You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh. Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya.1 Insiden JRA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak dengan prevalensi 16 - 150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki.2,3 Tipe JRA yang paling umum pada anak usia kurang dari 8 tahun adalah pausiartikular. Tipe ini hanya mempengaruhi beberapa sendi, yakni kurang dari lima sendi seperti sendi bahu, siku, pinggul, dan lutut. Gejala lain yang dapat timbul adalah demam tinggi, ruam pada kulit, dan masalah lain yang disebabkan oleh peradangan pada organ dalam seperti jantung, limpa, hati, dan saluran pencernaan. Tipe ini merupakan 30% dari seluruh kasus JRA.1 Anak dengan JRA mungkin menderita komplikasi spesifik dari setiap jenis JRA. Komplikasi yang paling sering berhubungan dengan efek samping dari obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), seperti ibuprofen. Bila sering digunakan, obat ini dapat menyebabkan iritasi, rasa nyeri, dan pendarahan di lambung dan usus bagian atas. Obat-obat tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal yang sering tidak bergejala sampai tahap yang sangat parah. Selain itu, pertumbuhan anak bisa terganggu yang menyebabkan anak gagal tumbuh. 1,2,3

Angka kematian pada penderita JRA sedikit lebih tinggi dari pada anak normal. Angka kematian tertinggi terjadi pada JRA sistemik. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) juga dapat berkembang menjadi penyakit lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau skleroderma, yang memiliki angka kematian yang lebih tinggi dari pada JRA pausiartikular atau poliartikular.1

1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas tentang Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) mulai dari definisi sampai prognosis.

1.3 Tujuan Penulisan Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang penyakit JRA sehingga mampu menegakkan diagnosis pasien dengan JRA.

1.4 Metode Penulisan Metode penulisan referat ini merujuk ke berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) adalah peradangan kronis autoimun pada sendi yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu, setelah menyingkirkan penyebab lain.1

2.2Epidemiologi Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) pada anak bukan penyakit yang jarang, namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini terdapat pada semua ras dan geografik, namun insidennya di seluruh dunia berbeda-beda. Insiden JRA bervariasi antara 2 sampai 20 per 100.000 anak. JRA biasanya bermula sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki.2,3 Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis dengan berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per tahun. Di seluruh dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti Inggris, Columbia dan Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat prevalensi 20 kasus per 100.000 penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Norwegia tingkat prevalensi sekitar 148 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden 22 kasus per 100.000 penduduk. Insiden JRA di Jepang dilaporkan sangat rendah.1 Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari 1% di Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian JRA di Eropa terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi.1

Persentase berbagai tipe JRA adalah sebagai berikut :1 a. Pausiartikular : 30% b. Poliartikular (faktor reumatoid negatif) : 20% c. Poliartikular (faktor reumatoid positif) : 5% d. Onset sistemik : 5% e. Psoriatik : 5% f. Terkait enthesitis : 25% g. undifferentiated : 10% Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe pausiartikular dan poliartikular lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio masing-masing 3 : 1 dan 2,8 : 1. Sedangkan tipe sistemik terjadi dengan frekuensi yang sama antara anak laki-laki dan perempuan.1 Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dengan tipe poliartikular faktor rematoid negatif memiliki puncak onset bifasik. Puncak pertama terjadi pada usia muda (1-4 tahun), mirip dengan JRA pausiartikular, dan puncak kedua terjadi pada usia 6-12 tahun. Poliartikular faktor rematoid positif lebih sering terjadi pada remaja. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe sistemik tidak memiliki puncak onset usia.1 Penelitian deskriptif cross sectional dilakukan untuk memperoleh profil pasien JRA berdasarkan kriteria dan klasifikasi ILAR di RSCM. Selama kurun waktu 6 tahun sejak 1 Januari 2001 hingga 31 Desember 2006 di RSCM didapatkan 203 pasien dengan keluhan utama artritis. Peneliti menemukan 68 pasien merupakan penderita JRA (34,3%). Tipe oligoartikular merupakan jenis terbanyak yang ditemukan (40,8%).5

2.3 Etiologi Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga memiliki pengaruh yang sangat kuat.4
4

Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun dimana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya dilindungi. Namun, belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA. Penyebab yang mungkin adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan terhadap suatu antigen (yang belum diketahui). Secara luas dipercaya bahwa pemicu respon imun awal adalah suatu agen infeksius. Antigen Presenting Cell (APC) menelan protein asing, mengolahnya, dan kemudian menyajikan peptida antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-helper CD4+ yang mengenali peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-klonotipik (TCR). Sel T-helper yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin dan merekrut sel T lain dan sel B yang dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Pada dewasa, antigen MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1 dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap JRA. Sedangkan pada anak, peningkatan kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan HLA-DR5 dan HLA-DR8. Protein MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen spesifik asam amino yang berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian menyebabkan peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi.6 Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara spesifik menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahuntahun. Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain virus limfotropik sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae, mikoplasma, dan virus Epstein-Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu aktivator poliklonal sel B yang menghasilkan banyak immunoglobulin, termasuk faktor reumatoid. Sebagian orang dewasa penderita artritis reumatoid terbukti memperlihatkan peningkatan jumlah sel B yang terinfeksi oleh EBV dalam sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik terhadap virus tersebut.6 Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa primer artritis reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah protein utama yang paling sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap kolagen dapat menyebabkan artritis pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih tinggi tetapi antibodi terhadap kolagen yang terdapat di tulang rawan sendi tampaknya tidak menyebabkan artritis reumatoid pada manusia. Ketika terjadi
5

