You are on page 1of 35

MODEL PEMBELAJARAN RESIK SEBAGAI STRATEGI MENGUBAH PARADIGMA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP YANG TEACHERS ORIENTED MENJADI STUDENT

ORIENTED ) Prof. Dr. Suradi Tahmir, M.S. **) Abstrak Penelitian ini dilakukan selama dua tahun 2006-2007 untuk mengembangkan model pembelajaran matematika realistik dengan setting kooperatif yang disingkat dengan RESIK. Model tersebut diharapkan dapat mengubah paradigma pembelajaran matematika di SMP yang teachers oriented menjadi student oriented. Manfaat dari model RESIK antara lain: (1) sebagai acuan bagi guru, dan mahasiswa calon guru untuk mengajarkan matematika yang student oriented; (2) sebagai acuan dalam pengembangan buku paket matematika di SMP yang memanfaatkan realitas siswa dalam belajar, dan (3) sebagai acuan dalam peningkatan kompetensi pedagogik bagai guru matematika. Hasil penelitian, menunjukkan: (1) model RESIK memuat sintak, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi, dan sistem pendukung, yang memenuhi kriteria keefektifan, dan validitas, dengan keterlaksanaan dalam kategori tinggi; (2) pembelajaran matematika dengan model RESIK lebih berpusat kepada siswa dan guru bertindak sebagai fasilitator, tetapi guru dalam melaksanakan pembelajaran belum optimal, terutama mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan realitas siswa.; (4) aktivitas siswa di dalam menyelesaikan tugas berada dalam kategori aktif dan dapat mengurangi ketegangan mereka dalam belajar matematika; dan (5) rata-rata pencapaian kompetensi belajar matematika siswa yang diajar dengan model RESIK lebih baik daripada siswa yang diajar secara konvensional, walaupun rata-rata tersebut masih dalam kategori sedang. Sebagai implikasi dari hasil penelitian ini, disarankan agar model pembelajaran RESIK diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk lebih mengaktifkan siswa belajar dan mengurangi dominasi guru. Sebelum menerapkan pembelajaran RESIK guru hendaknya mengkaji materi yang sesuai dan mempersiapkan contoh-contoh realistik yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Kata Kunci: Realistik, Kooperatif, RESIK

) Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing, Nomor: 030/SP3/PP/DP2M/II/2006, tanggal 1 Pebruari 2006. **) Dosen Program Studi S2 Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar.

PENDAHULUAN
Harus diakui bahwa mutu pendidikan pada umumnya masih rendah, terlebih mutu pendidikan matematika. Menurut Marpaung (2003) ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan tersebut, tanpa mengabaikan faktor eksternal, faktor internal yang tidak kurang pentingnya ialah tidak adanya perubahan dalam pembelajaran proses matematika dan asesmennya. Proses pembelajaran pada umumnya bersifat mekanistik yang hanya menghasilkan pemahaman instrumental. Siswa tidak diberdayakan untuk berpikir, kemampuan yang dikembangkan hanyalah kemampuan menghafal dan kemampuan kognitif aras rendah. Proses pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran masih didominasi dengan pembelajaran yang berpusat kepada guru (teacher center), yang mempunyai kecenderungan mengantarkan siswa ke tujuan. Konsep-konsep yang perlu diketahui siswa dideskripsikan atau didefinisikan, rumus diberikan, dan siswa diminta menggunakannya tanpa dibahas darimana datangnya rumus tersebut. Sehingga pembelajaran matematika berlangsung secara mekanis. Paradigma pembelajaran seperti ini, disebut sebagai paradigma mengajar. Pembelajaran matematika di sekolah perlu diciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan (paling sedikit tidak tegang). Hal ini didukung hasil penelitian (Meier, 1999; dalam Marpaung, 2003) bahwa suasana yang menyenangkan dapat meningkatkan hasil belajar yang signifikan. Dilain pihak, teori belajar yang baru menyatakan bahwa belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Teori belajar yang dilandasi olef filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari yang mengetahui kepada si pebelajar. Pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah konstruksi atau bentukan dari orang itu sendiri (Suparno, 1997, Marpaung, 2003), dan dalam mengkonstruksi pengetahuan itu si pebelajar harus aktif baik mental maupun fisik (Marpaung, 2003). Oleh karena itu, guru dituntut untuk memahami dan mampu menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kekhasan materi dan karakteristik siswa sehingga dapat memfasilitasi aktivitas siswa dalam belajar. Salah satu model pembelajaran yang banyak disarankan berbagai pakar

pendidikan untuk memfasilitasi aktivitas siswa dalam belajar adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif bukan hanya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan keterampilan sosial. Hal ini bersesuian dengan yang disarankan Marpaung (2003) bahwa perlu dikembangkan model pembelajaran matematika berdasarkan konstruksi psikologis dan konstruksi sosiologis. Dengan alasan, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang berorientasi sosial, suka kumpul, bertandang dan berbicara. Selain itu, salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang telah banyak diadopsi di dunia, adalah Realistics Mathematics Education (RME). Dengan demikian model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan pendekatan RME diadaptasi dalam penelitian ini untuk merancang model pembelajaran matematika yang diberi nama dengan model RESIK (realistik setting kooperatif), agar pembelajaran yang berpusat pada guru selama ini dapat beralih menjadi pembelajaran yang berpusat kepada siswa.

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana model pembelajaran RESIK yang dapat memfasilitasi perubahan pola pembelajaran di SMP yang teacher oriented menjadi student oriented? b. Bagaimana dampak dari pembelajaran RESIK terhadap perkembangan kompetensi belajar siswa di SMP?

2. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu Model Pembelajaran RESIK yang dapat mengubah paradigma pembelajaran yang teachers oriented menjadi student oriented, dan dampaknya terhadap perkembangan kompetensi belajar matematika siswa di Sekolah Menengah Pertama. Buku Model Pembelajaran RESIK tersebut, diharapkan dapat digunakan, antara lain: (1) guru-guru matematika SMP dalam menyusun rencana pembelajaran yang student oriented, (2) mahasiswa LPTK dalam matakuliah (Pengembangan

Program Pengajaran Matematika, dan PPL), dan (3) LPMP dalam merancang pelatihan/workshop bagi guru-guru matematika SMP. Sebagai implikasi dari pemanfaatan model pembelajaran RESIK tersebut adalah siswa SMP dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya dalam belajar matematika melalui interaksi yang optimal, dan prestasi atau kompetensi belajar mereka semakin meningkat. Secara eksplisit tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengembangkan model pembelajaran yang dapat menjadi acuan bagi guru, mahasiswa calon guru, dan peneliti. b. Memberikan contoh materi ajar matematika realistik dan skenario

pembelajarannya yang dapat dijadikan rujukan oleh guru yang berminat tanpa harus mendapatkan pelatihan khusus untuk mengembangkan sendiri materi dan skenario pembelajaran untuk menggunakan mdel yang dikembangkan. c. Memberikan kesempatan kepada peneliti, guru dan mahaiswa yang

berpartisipasi dalam penelitian ini untuk lebih mengenal dan memahami masalah-masalah pembelajaran di SMP.

3. Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini berkaitan dengan tujuan utama yang ditargetkan yaitu tersedianya buku Model Pembelajaran RESIK yang memuat lima komponen utama, yaitu: (1) Sintaks, sebagai pedoman langkah-langkah pembelajaran; (2) Sistem sosial, yang mengatur hubungan antara peran siswa dan guru, serta jenis-jenis norma yang dianjurkan dalam pembelajaran; (3) Prinsip reaksi, yaitu cara guru memperhatikan dan memperlakukan siswa; (4) Sistem pendukung, yang memuat semua sarana, bahan dan alat yang diperlukan menerapkan model; dan (5) Dampak instruksional dan dampak pengiring. Selain hasil utama tersebut di atas, juga dikembangkan contoh paket pembelajaran yang mengacu pada model RESIK. Paket pembelajaran yang dimaksud adalah: (1) Buku siswa; (2) Lembar Kerja Siswa; dan (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

4. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Yang dikembangkan adalah model pembelajaran realistik setting kooperatif (RESIK). Dengan demikian, fokus utama penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran RESIK. Rancangan penelitian pengembangan yang digunakan mengikuti model rancangan pengembangan Plomp (1997) seperti yang digambarkan berikut. Tahap Pengkajian Awal

Tahap Perancangan

Tahap Realisasi/konstruksi

Tahap Tes, Evaluasi, dan Revisi

Tahap Implementasi Gambar 1. Rancangan Penelitian Pengembangan Model Plomp Pada tahap tes, evaluasi, dan revisi pada Gambar 1 di atas terlihat adanya siklus pengembangan model, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

PBM Hasil Observasi dan Respons

PBM Hasil Observasi dan Respons

Draft Awal

Validasi & Revisi

Prototipe 1

Ujicoba I & Revisi

Prototipe 2

Ujicoba II & Revisi

Prototipe 3

Gambar 2. Rancangan Siklus Pengembangan pada Tahap Tes, Evaluasi, dan Revisi

Untuk keperluan perancangan model pembelajaran matematika (seperti Gambar 2 di atas), maka prototipe yang telah dikembangkan diujicobakan kepada subjek penelitian, yaitu siswa-siswa kelas VII pada SMP Negeri 26 Makassar.

