You are on page 1of 16

3.4.3.

Teori-teori Motivasi Kerja

Pada bagian ini akan disampaikan dua teori tentang motivasi kerja yaitu Teori Isi (Content Theory) dan Teori Proses (Process Theory), yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Teori Isi (Content Theory)

Teori Isi dari motivasi kerja mencoba menentukan apa sajakah halhal yang memotivasi orang dalam bekerja. Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang ada dalam diri individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku. Teori Isi terlihat sangat sederhana, yang diperlukan manajer adalah bagaimana menebak kebutuhan para karyawan dengan mengamati perilaku mereka, kemudian memilih cara apa yang akan digunakan supaya mereka melaksanakan atau bertindak sesuai dengan keinginan manajer. Teori Isi kadang-kadang juga disebut Teori Kebutuhan, teori-teori tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori Hierarkhi Kebutuhan dari Maslow

Teori ini menganggap bahwa dalam diri setiap manusia terdapat hirarki lima kebutuhan, yaitu berturut-turut:

1. Kebutuhan fisiologis, berupa: pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya.

2. Kebutuhan atas jaminan keamanan (rasa aman), yaitu: rasa aman dan terlindung dari resiko fisik dan mental.

3. Kebutuhan sosial, termasuk: persahabatan, keakraban, penerimaan, keterikatan.

4. Kebutuhan harga diri, seperti: dihormati, disegani, diakui, kewibawaan.

5. Kebutuhan aktualisasi diri, berupa: prestasi, perkembangan, tanggung jawab, kepuasan diri.

Gambar 3.2. Piramida Hierarkhi Kebutuhan Maslow

Sumber:http://www.psywww.com/intropsych/ch09_motivation/masl ows_hierarchical_theory_of_motivation

Jika

suatu

kebutuhan

telah

terpenuhi

maka

kebutuhan

berikutnya menjadi dominan. Untuk memotivasi seseorang, perlu diketahui tingkat hierarkhi kebutuhannya saat ini, dan memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan tersebut dan di atas tingkat

tersebut.

Teori ini mengelompokkan kelima kebutuhan dalam dua golongan utama, yaitu :

Kebutuhan

urutan-bawah, yaitu

kebutuhan fisiologis dan

keamanan yang umumnya dipenuhi dari luar karyawan, seperti upah, pensiun, asuransi yang diberikan perusahaan.

Kebutuhan urutan-atas, yaitu kebutuhan sosial, harga diri, dan aktuliasasi diri yang dipenuhi dari dalam diri karyawan itu sendiri, seperti rasa puas, diakui, diterima. Pada teori ini, Maslow mengasumsikan bahwa apabila seseorang tersebut berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar (fisiologi) sebelum menggerakkan perilaku dalam memuaskan kebutuhan seseorang yang lain (pegawai) yang sangat kuat, maka semakin kuat pula motivasi orang tersebut untuk menggunakan perilaku yang mengarah pada pemenuhan dan pemuasan atas kebutuhannya. Maslow pun menegaskan bahwa kebutuhan yang

telah terpenuhi bukanlah merupakan faktor motivator, melainkan kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi faktor motivator. Lebih lanjut Siagian (2000) mengoreksi teori yang dikemukakan oleh Maslow. Ditegaskan bahwa istilah hierarkhi dapat diartikan sebagai tingkatan (anak tangga). Logikanya adalah bahwa dengan menaiki anak tangga, berarti harus dimulai dari anak tangga yang pertama, menuju anak tangga yang kedua, dan seterusnya. Apabila konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tersebut tidak akan berusaha dapat memuaskan kebutuhannya pada tingkat kedua sebelum memuaskan

kebutuhannya pada tingkat pertama terpenuhi, dan begitu seterusnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusian dapat digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai susunan hierarkhi, yang artinya sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang tersebut maka pada waktu yang bersamaan, dapat menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan sosialisasi serta ingin tumbuh dan berkembang.