kerusakan tulang rawan pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap bagian kolagen yang mengalami degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor reumatoid mengendap di tulang rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan menyebabkan proses kerusakan secara terus-menerus. Sel T CD4+ aktif berkumpul di dalam ruang sendi. Membran sinovial juga terkena. Makrofag dan fibroblas menghasilkan interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-) yang menumpuk di membran sinovial. Sitokin-sitokin ini memiliki efek luas terhadap banyak sel serta menyebabkan pengaktifan dan proliferasi sel T lebih lanjut, peningkatan aktivitas prostaglandin dan protease penghancur matriks, serta resorpsi tulang.6 Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan makrofag merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk netrofil adalah C5a yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4, dan platelet activating factor. Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan debris sel dan komplek imun. Pengaktifan netrofil menyebabkan terjadinya degranulasi, pengeluaran protease, dan pembentukan rangsangan kemotaktik lebih lanjut. Di cairan sendi, pengaktifan sistem komplemen, pengeluaran enzim lisosom oleh netrofil, pembentukan oksidan reaktif, pembentukan kinin vasoaktif oleh kalikrein, serta pengaktifan fibrinolisis dan jenjang pembekuan menyebabkan terjadinya peradangan yang intensif. Rasa nyeri, peningkatan suhu, kemerahan, dan efusi mencerminkan peradangan sendi akut.6

2.4 Klasifikasi Pada tahun 1970, dua kriteria digunakan untuk mengklasifikasikan JRA pada anak yaitu klasifikasi oleh American Collage of Rheumatology (ACR), dan European League Against Rheumatism (EULAR). Pada tahun1993, klasifikasi ketiga muncul dari International League of Association for Rheumatology (ILAR). Karakteristik klinis JRA yang sering digunakan adalah oligoartritis, poliartritis dan onset sistemik.2

Tabel 1.Karakteristik JRA tipe onset penyakit 2 Karakteristik Presentase kasus Sendi terlibat Usia onset Poliartritis 30 % 5 Seluruh masa anak, puncak usia 1-3 tahun Rasio jenis kelamin ( laki-laki: perempuan ) Keterlibatan sistemik Penyakit sistemik sedang Tidak ada penyakit sistemik, penyebab utama morbiditas adalah uveitis Penyakit sistemik sering sembuh sendiri, sebagian mengalami destruksi artritis kronik Adanya uveitis kronik Frekuensi seropositif faktor rheumatoid Antibodi antinuclear Prognosis Sedang Baik, kecuali untuk penglihatan Buruk 40-50% 75-85% 10% 10% ( meningkat dengan usia ) Jarang Jarang 5% 5-15% Jarang 1:3 Oligoartritis 60% 4 Awal masa anak, puncak usia 1-2 tahun 1:5 10% Bervariasi Seluruh masa anak, tidak ada puncak 1:1 Sistemik

2.5 Patofisiologi Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang nonsupuratif. Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta diinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membran sinovial yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago artikuler sehingga terbentuk pannus. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat mengalami erosi dan rusak secara progresif. Terdapat variasi waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses kerusakan sendi yang permanen pada sinovitis. Pada anak, proses kerusakan kartilago artikuler terjadi lebih lambat dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita JRA tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama. Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid positif atau penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang, deformitas dan subluksasi atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifisis yang dipercepat, dan penutupan epifisis yang prematur dapat terjadi di dekat sendi yang terkena.6 Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang dewasa, terutama pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan peritoneum dapat terjadi serositis fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secara histologis tampak seperti vaskulitis ringan dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil.6 Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JRA, yaitu :7 1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi utama dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-beda tergantung subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan genHLA-A2, HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada

poliartritis berhubungan dengan gen HLADR4 pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27 meningkatkan risiko entesitis terkait artritis. 7 Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu fosfatase limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini. Gen ini dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk JRA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi antara masing-masing subtipe JRA tetapi secara umum lebih terkait daripada gen HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-6, IL-10 dan TNF juga berhubungan dengan JRA. 7 2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang teraktivasi sel plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui suatu proses neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis subtipe artritis pada JRA. Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini akan mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan fibroblas sinovial untuk memproduksi immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B yang teraktivasi akan memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan antinuclear antibody (ANA). 7 Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan komplek imun. Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JRA. Makrofag yang teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya angiogenesis. Pada pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial. Osteopontin meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan neovaskularisasi. 7 Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi, makrofag dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran penting dalam terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita JRA dan telah diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas sinovial, osteoklast dan khondrosit untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP)

yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada sendi lutut mengakibatkan terjadinya degradasi pada kartilago. 7 Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas biologik yang luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis dan metabolisme tulang. Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada pasien JRA. Hal ini dihubungkan dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6 (IL-6) menstimulasi hepatosit dan menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive Protein (CRP). Jadi, peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan peningkatan CRP dalam fase aktif penyakit. 7 Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi jaringan yang berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh tubuh. Bukti terbaru menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam reaksi inflamasi autoimun. Interleukin-17 (IL-17) akan meningkatkan sitokin

proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi TNF dan IL-1, serta akan saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-17 sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi. Interleukin-17 (IL-17) meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi. 7 3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam berbagai bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat. Selama manifestasi awal dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi perivaskular dari netrofil dan monosit yang memproduksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam proses patogenesis penyakit.7

