You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Di Indonesia, banyak perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menjaga kesehatan mereka. Kondisi ini terjadi terutama karena adanya perlakuan tidak adil dan tidak setara antara mereka (ketidakadilan dan keetidaksetaraan gender) dalam pelayanan kesehatan. Selain itu program-program kesehatan belum sepenuhnya mempertimbangkan adanya isu tersebut. Saat ini tenaga kesehatan kita makin sadar tentang pentingnya mempertimbangkan isu gender dalam pemberian pelayanan kesehatan. Terutama untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan perandan tanggung jawab dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Namun memahami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya ada tiga faktor utama mengapa pemahaman gender masih dirasakan kurang dikalangan tenaga kesehatan : 1. 2. 3. gender merupakan sesuatu yang baru; Tidak tahu apa yang harus dilakukan; dan Bagaimana melakukannya. Isu kesetaraan gender telah menjadi pembicaraan di berbagai negara sejak tahun 1979 dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tema the Convention on the Elimination of all forms of DiscriminationAgainst Women (CEDAW)

yang membahas tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hasil konferensi tersebut menjadi acuan dalam memperjuangkan hak asasi perempuan (HAP). Konferensi ini kemudian diratifikasi kembali oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Selanjutnya pada tahun 1995 diselenggarakan kembali Konferensi Perempuan Sedunia yang dirumuskan dalam Beijing Platfform for Action yang menyebutkan bahwa perempuan dan kesehatan sebagaai salah satu dari 12 bidang kritis yang dikemukakan dalam rencana aksi. Konferensi ini mengikat semua negara peserta termasuk Indonesia untuk mengimplementasikan Gender Mainstreaming atau Pengurusutamaan Gender di negara masing-masing. Komitmen ini kemudian dituangkan dalam GBHN Tahun 1999 yang dijabarkan pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun (Propenas 2000-2004). Deklarasi Beijing bertujuan untuk meningkatkan kesetaraan gender, yang berkaitan erat dengan upaya penyetaraan martabat dan hak bagi laki-laki danperempuan. Hasil kesepakatannya adalah deklarasi dan kerangka Aksi Beijing yang menetapkan 12 bidang kritis yang dianggap penting untuk meningkatkan persamaan hak perempuan dan laki-laki . Bidang kritis tersebut adalah : a. b. c. d. e. Perempuan dan kemiskinan; Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; Perempuan dan kesehatan; Kekerasan terhadap perempuan; Perempuan dan konflik bersenjata;

f. g. h. i. j. k. l.

Perempuan dan ekonomi; Perempuan dan pengambilan keputusan; Lembaga mekanisme bagi kemajuan perempuan; Hak asasi perempuan; Perempuan dan media; Perempuan dan lingkungan; dan Anak perempuan. Departemen Kesehatan RI bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bidang kritis

Perempuan dan Kesehatan. Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender DalamPembangunan nasional . dalam kebijakan tersebut dinyatakan bahwa seluruh departemen maupun lembaga Pemerintah Non Departemen dan pemerintah Provinsi dan kabupaten/ Kota harus melaksanakan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pemantauuan evalusai dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Dengan dikeluarkan Instruksi Presiden tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi pengarus-utamaan gender (PUG) dalam penyelanggaraan pembangunan nasional. Untuk dapat lebih memahami tentang gender, kita harus memahami bahwa ada perbedaan anatar laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari sisi : sruktur fisik, organ reproduksi, cara berpikir, dan way of problem solving. Dan harus disadari bahwa struktur dan otak perempuan dan laki-laki itu berbeda.

Saat ini fokus utama pelayanan kesehatan masih menekankan aspek medis dan kurangsekali memperhatikan isu-isu sosial. Padahal perbedaan sosial antara laki-laki danperempuan merupakan penyebab utama mencuatnya kesenjangan antara mereka, sehingga pada akhirnya mempengaruhi derajat kesehatan masyrakat pada umumnya. Dari uraian di atas, maka penulis mengangkat tema gender dalam kesehatan reproduksi untuk kami bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan gender dan kesehatan reproduksi ? 2. Bagaimanakah keterkaitan antara gender dan kesehatan reproduksi ? 3. Bagaimanakah peran gender dalam kesehatan reproduksi di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gender dan kesehatan reproduksi. 2. Untuk mengetahui keterkaitan antara gender dan kesehatan reproduksi. 3. Untuk mengenal isu-isu gender yang terkait dengan kesehatan reproduksi diIndonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Gender Gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya untuk membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional. Gender adalah peran dan kedudukan seseorang yang dikonstruksikan oleh budaya karena seseorang lahir sebagai perempuan atau lahir sebagai laki-laki. Sudah menjadi pemahaman bahwa laki-laki itu akan menjadi kepala keluarga, pencari nafkah, menjadi orang yang menentukan bagi perempuan. Seseorang yang lahir sebagai perempuan, akan

