You are on page 1of 5

Governance dengan atau tanpa GBHN

Oleh Robinson Sembiring1 Pendahuluan Setelah beberapa tahun mengurus negara tanpa GBHN, belakangan ini muncul kembali gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN. Alasan utamanya adalah agar lebih terjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah tetap pada koridor cita-cita proklamasi. Terjamin kesinambungan maksudnya adalah bahwa penterjemaahan arah pembangunan jangka panjang dalam bentuk program pembangunan tidak berubahubah walaupun rejim pemerintah mengalami pergantian. Dapat diduga bahwa dalam menanggapi gagasan menghidupkan kembali GBHN tersebut akan muncul argumentasi pro dan kontra sesuai dengan cara pandang mereka dalam melihat pembangunan. Utamanya adalah menyangkut jawaban atas pertanyaan siapakah pelaku pembangunan? Jawaban atas pertanyaan ini sekaligus akan menentukan sikap orang atas perlu tidaknya GBHN. Argumentasi Pro GBHN 1. Negara menjadi penuntun dalam proses pembangunan. Karena itu, negara haruslah memiliki rencana untuk membawa masyarakat ke arah yang dicita-citakan sesuai dengan mission proklamasi dalam sejarah kemerdekaan bangsa. Sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia, dipandang masih sangat diperlukan posisi pemerintah yang sentral dalam memimpin dan mengarahkan pembangunan bangsa. Pemerintah harus menjadi pemimpin utama dalam upaya perubahan pada berbagai bidang. Konsekuensinya, upaya itu memerlukan suatu arahan yang jelas; ke mana bangsa dan negara ini hendak dibawa. Untuk menjamin akuntabilitas, "arahan" yang dimaksud dirumuskan melalui persidangan yang melibatkan wakil dari sebanyak mungkin golongan dalam masyarakat (Mohtar Masoed, Kompas, 12 Agustus 2002) 2. Meskipun saat ini telah ditetapkan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025, namun tidak ada jaminan pasti terhadap implementasi dari undang-undang tersebut mengingat implementasi rencana pembangunan jangka menengah tetap didasarkan pada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan umum. Kalau hal ini tetap terjadi dalam setiap lima tahun, maka pembangunan akan sulit diselenggarakan secara berkesinambungan. Berganti Presiden berarti berganti pula kebijakan program pembangunan. 3. Lain halnya ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) masih memiliki satu kewajiban yang strategis dan penting, yakni menyusun dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini akan dijadikan
1

Robinson Sembiring, Dosen Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP-USU. Makalah ini disampaikan pada tanggal 19 Juli 2011 dalam rangka FGD dengan Tema: Menggagas Kembali GBHN sebagai Arah Perencanaan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan atas kerjasama antara MPR dengan USU.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10. 11.