Secara umum rancangan penelitian pengembangan sampai memperoleh prototipe final mengikuti alur pengembangan seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Tahap Pengkajian Awal Tahap Perancangan Validasi dan Revisi Tahun 1 2006/2007 Tahap Realisasi

PROTOTIPE 1

Uji coba ke-i 1 1. Pelaksanaan PBM 2. Observasi 3. Refleksi Data Hasil Uji Coba Tahap Tes, Evaluasi, & Revisi

Analisis & Revisi Tahun 2 2007/2008 PROTOTIPE ke-(i+1)

Kualitas Baik? Ya

Tidak

PROTOTIPE FINAL

Gambar 3 Diagram Alur Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada Gambar 3 di atas, prototipe 1, 2, 3, dan prototipe selanjutnya merupakan suatu kesinambungan yaitu prototipe 2 adalah hasil perbaikan dari prototipe 1, prototipe 3 adalah hasil perbaikan dari prototipe 2, demikian seterusnya sampai mendapatkan prototipe final, yaitu model pembelajaran RESIK yang memenuhi kualitas baik. Selajutnya untuk tahap implementasi (sebagai tahap terakhir pengembangan model), penelitian dilakukan dalam bentuk eksperimen, yaitu membandingkan pencapaian kompetensi belajar siswa yang diajar dengan model RESIK dan siswa yang

diajar secara konvensional (cara guru mengajar selama ini). Dalam hal ini, rancangan penelitian eksperimen yang digunakan adalah Randomized Group Design.

KAJIAN TEORI
Proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah sampai sekarang ini, pada umumnya didominasi guru, siswa dijadikan objek pembelajaran. Guru berusaha memberikan informasi sebanyak-banyaknya, sehingga siswa tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk merenungkan apa yang diebrika oleh guru, dan yang penting bagi mereka adalah dapat menyelesaikan soal-soal berdasarkan contohcontoh yang telah diberikan. Sehingga pembelajaran berlangsung secara mekanistik tanpa makna. Itulah beberapa gambaran dari paradigma mengajar yang didasarkan pada teori belajar yang menuntut perhatian yang berlebihan, keseriusan yang kaku, dan hukuman menjadi bagian dari pembelajaran. Menurut Marpaung (2003) paradigma mengajar mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) guru aktif, siswa pasif; (2) pembelajaran berpusat kepada guru; (3) guru mentransfer pengetahuan kepada siswa; (4) pemahaman siswa cenderung bersifat instrumental; (5) pembelajaran bersifat mekanistik; dan (6) siswa diam (secara fisik) dan penuh konsentarasi (mental) memperhatikan apa yang diajarkan guru. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa hasil pembelajaran yang berdasarkan paradigma mengajar, antara lain (1) siswa tidak senang pada matematika; (2) pemahaman siswa terhadap matematika rendah; (3) kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving), bernalar (reasoning), berkomunikasi secara matematis (communication), dan melihat keterkaitan antara konsep-konsep dan aturan-aturan (connection) rendah. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran matematika dan meningkatkan kualitasnya, maka paradigma mengajar perlu diperbaiki. Perbaikan pertama yang perlu dilakukan dalam pembelajaran matematika adalah menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan. Menurut hasil penelitian Meier (1999) suasana yang menyenangkan dapat meningkatkan hasil belajar secara signifikan (dalam Marpaung, 2003). Hal ini, sejalan dengan teori belajar yang menyatakan bahwa belajar adalah proses menkonstruksi pengetahuan, dan teori belajar yang dilandasi filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari yang mengetahui (guru) kepada si pebelajar (siswa). Pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah konstruksi atau bentukan dari orang itu sendiri

(Suparno, 1997), dan dalam mengkonstruksi pengetahuan itu si pebelajar harus aktif baik secara fisik maupun mental (Marpaung, 2003). Gambaran pembelajaran seperti ini, disebut sebagai paradigma belajar. Salah satu teori belajar matematika yang sekarang ini banyak diadopsi banyak negara di dunia adalah Realistics Mathematics Education (RME). RME didasarkan ide Freudental di negeri Belanda bahwa matematika itu adalah aktivitas manusia (mathematics as a human activity) (de Lange, 1996; Gravenmeijer, 1994; Soedjadi, 2001). RME telah berhasil menggeser pembelajaran matematika yang mekanistik ke pembelajaran yang realistik di negeri Belanda. Dengan RME kualitas pembelajaran matematika di Belanda meningkat secara signifikan (Armanto, 2002). Pada penelitian ini, prinsip-prinsip RME diadopsi untuk mendesaian model pembelajaran matematika yang dapat memfasilitasi pembelajaran yang berpusat kepada guru, menjadi pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Pendekatan realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagaimana dikemukakan Andeson, 1994; Loucks-Horsley, 1998; van de Berg, 1996; Wart, 1994 (dalam Marpaung, 2003) yaitu: (1) siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematik yang mempengaruhi belajar selanjutnya; (2) siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; (3) pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan kembali, dan penolakan; (4) pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman; dan (5) setiap siswa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika. Belajar kooperatif menurut Arends (1997) merupakan suatu model pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak hanya) membantu siswa belajar isi akademik dan keterampilan semata, namun juga melatih siswa tujuan-tujuan hubungan sosial dan manusia. Menurut Slavin (1995) dalam belajar kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sukar apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya. Lebih lanjut, Slavin mengemukakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu mempelajari suatu materi. Pendapat serupa diungkapkan Thomson, et al. (1995), bahwa di dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama

dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima siswa dengan kemampuan heterogen (kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, pen), berbeda jenis kelamin, dan suku/ras serta saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, belajar kooperatif akan melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan saling membantu untuk melakukan aktivitas tertentu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang dihadapinya. Berdasarkan uraian di atas, di dalam pembelajaran kooperatif kelas disusun atas kelompok-kelompok kecil yang heterogen. Setiap kelompok biasanya terdiri dari empat atau lima siswa dengan kemampuan berbeda, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Selain itu, jika memungkinkan dalam pembentukan kelompok hendaknya diperhatikan pula perbedaan suku, budaya, etnis, dan jenis kelamin. Menurut Lundgren (1994), Arends (1997), dan Ibrahim, dkk. (2000) ciri-ciri atau karakteristik dari belajar kooperatif adalah: (1) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (2) jika memungkinkan, setiap anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda; (3) siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; dan (4) penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu. Berdasarkan ciri-ciri belajar kooperatif di atas, dapat dikemukakan bahwa dengan belajar kooperatif memberikan kesempatan siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan dan kondisi sosial untuk bekerja sama, saling tergantung dan belajar saling menghargai satu dengan yang lainnya. Hal ini akan lebih mudah dicapai jika menggunakan pendekatan realistik. Salah satu ciri utama dari pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai masalah awal dalam pembelajaran, yakni guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru menjelaskan atau memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa. Selain itu, adanya kerjasama siswa secara kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan aktivitas atau pemecahan masalah yang menjadi tugas kelompok. Guru perlu membuat berbagai perencanaan sehingga ciri atau kondisi ini dapat terlaksana secara baik dalam pembelajaran. Untuk itu, guru perlu membuat perencanaan secara rinci

