You are on page 1of 6

Suku Bajau, Indonesia

Orang Bajau (juga disebut orang Bayo, Gaj, Luaan, atau Lutaos) adalah kelompok orang yang sangat giat melaut. Mereka tinggal di sepanjang daerah-daerah pantai Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara. Mobilitas mereka yang tinggi membuat orang luar menyebut mereka sebagai "gipsi laut". Di kawasan Indonesia timur, sebagian besar orang Bajau ditemukan di kepulauan dan distrik-distrik pantai Sulawesi. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Bajau, yang adalah cabang dari kelompok bahasa Melayu.

Meskipun beberapa orang Bajau sudah mulai tinggal di daratan, namun masih banyak dari antara mereka yang tinggal di perahu-perahu nelayan. Orang-orang Bajau yang tinggal di perahu menilai diri mereka sendiri (untuk membedakan mereka dengan orang-orang lain) sebagai kelompok yang tidak agresif, yang menghindari konfrontasi fisik. Kosekuensinya, kelompok-kelompok lainnya yang mendominasi kegiatan politik di sekitar itu memandang rendah orang-orang Bajau dan menganggap mereka sebagai orang-orang lemah dan tidak dapat dipercaya. Orang Bajau adalah kaum muslim Sunni dari mazhab Syafi'i, yang menganggap keimanan dan pelajaran agama adalah sumber penting dari prestise individu. Karena kebiasaan orang Bajau yang hidup berpindah-pindah, mereka tidak memiliki tempat ibadah (masjid)

sendiri, dan harus bergantung pada komunitas-komunitas lain.

Kebebasan telah melekat di dalam kehidupan komunitas laut Bajau Pelau sejak masa leluhur. Mereka telah terbiasa hidup di atas perahu di wilayah perairan tanpa mengenal batas administrasi suatu negara. Komunitas ini pergi ke darat hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup, perbekalan, dan menjual hasil tangkapan. Kini, komunitas laut Bajau Pelau tengah menghadapi perubahan, termasuk kewajiban memiliki identitas. Akibat tidak memiliki identitas ini mereka dituduh telah mencuri ikan di perairan Indonesia. Sebanyak 103 orang (43 orang diantaranya adalah anak-anak) anggota komunitas Bajau Pelau ditahan oleh Kepolisian Resort Berau, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur sejak 23 hari lalu. Mereka dituduh telah merampok pisang, mengambil mesin dan melakukan pencurian ikan. Tuduhan merampok pisang dan mengambil mesin telah disangkal namun tuduhan pencurian ikan membuat mereka harus berurusan dengan aparat Kepolisian. Kini, pihak kepolisian menempatkan mereka di Aula Dinas Sosial milik pemerintah Kabupaten. Suku Bajau Pelau adalah bagian dari Suku Bajau yang hidup di atas perahu, dari lahir hingga kematiannya, seperti nenek moyang semua bangsa Bajau. Menahan mereka terlalu lama di darat akan membuat mereka semakin lemah dan sakit. Yang semakin memprihantinkan, mereka hanya diberi makan sekali dalam sehari selama hidup di dalam penampungan. Bahkan anak-anak terpaksa harus menahan lapar di pagi hari karena makanan hanya

diberikan siang hari. Sungguh ironis, ketahanan anak-anak disamakan dengan orang dewasa. Selain itu, kesehatan mereka dengan cepat menurun karena dijauhkan dari laut dan perahu sebagai rumah mereka selama ini. Seorang kakek yang menderita pembengkakan hati menurut tim medis dan sudah diberikan resep obat oleh Dokter, sampai saat ini harus tetap menahan sakit karena obat tak kunjung didapatkan. Beberapa anak-anak mulai terkena penyakit gatal-gatal karena tidak terbiasa mandi dengan air tawar. Keinginan orang Bajau Pelau sendiri adalah secepat mungkin dikembalikan ke perairan Batu Putih. Bahkan mereka mau menjaminkan beberapa orang dewasa sebagai jaminan ke Polisi asalkan yang lain dibebaskan. Namun ini masih belum ditanggapi oleh pihak Kepolisian karena masih menunggu keputusan dari Pemerintah Kabupaten Berau. Secara politis, suku Bajau Pelau tidak memiliki kewarganegaraan. Walaupun dikatakan asal usul mereka dari Sulu Philipina namun mereka bukan warga negara Phillipina. Mereka tidak pernah menetap di satu wilayah dan senantiasa berputar melalui jalur-jalur laut antara Philipina, Malaysia dan Indonesia. Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah membuatkan semacam surat keterangan identitas namun itu tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Selama dua tahun ini mereka hanya berputar di sekitar perairan Batu Putih Kalimantan Timur hingga Kepolisian Resort Berau membawa mereka ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau.

