You are on page 1of 12

Kearifan Lokal Suku Pedalaman di Indonesia dalam Mitigasi Bencana

Oleh: Halim Perdana Kusuma (10/299671/SP/24189)

Abstrak
Indonesia adalah negara yang terkenal akan kemajemukan suku bangsanya, terdapat ratusan suku bangsa yang hidup di seluruh wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia juga merupakan bangsa yang sangat akrab dengan bencana. Baik berupa bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kecanggihan teknologi informatika, dalam era globalisasi kini memegang peranan penting dalam memprediksi datangnya bencana. Namun semua itu tak berlaku bagi kehidupan suku-suku pedalaman di pelosok wilayah Indonesia. Mereka masih memegang teguh kearifan lokalnya dalam bentuk pengetahuan dan cara pandang tentang bencana yang diwariskan secara turun-temurun di komunitasnya. Yang menjadi fokus pembahasan dalam paper ini adalah cara mitigasi bencana Suku Asmat di Papua, Suku Baduy di Banten, dan suku Dayak di Kalimantan. Tentu saja suku-suku tersebut masih menggunakan cara-cara tradisional dalam proses mitigasi bencana dan menjaga kelestarian alam lingkungan hidup. Pembahasan tentang kearifan lokal dan mitigasi bencana pada masyarakat tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakat tradisional (lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya. Jika alam marah sehingga muncul bencana alam berupa banjir, tanah longsor, gunung meletus dan lain sebagainya, maka masyarakat tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya.

Kata kunci : Indonesia, kearifan lokal, mitigasi bencana, suku pedalaman

Pendahuluan
Letak geografis Negara Kesatuan Republik Indoneasia, di Asia Tenggara diantara dua samudera yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik. Negeri ini berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Akibatnya negeri ini berada di atas jalur gempa, patahanpatahan yang menyebabkan gempa. Indonesia juga memiliki banyak gunung berapi. Jumlahnya sekitar 140 gunung yang aktif. Iklim Indonesia yang tropis juga menyebabkan banyak tanah yang tidak stabil. Banyak tanah yang rusak. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi memudahkan terjadi pelapukan. Bencana alam seperti longsor, misalnya, itu karena curah hujan di sini cukup tinggi. Letak geografis wilayah Indonesia berada di tiga lempeng tektonik utama yang aktif, yaitu lempeng Eurosia, lempeng Pasifik, dan lempeng Hindia Australia. Ketiga lempeng tersebut, jika terjadi interaksi satu sama lain saling bergerak, proses inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi dan Indonesia hampir setiap tahun mengalaminya. Sehingga Indonesia dinobatkan sebagai negara yang paling rawan bencana alam di dunia demikian menurut United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR: Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana). Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan untuk beberapa jenis bencana alam, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam paparan terhadap penduduk atau jumlah manusia yang menjadi korban meninggal akibat bencana alam. Inilah yang membuat Indonesia sebagai negara dengan resiko dan dampak bencana alam tertinggi di dunia. Karena Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana alam, Indonesia wajib mempunyai standar penanganan yang baik terhadap dampak bencana alam. Mengingat bencana alam yang terjadi selain disebabkan oleh faktor alam juga oleh faktor manusia yang merusak alam, maka sudah sepatutnya kita bertindak lebih arif terhadap alam. Jumlah populasi penduduk Indonesia kini yang mencapai lebih dari 220 juta orang. Terdiri dari beragam suku-suku yang tersebar di 34 propinsi di seluruh Indonesia. Negara Indonesia tergolong dalam negara dunia ketiga, yaitu negara yang sedang mengalami perkembangan. Segala segi aspek kehidupan warganya kini tengah mengalami perkembangan mengikuti arus modernisasi, sehingga dalam urusan mitigasi bencana juga