pedoman bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan jangka panjang, yang meliputi kurun waktu hingga 25 tahun ke depan. Dari GBHN ini dapat kita mengetahui apa Visi kita tentang bangsa ini 25 tahun ke depan dan apa saja Misi yang harus kita kerjakan untuk mencapai itu. GBHN yang sudah ditetapkan oleh MPR, selanjutnta dirinci kembali oleh pemerintah bersama DPR ke dalam program-program pembangunan jangka menengah (lima tahunan). Program-program jangka menengah ini ditatapkan menjadi undang-undang. GBHN memang ditetapkan untuk jangka waktu 25 tahun, namun setiap lima tahun GBHN ini ditinjau kembali oleh MPR untuk melakukan berbagai penyesuaian (adjustment) yang bisa saja terjadi karena adanya berbagai perubahan situasi dan kondisi, baik internal maupun eksternal. Penyesuaian-penyesuaian sebagai akibat adanya perubahan tersebut di atas tidak dilakukan oleh MPR terhadap keseluruhan GBHN, tapi hanya pada rumusan dasar pembangunan jangka menengah lima tahun ke depan, sedangkan penjabarannya secara rinci tetap dilakukan oleh pemerintah bersama-sama DPR. Untuk itu, biasanya setahun sebelum dilaksanakannya Pemilu, Tim atau Panitia Ad-hoc dari MPR sudah mulai melakukan berbagai kegiatan untuk menyusun rumusan GBHN yang disesuaikan tersebut. Apabila hal ini dikaitkan dengan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung saat ini, maka para kandidat Presiden/Wapres merancang Visi dan Misi mereka dengan tetap mendasarkan kepada rumusan GBHN. Dengan cara ini dapat diharapkan program pembangunan jangka panjang dapat diselenggarakan secara berkesinambungan, meskipun Presiden/Wapres akan berganti-ganti selama 25 tahun. Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye. Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya. Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional (UU17/2007) Sangat terasa, tidak adanya semacam GBHN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita seperti kehilangan arah. Tidak mengarah pada sebuah titik visi yang seharusnya merupakan terjemahan dari cita-cita pendiri bangsa kita GBHN perlu dihidupkan kembali agar rencana pembangunan nasional itu dipayungi oleh payung hukum setingkat ketetapan MPR sebagaimana terjadi pada masa lalu Fakta yang diperoleh dilapangan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan (RPJP) tidak mampu memberikan solusi untuk menyatukan visi pembangunan di seluruh tingkatan menciptakan kesejahteraan masyarakat

12.

Cita-cita pembangunan nasional sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 45 akan sulit tercapai jika masing-masing tingkatan pemerintah menjalankan visi dan misinya masing-masing sebab setiap kepala daerah memiliki visi dan misi sendiri-sendiri yang dibuat oleh tidak paham pentingnya visi bersama untuk capai tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertuang pada pembukaan UUD 45 13. Menghidupkan kembali GBHN bukan bentuk sentralisasi. Bukan merupakan langkah mundur tapi penyamaan visi kebangsaan untuk membangun bangsa Argumentasi Kontra GBHN 1. Problem kita bukan pada pembuatan dokumen, tetapi bagaimana mendorong perilaku yang konsisten dengan dokumen-dokumen yang telah dibuat, dan membuat para pemimpin bisa bekerjasama. 2. Bagaimana mungkin nasib bangsa yang berjumlah 237 juta orang, dengan luas wilayah yang besar, hanya diserahkan pada visi misi Presiden yang disampaikan pada masa kampanye? 3. Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih sekedar pemenuhan formalitas belaka ? Mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan. 4. Kita butuh garis besar nasional, untuk mengkonsolidasi program-program yang terpencar dalam satu payung besar 5. Sejak tahun 1959 kita telah hidup dengan paling tidak enam GBHN. Walaupun kenyataannya dokumen itu diabaikan, jangan lupa bahwa sebagian dari kita punya kecenderungan menganggapnya "sakral". 6. Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar. 7. Kemampuan pemerintah sebagai pelaku pembangunan sangat terbatas. Apalagi kalau dihadapkan pada beberapa kekuatan ekonomi raksasa yang ada dalam pasar dunia. Selama hampir dua dasawarsa terakhir, peran penting pemerintah sebagai pelaku ekonomi semakin berkurang. Sebagai perencana, pemerintah harus berkompromi dengan banyak aktor lain, termasuk yang dari luar batas nasionalnya. Sebagai investor, pemerintah harus berpatungan dengan investor swasta domestik maupun internasional. Sebagai produsen, pemerintah terbukti semakin payah. 8. Seorang ideolog akan bertahan bahwa dokumen semacam GBHN itu tetap diperlukan. Kalau tidak mungkin memperoleh pengesahan dari MPR, mesti ada cara mengembangkan wacana dalam masyarakat yang memungkinkan munculnya