10

mengenai (1) tujuan pembelajaran, (2) masalah kontekstual yang sesuai, dan (3) perangkat pembelajaran dan peralatan (media) pendukung. Penetapan tujuan pembelajaran merupakan bagian penting dalam setiap model pembelajaran, termasuk dalam model RESIK. Tujuan pembelajaran mengacu kepada pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran matematika yang dirumuskan dalam standar isi dari pembelajaran matematika. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester untuk mata pelajaran matematika. Sedangkan kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Dalam menetapkan indikator kompetensi, perlu diperhatikan aspek kognitif, aspek afektif dan psikomotor. Perlu pula diingat bahwa dalam model RESIK, pembelajaran tidak hanya dilakukan untuk mencapai dampak instruksional, tetapi juga dampak pengiring. Dalam model RESIK, siswa diharapkan dapat memahami sendiri suatu konsep, tanpa dijelaskan oleh guru. Jadi prinsip konstruksi pengetahuan oleh siswa, menjadi perhatian utama dalam model RESIK. Selain itu, model RESIK dirancang untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan penguatan dan perluasan pengetahuan siswa. Untuk tercapainya hal ini, sangat dibutuhkan perencanaan aktivitas atau pemecahan masalah secara baik dan sesuai. Peran guru dalam hal perencanaan aktivitas atau pemecahan masalah ini sangat utama. Guru perlu merencanakan dan mempersiapkan masalah kontekstual yang sesuai, yang memungkinkan siswa untuk beraktivitas saling membantu dalam kelompok kecil untuk mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Misalkan pada saat ingin mengajarkan perbandingan, siswa diberikan permasalahan sebagai berikut.
AYAM PELIHARAAN DZAKY

Dzaky adalah seorang anak yang gemar memelihara ayam. Ia memiliki seekor ayam jantan dan empat ekor ayam betina. Untuk mengetahui perkembangan ayam peliharaannya, Dzaky selalu melakukan penimbangan. Data terakhir yang diperoleh dapat di lihat pada tabel berikut:

11

Jenis ayam

Umur

Berat badan

gram
1600 gram

jantan betina hitam betina putih betina merah betina abu-abu

15 bulan 14 bulan 1 tahun 10 bulan 9 bulan

1600 gram 1 kg 600 gram 400 gram 600 gram

Berapa banyak ayam yang diperlukan agar timbangan di samping menjadi seimbang? Tulislah alasanmu! Masalah di atas merupakan salah satu masalah kontekstual yang dapat diberikan kepada siswa di awal pembelajaran materi perbandingan. Dengan menyelesaikan masalah tersebut siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya mengenai pengertian dua besaran yang sejenis, dengan disertai panduan (guidance) sebagai berikut:
Contoh dua besaran yang sejenis: Umur ayam jantan dan umur ayam betina hitam. Umur ayam betina hitam dan umur ayam betina putih Berat badan ayam jantan dan berat badan ayam betina hitam.

Dengan memperhatikan satuan umur atau satuan berat badan setiap ayam peliharaan Dzaky, tulislah dengan kata-katamu sendiri pengertian dua besaran yang sejenis ! Bila siswa telah dapat menjawab masalah di atas, selanjutnya diberikan LKS untuk dikerjakan dalam kelompok kooperatifnya. Misalnya LKS yang diberikan adalah sebagai berikut. LKS Ke-1: Siswa di Kelasmu! Diskusikan di dalam kelompokmu bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah berikut. a. Perbandingan banyaknya murid perempuan terhadap seluruh murid di kelasmu adalah ....... berbanding . (ditulis . : .). b. Perbandingan banyaknya murid laki-laki terhadap murid perempuan di kelasmu adalah ....... berbanding . (ditulis .... : .).

12

Setelah

siswa

menyelesaikan

LKS-1

di

atas,

diharapkan

mereka

dapat

mengkonstruksi atau menemukan sendiri pengertian dari perbandingan. Dalam model RESIK, tidak setiap konsep atau prinsip harus ditemukan sendiri oleh siswa. prinsip dasar dalam model RESIK adalah bahwa suatu pengetahuan semestinya dipahami sendiri oleh siswa melalui aktivitas atau pemecahan masalah yang dilakukan. Pengetahuan tersebut bukan hasil transfer guru secara langsung. Artinya bahwa pengetahuan itu tidak diperoleh siswa sebagi hasil penjelasan dari guru, tetapi pengetahuan itu diperoleh siswa melalui aktivitas atau pemecahan masalah bersama dengan teman-teman sekelompok. Selanjutnya untuk memperkuat pemahaman siswa terhadap konsep atau prinsip tersebut, siswa diberikan tugas menyelesaikan aktivitas atau pemecahan masalah yang berkaitan dengan konsep atau prinsip tersebut dan perluasannya (pengayaannya). Aspek ketiga yang diperlu direncanakank guru adalah perangkat

pembelajaran dan peralatan (media) pendukung. Yang perlu dipersiapkan guru dalam hal ini adalah (1) merencanakan dan menyiapkan perangkat pembelajaran seperti buku siswa, dan lembar kerja siswa (LKS). Dua komponen ini sangat berperan dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar dan bekerja pada kelompok masingmasing. Buku siswa dan LKS bersifat saling melengkapi. Pertama, buku siswa dapat memuat uraian lengkap mengenai materi yang akan dipelajari. Untuk kondisi seperti ini, maka LKS memuat pemecahan masalah yang berfungsi untuk memperluas dan memperkuat pemahaman siswa terhadap materi tersebut. Kedua, buku siswa hanya memuat garis besar materi tanpa memuat penjelasan detail atau pengertian terhadap konsep tertentu atau tidak memuat prinsip-prinsip (sifat-sifat, rumus, algoritma) tertentu. Untuk kondisi semacam ini, LKS memuat aktivitas-aktivitas yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat mendefinisikan konsep tertentu, menemukan sifatsifat, atau rumus tertentu. Selain menyiapkan perangkat pembelajaran tersebut, guru perlu juga menyiapkan media pembelajaran yang relevan dengan pokok bahasan yang sementara dibahas. Media tersebut diharapkan kontekstual agar dapat berfungsi menunjang siswa dalam belajar. Misalnya, agar siswa dapat menemukan rumus volume limas, guru dapat menggunakan model limas dan model kerucut yang alas

13

dan tingginya sama. Agar siswa dapat memahami jaring-jaring kubus atau mentukan berapa banyak jaring-jaring kubus, guru dapat menyediakan (atau memintakan siswa menyediakan) model-model kubus yang terbuat dari kertas atau karton, gunting atau silet.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data tentang aktivitas siswa, aktivitas guru, skor perkembangan siswa, dan respon guru dianalisis secara deskriptif. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keterlaksanaan dan efektivitas model pembelajaran RESIK. Kriteria keterlaksanaan yang digunakan mengacu pada methods of grading in summative evaluation dari Bloom, Madaus & Hastings (1981), yaitu: 90% KM 80% KM < 90% 70% KM < 80% 60% KM < 70% KM < 60% = sangat tinggi = tinggi = sedang = rendah = sangat rendah

Keterangan: KM = Keterlaksanaan Model Sedangkan kriteria keefektivan model, mengacu pada penggabungan kriteria Kemp, Morrison & Ross, dan Egen & Kauchak (dalam Ratumanan, 2003), yaitu Model dikatakan efektif, jika dipenuhi 4 dari 5 kriteria beikut. 1) Rata-rata aktivitas on task siswa minimal sebesar 90%. 2) Rata-rata aktivitas aktif siswa minimal sebesar 40%. 3) Terdapat kecenderungan peningkatan skor tes perkembangan. 4) Lebih dari 50% siswa memberikan respon positif model RESIK. 5) Guru memberikan respon positif terhadap model RESIK. Kriteria kualitas buku model RESIK yang dikembangkan, mengacu pada kriteria Nieveen (1999), yakni validitas, praktikabilitas, dan efektivitas. Ketiga indikator kriteria tersebut adalah sebagai berikut.