mengalami perkembangan. Bisa dilihat kini di Indonesia setelah peristiwa Tsunami di Aceh tahun 2004, banyak ilmuwan dari luar negeri yang datang ke Indonesia memperkenalkan alat-alat teknologi canggih untuk mendeteksi datangnya bencana. Alat pendeteksi bencana ini dikelola dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan bencana seperti LIPI, BMKG, dan badan nasional penanggulangan bencana (BNPB). Dengan demikian fungsi lembaga-lembaga ini, adalah menyampaikan informasi dan memberikan pengetahuan tentang mitigasi bencana ke masyarakat agar masyarakat siap dalam penanggulangan resiko bencana. Namun tak semua akses informasi mengenai penanggulangan bencana dapat dengan mudah menjamah masyarakat-masyarakat tradisional di pedalaman Indonesia. Kendala yang dihadapi pemerintah dan lembaga-lembaga bencana untuk situasi seperti ini adalah kesulitan akses untuk menuju pedalaman dan kurangnya teknologi informasi pada sukusuku di pedalaman. Walaupun mengahadapi kendala seperti ini, suku-Suku Asmat, Baduy, dan Dayak tidak khawatir akan terjadinya bencana. Karena dalam kehidupan mereka, sudah ada pengetahuan tata cara tentang mitigasi bencana secara tradisional yang mereka dapatkan secara turun-temurun. Demi menjaga lestarinya lingkungan hidup tempat tinggalnya. Mereka meyakini, ilmu pengetahuan yang turun-temurun mereka dapat dari nenek moyang lebih ampuh dalam mitigasi bencana. Kearifan lokal yang membentuk pola pikir masyarakat suku pedalaman, mampu bertahan hidup di tengah lingkungan alam yang kian lama rusak karena ulah keserakahan manusia.

Pembahasan
1. Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan mempunyai beberapa pengertian. Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh

unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Definisi lain, Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111). Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan. Pada umumnya, masyarakat lokal mempunyai pandangan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan menghuni selain manusia yaitu roh alam. Oleh karena itu, manusia yang beraktifitas di sekitarnya harus menghormati dan menjaga tempat-tempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan sumber air. Bahkan banyak tempat-tempat tersebut yang dijadikan tempat yang sakral atau dikeramatkan. Sehingga tak sembarang orang bisa memasuki tempat-tempat tersebut, dan orang-orang pun akan enggan untuk merusak lingkungan tempat-tempat yang sudah dikeramatkan tersebut.

2. Mitigasi bencana
Mitigasi bencana adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinakan) diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Kearifan lokal suku-suku pedalaman dalam upaya mencegah dan meminimalisir terjadinya bencana (mitigasi bencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan lingkungannya. Sayangnya, kini berbagai pengetahuan lokal dalam berbagai suku bangsa di Indonesia banyak yang mengalami erosi atau bahkan punah dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Padahal pengetahuan dan kearifan lokal dapat dipadukan antara empirisme dan rasionalisme sehingga dapat pula digunakan antara lain untuk mitigasi

bencana alam berbasis masyarakat lokal (Iskandar, 2009). Perlu ada kajian dan perhatian khusus mengenai hal ini, dikarenakan suku-suku di pedalaman merupakan masyarakat yang sangat dekat dengan alam.

3. Suku Asmat di Papua


Masyarakat Suku Asmat di pedalaman Papua merupakan suku yang terkenal karena hasil kreasi ukirannya di Indonesia. Bahkan kini hasil seni mereka telah mendunia, dikenal di kancah internasional karena seni ukir mereka yang sungguh menawan salah satunya adalah patung Asmat. Menurut tradisi, kesenian ukir pada Suku Asmat ternyata merupakan bentuk kepercayaan atau simbol terhadap arwah nenek moyang mereka. Tujuannya sebagai penenang arwah para nenek moyang mereka. Lantaran perkembangan pemikiran tetapi tetap menghargai nenek moyang, maka diambillah jalan tengah berupa pembuatan patungpatung yang didesain mirip dengan arwah nenek moyang mereka. Bagi Suku Asmat, prosesi mengukir patung seperti sedang berdialog dengan arwah leluhur di alam lain. Tiga macam konsep dunia pada masyarakat Asmat yang terdiri dari: Asmat on Capinmi (kehidupan sekarang), Dampu on Capinmi (alam persinggahan roh) dan Sarfar (surga). Masyarakat Suku Asmat meyakini, sebelum dimasukan ke dalam surga, arwah kerap menggangu manusia berupa penyakit atau bencana alam. Mereka pun membuat patung dan menggelar upacara patung yang dinamakan Bis atau Bispokombi, pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulatulat sagu sebagai usaha penyelamat bencana tersebut. Orang Asmat lebih maju dibanding suku-suku lain di tanah Papua. Papua adalah propinsi paling timur Indonesia yang

menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar 420.000 kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat. Transportasi sampai detik ini masih menjadi masalah untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sehingga sungai memegang peranan penting sebagai salah satu sarana angkutan. Seperti Sungai Membramo atau Digul yang merupakan salah satu sungai terbesar. Bagi sebagian suku, sungai adalah kehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai mereka juga menggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain. Menjaga kelestarian sungai dalam kehidupan menjadi prioritas masyarakat Suku Asmat.

Jumlah populasi Suku Asmat kini berkisar kurang lebih 70.000 orang terbagi dalam dua populasi besar, yaitu mereka yang tinggal di pedalaman dan mereka yang tinggal di pesisir pantai. Cara hidup, ritual, kebiasaan, sistem sosial, dan dialek bahasa kedua populasi ini sangat berbeda. Suku Asmat yang tinggal di daerah pesisir pantai dibagi menjadi Suku Bisman dan Suku Simai. Begitu sulit untuk mencapai Suku Asmat. Jaraknya bisa mencapai 70 km dari kecamatan yang masih bisa dijangkau kendaraan roda dua atau roda empat. Untuk mencapai ke perkampungan, paling tidak diperlukan waktu 1-2 hari perjalanan dengan berjalan kaki. Berikut adat istiadat mereka dalam kehidupan sehari-hari. Suku Asmat yang hidup di wilayah pedalaman biasanya mencari makan dari berbagai panganan hutan seperti umbi-umbian atau buah. Mayoritas Suku Asmat memiliki bentuk tubuh yang tegap, berhidung mancung, dan berkulit gelap. Selain di Papua, Suku Asmat juga banyak terdapat di Selandia Baru dan Papua Nugini. Dalam menjalankan kehidupan sosialnya, Suku Asmat memiliki dua tipikal pemerintahan: yakni jabatan kepimimpinan yang ditentukan oleh pemerintah secara administratif dan kepala adat/ suku yang ditentukan berdasarkan marga tertua atau bekas pahlawan perang. Sebelum para misionaris datang, Suku Asmat masih memeluk ajaran nenek moyang yakni animisme yang percaya pada kekuatan gaib. Namun, sekarang Suku Asmat sudah banyak yang memeluk agama sesuai dengan konstitusi negara, yakni Kristen, Katholik, dan agama Islam. Dalam mempertahakan hidupnya, Suku Asmat banyak yang bercocok tanam berbagai jenis tanaman seperti wortel, jeruk, jagung, matoa, dan beternak ayam hutan atau babi. Yang kesemuanya merupakan produk budaya Suku Asmat di Papua. Walaupun nampak primitif karena penampilannya yang sederhana, namun ternyata Suku Asmat adalah suku yang memegang kuat filosofi hidup dan nilai-nilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangun rumah adat Suku Asmat. Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli Suku Asmat, mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam. Oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya. Bahkan, pohon di sekitar tempat hidup mereka anggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka. Maka, dari itulah masyarakat Suku Asmat tidak mau merusak alam, karena anggapan mereka jika merusak alam itu berarti merusak/merugikan diri sendiri dan orang lain. Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam, sehingga dalam setiap kreasi ukirannya terdapat

motif hewan ular. Suku Asmat dengan segala kearifan lokalnya mampu hidup bertahan dan melestarikan alam sehingga dengan pola seperti ini mereka dapat melakukan mitigasi bencana yang tradisional namun ampuh dalam mencegah datangnya bencana.