konsensus mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan kita bernegara ini. Sebenarnya kita telah memiliki Pembukaan Undang-undang Dasar namun, kita memerlukan konsepsi yang lebih operasional untuk dipedomani oleh pelaku ekonomi maupun politik dalam masyarakat. Tanpa tujuan yang jelas, maka proses berpolitik dan berekonomi itu akan terombang-ambing oleh tarikan-tarikan dari berbagai penjuru. 9. Apa pun pilihannya, satu hal yang pasti adalah bahwa kita harus belajar bermasyarakat dan bernegara tanpa menggantungkan nasib terlalu banyak pada pemerintah. Sesungguhnya, pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. Disamping berbagai argumentasi diatas, diskusi mengenai GBHN juga dapat didekati melalui konsep governance, dengan beberapa alasannya adalah: 1. Konsep ini sudah sangat jamak digunakan untuk menjelaskan fenomena dan dinamika proses pemerintahan 2. Berkaitan dengan alasan di atas, para ilmuwan mengembangkan berbagai definisi, cara pandang hingga menemukan kaitan berbagai variabel dalam proses yang disebut sebagai governance tersebut. Berdasarkan kedua alasan di atas, diskusi dapat berkembang cakupannya hingga ke berbagai variabel yang perlu dipertimbangkan untuk menyatakan GBHN memang dibutuhkan atau tidak dibutuhkan sama sekali. Ada sebuah ancangan dari Lynn, Heinrich dan Hill (2001:15) untuk mendekati fenomena governance, sebagai berikut: O = [E,C,T,S,M] dimana O = Output/outcomes. The end product of a governance regime E = Environmental factors. These can include political structure, levels of authority, economic performance, the presence or absence of competition among suppliers, resource levels and dependencies, legal framework, and the characteristics of a target population. C = Client characteristics. The attributes, characteristics, and behavior of clients. T = Treatments.These are the primary work or core processes of the organizations within the governance regime. They include organizational missions and objectives, recruitment and eligiblity criteria, methods for determining eligiblity, and program treatments or technologies. S = Structures. These include organizational type, level of coordination and integration among the organizations in the governance regime, relative degree of centralized control, functional differentiation, administrative rules or incentives, budgetary allocation, contractual arrangements or relationships, and institutional culture and values. M = Managerial role and actions. These include leaderships characteristics, saffmanagement relations, communuications, methods of decision making, professioanal/career concerns, and mechanisms of monitoring, control and accountability. Berdasarkan model di atas, tampak bahwa GBHN hanya merupakan salah satu variabel dari berbagai variabel yang dianggap mampu menjelaskan output dari

governance. GBHN termasuk dalam treatments, yaitu missions and objectives, sehingga tidak layak dijadikan sebagai determinan dalam menentukan keberhasilan proses administrasi negara. Maka pada masa lalu, ketika terdapat sekelompok orang yang menyatakan bahwa GBHN tidak diperlukan, sikap itu dapat dipahami dengan mengikuti anggapan di atas, yaitu bahwa GBHN bukanlah faktor penentu keberhasilan governance. Catatan tambahan lainnya adalah buruknya manajemen pemerintahan semakin menyulitkan pemerintah mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Kondisi ini secara terang-benderang menunjukkan kepada rakyat bahwa negara ini berjalan tanpa arah karena tidak memiliki panduan yang jelas dan tegas. Seperti diketahui, di era Orba, pemerintah dipandu oleh GBHN dalam melaksanakan pembangunan. Sekarang, GBHN tidak lagi dikenal. Meski demikian, pengelolaan negara bukannya tidak memiliki panduan sama sekali seperti yang dipikirkan sebagian orang. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan pengganti GBHN. Tetapi, mungkin karena kurang sosialisasi, UU ini diketahui oleh hanya sedikit kalangan. Itulah antara lain yang menyebabkan timbulnya berbagai silang pendapat di antara penyelenggara negara sendiri. Daftar Bacaan: 1. Mohtar Masoed, Hidup Tanpa GBHN, KOMPAS, 12 Agustus 2002. 2. Ewan Ferlie, Laurence E. Lynn Jr and Christopher Pollitt (Eds), The Oxford Handbook of Public Management, Oxford University Press, 2005

You might also like