You are on page 1of 28

MAKALAH KASUS 2 AMI, OMI inferior, LAD, LVH, AKI

Oleh : Tutorial 2 Anastasia Donadear Meita Rizkitya Rohadirja Linda Permatasari Ninin Haningsih Ajeng Try P.S Rola Oktorina N.E Rina Silvana (220110080001) (220110080011) (220110080021) (220110080031) (220110080041) (220110080051) (220110080061) (220110080071)

Indra Bhakti Prakoso (220110080081) Aira Putri Mardela (220110080091)

Deviana D. Maretiska (220110080101) Nur Ashiyah L. A Dewi Asmalinda Farah Natanael Sidauruk Siti Nurfadlillah (220110080111) (220110080121) (220110080131) (220110080141) (220110080151)

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEPERAWATAN 2012

Chairman Scriber

: Rina Silvana : 1. Anastaysa Donadear 2. Rola Oktorina N.E

Kasus 2. AMI ,OMI inferior ,LVH,AKI,

Seorang pria 54 tahun menikah datang ke UGD RSHS, dengan keluhan sesak napas. 1 minggu smrs pasien mengeluh sesak napas yang sebelumnya telah dirasakan makin bertambah. Sesak dirasakan terus-menerus, tidak berkurang dengan istirahat. Oleh sebab itu, istirahat/tidur pasien pun terganggu. Keluhan sesak napas sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh mudah lelah. Sesak napas dirasakan makin bertambah sejak 3-4 bulan terakhir. Setiap aktivitas ringan pasien akan merasakan sesak napas. Riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan : Jalan nafas klien adekuat karena tidak ada perdarahan pada hidung dan mulut. Pernafasan cepat dan dangkal, RR 35 x/mnt, Sat O2 99%, tampak permukaan dinding dada simetris. TD 90/55 mmHg, HR 96 x/mnt, jvp 5+4 cm, akral teraba dingin, crt >2 detik, balance cairan -250 cc/6jam atau diuresis 42 cc/jam. Gambaran EKG : ST elevasi v1-v4, poor R di lead II,III,AFV, V1-V4, Rv5 + Sv1> 35, Q patologis pada V1-V4. Pemeriksaan sekunder :Kepala dan leher JVP 5 + 4 mmHg. Bunyi S1S2 reguler, Tidak ada S3S4, suara nafas broncho Vesikuler, nafas rhonchi +/+, BU 9 x/mnt. Nyeri tekan abdomen (-), datar lembut. Ekstremitas Edema +/+.

Pemeriksaan penunjang Rongent thorak Lab PH PCO2 PO2 HCO3 : kardiomegali dengan edema paru : : 7,19 ( ) : 52 mmHg : 161,9 mmHg : 5,1 mmHg

TCO2 BE Sat O2 Ureum

: 22,9 mmHg : -3 : 99 : 69

Tata laksana di UGD : Pemberian O2 10 liter/menit via nonrebreathing mask Nitrogliserin 10 mikro Lasiq 15 mg/jam.lasiq naik jadi 30 mcg Dobu 5 mcg/kgbb.naik jadi 7 mcg Biknat 200 meq dalam 100cc D5 dalam 24 jam Furosemid 60 mg Aspilet 1x81 mg PO Infuse jaga D5 % Monitoring urine output Monitoring tanda-tanda vital Monitoring EKG, rencana hemodialisa

Learning Objektif : 1. Jelaskan konsep tentang AMI, AKI 2. Mengetahui interpretasi ekg untuk AMI, OMI inferior,LAD,LVH 3. Buat map mapping mengenai patofisiologi pada kasus di atas 4. Buat asuhan keperawatan pada kasus di atas (pengkajian, dan intervensi) 5. Buat rasionalisasi mengenai tatalaksana yang telah dilakukan

1. KONSEP ACUTE MIOKARD INFARK (AMI)

Definisi Infark miokard mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran daerah koroner kurang (Smeltzer & Bare, 2000). Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu (Suyono, 2001). Infark Miokard Akut ( AMI ) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu ( S. Harun, Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga FK UI, hal 1098 ). Acute Miocard Infark (AMI) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan jantung dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan sehingga berakibat adanya gangguan pada organ-organ tubuh. AMI dengan elevasi ST (ST elevation myorcardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, AMI tanpa elevasi ST dan AMI dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak ateroskletorik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

Etiologi Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain: 1. Infark miokard tipe 1 Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan

ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi. 2. Infark miokard tipe 2 Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard. 3. Infark miokard tipe 3 Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat. 4. Infark miokard tipe 4 a. Infark miokard tipe 4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard. b. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. 5. Infark miokard tipe 5 Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Faktor Resiko a. Faktor resiko yang tidak dapt diubah Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu: 1. Usia Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. 2. Jenis kelamin Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset

infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso, 2005). 3. Ras 4. Riwayat keluarga.

b. Faktor resiko yang dapat diubah Faktor resiko yang masih dapat diubah berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut antara lain (Ramrakha, 2006): 1. Abnormalitas kadar serum lipid Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard (Brown, 2006). 2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006). 3. Merokok Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.