4. Suku Baduy di Banten


Wilayah tempat tinggal masyarakat Suku Baduy berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, propinsi Banten. Masyarakat Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok Suku Baduy dalam (Baduy Tangtu) yang masih berada di lingkungan hutan yang kehidupannya masih primitif, dan kelompok Suku Baduy luar (Baduy Panamping) yang sudah merasakan modernisasi berada di luar wilayah hutan tempat tinggal Suku Baduy dalam. Hingga saat ini masyarakat Baduy masih terikat pada pikukuh (aturan adat) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan, yang berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh sambung. Makna dari pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu atau menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi dari yang ada itu (Permana, 2009:92). Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi). Tentang kearifan lokal masyarakat Baduy dalam upaya mencegah atau meminimalisasi terjadinya bencana (mitigasi bencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu.

Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional bersahaja namun kaya akan sumber kearifan yang dapat menjadi teladan atau panutan kita. Fakta dalam masyarakat Baduy menunjukkan bahwa: A. Masyarakat Baduy melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tetapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan. Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma. Bekas huma yang masih baru ditinggalkan disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma. Perladangan Baduy utamanya adalah menanam padi. Selain sebagai makanan pokok, padi juga

merupakan tanaman yang dianggap mulia. Masyarakat Sunda baik di wilayah Jawa Barat maupun Banten sangat menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana terlihat dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang (huma). Tradisi pemilihan lahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor, sedangkan tradisi pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran hutan. Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi kebakaran hutan terlihat dalam tradisi ngahuru atau ngaduruk, yakni membakar tebangan sehabis membuka ladang. Dahan, ranting, dedaunan dan rerumputan bekas potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk dibakar. B. Di wilayah Baduy banyak hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, namun tidak pernah terjadi bencana banjir melanda permukiman. Kearifan lokal masyarakat Baduy pada hutan dan air dalam kaitannya dengan mitigasi bencana banjir dan longor tercermin dalam fungsi dan letak hutan dan air. Fungsi hutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hutan larangan, hutan dungusan atau dudungusan, dan hutan garapan. Masyarakat Baduy dengan penuh kesungguhan dari generasi ke generasi antara lain telah berhasil melindungi kawasan hutan seluas 5.635 hektar di hulu daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak. Manfaat perlindungan tersebut telah dinikmati bukan hanya oleh komunitas Baduy sendiri, tetapi juga rumah tangga dan industri di hilir yang mendapatkan pasokan air yang lancar dari sekitar 120 sungai dan anak sungai Ciujung. C. Walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu, rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat. Pengetahuan tentang peletakan lumbung-lumbung terpisah dari permukiman merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy yang khas sebagai mitigasi bencana kebakaran rumah atau kampung. Tidak ada pola khusus peletakan lumbung, ada yang berada di seberang sungai, di balik hutan kampung, di lereng bukit, atau pada jarak 10-20 meter dari rumah terakhir. D. Wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian Barat, tidak pernah terjadi kerusakan bangunan akibat bencana gempa. Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Baduy dalam mendirikan bangunan masih tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk dan rumbia. Rumah

panggung ini mempunyai ukuran yang hampir sama satu sama lain. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, serta penggunaan umpak. Sementara itu, untuk struktur utama hateup (atap) digunakan atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran.