Suku ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi, yang kehidupan umum-nya berlangsung di laut. Bahkan mereka lahir-pun di laut. Suku Bajau juga termasuk kelompok etnis yang masih berada dalam kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang belum berkembang. Di antara mereka ada yang masih hidup secara primitif dan bertempat tinggal di atas perahu kecil bersama istri, anak-anak serta anggota keluarga lainnya. Namun tidak semua orang Bajau hidup seperti itu. Orang Bajau percaya bahwa laut itu berpenghuni, di sana ada semua ciptaan Tuhan, sehingga orang Bajau selalu berhati-hati kalau turun ke laut. Mereka juga menempatkan unsur api, angin, tanah, dan air sebagai nilai sakral tinggi. Keempat unsur ini merupakan cerminan empat unsur penting lainnya, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan manusia. Suku ini juga dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup mati-nya di laut, dan mampu menyelam di laut dalam jangka waktu lama tanpa alat bantu sama sekali. Suku Bajau merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu

suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar. Kebebasan telah melekat di dalam kehidupan komunitas laut Bajau Pelau sejak masa leluhur. Mereka telah terbiasa hidup di atas perahu di wilayah perairan tanpa mengenal batas administrasi suatu negara.Komunitas ini pergi ke darat hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup, perbekalan, dan menjual hasil tangkapan. Kini, komunitas laut Bajau Pelau tengah menghadapi perubahan, termasuk kewajiban memiliki identitas. Akibat tidak memiliki identitas ini mereka dituduh telah mencuri ikan di perairan Indonesia. Sebanyak 103 orang (43 orang diantaranya adalah anak-anak) anggota komunitas Bajau Pelau ditahan oleh Kepolisian Resort Berau, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur sejak 23 hari lalu. Mereka dituduh telah merampok pisang, mengambil mesin dan melakukan pencurian ikan. Tuduhan merampok pisang dan mengambil mesin telah disangkal namun tuduhan pencurian ikan membuat mereka harus berurusan dengan aparat Kepolisian. Kini, pihak kepolisian menempatkan mereka di Aula Dinas Sosial milik pemerintah Kabupaten. Keinginan orang Bajau Pelau sendiri adalah secepat mungkin dikembalikan ke perairan Batu Putih. Bahkan mereka mau menjaminkan beberapa orang dewasa sebagai jaminan ke Polisi asalkan yang lain dibebaskan. Namun ini masih belum ditanggapi oleh pihak Kepolisian karena masih menunggu keputusan dari Pemerintah Kabupaten Berau. Secara politis, suku Bajau Pelau tidak memiliki kewarganegaraan. Walaupun dikatakan asal usul mereka dari Sulu Philipina namun mereka

bukan warga negara Phillipina. Mereka tidak pernah menetap di satu wilayah dan senantiasa berputar melalui jalur-jalur laut antara Philipina, Malaysia dan Indonesia. Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah membuatkan semacam surat keterangan identitas namun itu tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Selama dua tahun ini mereka hanya berputar di sekitar perairan Batu Putih Kalimantan Timur hingga Kepolisian Resort Berau membawa mereka ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau. Suku ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi, yang kehidupan umum-nya berlangsung di laut. Bahkan mereka lahir-pun di laut. Suku Bajau juga termasuk kelompok etnis yang masih berada dalam kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang belum berkembang. Di antara mereka ada yang masih hidup secara primitif dan bertempat tinggal di atas perahu kecil bersama istri, anak-anak serta anggota keluarga lainnya. Namun tidak semua orang Bajau hidup seperti itu. Orang Bajau percaya bahwa laut itu berpenghuni, di sana ada semua ciptaan Tuhan, sehingga orang Bajau selalu berhati-hati kalau turun ke laut. Mereka juga menempatkan unsur api, angin, tanah, dan air sebagai nilai sakral tinggi. Keempat unsur ini merupakan cerminan empat unsur penting lainnya, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan manusia. Suku ini juga dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup mati-nya di laut, dan mampu menyelam di laut dalam jangka waktu lama tanpa alat bantu sama sekali.

You might also like