You are on page 1of 4

PROBLEM UMUM DAN SUMBER MASALAH BURUH MIGRAN INDONESIA*) Oleh: Yos Soetiyoso Direktur LSPS Jogjakarta Pernyataan

resmi Pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa perolehan devisa dari penempatan tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, menempati urutan ke empat. Maka di tengah kemacetan ekonomi dewasa ini, sumbangan yang diberikan oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) merupakan andil signifikan untuk menopang tetap tegaknya perekonomian Indonesia. Jelas bahwa sumbangan tersebut jauh sangat lebih berharga dibanding tumpahan pinjaman hutang dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Di Jawa Timur saja, 1,8 triliun rupiah telah dialirkan oleh BMI ke daerahnya hanya untuk selama tahun 2002. Meski sifatnya indirect dalam mendorong roda perekonomian daerah, namun jumlah remittance itu sangat mempengaruhi jumlah peredaran uang di daerah yang bersangkutan. Namun, paralel dengan kelangkaan regulasi nasional untuk perlindungan BMI, juga tidak atau belum ada pula regulasi daerah untuk kepentingan yang sama. Termasuk dalam hal ini adalah Pemerintahan Kabupaten. Padahal, dari hari ke hari persoalan yang dihadapi oleh BMI bukannya menurun, melainkan terus meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tulisan ringkas ini hanya sedikit memberikan gambaran tentang persoalan yang dihadapi BMI. Karena tidak mungkin mengupasnya secara utuh baik kualitatif maupun kuantitatif, maka yang akan disampaikan hanyalah berupa Problem Umum. Gambaran ini merupakan refleksi pengalaman lapangan selama kurang lebih 7 tahun, ditambah dengan beberapa referensi, dan informasi-informasi yang diperoleh melalui media massa. Selanjutnya dicoba untuk mencari apa yang menjadi sumber permasalahannya. I. Wilayah dan Level Permasalahan. Sejak seseorang memutuskan untuk menjadi BMI, ia sudah sangat potensial menghadapi persoalan. Ketika ia kemudian mendaftar, selanjutnya menjalani medical test, kemudian ditempatkan di penampungan dia juga potensial berhadapan dengan permasalahan. Begitu pula ketika ia terbang, sampai ke negara tujuan dan bekerja. Selama ia bekerja sampai habis masa`kontraknya dan kembali pulang ke desa asalnya, lagi-lagi ia berpotensi untuk mendapatkan permasalahan. Setiap level permasalahan di atas, terjadi di wilayah yang berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk di wilayah-wilayah transit. Adalah merupakan persoalan besar, karena hampir setiap permasalahan yang dihadapi selalu bernuansa kemanusiaan, dan sangat merugikan BMI baik secara ekonomi, sosial, fisik, maupun mental. Apa yang telah terungkap melalui media massa, adalah sebagian kecil saja. Sebagian yang lebih besar justru mengendap bersama derita dan kepedihan yang hanya dipendam dan dinikmati sendiri oleh si korban. Di antara mereka merasa tidak perlu atau tidak pantas mengungkapkan kasusnya secara terbuka. Sebagian lagi menganggap bahwa persoalannya bukanlah persoalan yang penting untuk diselesaikan. Dan sebagian