5. Suku Dayak di Kalimantan


Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Di wilayah hutan seluas 22 juta hektar ini melindungi sedikitnya 50 komunitas suku Dayak, ribuan tanaman endemik, dan satwa eksotik. Bentuk kehidupan masyarakat Dayak yang selalu bergantung pada tiga unsur yaitu air, tanah, dan hutan. Suku Dayak sebenarnya terdiri dari bermacam-macam sub suku. Karena di dalam Suku Dayak masih terdapat lagi ada adat budaya yang berbeda-beda meskipun muaranya sama. Beberapa sub Suku Dayak yaitu: Dayak Sama, Bajau, Yakan, Banuaka, Meratus, Iban, dan Kedayan. Sebenarnya Suku Dayak cukup bertoleransi atas perbedaan agama dan budaya yang menyertainya. Hnaya saja mereka saat ini terkenal dengan sisi magis dan keseramannya apabila berhubungan dengan orang-orang yang ingin merusak lingkungan tempat tinggal mereka. Suku Dayak mempercayai bahwa seseorang yang hidup harus memiliki harmonisasi dengan alam sekitar sehingga semua bisa terlaksana dengan baik. Suku Dayak takut apabila ada penebangan pohon besar-besaran dan pertamabangan yang terus dibuka di wilayah hutan-hutan Kalimantan maka kehidupan akan tidak lagi harmonis. Akan banyak hewan dan tumbuhan yang mati, polusi, dan berbagai perusakan alam lainnya. Untuk itulah terkadang orang Dayak terlihat tidak mau terbuka dalam menerima orang-orang baru di wilayah mereka. Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Banuaka merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Banuaka mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Banuaka dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba

dengan mudah memisahkan Suku Dayak Banuaka dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa orang Dayak Banuaka yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah. Peristiwa seperti ini seharusnya tak perlu terulangi lagi, karena kini masyarakat Suku Dayak terancam kehilangan lingkungan tempat tinggalnya. Karena luas areal huta di Kalimantan dari tahun ke tahun semakin menipis, disebabkan berbagai alih fungsi hutan menjadi industri pertambangan ataupun penebangan liar. Pemerintah Daerah di propinsi-propinsi Kalimantan, harus bertindak lebih keras lagi dalam menegakan peraturan-peraturan hukum berkaitan dengan wilayah hutan di Kalimantan. Agar ekologi masyarakat Suku Dayak, tetap terjaga dan kearifan lokal mereka bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.

Kesimpulan
Pandangan hidup pada masyarakat tradisional, manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya. Jika alam marah sehingga muncul bencana alam berupa banjir, tanah longsor, gunung meletus dan lain sebagainya, maka masyarakat tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Kearifan lokal masyarakat Suku Asmat, Suku Baduy, dan Suku Dayak di wilayah pedalaman Indonesia dalam mitigasi bencana merupakan pengetahuan yang turun-temurun ada sejak zaman dahulu. Karena Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana alam, Indonesia wajib mempunyai standar penanganan yang baik terhadap dampak bencana alam. Mengingat bencana alam yang terjadi selain disebabkan oleh faktor alam juga oleh faktor manusia yang merusak alam, maka sudah sepatutnya kita bertindak lebih arif terhadap alam.

Daftar Refrensi:
Departemen Sosial RI, Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, Kementerian Sosial Republik Indonesia (online), 2006, http://www.kemsos.go.id/ , diakses 31 Oktober 2012. J.Iskandar, Mitigasi Bencana lewat Kearifan Lokal, Kompas (online), 6 Oktober 2009, http://Kompas.com , diakses 1 November 2012. A.Sadaniang, Filsafat Dayak , Kompasiana (online), 19 Juni 2012, http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/19/filsafat-dayak/ , diakses 1 November 2012. Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat , Jurnal Filsafat, 37, 2004, 111-120. C.E. Permana, Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional berbasis Tanaman , Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 11, 2009, 81-94. United Nations Office for Disaster Risk Reduction, UNISDR (online), http://www.unisdr.org/, diakses 31 Oktober 2012. A.Ahira, Patung Asmat Simbol Nenek Moyang, Anneahira (online), http://www.anneahira.com/patung-asmat.htm, diakses 31 Oktober 2012. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Depdagri (online), http://www.depdagri.go.id/, diakses 31 Oktober 2012.

You might also like