10

Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis JRA tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan perbaikan gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap pengobatan anti-TNF. Monosit yang teraktivasi pada pasien dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi, dimana sekresi dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-18 ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat pada serum anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan pausiartikular. Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan hepatosplenomegali. 7 Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik dan berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan sinovial pasien dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe lainnya. Produksi berlebihan IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti anemia mikrositik dan gangguan pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal antibodi yang langsung menyerang reseptor IL-6 menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien dengan tipe sistemik. Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan makrofag yang menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF , IL-1, dan IL-6 mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage activation syndome (MAS). 7 4. Mediator anti inflamasi pada JRA Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan IL-4. Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen stimulated mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear (PMN) dengan produksi IL-10 yang rendah berhubungan dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat aktivasi sel Th1 dan penurunan produksi dari TNF , IL 1 dan menghambat kehancuran kartilago. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti IL-6 dan IL-8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi sebagai pausiartikular yang ringan dan

11

non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel T regulasi penting untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3 merupakan penyebab dari kondisi multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi, poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga merupakan penyebab adanya kegagalan toleransi pada penyakit autoimun, meskipun belum ada bukti yang menunjukkan adanya defek pada sel T regulasi pada JRA. Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien dengan JRA ditemukan peningkatan jumlah T regulasi yang lebih tinggi di sendi dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya suatu proses inflamasi.7

2.6 Manifestasi Klinis 2.6.1 Poliartikular Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan banyak sendi secara khas, yaitu 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya tipe ini terjadi pada 35% anak yang menderita JRA. Ada 2 subtipe JRA poliartikular, yaitu poliartritis faktor reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis dengan faktor reumatoid negatif (5-10%). Penyakit dengan faktor reumatoid positif biasanya dimulai pada akhir masa kanak-kanak. Pada artritis yang lebih berat sering timbul nodul reumatoid dan vaskulitis reumatoid. Selama masa kanak-kanak, penyakit tanpa faktor reumatoid bisa terjadi kapanpun, biasanya ringan dan jarang disertai dengan nodul reumatoid. Anak perempuan lebih banyak terkena dari pada anak laki-laki.4,8 Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat, atau secara progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi, pembengkakan dan kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan tanda-tanda terjadinya proses inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan fungsi tetapi jarang terlihat memerah. Bengkak terjadi akibat edema periartikular, efusi sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang dikeluhkan pada anak yang lebih kecil. Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan pada sendi yang terkena.

12

Hal ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang mengalami efusi dan proliferasi sinovial.8 Proliferasi sinovial dapat mengakibatkan timbulnya kista disekitar sendi yang terkena, herniasi sinovial, dan ekstravasasi cairan sinovial sehingga mengenai struktur disekitarnya terutama pada daerah poplitea. Kekakuan sendi pada pagi hari dan perlunakan pasca inaktivasi merupakan ciri khas JRA. 8 Artritis yang mengenai setiap sinovial persendian sering bermula dari sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan awal ini sering simetris. Peradangan sendi interfalang proksimal mengakibatkan pengurusan atau perubahan fusiformis pada jari-jari. Serangan pada sendi metakarpofalangeal seringkali bersamaan dan sendi interfalangeal dapat juga terkena. Artritis dari spina servikalis ditandai oleh kekakuan dan nyeri leher yang terjadi pada sekitar 50% penderita. Keterlibatan sendi

temporomandibular ditandai dengan terbatasnya gerakan membuka rahang dan nyerinya bisa timbul sebagai nyeri telinga. Keterlibatan panggul sekurangkurangnya terjadi pada 50% anak yang menderita poliartritis, biasanya mulai pada proses penyakit yang lanjut. Penghancuran kaput femoris dapat terjadi. Penyakit pinggul yang berat merupakan penyebab utama kecacatan pada stadium akhir JRA. Penyempitan sendi sakroiliaka bisa diketahui dari foto rontgen. Artritis krikoaritenoid bisa mengakibatkan suara serak dan stridor laring serta mengakibatkan terjadinya obstruksi akut saluran napas, namun hal ini jarang terjadi. Keterlibatan sendi sternoklavikular dan sambungan kostokondral dapat menyebabkan nyeri dada. 4 Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada sendi yang meradang bisa mengakibatkan pertumbuhan yang berlebih atau berkurang. Penambahan panjang kaki dapat menyertai artritis lutut yang kronis dan mikrognatia pasca artritis temporomandibular. Hal ini dapat menjadi suatu tanda stadium akhir JRA. Kaki yang kecil dan berubah bentuk dapat disebabkan karena keterlibatan kaki pada masa awal kanak-kanak dan jari-jari yang pendek adalah karena keterlibatan tangan pada masa dini. 4

13

Manifestasi ekstra-artikular JRA poliartikular tidak sehebat manifestasi yang tampak pada JRA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit poliartikular yang aktif menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia ringan. Demam ringan, hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus reumatoid dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya dijumpai pada penderita dengan hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid. Vaskulitis reumatoid kadang-kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif sebagaimana pada penyakit sjogren. 9 2.6.2 Pausiartikular Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada 4 sendi selama 6 bulan pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi besar, dan penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular ini, yaitu tipe 1 terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat mulainya penyakit dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama menyerang anak laki-laki dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya penyakit dan lebih berisiko mengalami spondiloartropati. 4,8