menjadi ibu rumah tangga, sebagai istri, sebagai orang yang dilindungi, orang yang lemah, irasional, dan emosional. Meskipun di hampir setiap budaya, ibu adalah sebuah peran yang sangat dihormati. Perhatian akan kesehatan perempuan kurang. Masih ada kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan perempuan secara umum, maupun kesehatan reproduksinya. Ketidaksetaraan dalam aspek pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan, dan sumber daya merupakan pelanggaran pasal 48, 49, ayat (1 dan 2) UU No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Seperti telah dikemukakan, isu gender mulai dibahas pada ICPD 1994, dan kemudian dilanjutkan pada Konferensi Perempuan Sedunia ke IV di Beijing padatahun 1995 dan ICPD+5 (1999) pada forum The Haque.

B. Pengertian Kesehatan Reproduksi Reproduksi adalah suatu proses biologisdi mana individu organisme baru diproduksi. Reproduksi adalah cara dasar mempertahankan diri yang dilakukan oleh semua bentuk kehidupan; setiap individu organisme ada sebagai hasil dari suatu proses reproduksi oleh pendahulunya. Cara reproduksi secara umum dibagi menjadi dua jenis : seksual dan a seksual. Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya (ICDP.Cairo, 1994).

Sedangkan menurut WHO, Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakitatau kecacatan dalam segala aspek yang berhungan dengan sistem reproduksi, fungsiserta prosesnya. Adapun kesehatan reproduksi secara sederhana dapat kita lihat dari hal sebagai berikut : 1. Organ Reproduksi Organ reproduksi laki-laki maupun perempuan harus bebas dari berbagai macam penyakit serta dapat berfungsi sebagai mana mestinya. 2. Hubungan Seks. Dalam melakukan hubungan seks harus terbebas dari rasa tidak nyaman, rasa takut akan hamil, dan tertular berbagai jenis penyakit kelamin. 3. Kehamilan Seorang ibu hamil harus terbebas dari komplikasi kehamilan yang serius dan janinyang dikandungnya harus dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam rahim ibu. 4. Persalinan Seorang ibu harus bersalin dengan normal dan terbebas dari komplikasi persalinan yang serius selama dan setelah persalinan. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak-hak reproduksi, namun karena perbedaan gender maka banyak hal yang telah merugikan perempuan, sehingga perempuan lebih sulit memperoleh hak-hak reproduksinya dibandingkan laki-laki. Agar hak-hak reproduksi perempuan terpenuhi, perlu ada hubungan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan seks dan reproduksi. Hak reproduksi adalah hak asasi yang telah diakui dalam hukum internasional dan dokumen asasi internasional untuk meningkatkan sikap saling menghormati secara setara dalam hubungan perempuan dan laki-laki.

Adapun hak-hak reproduksi sebagai berikut : a. Hak Reproduksi (HAM Internasional) 1) Hak dasar pasangan dan individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran, mendapatkan informasi serta cara-cara untuk melaksanakan hal tersebut. 2) Hak untuk mencapai standar tertinggi. b. Hak-hak Reproduksi 1) Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. 2) Hak mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi yang berkualitas. 3) Hak untuk bebas membuat keputusan tentang hal yang berkaitan dengankesehatan rperoduksi tanpa paksaan diskriminasi serta kekerasan. 4) Hak kebebasan dan tanggung jawab dalam menentukan jumlah dan jarak waktu memiliki anak. 5) Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan). 6) Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. 7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual. 8) Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmuu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi. 9) Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya. 10) Hak membangun dan merencanakan keluarga.

11) Hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. 12) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan reproduksi.