14

1. Validitas Model RESIK dikatakan valid, jika memenuhi kriteria: (a) Minimal dua dari tiga ahli (validator) menyatakan bahwa model RESIK didasarkan pada dasar teoretik yang kuat. (b) Minimal dua dari tiga ahli (validator) menyatakan bahwa komponenkomponen model RESIK secara konsisten saling berkaitan. (c) Hasil ujicoba menunjukkan bahwa komponen-komponen RESIK saling berkaitan. 2. Kepraktisan Model RESIK dikatakan praktis, jika memenuhi kriteria: (a) Minimal dua dari tiga ahli memberikan pertimbangan bahwa model RESIK tersebut dapat diterapkan di kelas. (b) Guru menyatakan dapat menerapkan model RESIK di kelas. (c) Tingkat keterlaksanaan model RESIK, termasuk dalam kategori sangat tinggi. 3. Efektivitas Model RESIK dikatakan efektif, jika memenuhi kriteria Kemp, Morrison & Ross, dan Egen & Kauchak seperti yang dikemukakan di atas. Berdasarkan kriteria di atas, maka hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah: (1) Buku model pembelajaran RESIK yang dikembangkan memuat sintak, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi, dan sistem pendukung. Model RESIK ini dari hasil ujicoba memenuhi kriteria keefektifan, validitas, dan kriteria kepraktisan yang mencapai 85,30%; (2) Perangkat pembelajaran RESIK yang telah dikembangkan adalah buku siswa, LKS, RPP dan asesmen untuk menjaring aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran RESIK; (3) Prilaku guru dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK telah berubah. Pembelajaran lebih banyak berpusat kepada siswa (student oriented) dan guru bertindak sebagai fasilitator, namun demikian guru dalam melaksanakan pembelajaran RESIK belum optimal, terutama mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan realitas siswa. (4) Aktivitas siswa belajar matematika dengan model pembelajaran RESIK dapat mengurangi ketegangan mereka dalam belajar, aktivitas siswa di dalam menyelesaikan tugas mencapai 96,50%; (5) Pencapaian kompetensi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan RESIK baru mencapai rata-rata 6,65 (Std. dev. = 1,68) dengan

15

skor ideal yang mungkin dicapai adalah 10; dan (6) Kompetensi akademik siswa yang diajar dengan model pembelajaran RESIK lebih baik daripda kompetensi belajar siswa yang diajar secara konvensional (pembelajaran yang berpusat kepada guru). Model RESIK yang dikembangkan memuat lima komponen penting, yakni (1) sintaks, (2) sistem sosial, (3) prinsip reaksi, (4) sistem pendukung, (5) dampak instruksional dan pengiring. Secara singkat ke lima komponen tersebut yang diperoleh dari penelitian ini, diuraikan sebagai berikut. 1. Sintaks Model RESIK Sintaks (syntax) menunjuk pada keseluruhan alur atau urutan kegiatan belajar mengajar. Sintaks menentukan jenis-jenis tindakan guru dan siswa yang diperlukan, urutannya dan tugas-tugas untuk siswa (Arends, 1997). Sintaks dideskripsikan dalam urutan aktivitas-aktivitas yang disebut fase; setiap model mempunyai alur fase berbeda (Joice & Weill, 1992) Sintaks model RESIK terdiri dari 5 (enam) fase, yakni (1) memotivasi siswa, (2) menyajikan informasi dan melibatkan siswa memahami masalah kontekstual, (3) mengorganisasi siswa kedalam kelompok belajar dan memberikan tugas kelompok, (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) diskusi dan negosiasi, dan (6) evaluasi dan penghargaan. Penempatan evaluasi pada fase terakhir tidak dimaksudkan bahwa penilaian harus selalu dilakukan pada akhir PBM. Dalam model RESIK, penilaian dapat dilakukan di awal, pertengahan ataupun di akhir PBM. Adapun rincian aktivitas guru dan siswa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sintaks Model Pembelajaran RESIK Fase 1 1. Memotivasi Siswa Aktivitas Guru dan Siswa 2 a. Guru membuka pelajaran dan mengorganisasi kelas untuk belajar. Siswa mengambil tempat dalam kelompok masing-masing. b. Guru menyampaikan hasil kerja kelompok berdasarkan hasil pertemuan sebelumnya. c. Guru menyampaikan kepada siswa tentang materi pokok, standar kompetensi, kompetensi dasar, hasil belajar dan tujuan pembelajaran.

16

2. Menyajikan informasi dan melibatkan siswa memahami masalah kontekstual

3. mengorganisasi siswa kedalam kelompok bela-jar dan mem-berikan tugas kelompok 4. membimbing kelompok bekerja dan belajar

d. Guru menyampaikan kepada siswa apa yang mereka akan lakukan dalam kerja kelompok: menyelesaikan masalah kontekstual pada LKS. e. Guru memotivasi siswa dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan kehidupan siswa sehari-hari. a. Guru menyajikan informasi tentang materi yang akan dipelajari siswa dengan cara demonstrasi atau merujut kepada buku dengan menggunakan masalah kontekstual sesuai materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. b. Meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. c. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. d. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru menjelaskan atau memberikan petunjuk seperlunya. (Karakteristik realistik yang muncul adalah menggunakan masalah kontekstual sebagai awal pembelajaran). a. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. b. Guru membagikan LKS atau tugas yang akan diselesaikan siswa kepada masing-masing kelompok. a. Siswa melakukan aktivitas yang telah diten-tukan guru (mempelajari materi tertentu, menyelesaikan masalah kontekstual pada LKS, menyelesaikan masalah tertentu, melakukan investigasi, dsb) dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Pada langkah ini karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan model. b. Guru berkeliling dan memberikan bantuan terbatas kapada setiap kelompok. Bantuan ini dapat berupa penjelasan secukupnya (tanpa memberikan jawaban terhadap masalah yang sementara dihadapi siswa), dapat pula memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa dan mengarahkan siswa untuk lebih jelas melihat masalah yang sebenarnya atau mengarahkan siswa kepada pemecahan masalah yang dihadapi. c. Setiap kelompok diminta untuk memeriksa kembali apa yang mereka telah lakukan atau yang mereka pelajari sebelum menuliskan jawaban kelompok. d. Guru memberikan penekanan, bahwa setiap anggota kelompok harus saling membantu agar materi yang dipelajari dipahami oleh semua anggota kelompoknya.

17

5. Diskusi dan negosiasi

6. Evaluasi dan penghargaan

a. Siswa melaporkan hasil penyelesaian masalah atau hasil dari aktivitas kelompok. b. Guru menentukan siswa tertentu atau kelompok tertentu untuk mempresentasikan hasil kerjanya. c. Guru memimpin diskusi. Peran guru di sini sangat menentukan lancarnya interaksi antara setiap kelompok, juga sangat menentukan berhasilnya proses negosiasi. d. Guru dapat mengajukan pertanyaan apakah, mengapa, dan bagaimana, sehingga lebih mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan. e. Guru meminta kepada setiap siswa membuat kesimpulan dari hasil diskusi. f. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah penggunaan kontribusi siswa dan terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru. a. Penilaian dapat dilakukan sebelum (pre-test), selama, dan setelah pembelajaran dilakukan. b. Guru memberikan penghargaan kepada setiap kelompok sesuai dengan hasil penilaian yang dilakukan.

Keterangan: Khusus untuk kegiatan penilaiaan, walaupun ditempatkan pada fase terakhir, tidak berarti bahwa penilaian hanya dilakukan pada akhir pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan pada awal, selama atau akhir pembelajaran. Menempatkan fase penilaian sebagi salah satu fase dalam sintaks model RESIK, dimaksudkan bahwa penilaian merupakan bagian penting dalam model RESIK. Penggunaan model RESIK, setelah fase kelima yakni diskusi dan negosiasi, jika masih tersedia waktu untuk mempelajari materi berikutnya, maka PBM dapat kembali ke fase ketiga yakni membimbing kelompok bekerja dan belajar. Dengan demikian PBM dengan menggunakan model RESIK ini dapat digambarkan sebagai berikut:

18

Memotivasi Siswa

Menyajikan informasi dan melibatkan siswa memahami masalah kontekstual

Mengorganisasi siswa kedalam kelompok belajar dan memberikan tugas kelompok

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Diskusi dan negosiasi

Evaluasi dan penghargaan

Gambar 3: Alur PBM dengan Menggunakan Model RESIK 2. Sistem Sosial Menurut Joice & Weil (1992) sistem sosial menyatakan peran dan hubungan siswa dan guru, dan jenis-jenis norma yang dianjurkan. Peranan kepemimpinan guru sangat berbeda dari satu model ke model lainnya. Dalam model RESIK, dikembangkan suasana demokratis. Interaksi antar siswa dalam melakukan aktivitas belajar melalui pendekatan realistik pada kelompok masing-masing mendapat penekanan penting dalam model ini. Demikian juga interaksi antar siswa dalam kelas pada fase diskusi dan negosiasi, mendapat penekanan penting. Guru berfungsi menfasilitasi agar interaksi antar siswa dalam semua aktivitas PBM ini dapat berlangsung baik. Guru perlu pula mengorganisasi PBM sebaik mungkin agar siswa tetap di dalam aktivitas atau tugas belajar (on-task), dan menfasilitasi dan memotivasi siswa agar terjadi kerjasama secara kooperatif dan memungkinkan terjadinya konstruksi pengetahuan.