3.4.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

Herzberg yang tergabung dalam "Psychological Service Pittsburgh", memperluas Hierarkhi Kebutuhan dari Maslow dan mengembangkan suatu

Teori Motivasi Kerja secara khusus. Berdasarkan penelitiannya terhadap lebih dari 200 akuntan dan ahli mesin, Herzberg mengambil kesimpulan bahwa ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang dalam organisasi, yaitu pemuas kerja (job satisfier) yang berkaitan dengan isi pekerjaan dan penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfier) yang bersangkutan dengan suasana kerja. Satisfier disebut dengan istilah motivator dan dissatisfier disebut sebagai faktor-faktor higienis (hygiene factors). Dengan menggabungkan kedua istilah tersebut, teori yang dikemukakan Herzberg dikenal sebagai Teori Motivasi Dua Faktor.

Faktor-faktor higienis, seperti istilah medis, adalah bersifat preventif dan merupakan faktor lingkungan, dan secara kasar ekuivalen dengan kebutuhan kebutuhan tingkat dasar Maslow. Faktor-faktor higienis ini bukan sebagai sumber kepuasan kerja, tetapi justru sebaliknya sebagai sumber

ketidakpuasan kerja. Faktorfaktor tersebut antara lain:

1. Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration)

2. Supervisi (technical supervisor)

3. Hubungan antarpribadi (interpersonal relation)

4. Kondisi kerja (working condition)

5. Gaji (wages)

Faktor yang lain adalah faktor-faktor yang berperan sebagai motivator terhadap karyawan, yaitu mampu memuaskan dan mendorong orang-orang untuk bekerja dengan baik. Faktor-faktor ini secara kasar ekuivalen dengan kebutuhan tingkat atas Maslow. Menurut Herzberg, seorang karyawan harus mempunyai pekerjaan yang lebih menantang, lebih banyak tuntutan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan agar dia dapat termotivasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Keberhasilan pelaksanaan (achievement)

2. Pengakuan (recognition)

3. Pekerjaan itu sendiri (the work itself)

4. Pengembangan (development)

3.4.5. Unsur-Unsur Penggerak Motivasi Motivasi tenaga kerja akan ditentukan oleh motivatornya, Motivator yang dimaksud adalah merupakan mesin penggerak motivasi tenaga kerja sehingga

menimbulkan pengaruh perilaku individu tenaga kerja yang bersangkutan. Sagir (1985) mengemukakan unsur-unsur penggerak motivasi sebagai berikut: 1. Prestasi (achievement) Seseorang yang memiliki keinginan berprestasi sebagai suatu "kebutuhan" atau needs dapat mendorongnya mencapai sasaran. Mc Clelland menyatakan bahwa tingkat "Needs of Achievement (NAch) yang telah menjadi naluri kedua (second nature), merupakan kunci keberhasilan seseorang. dengan sikap positif, N-Ach biasanya juga dikaitkan mengambil resiko yang

keberanian

diperhitungkan (calculated risk) untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Melalui suatu Achievement Motivation Training (AMT) maka entrepreneurship, sikap hidup untuk berani mengambil resiko untuk mencapai sasaran yang lebih tinggi dapat dikembangkan. 2. Penghargaan (recognition) Penghargaan pengakuan atau recognition atas suatu prestasi yang telah dicapai oleh seseorang akan merupakan motivator yang kuat. Pengakuan atas suatu prestasi, akan memberikan kepuasan batin yang lebih tinggi daripada penghargaan dalam bentuk materi atau hadiah. Penghargaan atas pengakuan dalam bentuk piagam atau medali, dapat menjadikan motivator yang lebih kuat dibandingkan dengan hadiah berupa barang atau bonus dan uang. 3. Tantangan (challenges) Adanya tantangan yang dihadapi, merupakan motivator kuat bagi

