formula, serta fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran produk tersebut. (Abdou, 1989, Blanchard, Swachuck, Brodie, 1979). Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi :
1. disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat 2. pelarutan obat dalam media aqueous 3. absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik

Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat melewati membran merupakan yahap penentu kecepatannya. Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabakan kelarutannya sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1 mg/menit.cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya, seangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0 mg/menit.cm2. Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tapi kecepatan absorbsinya. Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses ddisintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan. Kecepatan Pelarutan Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick : dc = DAK (Cs-C) dt h dimana :

dc/ct : laju pelarutan obat D : tetapan laju difusi A : luas permukaan partikel Cs : kadar obat dalam stagnant layer C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut K : koefisien partisi munyak/air h : tebal stagnant layer Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia, formulasi, dan pelarut. Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut : 1. Metode Klasik Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu. 2. Metode Khan Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency(DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut : DE = 0t Y dt x 100% Y100.t Beberapa eneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
a. b. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagner Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut : a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>C b. proses pelarutan mengikuti orde I c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu d. kondisi proes pelarutannya non reaktif AlatUji Disolusi Farmakope Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing farmakope, seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan masing-masing farmakope. Alat Uji Disolusi 1 dan 2 Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengad uk bentuk dayng. Di Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan dayung.

SUNDAY, APRIL 24, 2011


DISOLUSI
Posted by Valdis Rein on 5:30 PM

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, et. al., 2008). Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut (Martin, et. al., 2008). Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung (Martin, et. al., 2008). Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikelpartikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Martin, et. al., 2008). Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin, et. al., 2008). Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang nonesensial; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).

Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan : 1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100% 2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Ansel, 1989).. Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua alat yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju larut (laju disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen jumlah atau kadar di etiket obat dari obat yang larut selama batas waktu. Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Ansel, 1989). Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997). Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu : Zat aktif mula-mula harus larut - Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna (Martin, et. al., 2008). Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Martin, et. al., 2008). Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai. c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir. d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan. e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur. f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.

g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tebnaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Martin, et. al., 2008). Faktor yang mempengaruhi Disolusi 1. Suhu Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat. 2. Medium Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut. 3. Kecepatan Perputaran Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan. 4. Ketepatan Letak Vertikal Poros Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana. 5. Goyangnya poros Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi. 6. Vibrasi Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek. 7. Gangguan pola aliran Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya. 8. Posisi pengambil cuplikan

Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya. 9. Formulasi bentuk sediaan Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet. 10. Kalibrasi alat disolusi Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali (Martin, et. al., 2008).

DAFTAR

PUSTAKA

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta. Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

You might also like