19

Prinsp-prinsip yang dikandung dalam model RESIK ini adalah (1) kerjasama, (2) kebebasan menyampaikan pendapat, (3) tanggung jawab pada diri sendiri dan kelompok, dan (4) kesamaan derajat. Dalam setiap prinsip tersebut terkandung norma-norma tertentu. Misalnya dalam prinsip kerjasama, terkandung norma-norma saling membantu dan saling menghargai. Dalam prinsip kebebasan menyam-paikan pendapat, terkandung norma menghargai pendapat orang lain, menyampaikan pendapat dengan cara yang santun, dan sebagainya. 3. Prinsip Reaksi Prinsip ini berkaitan dengan cara guru memperhatikan dan memperlakukan siswa, termasuk bagaimana guru memberikan respon terhadap pertanyaan, jawaban, tanggapan, atau apa yang siswa lakukan. Joice &Weill (1992) mengemukakan principles of reaction tell the teacher how to regard the learner and how to respond to what the learned do. Pada model RESIK, guru berperan sebagai fasilitator, dan moderator. Sebagai fasilitator, guru menyediakan sumber-sumber belajar, mendorong siswa untuk belajar, dan memberikan bantuan bagi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pemahamannya secara optimal. Sebagai moderator, guru memimpin diskusi kelas, mengatur mekanisme sehingga diskusi kelas berjalan lancar, dan mengarahkan diskusi sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai. Beberapa perilaku guru (prinsip-prinsip reaksi) yang diharapkan dalam model RESIK adalah sebagai berikut: a. Memberikan perhatian pada penciptaan suasana demokratis dan membangun interaksi siswa yang kondusif dan dinamis dalam kelompok kecil atau kelas. b. Menyediakan dan mengelola sumber-sumber belajar yang realistik dan relevan yang dapat mendukung siswa melakukan aktivatas atau pemecahan masalah. c. Mengarahkan siswa sehingga dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kelompok atau diskusi kelas. Guru perlu menghindarkan diri dari adanya kebiasaan transfer pengetahuan.

20

d. Menekankan pentingnya bekerjasama secara kooperatif dalam kelompok masingmasing untuk mencapai tujuan pembelajaran, termasuk upaya meningkatkan keterampilan kooperatif siswa. e. Memberikan bantuan terbatas pada setiap siswa (individual atau kelompok) berupa penjelasan secukupnya tanpa memberikan jawaban atas masalah yang dipelajari (prinsip scaffolding), atau bantuan berupa pertanyaan-pertanyaan yang terfokus yang berkaitan dengan realitas siswa agar siswa dapat menyadari akan hubungan konsep-konsep terkait yang sementara dikaji dan penerapannya dalam menyelesaikan masalah. f. Menghargai pendapat siswa dan mendorong siswa untuk dapat bersikap lebih kritis dalam mengkaji masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. g. Menempatkan diri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok siswa. Guru perlu menghindari keinginan untuk memposisikan diri sebagai sumber utama pengetahuan bagi siswa. 4. Sistem Pendukung Sistem pendukung (support system) suatu model pembelajaran merupakan semua sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk menerapkan model tersebut. Menurut Joice & Weill (1992) We use this concep to discribe not the model it self so much as the supporting condition necessary for its existence. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model RESIK diperlukan sejumlah bahan dan media pembelajaran. Untuk setiap pokok bahasan yang akan dibahas, guru perlu menyiapkan bahan ajar yang realistik bagi siswa (baik berupa buku siswa, hand out, dan sebagainya), lembar kegiatan siswa (LKS), perangkat evaluasi, dan media pembelajaran yang relevan. 5. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring Setiap model pembelajaran selalu diharapkan menghasilkan dampak instruksioanal dan dampak pengiring. Menurut Ratumanan (2003) dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung dan mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan, misalnya penguasaan terhadap materi A. Sedangkan

21

dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses mengajar belajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh siswa tanpa pengarahan langsung dari guru, contohnya kemampuan komunikasi matematika. Mengenai dampak pembelajaran, Joice & Weill (1992) mengemukakan: The effects of an environment can be direct disigned to come from the content and skills on wich the aactivies are based. Or effects can be implicit in the learning environment. The discription of the effects of model can validly be categorized as the direct or instruktional effects and the direct or nurturant effects. The instructional effects are those directly achieved leading the learner in certain direction. The nurturant come from experincing the environtment created by the model. Pembelajaran dengan menggunakan model RESIK menempatkan siswa sebagai subyek dalam PBM. Dalam model RESIK, guru tidak lagi berfungsi sebagai pemberi ilmu, tetapi lebih sebagai fasilitator. Guru menyiapkan berbagai perangkat pembelajaran, mengorganisasi siswa dalam kelompok-kelompok kecil, mendorong siswa untuk dapat belajar lebih terfokus dan optimal, mengarahkan diskusi siswa, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan realistik yang merangsang siswa untuk berpikir. Dalam model RESIK, siswa tidak menerima informasi secara pasif, tetapi siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan. Model RESIK dirancang untuk memberikan kesempatan bagi siswa melakukan aktivitas atau pemecahan masalah realistik dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Pada saat melakukan aktivitas atau pemecahan masalah dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif, siswa saling berinteraksi, saling membantu dan saling melengkapi. Hal ini akan memungkinkan siswa untuk dapat memahami sendiri suatu konsep atau prinsip matematika dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Model RESIK juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kemampuan bekerjasama siswa. Pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK ini juga diharapkan dapat memunculkan dampak instruksional dan dampak pengiring. Rincian kedua dampak dimaksud adalah sebagai berikut.

22

a. Dampak Instruksional 1) Kemampuan konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan merupakan hal penting dari aliran konstruktivisme. Menurut Martin (Ratumanan, 2003), konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Dalam model RESIK siswa melakukan aktivitas dalam kelompok-kelompok kecil, berinteraksi dan bernegosiasi yang mengarahkan pada pembentukan pengetahuan yang bersifat subyektf. Pengetahuan subyektif ini kemudian didiskusikan dalam kelompok besar (kelas), sehingga diperoleh pengetahuan bersama yang bersifat obyektif. Dengan aktivitas semacam ini secara rutin, kemampuan siswa dalam konstruksi pengetahuan secara mandiri akan semakin meningkat. 2) Penguasaan bahan ajar. Dengan model RESIK, informasi (pengetahuan) dikonstruksi sendiri oleh siswa melalui aktivitas belajar yang dilakukan di dalam kelompok-kelompok kecil. Pengetahuan yang dikonstruksi sendiri semacam ini akan lebih bermakna bagi siswa dan akan dapat bertahan lama dalam memori siswa. Dengan bekerja saling membantu, saling memberikan konstribusi pemikiran, dapa diharapkan bahan ajar yang dipelajari atau didskusikan dalam kelompok dapat dipahami secara lebih baik, dibandingkan dengan bila dipelajari secara individual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas, siswa lebih cendrung bertanya kepada temannya dari pada kepada guru (Ratumanan, 2003). Model RESIK memungkinkan siswa lemah dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan secara bebas atau meminta penjelasan dari temannya yang lebih pandai. Dan siswa pandai terkondisikan untuk selalu memberikan bantuan-bantuan penjelasan kepada teman yang membutuhkan. Dalam kondisi semacam ini baik siswa lemah atau siswa pandai sama-sama memperoleh manfaat. Siswa lemah akan dapat memahami bahan ajar yang lebih baik, demikian pula siswa pandai akan meningkat penguasaan bahan ajarnya, karena untuk dapat memberikan bantuan penjelasan (tutorial) kepada temannya, tentunya dibutuhkan pemikiran lebih