Gambar 1.Artritis unilateral lutut kiri pada JRA pausiartikular.10

Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%). Sebanyak 90% penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan faktor reumatoid ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
14

lutut, pergelangan kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada sendi lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan, pergelangan tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak terkena dan tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi yang terkena tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JRA. 4 Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk menderita komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu waktu selama 10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JRA adalah tidak disertai gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan gejala awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya tetap tidak terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JRA yang ada tetapi biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya memiliki tes ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris yang paling awal adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam kamera okuli anterior. Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan slit lamp. Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun. Sekuelenya meliputi sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma sekunder, dan ptosis bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan permanen. Oleh karena itu, pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan pemeriksaan slit lamp 3-4 kali setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun pertama penyakit tanpa memandang aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstraartikular lainnya pada JRA pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan, malaise, hepatomegali, limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa dikaitkan dengan aktivitas penyakit yang aktif. 9 Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JRA terutama anak laki-laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering menunjukan adanya anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular, spondilitis ankilosa, dan penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya negatif. Pada tipe ini sendi yang sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi ekstremitas bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering
15

ditemui. Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi tendon pada tulang. Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini berkembang menjadi spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina lumbodorsal, manifestasi sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis, iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan), atau adanya tanda-tanda penyakit radang usus. 4 2.6.3 Sistemik Penyakit tipe sistemik adalah jenis JRA yang paling berat tetapi sangat jarang ditemui. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan JRA dengan perbandingan yang sama antara kedua jenis kelamin. Penderita umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak selama beberapa minggu disertai ruam-ruam yang cepat menghilang. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering melonjak hingga suhu 40oC- 41oC pada sore hari, dan sering menurun dengan cepat sampai subnormal pada jam lain. Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang objektif. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam makular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul di badan dan paha sebelah dalam. Tiap-tiap makular tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena Koebner, yaitu kemampuan untuk memicu timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara lembut.6 Selain itu, penderita yang usianya lebih besar sering mengeluh artralgia dan/atau mialgia yang parah. Penurunan nafsu makan dan iritabilitas juga sering dikeluhkan. Adanya limfadenopati generalisata mungkin cukup menonjol sehingga memberi kesan kuat akan adanya keganasan. Hepatosplenomegali juga dapat sebagai tanda keganasan.6 Anak dengan JRA tipe sistemik tidak jarang mengalami perikarditis, kadang disertai miokarditis yang mungkin mengancam jiwa. Beberapa dari anak ini juga menderita efusi pleura dan pneumonitis. Kadang-kadang anak mengalami serositis abdomen yang menimbulkan gambaran mirip akut abdomen.6 Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Sedangkan yang

16

lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa tetapi di antara serangan mungkin terdapat masa normal.6

2.7 Diagnosis Terdapat beberapa pengelompokan dalam mendiagnosis JRA, di antaranya: Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis menurut American College of Rheumatology (ACR) :2 1. Usia penderita < 16 tahun 2. Artritis (bengkak atau efusi, adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak, nyeri saat gerak dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih 3. Lama sakit > 6 minggu 4. Tipe onset penyakit (dalam 6 bulan pertama) : a. Poliartritis : 5 sendi b. Pausiartikular : < 5 sendi c. Sistemik : artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat ruam atau keterlibatan ekstraartikular, seperti limfadenopati,

hepatosplenomegali atau perikarditis 5. Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League Against Rheumatism (EULAR) :2 1. Usia penderita < 16 tahun 2. Artritis pada satu sendi atau lebih 3. Lama sakit > 3 minggu 4. Tipe onset penyakit : a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif b. Pausiartikular: < 5 sendi c. Sistemik : artritis dengan demam d. Artritis reumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif e. Spondilitis ankilosing juvenil

17

f. Artritis psoriasis juvenil Kriteria diagnosis Juvenile Idiopatic Arthritis menurut International League of Associations for Rheumatology (ILAR) :2 1. Sistemik 2. Oligoartritis a. Persisten b. Extended 3. Poliartritis ( faktor reumatoid negatif ) 4. Poliartritis ( faktor reumatoid positif ) 5. Artritis psoriasis 6. Artritis terkait entesitis 7. Artritis Lain a. Tidak memenuhi kategori b. Memenuhi lebih dari satu kategori

Artritis sistemik Definisi: artritis dengan demam atau didahului oleh demam paling sedikit 2 minggu, yang terekam sebagai demam quotidian minimal 3 hari, disertai satu atau lebih tanda berikut:5 1. Ruam eritem evanescent, tidak menetap (non-fixed) 2. Pembesaran kelenjar getah bening generalisata 3. Hepatomegali atau splenomegali 4. Serositis. Eksklusi: eksklusi untuk klasifikasi artritis sistemik tidak dicantumkan, tetapi bila tidak ditemukan tanda klasik penyakit sistemik, maka kemiripan dengan penyakit infeksi atau keganasan harus disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. 5 Deskriptor: 1 Usia pada saat onset penyakit 2. Pola artritis selama periode onset (selama 6 bulan pertama sakit) a. oligoartritis

18

b. poliartritis c. artritis timbul setelah 6 bulan pertama kelainan sistimik 3. Pola artritis selama perjalanan penyakit (setelah 6 bulan pertama sakit) a. oligoartritis b. poliartritis c. tanpa artritis setelah 6 bulan pertama sakit 4. Gambaran penyakit sistimik setelah 6 bulan 5. Adanya faktor reumatoid (FR) 6. Kadar protein C-reaktif. 5