lagi yang masih lekat dalam kungkungan budaya jawa merasa tidak perlu mengurus dan menyelesaikan kasusnya karena sing penting wis mulih, slamet, dan masih ditambah dengan bersyukur. II. SUMBER MASALAH 1. Kelemahan Nor matif Sebagian masalah yang muncul berkaitan dengan BMI, dapat dikatakan bersumber dari kelemahan dari sejumlah aturan main yang mengaturnya. Selain tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur dan melindungi BMI, beberapa peraturan yang berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja, tidak mengatur secara tuntas perlindungan terhadap BMI. Kepmenakertrans No. 104A/2002 yang menjadi aturan utama untuk tentang Penempatan Tenaga Kerja Ke Luar Negeri, mengandung kelemahan yang sangat fatal. Peraturan ini tidak memberikan batasan tentang jumlah potongan gaji yang boleh dipingut oleh PJTKI terhadap BMI yang ditempatkannya. Kelemahan ini memberi keabsahan bagi PJTKI untuk melakukan pemotongan gaji sampai 14 bulan atau bahkan ada yang mencapai 24 bulan, dengan tanpa batasan pula berapa prosen besarnya potongan setiap bulannya. Kelemahan Peraturan di dalam negeri ini, juga berdampak di luar negeri. Banyaknya BMI yang melarikan diri dari majikan, dan mencari majikan baru (menjadi illegal), sebagian besar didorong oleh niat menghindarkan diri dari potongan gaji ini. Sebagian yang lain disebabkan oleh perlakuan buruk majikannya. Ketika terjadi kasus yang seperti itu, kesalahan pasti akan ditimpakan kepada si BMI. Bisa saja PJTKI yang bersangkutan akan mencari dan memungut denda terhadap BMI yang bersangkutan karena memang tidak ada aturan main yang jelas dan protektif terhadap BMI. Seperti halnya kelompok marginal lainnya, kelemahan paling menonjol dari maasyarakat pedesaan yang menjadi daerah kantong BMI, adalah terbatasnya akses mereka terhadap sumber informasi. Lebih dari 90 % Calon BMI memperoleh informasi pertama kalinya tentang loowongan kerja di luar negeri dari para calo ( sering disebut dengan istilah sponsor). Para calo atau sponsor terbiasa memberikan informasi yang baikbaik saja karena posisinya memang sebagai perayu atau pembujuk. Tidak hanya informasi yang tidak utuh, banyak para calo yang murni memainkan peran sebagai broker. Ia akan menawarkan calon BMI ini dari satu PJTKI ke PJTKI yang lain. Dalam konteks ini si calon BMI sepenuhnya telah terperosok menjadi korban trafficking. Dalam konteks ini, peraturan yang ada tidak pernah secara tegas melarang praktek trafficking ini. Dari ketidak-jelasan informasi inilah malapetaka mulai menghampiri. Terkurung dan terkatung-katung di penampungan, dengan perlakuan yang seringkali tidak manusiawi. Diperas, dilecehkan, dipekerjakan tanpa dibayar dengan dalih pelatihan, dialihkan (baca = ditransfer) ke PJTKI lain lagi. Kedua kalinya dalam konteks ini Calon BMI menjadi korban trafficking Dengan pelatihan yang ala kadarnya sekedar memenuhi standar formal, ia diberangkatkan ke luar negeri. Ketrampilan yang sangat terbatas, dan bahasa asing yang juga sangat terbatas biasanya awal musabab terjadinya kesalahpahaman dengan majikan. Bentakan dan caci maki dari majikan mulai menjadi makanan sehari-hari, tak jarang pula yang mengalami kekerasan pisik. Tak tahan dengan kondisi kerja semacam