23

mendalam tentang hubungan antara konsep-konsep atau ide-ide yagn terkandung dalam materi yang dijelaskan tersebut. 3) Kemampuan Pemecahan Masalah Dengan menggunakan model RESIK dalam setiap PBM, siswa dalam masing-masing kelompok kecil diberikan tugas melakukan aktivitas atau memecahkan masalah tertentu. Tugas yang diberikan ini dapat berupa serangkaian petunjuk melakukan aktivitas yang diarahkan untuk menemukan aturan-aturan tertentu, atau berupa soal-soal nonrutin yang berkaitan dengan keseharian siswa (kontekstual) yang harus diselesaikan kelompok. Dengan bekerjasama dalam kelompok, soal-soal nonrutin tersebut dapat diselesaikan secara lebih baik, bila dibandingkan dengan bekerja secara individual. Aktivitas semacam ini yang secara terus menerus dilakukan dalam setiap PBM, diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam hal pemecahan masalah. 4) Kemampuan berpikir kritis Selama ini pengajaran dengan model konvensional lebih menitik beratkan pada perolehan pengetahuan konseptual dan prosedural, dan kurang memberikan perhatian pada pengembangan kemampuan berpikir. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model RESIK, siswa diperhadapkan dengan banyak masalah yang harus dipecahkan, siswa diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang

merangsang berpikir siswa. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa, bagaimana dan sebagainya akan merangsang siswa untuk berpikir lebih keras. Dengan demikian belajar dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan model RESIK ini akan dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa. berpikir merupakan proses yang melibatkan operasi (aktivitas) mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Berpikir merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama (Arends, 2000, 1997). Salah satu kemampuan berpikir yang dapat ditumbuhkan melalui

pembelajaran metematika dengan menggunakan model RESIK ini adalah kemampuan berpikir kritis. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran dengan

24

model ini, siswa selalu diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa, bagaimana, yang kontekstual, sehingga dapat merangsang dan menuntut berpikir siswa secara cermat dan konprehenship. Siswa tidak hanya diharapkan dapat menyelesaikan salah satu masalah, tetapi juga memahami langkah-langkah pemecahan masalah dan mengetahui mengapa memilih strategi pemecahan masalah tersebut. Berpikir kritis merupakan suatu keterampilan berpikir yang bermanfaat dalam banyak situasi kehidupan. Menurut Ernis (Ratumanan, 2003), berpikir kritis merupakan berpikir reklektif yang terfokus dan memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Dari defenisi menurut Ernis ini dapat diungkapkan beberapa hal penting. Pertama, berpikir kritis merupakan kegiatan reklektif. Sering tujuannya tidak untuk menyelesaikan masalah tetapi lebih pada pemahaman terbaik terhadap masalah. Kedua, berpikir kritis juga merupakan kegiatan yang terfokus. Ini menunjukkan bahwa kita tidak hanya berpikir, tetapi dalam berpikir tentang sesuatu, kita ingin memahami sepenuhnya. Ketiga, tujuan dari berpikir kritis adalah untuk memper-timbangkan dan mengevaluasi informasi sedemikian sehingga pada akhirnya memungkinkan kita untuk membuat keputusan. Keempat, tidak serupa pemecahan masalah, content dari berpikir kritis kita merupakan suatu keyakinan atau suatu alasan bagi keinginan kita untuk menyelesaikan sepenuhnya. 5) Keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif merupakan suatu keterampilan yang sangat dibutuhkan saat ini. Bagaimanapun keterampilan ini dibutuhkan setiap orang, karena kenyataan menunjukkan bahwa kehidupan siswa setiap hari tidak dapat dipisahkan dengan orang lain, di rumah ia hidup dan berinteraksi dengan sesama anggota keluarga, di lingkungan ia hidup dan berinteraksi dengan tetangganya atau temantemannya, di sekolah ia hidup dan berinteraksi dengan guru dan teman-temannya, dan sebagainya. Tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa keterampilan kooperatif siswa saat ini terasa kurang. Arends (1997) mengemukakan bahwa banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan

25

begitu seringnya terjadi pertikaian kecil antara individu sehingga dapat mengakibatkan tindak kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidak puasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif. Pembelajaran dengan menggunakan model RESIK memberikan kesempatan kepada siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan dan kondisi sosial yang berbeda untuk bekerja sama, saling tergantung dan belajar saling menghargai satu dengan lainnya. Kondisi semacam ini memungkinkan berkembangnya keterampilanketerampilan untuk bekerjasama yang memang sangat dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat. Arends (1997) menyebut ketarmpilan-keterampilan ini sebagai keterampilan sosial. Keterampilan-keterampilan ini dapat pula disebut sebagai keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif merupakan keterampilan khusus yang diperlukan dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran dengan

menggunakan model RESIK. Keterampilan ini berfungsi untuk mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok dan meningkat-kan peran dan kerjasama dalam kelompok. Lundgren (1994) lebih jauh memberikan klasifikasi keterampilan kooperatif sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. 6) Kemampuan Komunikasi Matematika. Komunikasi matematika merupakan aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika. Komunikasi dalam matematika merupakan salah satu kemampuan dasar umum yang perlu diupayakan peningkatannya seperti halnya kemampuan dasar umum lainnya, yakni kemampuan penalaran dan kemamuan pemecahan masalah (Ratumanan, 2003; NCTM, 2000). Komunikasi matematika yang dimaksudkan di sini adalah peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan di mana terjadi penyampaian dan penerimaan pesan-pesan matematika di dalam suatu lingkungan kelas. Pesan-pesan matematika di sini berkaitan dengan materi matematika yang sementara dipelajari siswa dalalm PBM. Cara penyampaian atau pengalihan pesan ini dapat dilakukan secara tertulis atau secara lisan.

26

Pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK, siswa tidak hanya difasilitasi untuk dapat mengkonstruksikan pengetahuan dan memecahkan masalah, tetapi siswa juga diarahkan untuk dapat menjelaskan hasil konstruksi pengetahuan dan hasil pemecahan masalah yang diperolehnya. Sebaliknya siswa lain diharapkan dapat merespons dengan melakukan koreksi-koreksi dengan argumentasi logis terhadap hasil konstruksi pengetahuan danpemecahan masalah tersebut. Dengan melakukan proses semacam ini secara terus menerus, dapat diharapkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa dapt meningkat. b. Dampak Pengiring. 1) Kemandirian atau otonomi dalam belajar. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model RESIK, siswa tidak menerima informasi (pengetahuan) secara pasif dari gurunya, tetapi siswa berupaya sendiri melalui aktivitas kelompok untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan tersebut. Kondisi semacam ini akan menumbuhkan kemandirian atau otonomi siswa dalam belajar. Siswa tidak lagi menjadi orang yang pasif menunggu transfer pengetahuan dari gurunya, tetapi akan lebih aktif mencari, mempelajari dan mengkonstruksi pengetahuan melalui kelompok-kelompok kecil. 2) Sikap positif terhadap matematika. Dalam model RESIK, siswa terlibat secara aktif dalalm PBM, baik dalam mempelajari bahan ajar, mengkonstruksi pengetahuan sendiri, maupun dalam mengerjakan aktivitas hands-on dan memecahkan masalah. Kondisi ini akan membuat PBM menjadi lebih menyenangkan, sehingga kesan matematika sebagai pelajaran yang sulit, bahkan menakutkan sedikit demi sedikit dapat diubah. Dengan demikian belajar matematika dengan menggunakan model RESIK juga akan dapat menumbuhkan sikap positif terhadap matematika. Dampak instruksional dan dampak pengiring pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK, secara ringkas dapat di gambarkan berikut.

27

Kemampuan konstruksi penget. Penguasaan bahan ajar Kemampuan pemec. masalah Kemampuan berfikir kritis

Sikap positif terhadap mat. Kemandirian/ Otonomi

Model RESIK

Keterampilan kooperatif

Kemampuan komunikasi mat.