Oligoartritis Definisi: artritis pada 1-4 sendi dalam 6 bulan pertama sakit. Terdapat 2 kategori: 1. Oligoartritis persisten: mengenai tidak lebih dari 4 sendi selama perjalanan penyakit 2. Oligoartritis extended: secara kumulatif mengenai 5 sendi atau lebih setelah 6 bulan pertama sakit. 5 Eksklusi: 1. Riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri, dengan konfirmasi oleh dermatologis 2. Riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti berhubungan dengan HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedegri 3. FR positif 4. Anak lelaki HLA-B27 positif dengan onset artritis setelah usia 8 tahun 5. Artritis sistemik. 5 Deskriptor: 1. Usia pada saat onset artritis dan psoriasis 2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir a. hanya sendi besar b. hanya sendi kecil c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah predominan, (iii)tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah d. keterlibatan sendi spesifik (paha, leher)

19

e. simetri artritis 3. Adanya uveitis anterior (akut atau kronik) 4. Adanya ANA 5. Alel protektif atau predisposisi HLA kelas I atau II. 5

Poliartritis FR negatif Definisi: artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, uji FR negatif. 5 Eksklusi: 1. Faktor Reumatoid positif 2. Artritis sistemik. 5 Deskriptor: 1. Usia saat onset artritis 2. Simetri artritis 3. Adanya ANA 4. Adanya uveitis (akut atau kronik). 5

Poliartritis FR positif Definisi: artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, dengan uji FR positif pada dua kali pemeriksaan dengan jarak paling sedikit 3 bulan. 5 Eksklusi: 1. Uji Faktor Reumatoid negatif pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak paling sedikit 3 bulan 2. Artritis sistemik.5 Deskriptor: 1. Usia saat onset artritis 2. Simetri artritis 3. Adanya ANA 4. Karakter imunogenetik (sebanding dengan populasi artritis reumatoid dewasa).5

20

Artritis psoriatik Definisi: 1. Artritis dan psoriasis, atau 2. Artritis dan paling sedikit terdapat 2 dari tanda: a. daktilitis b. kelainan kuku (pitting atau onikolisis) c. riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedegri, dengan konfirmasi oleh dermatologis. 5 Eksklusi: 1. Faktor Reumatoid positif 2. Artritis sistemik. 5 Deskriptor: 1. Usia saat onset artritis atau psoriasis 2. Pola artritis pada saat 6 bulan setelah onset sakit, dan kunjungan klinik terakhir a. hanya sendi besar b. hanya sendi kecil c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah predominan, (iii)tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah d. keterlibatan tulang punggung e. keterlibatan sendi sakroiliaka f. keterlibatan sendi glenohumerus g. keterlibatan sendi paha h. keterlibatan sendi sternoklavikula i. artritis simetri 3. Perjalanan penyakit a. oligoartritis b. poliartritis 4. Adanya ANA 5. Uveitis anterior a. kronik b. uveitis dengan karakteristik mata nyeri, kemerahan, atau fotofobia 6. Deskriptor HLA. 5

21

Artritis yang berhubungan dengan entesitis Definisi: 1. Artritis dan entesitis, atau 2. Artritis atau entesitis dengan paling sedikit 2 dari tanda: a. nyeri sendi sakroiliaka dan/atau nyeri punggung inflamasi b. adanya HLA-B27 c. riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti berhubungan HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedigri. d. uveitis anterior yang biasanya berhubungan dengan mata nyeri, kemerahan, atau fotofobia e. onset artritis pada anak lelaki setelah usia 8 tahun. 5 Eksklusi: 1. Psoriasis, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri, dengan konfirmasi oleh dermatologis 2. Artritis sistemik. 5 Deskriptor: 1. Usia saat onset artritis 2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir hanya sendi besar a. hanya sendi kecil b. predominansi pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai bawah predominan, (iii) tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah d. keterlibatan tulang punggung e. keterlibatan sendi sakroiliaka f. keterlibatan sendi glenohumerus g. keterlibatan sendi paha 3. Simetri artritis 4. Perjalanan penyakit a. oligoartritis b. poliartritis 5. Adanya penyakit inflamasi usus. 5

22

Artritis lain Definisi: Artritis pada anak dengan penyebab tidak diketahui yang menetap paling sedikit 6 minggu, tetapi: 1. Tidak memenuhi kriteria salah satu kategori, atau 2. Memenuhi kriteria lebih dari satu kategori. 5 Eksklusi: Pasien yang memenuhi kriteria salah satu kategori. 5

2.8 Diagnosis Banding Beberapa hal harus dipertimbangkan dan disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis JRA dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, yakni: 2.8.1 Artritis pada Penyakit Infeksi

Beberapa proses infeksi seperti artritis septik, artritis reaktif dan osteomielitis dapat menunjukkan manifestasi artritis. Pada artritis septik, jaringan sinovial terinfeksi secara langsung oleh bakteri, virus ataupun agen infeksi lain. Diagnosis didapatkan dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan kultur dari cairan sinovial, kultur darah dan pemeriksaan serologis. Pasien yang menderita artritis septik dapat melibatkan lebih dari satu sendi namun tidak harus menunjukkan adanya tanda sepsis ataupun tanda penyakit sistemik. Beberapa anak yang menderita onset akut harus dicurigai menderita artritis septik.11 Infeksi oleh Borrelia burgdorferi pada penyakit Lyme dapat menyebabkan artritis yakni pausiartikular baik pada anak maupun pada dewasa. Artritis Lyme biasanya selalu respon terhadap terapi antibiotik. Beberapa agen non-bakterial seperti rubella, mumps, varisella, adenovirus, hepatitis B, and Mycoplasma dapat diduga sebagai penyebab artritis. Artritis seperti ini biasanya terjadi pada akhir dari perjalanan infeksi, meskipun kadang-kadang mendahului manifestasi klinis. Parvovirus telah diketahui dapat menyebabkan artritis transien pada anak dengan atau tanpa manifestasi klinis yang menyertainya.11 Artritis reaktif adalah artritis steril yang menyertai infeksi gastrointestinal dengan patogen seperti Shigella, Salmonella, Yersinia, atau Campylobacter sp pada pejamu yang dicurigai. Beberapa anak dengan artritis akut dengan