manusia untuk mengatasinya. Suatu sasaran yang tidak menantang atau dengan mudah dapat dicapai biasanya tidak mampu menjadi motivator, bahkan cenderung untuk menjadi kegiatan rutin. Tantangan demi tantangan biasanya akan menumbuhkan kegiatan kegairahan untuk mengatasinya. 4. Tanggung Jawab (responsibility) Adanya rasa ikut serta memiliki (sense of belonging) akan menimbulkan motivasi untuk ikut merasa bertanggungjawab. Dalam hal ini Total Quality Control (TQC), atau dalam istilah bahasa Indonesianya Peningkatan Mutu Terpadu (PMT) yang bermula dari negara Jepang (Japanese Management Style), berhasil memberikan tekanan pada tenaga kerja, bahkan setiap tenaga kerja dalam tahapan proses produksi telah turut

menyumbang, suatu proses produksi sebagai mata rantai dalam suatu sistem akan sangat ditentukan oleh tanggungjawab subsistem dalam proses produksinya, sebagai hasil rasa tanggung jawab kelompok (subsistem) maka produk akhir merupakan hasil dari Total Quality Control atau Peningkatan Mutu Terpadu. Tanggung jawab merupakan kelompok dalam mata rantai proses produksi tersebut, merupakan QCC (Quality Control Circle =

PMT/Kelompok Peningkatan Mutu Terpadu), merupakan tanggung jawab bersama. 5. Pengembangan (development) Pengembangan kemampuan seseorang baik dari pengalaman kerja

atau kesempatan untuk maju, dapat merupakan motivator kuat bagi tenaga kerja untuk bekerja lebih giat atau lebih bergairah. Apalagi jika pengembangan perusahaan selalu dikaitkan dengan prestasi atau produktivitas tenaga kerja. 6. Keterlibatan (involvement) Rasa ikut terlibat (involved) dalam suatu proses pengambilan keputusan atau bentuknya, dapat pula "kotak saran" dari tenaga kerja, yang dijadikan masukan untuk manajemen perusahaan, merupakan motivator yang cukup kuat untuk tenaga kerja. Tenaga kerja merasa diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan atau langkah-langkah kebijakan yang akan diambil manajemen. Rasa terlibat akan menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab, rasa dihargai yang merupakan "tantangan" yang harus dijawab, melaui peran serta dan prestasi untuk mengembangkan usaha maupun pengembangan pribadi. Adanya rasa keterlibatan (involvement) bukan saja menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa turut bertanggung jawab (sense of responsibility), tetapi juga menimbulkan rasa untuk mawas diri serta bekerja lebih baik, menghasilkan produk yang lebih bermutu. 7. Kesempatan (opportunity) Kesempatan untuk maju dalam bentuk jenjang karir yang terbuka, dari tingkat bawah sampai tingkat atas (top-level management) akan merupakan motivator untuk berprestasi atau bekerja produktif.

3.5. Hubungan Persepsi Terhadap Kompensasi Dengan Motivasi Kerja Setiap perusahaan akan selalu berusaha agar motivasi kerja dari para karyawannya dapat ditingkatkan atau selalu tinggi. Pada umumnya motivasi kerja karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kompensasi yang diberikan perusahaan, persepsi yang tinggi terhadap kompensasi yang diberikan akan memberikan pengaruh positif pada motivasi kerja. Untuk mencapai sasaran berupa motivasi kerja, perusahaan dapat menawarkan kemungkinan kompensasi yang bermacam-macam sesuai dengan perilaku yang diharapkan akan ditimbulkan kompensasi tersebut. Permotivasian dengan uang, demikian juga faktor lain, baru akan berhasil apabila karyawan menginginkan dan yakin bahwa uang tersebut akan diperoleh jika mereka berperilaku dengan cara yang ditentukan. Dengan demikian, akibat nyata dari pengaruhnya tergantung pada penilaian karyawan atas nilai uang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dan kekuatan pengharapan (expectation) bahwa perilaku yang ditentukan itu akan benar-benar mengakibatkan diperolehnya imbalan atau ganjaran yang ditawarkan (Flippo, 1993). Pada penelitian yang dilakukan oleh Besser (1995) pada Toyota Motor Manufacturing di Kentucky USA, menyimpulkan bahwa pengaruh yang positif pada karyawan dalam pencapaian tujuan perusahaan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kompensasi yang diberikan perusahaan.