4. Diabetes 5. Obesitas Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006). 6. faktor psikososial Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis (Ramrakha, 2006). 7. Konsumsi buah-buahan, diet dan alcohol Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004). 8. Aktivitas fisik

Klasifikasi Secara morfologis AMI dapat transmural atau sub-endokardial. 1. AMI transmural Infark mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner. Pada lebih dari 90 % pasien AMI

transmural berkaitan dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerotik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan. Termasuk disini misalnya perdarahan dalam plaque aterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang umunya terjadi di tempat aterosklerotik dan emboli koroner. AMI dapat terjadi walau pembuluh koroner normal, tetapi hal ini amat jarang. 2. AMI sub-endokardial Nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa bercak-bercak dan tidak konfluens seperti AMI transmural. AMI sub-endokardial dapat regional (terjadi pada distribusi satu arteri koroner) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari satu arteri koroner). Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia dan infark. AMI subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia. Derajat nekrosis dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat takikardia atau hipertrofi ventrikel. Walaupun pada mulanya gambaran klinis dapat relatif ringan, kecenderungan iskemik dan infark lebih jauh merupakan ancaman besar setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit.

Manifestasi klinis Trias AMI 1. Nyeri Nyeri dada yang terjadi secara mendadak, sangat sakit, dan seperti tertusuktusuk yang dapat menjalar ke bahu dan terus kebawah menuju lengan kiri, dan leher. Biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas. Terjadi lebih intensif dan menetap daripada angina (lebih dari 30 menit), tidak sepenuhnya menghilang dengan istirahat maupun pemberian nitrogliserin, sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat menakutkan

pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (bila disertai gagal jantung kongestif). 2. Laborat Jika bagian yang mati cukup besar, enzim akan dilepaskan dari sel miokardium dalam aliran darah. Pada diagnosis AMI, yang penting bukan banyaknya kadar konsentrasi enzim, tetapi nilai maksimalnya yang terjadi hanya sementara.

CPK-MB/CPK

Kreatinin kinase miokardium akan meningkat 4-6 jam, memuncak pada 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam

LBH/HBDH

Laktat Dehidrogenasi miokardium meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk kembali normal.

ASAT/SGOT

Aspartan aminotransferase meningkat dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4 hari.

3. EKG Ciri utama infark transmural adalah gelombang Q yang abnormal yang berlangsung >0,04 detik dan voltasenya >25% dari keseluruhan voltase QRS. Gelombang Q yang abnormal terjadi dalam jangka waktu satu hari, akibat miokardium yang mengalami nekrosis tidak memberikan sinyal listrik sehingga saat segmen miokardium iniharus terdepolarisasi (dalam 0,04 detik pertama), vektor eksitasi dari bagian jantung yang normal dan berseberangan akan mendominasi vektor penjumlahan. Karena itu vektor 0,04 ini akan meunjuk keluar dari tempat infark, misalnya pada infar dinding anterior, sehingga kan tercatat terutama pada V5, V6, I, dan aVL sebagai gelombang Q yang besar (gelombang R yang kecil). Gelombang Q yang abnormal akan tetap ada selama beberapa tahun kemudian sehingga bukan merupakan tanda diagnosa infark akut. Segmen ST elevasi pada EKG merupakan tanda iskemia, namun bukan (belum) tanda kematian jaringan miokardium. Segmen ST elevasi terjadi : - Selama serangan angina - Pada infark nontransmural

- Pada permukaan infark transmural - Pada batas infark transmural yang telah terjadi beberpa jam hingga beberapa hari sebelumnya. Segmen ST kembali normal dalam waktu satu hingga dua hari setelah MI, namun beberpa minggu kemudian akan timbul gelombang T terbalik.

Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG Lokasi Anterior Anteroseptal Anterolateral Perubahan Gambaran EKG Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5 Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3 Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL). Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3 True Posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

Komplikasi Infark miokard akut : gagal jantung, syok kardiogenik, ruptur korda,

ruptur septum, aritmia gangguan hantaran, perikarditis emboliparu Dua jenis komplikasi penyakit IMA terpenting ialah komplikasi

hemodinamik dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup (stroke volume) dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan trasudasi cairan ke jaringan interstitial paru. Perburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan rangsang adrenergik, untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Bila infark luas dan miokard yang harus berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri akan naikdan gagal jantung terjadi.

Penatalaksanaan Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran pembuluh koroner sehingga reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut, serta mencegah kematian mendadak. A. Prinsip Umum Penatalaksanaan AMI : 1. Diagnosa a. Berdasarkan riwayat penyakit dan keluhan/ tanda tanda b. EKG awal tidak menentukan, hanya 24 60 % dari AMI ditemukan dengan EKG awal yang menunjukkan luka akut ( Acute injury ) 2. Terapi oksigen

a. Hipoksia menimbulkan metabolisme anaerob dan metabolik asidosis, yang akan menurunkan efektifitas obat obatan dan terapi elektrik ( DC shock ) b. Pemberian oksigen menurunkan perluasan daerah iskemik c. Penolong harus siap dengan bantuan pernafasan bila diperlukan 3. Monitor EKG a. Harus segera dilaksanakan b. Kejadian VF sangat tinggi pada beberapa jam pertama AMI. Penyebab utama kematian beberapa jam pertama AMI adalah aritmia jantung 3. Elevasi segmen ST > atau = 0,1 mV pada 2 atau lebih hantaran dari area yang terserang ( anterior, lateral, inferior ), merupakan indikasi adanya serangan miokard karena iskemia akut. 4. Akses intravena a. Larutan fisiologis atau RL dengan jarum infus besar b. Bila pada kejadian henti jantung, nafas tak ada, saluran infus terpasang, maka vena cubiti anterior dan vena jugularis eksterna merupakan pilihan pertama untuk dipasang aliran infus. 5. Penghilang rasa sakit a. Keuntungan Menurunkan kegelisahan dan rasa sakit, dapat menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi, menurunkan kebutuhan O2, menurunkan resiko terjadinya aritmia. b. Terapi Preparat nitrat : tablet di bawah lidah atau spray Nitrogliserin IV untuk sakit dada iskemik berat dan tekanan darah > 100 mmHg Morphin 9 jika nitrat tidak berhasil atau pada sakit dada berat dengan dosis kecil IV ( 1-3 mg ), diulang setiap 5 menit nitrasi sampai sakit dada hilang c. Komplikasi Hipotensi dan Aritmia karena perfusi kurang pada miokard atau

reperfusi. Penghilang rasa sakit merupakan prioritas obat obat yang diberikan. 6. Trombolitik a. Penyumbatan koroner sangat sering disebabkan thrombosis b. Perlu diberikan segera oleh dokter yang mampu ALCS 7. Limitasi Infark Diltazen (antagonis kalsium), Nitrogliserin IV, Beta blockers, Aspirin.

B. Tatalaksanan di ruang emergensi Tata laksana awal berupa pemberian MONA: morfin, oksigen, nitrit dan aspirin. 1. Morphin Obat ini mengurangi atau menghilangkan nyeri dengan menurunkan preload. Morfin diberian dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. 2. Oksigen Terapi diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Oksigen sebaiknya di berikan dengan masker oksigen atau nasal prong 3. Nitrat Obat ini untung mananggulangi spasme arteri koroner dan menurunkan miokard akan oksigen dengan menurunkan tekanan baik preload maupun afterload. Menyebabkan relaksasi dari otot polos pembuluh darah melalui stimulasi dari prosuk cyclic guanosine monophosphate intraseluler, mengakibatkan penurunan tekanan darah. Nitrat sublingual dapat di berikan dengan aman dengan dosis 0,4 md dan dapat di berikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. 4. Aspirin Menghambat sisitem cyclooxygenase, menurunkan level dari tromboxane A2, yang merupakan aktifator platelet yang poten. Diberikan aspirin dengan dosis 160 atau 325 mg setiap hari.