23

manifestasi gastroenteritis harus dievaluasi lebih lanjut. Anak umumnya memiliki histokompatibilitas antigen HLA B27.11 Manifestasi anak dengan osteomielitis kadang mirip dengan penyakit reumatik. Sendi yang berdekatan dengan area metafisis yang terinfeksi dari tulang panjang dapat membengkak, namun dengan cairan sendi yang jernih. Pada osteomielitis nyeri dan pembengkakan pada daerah metafisis lebih menyolok daripada nyeri sendi. Perubahan gambaran radiografi pada osteomielitis terjadi setelah sakit minimal hari ke-7. Ultrasonografi atau scanning tulang dapat menjadi alat untuk diagnosis pada saat awal penyakit.11 2.8.2 Artritis pada Keganasan

Beberapa keganasan anak seperti pada leukemia, neuroblastoma, limfoma, penyakit hodgkin dan rabdomiosarkoma, seperti halnya pada tumor tulang primer seperti osteogenik sarkoma dan ewing sarkoma, dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal yang sangat mirip dengan penyakit reumatik. Artritis pada leukemia dan keganasan lainnya secara umum lebih disebabkan oleh infiltrasi sel ganas pada struktur di sekitar sendi, dibandingkan dengan keterlibatan langsung dari sinovial. Anak biasanya terlihat lebih menderita dibandingkan pada JRA, dan nyeri sendi yang terjadi biasanya lebih parah, sehingga anak tidak mau mengerakkan lengan dan tungkainya.11 Diagnosis terhadap kemungkinan keganasan, dengan didapatkannya gambaran hematologi abnormal (leukopenia, anemia berat, trombositopenia), abnormalitas jaringan lunak atau jaringan tulang serta pemeriksaan yang tepat seperti pemeriksaan sumsum tulang atau biopsi. Pemeriksaan radiologi sendi yang terlibat dapat menggambarkan infiltrasi langsung ke tulang atau temuan nonspesifik seperti penipisan metafisis atau periostitis. Namun, pemeriksaan radiologi dapat juga menunjukkan tampilan normal yang kadang tidak membantu dalam menegakkan diagnosis.11 2.8.3 Artritis pada Kondisi non-inflamasi

Beberapa kondisi non-inflamasi dapat menyebabkan nyeri sendi yang kadang diduga sebagai JRA. Diantaranya yaitu nyeri tungkai idiopatik pada anak dan sindrom nyeri lainnya seperti pada fibromialgia serta trauma muskuloskeletal.
24

Nyeri pada tumit setelah aktivitas berat merupakan penyebab tersering dari nyeri tumit pada anak yang lebih besar dan remaja. Kondisi ini dapat menunjukkan efusi pada lutut yang kadang-kadang mirip dengan artritis. Beberapa sindrom genetik dan kongenital yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal mirip dengan artritis, seperti pada dislokasi panggul kongenital, dan displasia epifisis serta metafisis. Diagnosis dari berbagai kondisi non-inflamasi tersebut dapat dibedakan dari artritis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, riwayat keluarga lengkap dan pemeriksaan radiologi sendi dan tulang.11 2.8.4 Artritis pada penyakit reumatik lain

Penyakit reumatik anak lainnya dapat mirip dengan artritis. Diagnosis pada kondisi ini biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Semuanya biasanya menunjukkan gejala dan tanda yang berbeda.11 Demam rematik adalah penyakit post infeksi streptokokus yang dikaitkan dengan artritis berpindah. Karditis adalah temuan utamanya. Temuan lain termasuk rash, nodul subkutan dan korea. Demam rematik jarang menyebabkan artritis kronik, jadi untuk membedakanya dengan JRA tidaklah sulit.11 Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem yang dimulai dengan artritis. Artritis pada penyakit ini jarang menjadi kronik seperti halnya JRA dan manifestasi klinisnya sangat berbeda. Anti Nuclear Antibody (ANA) dapat ada pada hampir semua kasus lupus, umumnya dengan titer yang tinggi. Nefritis adalah temuan yang sering pada lupus anak, dimana kadar komplemen hemolitik serum menurun dan terjadi peningkatan dari kadar autoantibodi DNA, temuan yang biasanya tidak ditemukan pada JRA. Dermatomiositis biasanya dihubungkan dengan artritis namun dengan manifestasi miositis dan rash.11 Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang yang tepat serta pemeriksaan laboratorium yang sesuai dapat secara efektif membantu menyingkirkan diagnosis banding dari JRA. Penting untuk menyingkirkan penyakit yang dapat diterapi secara pasti, seperti penyakit infeksi dan keganasan, beberapa kondisi non-inflamasi dari tulang dan sendi, serta

25

penyakit reumatoid yang fatal seperti lupus dermatomiositis maupun demam reumatik sebelum menetapkan diagnosis dari JRA.11

2.9 Pemeriksaan Penunjang 2.9.1 Laboratorium Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA menjadi lebih sempurna.1 Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.8 ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoidnegatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II. Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.8 Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi dengan JRA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanakkanak, artritis destruksi berat, dan nodulus reumatoid.8 Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3; sel-sel tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar komplemen mungkin normal atau menurun.8 Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar

26

dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.1 2.9.2 Radiologi Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.1 Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartikular.1 Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b)metafisis mengembang, dan c)fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. 1

27

Gambar 2.Rontgen sendi pergelangan tangan.12


Perempuan 7 tahun dengan JRA tipe pausiartikular sejak usia 3 tahun. Gangguan pertumbuhan ulnar dengan subluksasi ke tulang karpal, fraktur kompresi pada epifisis radius distal, destruksi dan fusi tulang metacarpal.

Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa kelainan tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.1 Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat

28

membedakan inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.1

2.10 Penatalaksanaan Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.2 Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.4 2.10.1 Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS) Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga sangat cepat.2 Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik,

29

analgetik, dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat ini juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik terhadap pengobatan OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.2 Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg, sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis yang lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang. 2 Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: a. Tolmetin Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.2,4 b. Naproksen Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan

pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah, tangan, dan meninggalkan jaringan parut. 2,4

30

c. Ibuprofen Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan diberikan bersama makanan. 2,4 d. Diklofenak Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. 2,4 2.10.2 Analgetik Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.2 2.10.3 Imunosupresan Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. 2 Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan penggunaan obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan dosis 1 kali per minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS, hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/ m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan. 2

31

2.10.4 Obat Antireumatik Kerja Lambat Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan OAINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina, lapangan pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.2 Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500 mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB). Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.2 2.10.5 Kortikosteroid Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison (0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen jembatan dalam terapi inisial anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40 mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang

32

dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid. 2 Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2 2.10.6 Fisioterapi dan Latihan Fisik Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan hidroterapi. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu mengurangi nyeri. Selain itu, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.2,4 Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari. 2,4 2.10.7 Psikoterapi Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk memperbaiki prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami retardasi pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman sekelasnya. Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak
33

melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan semua orang yang berinteraksi dengan anak pengidap RJA untuk menghadapi anak tersebut secara normal sesuai anak seusianya dan menekankan indepedensi serta pendewasaan sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami regresi atau imatur seiring dengan waktu.6 Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress besar pada interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya dan pada perkawina orang tua. Perlunya terapi fisik akan menjadi beban bagi oang tua, sehingga membutuhkan banyak dukungan dan dorongan. Beban biaya untuk semua penyakit kronik mungkin sangat besar. Terapis harus bekerja sama dengan guru dan departemen pendidikan, untuk memastikan bahwa anak diijinkan dan didorong untuk menjadi senormal mungkinselagi di sekolah.6 2.10.8 Nutrisi Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.2 Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS dan klorokuin.4 Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400

34

IU dan kalsium 400 mg, sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.4 2.10.9 Bedah Terapi bedah dilakukan hanya pada sebagian kecil JRA yakni pada kasus dimana terdapat deformitas sendi, ketidakmampuan bergerak atau nyeri yang parah.

Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari. 1 Beberapa

prosedur

pembedahan

yang

sering

digunakan

untuk

memperbaiki deformitas sendi, diantaranya dengan: Membebaskan jaringan lunak pada kontraktur, dengan memotong otot yang berdempet pada sendi yang bengkok. Setelah otot dan jaringan yang memendek lainnya dibebaskan, sendi yang terlibat akan kembali ke posisi yang lebih normal.

Penggantian sendi total dilakukan bila terpaksa, dimana sendi yang terlibat telah sangat rusak yakni sangat sulit atau bahkan sudah tidak bisa untuk berjalan. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah umur anak, jumlah sendi yang terlibat, dan dampaknya terhadap mobilitas anak. 1 Prosedur bedah lainnya yang telah digunakan untuk penanganan JRA,

namun hanya direkomendasikan pada beberapa kasus, yakni:

Osteotomi, membuang jaringan pada tulang untuk memberikan struktur yang normal pada sendi. Osteotomi dapat direkomendasikan pada anak dengan kontraktur sendi yang parah.

Epifisiodesis, dimana bagian dari tulang panjang tumbuh terjadi dibuang untuk mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari tulang.

Sinovektomi atau tenosinovektomi, prosedur ini jarang dilakukan pada JRA. Sinovektomi adalah operasi adalah penggantian operasi pada dari sinovium yang

tendosinovektomi

sedangkan

jaringan

menyelimuti tendon untuk mengurangi inflamasi sendi. Artrodesis, jarang dilakukan pada anak. Prosedur ini dilakukan pada anak yang terjadi fusi pada dua tulangnya, sehingga sendi tidak mampu bergerak lebih luas. 1

35

Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia anak, dan apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan penggantian sendi total, sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian total pada sendi lainnya dalam 10-20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada umur anak, kemungkinan hidup dengan sendi pengganti, dan kemungkinan kehilangan kekuatan otot dan tulang bila pembedahan ditunda terlalu lama.1