Keterangan: : Dampak Instruksional : Dampak Pengiring

Memotivasi siswa Menyajikan informasi & memahami msl kontekstual Mengorganisasi kelompok & memberikan tugas Membimbing kelompok Diskusi & negosiasi Evaluasi & penghargaan

SINTAKS

DAMPAK
Konstr. penget Penguasaan Mat Pemec. Masalah Berpikir kritis Komunikasi Mat Ketr. Kooperatif Kemandirian Sikap positif Kerja sama Kebebasan berpendapat Tanggung jawab Sama derajat

SISTEM SOSIAL

MODEL RESIK

SISTEM PENDUKUNG
Rencana pembelajaran Bahan ajar LKS Perangkat penilaian Media pembelajaran dsb

Kondisi demokratis Menyediakan sumber belajar yang relevan Menghindari transfer Menekankan kerjasama Scaffolding Menghargai dan memotivasi sbg sumber yang fleksibel

PRINSIP PENGELOLAAN

Berdasrkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu: buku model RESIK yang telah dikembangkan khususnya yang berkaitan dengan: (1) sintaks, pada fase-1 dan fase-6; (2) sistem sosial, khususnya hubungan individu dan kelompok belum dapat bertahan selama aktivitas

28

kelompok; (3) prinsip reaksi, khususnya aktivitas guru dalam memberi umpan balik; dan (4) sistem pendukung, khususnya pemanfaatan media pembelajaran perlu dieksplisitkan, belum terlaksana secara optimal. Hal ini menunjukkan bahwa model RESIK tidak secara otomatis dapat terlaksana dengan baik. Berdasarkan hasil analisis dari keterlaksanaan perangkat pembelajaran dan masukan dari validator, maka yang perlu dibahas adalah: a. Buku Siswa Buku siswa terutama yang berkaitan dengan kondisi siswa, seperti pengetahuan prasyarat, penggunaan bahasa siswa, dan pengalaman belajar siswa. Knapp & Schell dalam Ratumanan (2003) mengemukakan bahwa semua pembelajaran perlu mendasarkan pada pengetahuan prasyarat dan pengalamanpengalaman siswa. Hal yang perlu dibahas dalam revisi buku siswa adalah kaitannya dengan prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran RESIK, dan penampilan dari buku siswa. Buku siswa yang dikembangkan kurang memaparkan secara jelas materi yang diharapkan dikonstruksi siswa. Sehingga siswa nampak kesulitan untuk

mengkonstruksi sendiri konsep yang diharapkan. Hal ini dapat dipahami karena pembelajaran matematika selama ini cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah (Soedjadi, 2001), sehingga kebiasaan siswa cenderung lebih banyak menerima informasi, dan masalah yang dihadapi lebih banyak mereka cari jawabannya pada buku yang digunakan. Aktivitas siswa untuk berusaha mengkonstruksi sendiri jawaban suatu masalah, manakala masalah itu tidak ada jawabannya pada buku yang digunakan (Suradi, 2005). Dengan alasan ini, maka petunjuk-petunjuk yang akan dikonstruksi siswa dilengkapi dalam buku siswa. Demikian juga gambar-gambar sesuai dengan masalah konteks yang disajikan, agar siswa dapat lebih tertarik untuk membaca dan memahami masalah yang diberikan lewat ilustrasi gambar. b. Lembar Kegiatan Siswa Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang dikembangkan, berbentuk soal cerita dan dikaitkan dengan konteks siswa. Beberapa alasan dipilihnya soal-soal cerita yang berkaitan

29

dengan konteks siswa pada LKS, antara lain menurut Leiken & Zaslavsky (1997) untuk memfasilitasi aktivitas siswa yang berkaitan dengan tugas dalam pembelajaran matematika, dapat dilakukan dengan menggunakan contoh latihan yang ada kaitannya dengan masalah siswa (kehidupan sehari-hari siswa). Pembelajaran matematika harus memberikan siswa situasi masalah yang dapat mereka bayangkan atau memiliki hubungan dengan dunia nyata (Heuvel-Panhuizen, dalam Nur, 2001). Selain itu, penelitian Verschaffel & De Corte menemukan adanya kecenderungan kuat bahwa siswa dalam memecahkan masalah dunia nyata bergantung pada pengetahuan siswa tentang dunia nyata tersebut (Nur, 2001). Demikian juga, Soedjadi (2001) mengemukakan bahwa dalam menetapkan masalah nyata dalam pembelajaran matematika perlu selalu memperhatikan realitas dan lingkungan yang ada, sehingga memungkinkan sekaligus dapat memotivasi siswa untuk senang belajar matematika. c. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berdasarkan hasil yang diperoleh dari keterlaksanaan RPP yang perlu dibahas adalah guru masih kesulitan mencari contoh-contoh realistik berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Baik pada saat memotivasi siswa (fase-1), maupun pada saat guru menyajikan informasi dan melibatkan siswa memahami masalah kontekstual (fase-2). Berdasarkan saran dari guru, pada RPP diminta untuk dilengkapi contohcontoh realistik berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Dampak pembelajaran RESIK dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan aktivitas siswa, lebih banyak terjadi di dalam tugas. Yang perlu didiskusikan adalah aktivitas siswa dalam tugas mencapai lebih dari 90%. Hal ini memberikan gambaran bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran RESIK dapat mengubah pembelajaran yang teachers oriented menjadi student oriented. Siswa nampak dalam pembelajaran dapat berinteraksi dengan siswa lainnya dengan difasilitasi oleh guru. Hal ini sesuai yang dikemukakan Jones & Thornton (1993) bahwa anak dalam belajar dimulai dengan level sosial dalam melakukan kolaborasi dengan orang lain, kemudian level individual dengan melakukan internalisasi. Juga Vygotsky mengemukakan bahwa pengalaman yang dilakukan siswa beraktivitas dengan siswa lainnya, akan berfungsi untuk melakukan internalisasi konsep secara independen.

30

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, memberikan penguatan bahwa jika pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran RESIK dilaksanakan dalam waktu lama (tidak berarti harus kontinu), maka memungkinkan siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya (sejalan dengan konstruktivisme) melalui dua level, yaitu dimulai level sosial (aktivitas berinteraksi) kemudian diikuti level individual. Aktivitas guru dalam pembelajaran RESIK pada umumnya dapat mengikuti sintaks pembelajaran yang diberikan, namun demikian kebiasaan guru mengajar dengan menjelaskan materi, memberi contoh, dan meminta siswa bertanya terhadap contoh yang diberikan, masih tampak dilakukan pada saat menyampaikan materi. Bahkan masih terlihat ada contoh-contoh yang dibahas bersesuaian dengan apa yang seharusnya dikonstruksi siswa. Selama siswa bekerja kelompok, guru berusaha memfasilitasi siswa dalam menyelesaikan tugas. Guru mendatangi kelompok yang kelihatannya hanya bekerja secara sendiri-sendiri, dengan mengarahkan supaya siswa dalam kelompok tersebut saling membantu dalam menyelesaikan tugas. Namun yang perlu didiskusikan adalah guru memberi bantuan masih sering (walau frekuensinya rendah) dalam bentuk penyelesaian masalah (bukan memberi dorongan berupa ide menyelesaikan masalah) kepada kelompok yang meminta bantuan. Menurut guru, hal itu dilakukan hanya pada kelompok yang menanyakan hal yang sama lebih dari satu kali. Dalam diskusi kelompok, tampaknya guru kurang sabar menuntun siswa untuk bernegosiasi manakala terjadi perbedaan pendapat. Tampak ada kecenderungan guru memutuskan satu jawaban dari kelompok yang menjawab benar, dengan memberikan penjelasan. Hal ini dilakukan guru karena ada kekhawatiran kelas menjadi ribut, dan yang didiskusikan tidak tuntas sesuai dengan alokasi waktu yang ada. Secara umum dari hasil yang diperoleh, dapat dikemukakan bahwa aktivitas guru memfasilitasi siswa dalam pembelajaran matematika secara RESIK dapat dilaksanakan dan dominasi guru sudah kelihatan berkurang dalam transfer pengetahuan kepada siswa. Namun aktivitas transfer dari guru, jelas masih dibutuhkan siswa (manakala siswa mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan tugas) karena tidak semua materi dapat dikonstruksi siswa.