Para karyawan akan menilai secara subyektif kemungkinan bahwa kompensasi yang diinginkan akan benar-benar diperoleh. Hal tersebut memerlukan

pertimbangan atas dua hal penting yaitu, kemampuan pribadi untuk melakukan

tindakan yang diharuskan dan persepsi bahwa perilaku semacam itu akan benarbenar diganjar. Washington mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa terus menerus memberikan sumbangan bagi kesejahteraan materi, intelek dan moral di tempat dia hidup, bila ia tak merasakan adanya ganjaran yang memadai (dalam Bremer, 1995). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa puas terhadap kompensasi yang diterima akan berpengaruh terhadap motivasi kerja. Hal ini

berarti bila seorang karyawan yang tidak merasa puas dengan kompensasi yang didapatnya, maka motivasi kerjanya akan menurun. 3.6. Hubungan Sikap Proaktif Dengan Motivasi Kerja Menurut Gibson (1995) sikap seorang karyawan dapat menghambat prestasi kerjanya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa karyawan yang mempunyai sikap proaktif akan mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil dalam pekerjaannya, semakin sering ia berhasil dalam pekerjaannya maka semakin tinggi pula motivasi kerjanya. Menurut Dharma (1992) motivasi kerja di kalangan karyawan menjadi sangat penting karena motivasi merupakan modal utama untuk menumbuhkan sikap proaktif sehingga akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, yang pada akhirnya akan terkait dengan upaya untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi. Sebuah kerangka kualitas, keterampilan, dan kompetensi untuk manajemen pengembangan diri memperhatikan suatu pendekatan yang proaktif untuk menjadi seorang manajer. Sebuah perusahaan pembelajaran (learning company)

mengharuskan karyawan-karyawannya memanajemeni dirinya sendiri dan belajar untuk dirinya sendiri, kolega-koleganya, dan untuk perusahaan secara keseluruhan

(Pedler, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Dwiatmika (1996) menyimpulkan bahwa seseorang yang bersikap proaktif dan memiliki tujuan yang spesifik akan lebih berprestasi dan dengan sendirinya motivasi kerja akan baik. Bisnis, kelompok masyarakat, segala bentuk organisasi dapat menjadi proaktif. Mereka dapat menggabungkan kreativitas dan sumber daya dari individu-individu yang proaktif untuk menciptakan budaya proaktif dalam organisasi. Organisasi tidak selalu berada di bawah kekuasaan lingkungan; organisasi dapat mengambil inisiatif untuk mencapai nilai-nilai dan tujuan-tujuan bersama dari individu-individu yang terlibat (Covey, 1997). Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas maka jelas bahwa individu - individu yang bersikap proaktif -dengan memiliki beberapa maksud dan tujuan yang ingin dicapai dan bukan hanya sekedar menanggapi tuntutan yang ada- akan mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Situasi lingkungan kerja yang kondusif terhadap inisiatif dan kreatifitas dari para karyawannya, serta pemberian tanggung jawab akan mempengaruhi motivasi kerja karyawan.