C. Tatalaksana di rumah sakit 1. Perawatan pasien dilakukan di ruang intensive. 2. Aktivitas Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama 3. Diet Karena risiko muntah dan aspirasi setelah infark miokard, pasien harus puasa dan minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium. 4. Usus Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan. 5. Sedasi Diperlukan selam perawatan untuk mempertahankan periode inaktivas dengan penenang. 6. Terapi farmakologis Antitrombolitik Penggunaan untuk menghambat terjadinya

obstruksi koroner selama fase awal penyakit berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis patogenesis. Beta-Blocker. Penggunaan memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurunkan resiko terjadinya aritmia ventrikel yang serius. mempunyai peran penting dalam

Inhibitor ACE

Pengobatan direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan juga untuk pencegahan gagal jantung dan infark miokar rekuren.

Angiostensin receptor (ARB)

Pada

pasien

AMI

dengan

komplikasi

LV

blockers dysfunction atau gagal jantung klinis yang tak toleran dengan inhibitor ACE.

2.

KONSEP AKI (ACUTE KIDNEY INJURY)

Definisi Acute Kidney Injury (AKI) atau Gagal Ginjal Akut (GGA) mengacu pada kehilangan fungsi ginjal secara tiba-tiba (beberapa jam sampai beberapa hari) yang ditandai dengan peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum. Meskipun tak ada batas pasti untuk BUN dan kreatinin yang dapat ditentukan, peningkatan BUN dari 15 sampai 30 mg/dl dan peningkatan kreatinin dari 1 sampai 2 mg/dl mengisyaratkan GGA pada pasien yang sebelumnya mempunyai fungsi ginjal normal. Pada pasien dengan penyakit ginjal sebelumnya, banyak hal yang dibutuhkan untuk menetapkan diagnosis karena perubahan kecil dalam fungsi ginjal, tidak berhubungan dengan AKI, mungkin dipertegas bila sudah terjadi juga kehilangan fungsi nefron. Kewaspadaan dini tentang diagnose penting karena angka kematiannya tinggi (60-65%) meskipun sudah tersedia hemodialisa secara luas.

Etiologi Etiologi AKI/ GGA diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum : a) Prerenal Penyebab prerenal meliputi kejadian fisiologis yang mengakibatkan penurunan sirkulasi (iskemia) pada ginjal. Yang paling umum meliputi hipovolemia dan gagal kardiovaskular. Namun setiap keadaan lain yang meyebabkan penurunan akut dalam oksigenasi ginjal dapat masuk dalam kategori ini. Lebih rincinya penyebab prerenal sebagai berikut : Dehidrasi Sepsis/syok

Syok hipovolemik Obstruksi vena kava Trauma dengan perdarahan Sequestrasi (luka bakar, peritonitis) Hemoragi Hipovolemia (seperti diuretik) Gagal kardiovaskular (seperti gagal miokardial, tamponade, bendungan vascular, gagal jantung kongestif, disritmia) Haluaran melalui gastrointestinal (diare, muntah) Asidosis berat Anafilaksis/syok Stenosis atau thrombosis arteri renalis

b) Intrarenal Meliputi kejadian fisiologi secara langsung memepengaruhi fungsi dan struktur jaringan ginjal, mencakup kejadian yang menyebabkan kerusakan jaringan interstitium dan nefron. Ginjal kehilangan kemampuannya untuk megeksresi sampah nitrogen yang dihasilkan dari metabolism protein. Kerusakan tubulus menimbulkan

ketidakmampuan untuk memekatkan urine. Bila kondisi yang menyebabkan prerenal mengakibatkan kerusakan jaringan ginjal, penyakit akan berlanjut ke tahap intrarenal. Contoh umumnya : nekrosis tubular akut. Lebih rincinya penyebab intrarenal sebagai berikut : Glomerulonefritis akut Iskemia renal berat Kimia (zat warna radigrafi, bahan kimia yang dijual bebas, dll) Obat-obatan tertentu (spt obat-obat antiinflamasi, antibiotic) Neoplasma Hipertensi malignan Lupus erimatosa sistemik Diabetes mellitus

Komplikasi kehamilan (spt eklamsia) Infeksi streptokokus Vasopressor Mikroangiopati Hiperkalsemia Trasplantasi posrenal Myeloma Nefritis interstitial Reaksi transfuse Nefropati HIV, nefropati heroin

c) Postrenal Meliputi obstruksi pada aliran urine dari duktus kolegentes pada ginjal sampai orifisium uretra eksternal atau aliran darah vena dari ginjal. Obstruksi mungkin berasal dari penyebab anatomi atau fungsional. Penyebab anatomi misalnya striktur, tumor, atau batu. Penyebab fungsional seperti obat-obatan, agen-agen yang memblok ganglionik yang mengganggu suplai otonomi ke ssitem perkemihan. Lebih rincinya penyebab postrenal sebagai berikut : Batu ginjal Bekuan Malformasi struktur Tumor Prostatitisme Ruptur kandung kemih Obstruksi uretral Fibrosis retroperitoneal Oklusi vena ginjal bilateral Neurogenik kandung kemih