31

Pembahasan yang perlu disajikan sebagai dampak dari pembelajaran matematika dengan pendekatan RESIK, adalah skor perkembangan akademik siswa. Rata-rata skor yang diperoleh siswa menunjukkan kecenderungan peningkatan. Hasil ini memberikan suatu gambaran bahwa dalam pembelajaran matematika secara RESIK, kompetensi belajar akademik siswa mempunyai kecenderungan lebih baik jika diberikan permasalahan dalam bentuk realistik yang berkaitan dengan masalah siswa untuk dikerjakan dalam kelompok. Skor perkembangan yang diberikan kepada siswa, tampaknya berpengaruh dalam hal membuat siswa dalam suatu kelompok untuk bekerja dengan baik (aktivitas dalam tugas semakin meningkat). Demikian juga, penghargaan kelompok yang diberikan berdasarkan hasil kerja individu mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan aktivitas siswa baik secara perorangan maupun secara kelompok. Hal ini terlihat pada saat siswa bekerja didalam kelompok, selalu ada usaha untuk saling mengingatkan agar semua anggota kelompok masing-masing menyelesaikan tugas. Usaha untuk saling mengingatkan dalam tugas yang dilakukan siswa sebagimana yang dikemukakan di atas (walaupun belum sesuai yang diharapkan), tetapi hal seperti itu sudah merupakan suatu kepedulian siswa untuk keberhasilan kelompoknya. Hal ini dapat dipahami karena keterampilan dan kemampuan untuk menjelaskan hasil pekerjaan matematika, bukan hal yang mudah dilakukan siswa SMP dalam waktu yang singkat. Sehingga pembelajaran matematika secara RESIK jika dalaksanakan dalam waktu yang lama dan siswa selalu dilatih untuk menjelaskan hasil pekerjaannya, maka keterampilan sosial siswa untuk saling menjelaskan tugas mempunyai peluang yang besar untuk dapat dilaksanakan.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Buku model pembelajaran RESIK yang dikembangkan memuat sintak, sistem sosial, prinsip-prinsip reaksi, dan sistem pendukung. Model RESIK ini memenuhi kriteria keefektifan, validitas, tetapi belum memenuhi kriteria kepraktisan yaitu keterlaksanaan baru mencapai kategori tinggi (tahun pertama rata-rata

32

keterlaksanaan 83,93%, dan tahun kedua 85,30%), sedangkan yang diharapkan adalah kategori sangat tinggi (lebih besar atau sama dengan 90%). Keterlaksanaan komponen model yang paling rendah adalah sistem sosial baru mencapai 75%. 2. Perangkat pembelajaran RESIK yang telah dikembangkan adalah buku siswa, LKS, dan RPP. Namun demikian ketiga perangkat pembelajaran tersebut sebelum digunakan guru harus mempersiapkan contoh-contoh realistik sesuai dengan konsep yang akan disajikan untuk mendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum yang digunakan. 3. Prilaku guru dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model RESIK telah berubah. Pembelajaran lebih banyak berpusat kepada siswa (student oriented) dan guru bertindak sebagai fasilitator. Namun demikian, guru dalam melaksanakan pembelajaran RESIK belum optimal, terutama mengaitkan materi yang akan diajarkan dengan realitas siswa. 4. Aktivitas siswa belajar matematika dengan model pembelajaran RESIK dapat mengurangi ketegangan mereka dalam belajar. Aktivitas siswa di dalam menyelesaikan tugas berada dalam kategori sangat tinggi yaitu mencapai 96,50% (hanya 3,50% aktivitas yang dilakukan di luar tugas). 5. Pencapaian kompetensi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan RESIK mencapai rata-rata 6,65 (Std. dev. = 1,68) dengan skor ideal yang mungkin dicapai adalah 10. Rata-rata ini masih berada dalam ketegori sedang. Sedangkan siswa yang diajar secara konvensional rata-rata kompetensi belajarnya berada dalam kategori rendah yaitu 5,10 (Std. dev. = 2,25) dengan. skor ideal yang mungkin dicapai adalah 10. Hasil uji-t juga menunjukkan bahwa kedua rata-rata tersebut berbeda secara signifikan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dan sebagai implikasi dari kesimpulan maka disarankan beberapa hal berikut. 1. Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran RESIK dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengubah pembelajaran matematika di SMP dari teachers oriented menjadi pembelajaran yang students oriented.

33

2. Untuk melaksanakan pembelajaran matematika secara RESIK, guru hendaknya membuat persiapan yang matang dengan mengembangkan perangkat

pembelajaran yang realistik. Dalam kaitan ini, guru perlu diberikan workshop pengembangan bahan ajar yang mengacu kepada matematika realistik, terutama pengembangan materi ajar untuk mendukung pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan. 3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajarkan matematika di SMP dengan pendekatan contextual problem sebagaimana yang diharapkan dalam pencapaian kompetensi dasar pada standar isi yang ditetapkan oleh badan standar nasional pendidikan. 4. Hasil penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti dalam bentuk sosialisasi model pembelajaran RESIK kepada guru-guru matematika pada level pendidikan SMP. Sehingga buku model RESIK yang dikembangkan dapat diterima sebagai salah satu model pembelajaran matematika yang dapat melengkapi model-model pembelajaran yang banyak digunakan dari negara lain.

34

DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I, 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw Hill Companies, Inc. Arends, R.I. 2000. Learning to Teach. Fifth Edition. New York: McGraw Hill Companies, Inc. Armanto, D. 2002. Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesia Primary School. A Prototype of Local Instructional Theory. Dissertasi, Enschede: PrintPartners Ipskamp. Bell, F.H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: WM. C Brown Company Publisher. Bloom, Benjamin S., Thomas J. Hasting., & George F. Madaus. 1981. Evaluation to Improve Learning. New York: McGraw Hill Book Company. De Lange, J. 1996, Using and Applying Mathematics in Education. In A.J. Bishop et al. (eds) International Handbook of Mathematics Education. h. 49-97. Kluwer, Academic Publisher. The Nederlands. Foster, A.G. 1993. Cooperative Learning in the Mathematics Classroom. Glencoe/ McGraw Hill. Freudental, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Reidel Publishing. Gravemeijer, K.P.E. 1994, Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD- Press, The Netherlands. Ibrahim, M., dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press. Jones, Graham A. and Thornton, Carol A. 1993. Vygotsky Revisited: Nurturing Young Childrens Understanding of Number. Focus on Learning Problem in Mathematics (Spring & Summer Edition). Vol. 15, Numb. 2&3, 1993, pp.18-28. Leiken, Roza., Zaslavsky. 1997. Facilitating Student Interaction in Mathematics in a Cooperative Learning Setting. Journal for Research in Mathematics Education. Volume 28, Number 3, May 1997, p. 331-354. USA: NCTM, Inc. Lungdren, Linda, 1994. Cooperative Learning in The Science Classroom. Glencoe: MacMillan/McGraw Hill. Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah.. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di USD Yogyakarta, Yogyakarta, 27-28 Maret 2003. National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM, Inc. Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker, R.M Branch, K. Gustafson, N. Nieveen, & Tj. Plom (eds). Design Approach and Education and Training. (pp. 125-135). Dordrecht, The Netherlands: Kluer Academic Publishers.

35

Nodding, Nel. 1992. Construtivism in Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph, Number 4, 1992, p. 7-18. USA: NCTM, Inc. Nur, Mohamad., 2001. Realistic Mathematics Education (makalah pada pelatihan calon pelatih SLTP tanggal 21 Juni s.d 6 Juli 2001 di Surabaya. Direktorat SLTP, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Dpdiknas, Jakarta. Plomp, T. 1997. Educational and Training System Design. Enschede, The Netherlands: Univercity of Twente.. Ratumanan, Gerson, T.. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interakstif dengan Setting Kooperatif (Model PISK) dan Pengaruhnya terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Surabaya: PPS Unesa. Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika. Makalah, yang disampaikan pada Seminar Nasional RME di UNESA Surabaya, 24 Februari 2001. Slavin, R.E., 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Slavin, R.E., 2000. Educational Psychology. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suradi, 2005. Interaksi Siswa SMP dalam Belajar Matematika Secara Kooperatif. Laporan Penelitian Disertasi, PPs UNESA Surabaya. Thomson, M, et al. (1995) Physical Science: Teacher Wrapround Edition. New York: Giencoe Mc Graw-Hill. Http://www.clcr.com /pages/cl.html. Cooperative Learning. Http://www.clcr.com /pages/asses.html. Cooperative Learning and Assesment.

You might also like