C. Keterkaitan Antara Gender dengan Kesehatan Reproduksi Pendekatan gender dalam kesehatan mengenali bahwa faktor sosial budaya, serta hubungan kekuasaan antar laki-laki dan perempuan, merupakan faktor penting yang berperan dalam mendukung atau mengancam kesehatan seseorang. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh WHO dalam koferensi perempuan sedunia ke IV diBejing pada tahun 1995. 1. Jenis Kelamin, Gender, dan Kesehatan Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan sebagai kelompok cenderung mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang dari pada laki-laki, yang secara umum dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam kehidupannya perempuan lebih banyak mengalami kesakitan dan tekanan dari pada laki-laki. Walaupun faktoryang melatar belakanginya berbedabeda pada berbagai kelompok sosial, haltersebut menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan kurang sehat dibandingkan laki-laki. Penjelasan terhadap paradoks ini berakar pada hubungan yang kompleks antara faktor biologis jenis kelamin dan sosial (gender) yang berpengaruh terhadap kesehatan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa berbagai penyakit menyerang laki-laki dan perempuan pada usia yang berbeda, misalnya penyakit kardiovaskuler ditemukan pada usia yang

lebih tua pada perempuan dibandingkan laki-laki.Beberapa penyakit, misalnya animea, gangguan makakn dan gangguan pada ototserta tulang lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Berbagai penyakit atau gangguan hanya menyerang perempuan, misalnya gangguan yang berkaitan dengan kehamilan dan kanker serviks, sementara ituhanya laki-laki yang terkena kanker prostat.Kapasitas perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaansakit maupun sehat. Perempuan memerlukan kemampuan untuk mengendalikan fertilitas dan melahirkan dengan selamat, sehingga akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas sepanjang siklus hidupnya sangat menentukan kesejahteraan dirinya. Kombinasi antara faktor jenis kelamin dan peran gender dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya seseorang dapat meningkatkan resiko terhadap terjadinya beberapa penyakit, sementara di sisi lain memberikan perlindungan terhadap penyakit lainnya. Perbedaan yang timbul dapat berupa keadaan sebagai berikut : a. b. c. d. e. Perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan. Sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu penyakit. Sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang sakit. Sikap laki-laki dan perempuan terhadap pengobatan dan akses pelayanan kesehatan. Sikap petugas kesehatan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, respon tetrhadap epidemi HIV/AIDS dimulai dengan pemberian fokus pada kelompok resiko tinggi,termasuk pekerja seks komersial. Laki-laki dianjurkan untuk menjauhi pekerja seks komersial atau memakai kondom. Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku resiko tinggi, yang kemudian menekankan pentingnya

laki-laki menggunakan kondom. Hal ini menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan tidak menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaanya oleh laki-laki. Dimensi gender tersebut tidak dibahas, sampai pada saat jumlah ibu rumah tangga biasa yang tertular penyakit menjadi banyak. Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap sebagai akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi. Ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dialkukan atas dasar pemaksaan. Tejadinya tindak kekerasan pada umumnya berkaitan dengan gender. Secara umum pelaku kekerasan biasanya laki-laki, yang merefleksikan keinginan untuk menunjukkan maskulinitas, dominasi, serta memaksakan kekuasaan dan kendalinyaterhadap perempuan, seperti terlihat pada kekerasan dalam rumah tangga (domestik). Karena itu kekerasan terhadap perempuan sering disebut sebagai kekerasan berbasis gender. 2. Pengaruh Gender Terhadap Kesehatan Reproduksi Laki-Laki Sehubungan dengan peran gender, laki-laki tidak terlalu tertarik untuk mempelajari kesehatan seksual dan reproduksinya. Sehingga pengetahuan mereka cenderung terbatas. Hal ini menyebabkan laki-laki kurang berminat mencari informasi dan pengobatan terhadap penyakit, misalnya : Infeksi Menular Seksual (IMS). 3. Pengaruh Gender Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan Menikah pada usia bagi perempuan berdampak negtif terhadap kesehatannya. Namun menikah di usia muda kebanyakan bukanlah keputusan mereka, melainkan karena ketidakberdayaannya (isu gender). Di beberapa tempat di Indonesia, kawin muda dianggap sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Perempuan tidak berdaya untuk