Klasifikasi a) Risk Jika kadar kreatinin serum meningkat 1,5 kali lebih tinggi atau Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) menurun lebih dari 25% dibandingkan sebelumnya. Criteria lainnya adalah produksi urin menurun menjadi <0,5cc/kgBB/jam selama 6 jam. Kenaikan kadar kreatinin serum >0,3 mg/dl, tanpa melihat kadar sebelumnya. b) Injury Jika terjadi penurunan produksi urin (<0,5 cc/kgBB/jam) selama 12 jam, atau kadar kreatinin meningkat 2 kali lipat lebih tinggi, atau LFG menurun 50%. Pada tahap ini telah terjadi gangguan (injury) pada ginjal yang mungkin akan menimbulkan AKI yang menetap. Pada tahap ini sudah mulai terlihat gejala klinik AKI.

c) Failure Jika kadar kreatinin meningkat 3 kali dibandingkan kadar sebelumnya, atau penurunan LFG >75%, produksi urin menurun menjadi <0,3 cc/kgBB/jam berlangsung selama 24 jam atau anuria selama 12 jam

Manifestasi Klinis Gejala klinis yang sering timbul adalah jumlah volume urine berkurang dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari, anuri bila produksi urin < 50 ml/hari, jumlah urine > 1000 ml/hari tetapi kemampuan konsentrasi terganggu, dalam keadaan ini disebut high output renal failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana BUN di atas 40 mmol/l, edema paru terjadi pada penderita yang mendapat terapi cairan, asidosis metabolik dengan manifestasi takipnea dan gejala klinik lain tergantung dari faktor penyebabnya

Komplikasi

Jantung Edema paru, aritmia dan efusi pericardium. Gangguan elektrolit Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis Neurologi: Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma, gangguan kesadaran dan kejang. Gastrointestinal: Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal Hematologi Anemia, dan diastesis hemoragik Infeksi Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial, hambatan penyembuhan luka

Pemeriksaan Diagnostik Urinalisis Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial Pemeriksaan biokimiawi darah Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, ureaplasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI

Penatalaksanaan Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

3. PATOFISIOLOGI (Terlampir)

4. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Primary survey Airway Jalan nafas klien adekuat karena tidak ada pendarahan pada hidung dan mulut Breathing Pernafasan cepat dan dangkal RR 35x/menit, cepat dangkal

pH 7,19 PCO2 52 mmHg berikan O2 ; PO2 161,9mmHg non rebreathing mask suara nafas bronkovesikuler, ronchi +/+ Circulation TD 90/55 mmHg berikan dobutamin Akral teraba dingin Gambaran EKG : ST elevasi v1v4 old miokard infark anterior Poor R di lead II, III, AFV, V1-V4, Rv5 + Sv1> 35 pembesaran ventrikel kiri Q patologis pada V1-V4 old miokard infark (anterior) Balance cairan

Secondary survey Pemeriksa TTV Suhu : TD : 90/55 mmHg RR : 35 x/m HR : 96 x/m Exposure Menginspeksi seluruh tubuh klien Intake-output inbalance balance cairan -250 cc/6jam atau dieresis 42 cc/jam rencana hemodialisis Farenheit Cek suhu klien Akral teraba dingin/tidak

Get Vital Sign Monitor tanda tanda vital Bunyi reguler, tida kada

Rongen thorak : kardiomegali dengan edema paru

B. INTERVENSI No 1. Diagnosa Keperawatan Gangguan oksigenasi berhubungan dengan difusi ditandai dengan edema, suara nafas ronchi (+/+) Tujuan Umum : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam komplience paru kembali adekuat, oksigenasi normal Khusus : setelah diberikan tindakan RR kembali normal, suara nafas normal dengan kriteria hasil : a. Sesak nafas (-) b. Tidak terjadi edem a paru Intervensi a. Pemberian terapi O2 10 liter/menit via nonbreathing mask b. Pertahankan tirah baring Rasional a. Meningkatakan suplai O2 ke miokardium

b. Untuk mengurangi kebutuhan O2 c. Untuk mengetahui Keabnormalan pada bunyi nafas, RR, dan kedalaman respirasi mengindikasika n kongesti pulmonal, akibat peningkatan tekanan jantung kiri d. Mengindikasi tidak adekuatnya perfusi jaringan akibat kongesti pulmonal e. Overload cairan memperberat kongesti pulmonal

c. Pantau suara nafas, AGD, dan saturasi Monitoring bunyi nafas, RR, dan kedalaman respirasi setiap 1-4 jam

d. Monitoring tanda dan gejala edema pulmonal

e. Monitoring intake dan output cairan dan timbang BB Kolaborasi a. Berikan aspilet