3.5. Hubungan Persepsi Terhadap Kompensasi Dengan Motivasi Kerja Setiap perusahaan akan selalu berusaha agar motivasi kerja dari para karyawannya dapat ditingkatkan atau selalu tinggi. Pada umumnya motivasi kerja

karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kompensasi yang diberikan perusahaan, persepsi yang tinggi terhadap kompensasi yang diberikan akan memberikan pengaruh positif pada motivasi kerja. Untuk mencapai sasaran berupa motivasi kerja, perusahaan dapat menawarkan kemungkinan kompensasi yang bermacam-macam sesuai dengan perilaku yang diharapkan akan ditimbulkan kompensasi tersebut. Permotivasian dengan uang, demikian juga faktor lain, baru akan berhasil apabila karyawan menginginkan dan yakin bahwa uang tersebut akan diperoleh jika mereka berperilaku dengan cara yang ditentukan. Dengan demikian, akibat nyata dari pengaruhnya tergantung pada penilaian karyawan atas nilai uang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dan kekuatan pengharapan (expectation) bahwa perilaku yang ditentukan itu akan benar-benar mengakibatkan diperolehnya imbalan atau ganjaran yang ditawarkan (Flippo, 1993). Pada penelitian yang dilakukan oleh Besser (1995) pada Toyota Motor Manufacturing di Kentucky USA, menyimpulkan bahwa pengaruh yang positif pada karyawan dalam pencapaian tujuan perusahaan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kompensasi yang diberikan perusahaan.

Para karyawan akan menilai secara subyektif kemungkinan bahwa kompensasi yang diinginkan akan benar-benar diperoleh. Hal tersebut memerlukan

pertimbangan atas dua hal penting yaitu, kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan yang diharuskan dan persepsi bahwa perilaku semacam itu akan benarbenar diganjar. Washington mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa terus menerus

memberikan sumbangan bagi kesejahteraan materi, intelek dan moral di tempat dia hidup, bila ia tak merasakan adanya ganjaran yang memadai (dalam Bremer, 1995). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa puas terhadap kompensasi yang diterima akan berpengaruh terhadap motivasi kerja. Hal ini

berarti bila seorang karyawan yang tidak merasa puas dengan kompensasi yang didapatnya, maka motivasi kerjanya akan menurun. 3.6. Hubungan Sikap Proaktif Dengan Motivasi Kerja Menurut Gibson (1995) sikap seorang karyawan dapat menghambat prestasi kerjanya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa karyawan yang mempunyai sikap proaktif akan mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil dalam pekerjaannya, semakin sering ia berhasil dalam pekerjaannya maka semakin tinggi pula motivasi kerjanya. Menurut Dharma (1992) motivasi kerja di kalangan karyawan menjadi sangat penting karena motivasi merupakan modal utama untuk menumbuhkan sikap proaktif sehingga akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, yang pada akhirnya akan terkait dengan upaya untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi. Sebuah kerangka kualitas, keterampilan, dan kompetensi untuk manajemen pengembangan diri memperhatikan suatu pendekatan yang proaktif untuk menjadi seorang manajer. Sebuah perusahaan pembelajaran (learning company)

mengharuskan karyawan-karyawannya memanajemeni dirinya sendiri dan belajar untuk dirinya sendiri, kolega-koleganya, dan untuk perusahaan secara keseluruhan (Pedler, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Dwiatmika (1996) menyimpulkan bahwa seseorang yang bersikap proaktif dan memiliki tujuan yang spesifik akan lebih

berprestasi dan dengan sendirinya motivasi kerja akan baik. Bisnis, kelompok masyarakat, segala bentuk organisasi dapat menjadi proaktif. Mereka dapat menggabungkan kreativitas dan sumber daya dari individu-individu yang proaktif untuk menciptakan budaya proaktif dalam organisasi. Organisasi tidak selalu berada di bawah kekuasaan lingkungan; organisasi dapat mengambil inisiatif untuk mencapai nilai-nilai dan tujuan-tujuan bersama dari individu-individu yang terlibat (Covey, 1997). Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas maka jelas bahwa individu - individu yang bersikap proaktif -dengan memiliki beberapa maksud dan tujuan yang ingin dicapai dan bukan hanya sekedar menanggapi tuntutan yang ada- akan mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Situasi lingkungan kerja yang kondusif terhadap inisiatif dan kreatifitas dari para karyawannya, serta pemberian tanggung jawab akan mempengaruhi motivasi kerja karyawan.

You might also like