memutuskan kawin dan dengan siapa mereka akan menikah. Keputusan pada umumnya ada di tangan laki-laki; ayah ataupun keluarga laki-laki lainnya. Salah satu kasus yang terkait dengan masalah gender yaitu : Seorang gadis umur 17 tahun, mengalami perdarahan. Setelah dirawat disebuah rumah sakit selama dua jam, dia meninggal dunia. Gadis tersebut merupakan korban aborsi yang dilakukan oleh seorang dukun. Usaha lain sebelum melakukanaborsi adalah minum jamu peluntur, pil kina, dan pil lainnya yang dibeli di apotek. Kemudian dia datang ke seorang dokter kandungan. Dokter menolak melakukan aborsi karena terikat sumpah dan hukum yang mengkriminalisasi aborsi. Si gadis minta tolong dukun paraji untuk menggugurkannya. Rupa-rupanya tidak berhasil, malah terjadi perdarahan. Ia masih sempat menyembunyikan inisemua kepada kedua orang tuanya, selama 4 hari berdiam di kamar dengan alasan sedang datang bulan. Ia tidak berani bercerita pada siapa-siapa apalagi pada ibu dan bapaknya. Cerita itu berakhir dengan amat tragis, gadis itu tidak tertolong. Kasus tersebut menggambarkan ketidakberdayaan si gadis. Ia memilih mekanisme defensif dan menganggapnya sebagai permasalahan dirinya sendiri. Ia menyembunyikan keadaannya karena malu dan merasa bersalah. Masyarakat akan menyalahkan karena dia tidak mengikuti apa yang disebut moral atau aturan sehingga ia memilih mati meskipun tidak sengaja. Aborsi merupakan dilema bagi perempuan, apa pun latar belakang penyebab kehamilannya dan apa pun status ekonominya. Untuk menuntut hak reproduksinya dia harus mendapat dukungan seperti bantuan dari komunitasnya atau dukungan emosional dan tanggung jawab bersama dari orang yang paling dekat (pacarnya). Dalam konteks ini, maka jelas bahwa persoalan hak reproduksi pada akhirnya adalah persoalan relasi antara laki-laki

yang berbasis gender serta masyarakat dan negara sebagai perumus, penentu, dan penjaga nilai bagi realisasi hak reproduksi perempuan. Pada contoh kasus tersebut merupakan bentuk kekerasan yang berbasis gender yang memiliki alasan bermacam-macam seperti politik, keyakinan, agama, dan ideologi gender. Salah satu sumber kekerasan yang diyakini penyebab pada kasus tersebut adalah kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan adalah ideologi gender, misalnya perempuan dikenal lemah lembut, emosional, cantik, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap lebih kuat, rasional, jantan, dan perkasa.

Bentuk kekerasan ini merupakan dilanggarnya hak reproduksi akibat perbedaan gender. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan ini dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Pada akhirnya perbedaan ini dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan dianggap sebagai perempuan. Kekerasan rumah tangga dalam berbagai bentuk sering terus berlangsung meskipun perempuan tersebut sedang mengandung. Konsekuensi paling merugikanbagi perempuan yang menjadi korban kekerasan adalah dampak terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Dampak ini terutama menonjol pada perempuan korban kekerasan seksual. Dalam tindak perkosaan, misalnya, yang diserang memang tubuh perempuan. Namun, yang dihancurkan adalah seluruh jati diri perempuan yaitukesehatan fisik, mental psikologi, dan sosialnya. Kekerasan domestik biasanya merupakan kejadian yang kronis dalam kehidupan rumah tangga seorang perempuan. Cedera fisik dapat sembuh setelah diobati, tetapi cedera psikis mental (seperti insomnia, depresi, berbagai bentuk psikosomatik sakit perut yang kronis sampai dengan keinginan bunuh diri) akan selalu dapat terbuka kembali setiap saat.

Dampak psikologis yang paling sulit dipulihkan adalah hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain. Selain itu juga ada kecenderungan masyarakat untuk selalu menyalahkan korbannya. Hal ini dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis. Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korbandan menghukum para pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia. Padahal kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya merupakan kejahatan terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani (pihak luar) karena dianggap sebagai urusan internal rumah tangga. D. UPAYA MENINGKATKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Kondisi di atas tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Pemerintah telah memaklumkan pentingnya kesehatan reproduksi remaja dalam program propernas 2000, namun untuk mencapai hal tersebut, tidak cukup hanya sekadar pencanangan. Perlu langkah nyata, dan pemerintahlah yang harus menjadi pelopornya, dibantu oleh semua kalangan. Berikut beberapa hal yang harus segera dilakukan untuk mengatasi masalah tesebut. Pertama, mengikis kemiskinan. Kemiskinan inilah yang membuat banyak orangtua (juga orang