2.11 Prognosis Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsur-angsur terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari pada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk disembuhkan. Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya sedikit orang yang meninggal karenanya.13 Prognosis bervariasi berdasarkan kepada bentuk JRA. Lebih dari 50% pasien berkembang menjadi lesi sendi yang berat dengan poliartikuler seropositif, 25% berkembang menjadi bentuk sistemik, dan 10-20% berupa poliartikuler seronegatif. Penyebab utama morbiditas pada JRA poliartikuler dan sistemik adalah penyakit sendi kronis.20% anak yang menderita penyakit pausiartikuler tipe I nantinya berkembang menjadi poliartritis berat. Pada penyakit pausiartikuler, morbiditas utama adalah iridosiklitis kronis pada penderita tipe I dan selanjutnya spondiloartropati pada penderita tipe II. 8,14 Dalam perjalanan penyakit mungkin terdapat eksaserbasi, remisi, atau gejala-gejala dapat berlangsung selama bertahun-tahun dengan artritis ringan atau berat yang menyebabkan penghancuran sendi dan deformitas permanen sehingga menyebabkan timbulnya cacat. Penyakit tidak selalu mereda pada masa pubertas. Beberapa penderita terus menderita artritis aktif sampai dewasa, dan beberapa penderita mengalami eksaserbasi sesudah penyakit yang dalam waktu bertahuntahun tampak mereda secara sempurna.8 Penderita dengan poliartritis faktor reumatoid-positif dan JRA sistemik mempunyai prognosis yang paling jelek terhadap fungsi sendi. Namun, prognosis
36

terhadap keseluruhan baik. Sekurang-kurangnya 75% penderita JRA akhirnya mengalami penyembuhan lama tanpa deformitas sisa atau kehilangan fungsi. Hanya sedikit yang tetap dengan cacat deformitas sendi. Kelemehan pada penderita terutama diakibatkan oleh penyakit sendi pinggul berat, sebagaimana hilangnya visus karena iridosiklitis. Di Eropa, amiloidosis mengenai sekitar 5% penderita JRA tetapi di Amerika Serikat komplikasi ini jarang ditemui.8,13 Dengan terapi yang tepat, anak dengan segala bentuk dari artritis akan selalu membaik seiring waktu. Sebagian besar anak dengan artritis tumbuh normal tanpa kesulitan berarti. Biasanya untuk kasus berat dengan pengobatan yang tepat, terapi fisik dan okupasi yang tepat dan operasi yang tepat bila diperlukan, sebenarnya tidak satu pun pasien yang membutuhkan kursi roda. Anak dengan penyakit onset sistemik cenderung berespon baik dengan pengobatan medis atau berkembang menjadi poliartikular berat yang cenderung resisten dengan pengobatan medis, dengan penyakit persisten hingga dewasa.13 Saat ini telah banyak kemajuan signifikan dalam pengobatan anak dengan artritis. Kemajuan pengobatan selama 20 tahun terakhir ini terutama dengan ditemukannya steroid intraartikular, metotreksat, dan pengobatan biologik telah didapatkan kemajuan dramatis dari prognosis anak dengan artritis. Hampir semua anak dengan JRA dapat hidup produktif. Namun, banyak pasien, khususnya yang memiliki penyakit poliartikular, mungkin memiliki masalah penyakit aktif saat dewasa, dengan mencapai remisi terus-menerus pada sebagian kecil pasien.13

2.12 Komplikasi Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari komplikasi-komplikasi berikut:13 1. Komplikasi pada mata Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa gejala. Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA positif. Bila kondisi ini tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya katarak,

37

glaukoma bahkan kebutaan. Uveitis terkait JRA biasanya asimptomatik. Skrining terhadap uveitis telah dilakukan selama beberapa tahun dan telah membantu menurunkan prevalensi pasien yang kehilangan penglihatan.13 2. Deformitas tulang Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan berbagai komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang berlokasi pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang paling banyak dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh pada pasien dengan JRA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar sehingga dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunner. 13 3. Gangguan pertumbuhan JRA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak. Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati JRA, terutama kortikosteroid, juga dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai, kaki tidak sama panjang, dan deformitas tulang. 13 4. Kontraktur sendi Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan sendi. Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan menekukkan kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa keterbatasan gerakan punggung. 13 5. Lainnya Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang tidak dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya. Inflamasi dari arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan menyebabkan kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan terjadinya inflamasi hepar. 13

38

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Juvenile rheumatoid arthritis (JRA) adalah peradangan kronis pada sendi yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu. Juvenil Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak pada sendi. Peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya. Angka kematian tertinggi pada anak-anak dengan JRA terjadi pada pasien JRA sistemik yang menunjukkan gejala-gejala sistemik. Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Modalitas farmakologi diantaranya obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), analgetik, imunosupresan, obat antireumatik kerja lambat, dan kortikosteroid. Sedangkan modalitas non farmakologi yaitu fisioterapi, latihan fisik, nutrisi, dan terapi bedah. Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsurangsur terhadap terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik daripada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk disembuhkan.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. David DS. Juvenile Idiopathic Arthritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011. 2. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI. 2008; hal 322-44. 3. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76. 4. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2010; 2520-5. 5. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil (AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri.2008; 9 (6) : 40-8. 6. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Vol. 1. Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006; 537-8. 7. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30. 8. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689. 9. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic arthritis a form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on behalf of the British Society for Rheumatology. 2006; 1129-32. 10. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). Dalam: Pediatric Rheumatology in Clinical Practice. London: Springer. 2007; 2346. 11. Schaller JG. Juvenil Reumatoid Artritis. American Academy of Pediatrics. 1997; 9-11.

40

12. Cantani A. Autoimmnune Diseases. Dalam: Dr. Ute Heilmann, Heidelberg, Germany. Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Roma: Springer. 2007; 1075-84. 13. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em .htm tanggal 19 September 2012 14. Cantani A. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Pediatric Allergy, Asthma, and Immunology. Springer Berlin Heidelberg New York.2008:1085-100.

41

You might also like