itu, dengan paspor yang masih ditahan oleh majikan ia melarikan diri. Statusnya kemudian berubah menjadi TKI illegal. Stigma yang mengesankan kriminal ini juga diberikan oleh pemerintah kita sendiri tanpa mau mengerti apa penyebab ia menjadi tidak berdokumen - yang kemudian di beri stempel illegal. Bekerja dengan selamat sampai habis masa kontrak dua tahun pulang ke kampung halaman. Ini belum menjamin ia selamat sampai desanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Kemungkinan pertama dibajak di bandara atau pelabuhan, diperas, ongkos transport ke desa yang tarifnya sangat tidak masuk akal. Untuk menjaga kemungkinan yang demikian, majikan tidak memberinya uang tunai, melainkan dlam bentuk Traveler Cheq. Konyolnya, sesampai dirumah ketika hendak diuangkan di bank, ternyata Cheq tersebut tidak dapat diuangkan karena tidak ada dananya (kosong). Yang lain lagi, gajinya hanya dibayar sebagian. Sebagian lainnya dijanjikan oleh majikan untuk ditransfer setelah BMI tiba di tanah air. Sebulan, tiga bulan, sampai setengah tahun, transfer dana tak kunjung datang. Sebagai orang yang beragama ia akan mengatakan bahw itu semua memang sudah menjadi nasib. Mengahadapi kasus seperti itu, sangat kecil kesediaan PJTKI untuk membantu BMI untuk menuntut hak-haknya yang dirampas, karena tidak ada peraturan yang mengharuskannya demikian. 2. Kekeliruan Paradigmatik Kalau ditarik lebih jauh ke belakang, kelemahan normatif seperti tersebut di depan terjadi karena kekeliruan paradigma yang mendasarinya. Economic growth oriented sebagai mainstream Pembangunan Nasional hingga kini, dalam hal tertentu telah menafikan kenyataan historis migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah terjadi sejak jaman Hindia Belanda, meski dalam konteks yang berbeda (sebagai kuli kontrak). Namun di beberapa wilayah migrasi juga terjadi secara tradisional. Misalnya orang-orang NTT yang sudah bermigrasi ke Malaysia Timur sejak jaman pra kemerdekaan, atau orang-orang Sumatera yang menyeberang ke Malaysia atau Singapura untuk bekerja. Proses migrasi mereka berlangsung secara tradisional tanpa ditempatkan, dikirimkan, atau dikomersialkan oleh pihak lain. Orang-orang Bawean dan Madura sudah sejak tahun 50-an banyak yang merantau ke Malaysia. Perjalanan Haji dan Umroh menjadi sumber informasi tentang kebutuhan Sopir dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bagi orang Arab Saudi dan negara Timur Tengah umumnya. Seiring kegagalan Pembangunan Nasional dalam menyediakan lapangan kerja, pada dekade 70-an arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah semakin meningkat. Fenomena ini ditangkap sebagai peluang bisnis jasa penghubung antara calon Pengguna dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan, termasuk jasa pengirimannya. Dari sinilah kemudian muncul banyak pengusaha jasa ini. Pergeseran mulai terjadi ketika jumlah mereka yang berminat menjadi tenaga kerja ke luar negeri semakin hari semakin meningkat. Regulasi mulai dimunculkan sekaligus menggeser pemaknaan jasa tersebut. Dari Jasa Penempatan menjadi Pengusahaan/pengiriman Jasa Tenaga Kerja . Disadari atau tidak, komoditisasi mulai terjadi, meskipun ditutup dengan dalih bahwa yang kita jual bukan orangnya, melainkan jasa tenaganya. Prakteknya, sulit dihindari jasa tenaga melekat pada orangnya, maka yang dijual tetap saja orangnya. Matrik di bagian belakang berikut ini sedikit

memberikan gambaran perbedaan antara paradigma ekonomi dengan paradigma historis/kultural III. KESIMPULAN Dari sedikit gambaran di depan, adalah makin mendesaknya kebutuhan aturan untuk melindungi BMI dengan segala haknya. Atas pertimbangan historis, Perlindungan seharusnya menjadi Premise Major, bukan penempatan. Yang dibutuhkan adalah perlindungan, maka setiap point aturan penempatan haruslah berperspektif perlindungan. Jika kata penempatan dijadikan premise major, sangat besar kemungkinannya kita akan terjebak pada komoditisasi manusia yang notabene adalah kejahatan. Peraturan Daerah adalah pilihan bukan sekedar alternatif, meskipun nantinya mungkin akan terbit undang-undang. Secara Riil sumber tenaga kerja adalah daerah, dan orang-orang daerah pula yang berkepentingan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Meskipun pemasukan devisa dari BMI bisa dilihat juga sebagai keuntungan nasional, namun secara riil pula pengaruh uang beredar lebih terasa di daerah. Dengan Peraturan Daerah, kontrol Pemerintah (Daerah) terhadap praktek-praktek PJTKI akan lebih kuat. Di samping hal-hal tersebut, Pemerintah daerah dituntut tanggungjawab yang mulia untuk secara langsung melindungi warganya. Mudahmudahan.

You might also like