dewasa lainnya) tega untuk melacurkan anak dan remaja. Ini adalah tugas wajib pemerintah. Hal ini bisa

dimulai dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikis korupsi (dalam segala tataran, di segala bidang) serta menciptakan lapangan kerja. Kedua, menyediakan dilakukan melalui media cetak (koran, majalah dan media cetak lainnya) dan elektronik (radio, televisi, atau internet). Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja melakukan eksplorasi sendiri, baik melalui media cetak, elektronik, maupun pertemanan yang besar kemungkinan justru salah. Hal ini diperparah dengan masih banyak mitos menyesatkan seperti mitos hubungan seks yang hanya dilakukan sekali tidak akan menyebabkan kehamilan. Mitos lain adalah mitos kehamilan tidak akan terjadi pada perempuan yang belum mengalami menstruasi, kehamilan tidak akan terjadi bila intercourse dilakukan hanya sekali, serta intercourse yang hanya menempel di luar vagina atau celana dalam tidak akan menyebabkan kehamilan. informasi tentang kesehatan reproduksi. Hal ini bisa

Ketiga, memperbanyak akses pelayanan kesehatan, yang iringi dengan sarana konseling. Hal ini penting mengingat masalah kesehatan reproduksi remaja tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di desa-desa. Dalam langkah ini bisa bekerja sama dengan masyarakat melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, rumah sakit dan sekolah. Keempat, meningkatkan partisipasi remaja, dengan mengembangkan peer educator (pendidik sebaya) yang diharapkan membantu remaja membahas dan menangani permasalahannya, termasuk kesehatan reproduksi. Langkah ini penting mengingat kehidupan remaja sangat

dipengaruhi teman sebaya. Langkah ini juga akan membuat remaja merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan sehingga turut bertanggung jawab atas kesehatan reproduksi remaja. Kelima, meninjau ulang segala peraturan yang membuka terjadinya reduksi atas kesehatan reproduksi remaja, seperti Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang memberikan celah bagi terjadinya pernikahan dini. Selain itu, pemerintah harus segera menggulirkan peraturan yang mencegah

kemungkinan

terjadinya

tindak

kekerasan

(perkosaan)

terhadap

remaja,

peraturan yang mencegah eksploitasi seksual terhadap remaja, serta peraturan yang mencegah terjadinya trafficking. Keenam, meminimalkan informasi tentang kebebasan seks. Dalam hal ini, media massa dan media hiburan berperan penting. Ketujuh, menciptakan lingkungan keluarga yang kokoh, kondusif, mendukung dan informatif. Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan bertanya tentang kesehatan reproduksi kepada orang tuanya. Bahkan, mereka merasa paling tidak nyaman bilaharus membahas seksualitas dengan orangtuanya.

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya untuk membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dankarakteristik emosional. Adapun Reproduksi adalah suatu proses biologis di mana individu organisme baru diproduksi. Reproduksi adalah cara dasar mempertahankan diri yang dilakukan oleh semua bentuk kehidupan; setiap individu organisme ada sebagai hasil dari suatu proses reproduksi oleh pendahulunya. Cara reproduksi secara umum dibagi menjadi dua jenis: seksual dan a seksual. Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya. Pendekatan gender dalam kesehatan mengenali bahwa faktor sosial budaya, serta hubungan kekuasaan antar laki-laki dan perempuan, merupakan faktor penting yang berperan dalam mendukung atau mengancam kesehatan seseorang. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh WHO dalam koferensi perempuan sedunia ke IV diBejing pada tahun 1995. Sehubungan dengan peran gender, laki-laki tidak terlalu tertarik untuk mempelajari kesehatan seksual dan reproduksinya. Sehingga pengetahuan mereka cenderung terbatas. Hal ini menyebabkan laki-laki kurang berminat mencari informasi dan pengobatan terhadap penyakit, misalnya : Infeksi Menular Seksual (IMS).

B. Saran 1. Perlunya ada pemahaman lebih lanjut tentang keberadaan Gender serta penempatannya.

2.

Perlunya sosialisasi tentang Gender dan Kesehatan Reproduksi terhadap masyarakat umum yang belum tahu.

3.

Harusnya ada sanksi yang tegas atas kasus-kasus kekerasan rumah tangga yang mengatasnamakan Gender.

You might also like