Kolaborasi a. Menghambat terjadinya pembentukan thrombus

b. Pemberian diuretik

b. Penurunan tekanan hidrostatik vaskular dan mengurangi kongesti pulmonal

2.

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung sekunder terhadap infark miokard yang ditandai dengan : TD 90/55 mmHg, HR 96 x/mnt, Akral teraba dingin, CRT > 2 detik, balance cairan -250 cc/6jam atau diuresis 42 cc/jam.

Perfusi jaringan optimal dengan mempertahan kan curah jantung dengan kriteria hasil : TD dan nadi/irama dan frekuensi jantung dalam batas normal, balance cairan + 500 cc, akral teraba hangat, CRT < 2 dtk

a. Kolaborasi pemberian furosemide lasiq

a. furosemid dan lasiq bersifat dieuretik dan yang dapat membantu pengeluaran cairan sehingga menurunkan edema

b. Kolaborasi b. pemberian aspilet pemberian aspilet berperan sebagai 1x81 mg PO penghambat terbentuknya thrombus c. Kolaborasi pemberian nitrogliserin. c. Nitogliserin merupakan vasodilator pembuluh darah yang berperan mengatasi infark miokard

d. Pantau tanda- d. Penurunan curah tanda sianosis, jantung kulit menyebabkan dingin/lembab vasokonstriksi dan catat sistemik yang kekuatan nadi dibuktikan oleh perifer. penurunan perfusi perifer (kulit) dan penurunan denyut nadi e. Berikan terapi e. Membantu cairan IV penggantian cairan kristaloid (D5) f. Ukur dan catat f. Memberi ikan intake-output informasi tentang

setiap jam t e r m a s u k urin output

keadaan cairan tubuh secara umum untuk mempertahan kan keseimbangan g. EKG berperan untuk mengetahui irama dan frekuensi jantung sehingga dapat mengetahui keberhasilan intervensi dan terpantaunya infark. h. Evaluasi intervensi yang telah dilakukan i. Tindakan hemodialisa pada pasien dengan AKI berperan untuk membantu proses diuretik jika pemberian diuretik tidak berhasil.

g. Monitor EKG

h. Monitor TTV

i. Rencana hemodialisis

6. RASIONALISASI TATA LAKSANA No. 1. Tatalaksana Pemberian liter/menit nonbreathing mask O2 Rasional 10 a.Mempertahankan oksigen jaringan via yang adekuat. b.Menurunkan kerja nafas c. Menurunkan kerja jantung. 2. Nitrogliserin 10 mikro Untuk menurunkan tekanan darah darah dengan cepat jika disertai

iskemia atau infark miokard karena obat ini mempunyai efek vasodilator koroner. 3. Lasiq 15mg/jam-30mcg Edema, asites (pengumpulan cairan) pada hati, hipertensi ringan sampai sedang.

4.

Dobu 5mcg/kgBb-7mcg

Sebagai kontraksi digunakan

inotropik otot

(meningkatkan jantung) biasa

sebagai

pendamping

noradrenalin (vasopresure) 5. Biknat 200meq dalam Obat antacid sebagai penetral asam bagi penderita asidosis tubulus renalis. Pengobatan edema yang menyertai payah jantung kongestif, sirosis hati dan gangguan ginjal termasuk sindrom nefrotik. Pengobatan hipertensi, baik diberikan

100cc D5 dalam 24 jam 6. Furosemide 60mg

tunggal atau kombinasi dengan obat antihipertensi. Furosemida sangat berguna untuk keadaan-keadaan yang membutuhkan diuretik kuat.

Pendukung diuresis yang dipaksakan pada keracunan. 7. Aspilet 1x81mg PO Untuk menurunkan demam,

meringankan sakit kepala, sakit gigi dan nyeri otot. 8. Infuse jaga D5% Dekstrosa dengan mudah

dimetabolisme, dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan menambah kalori. Dekstrosa dapat menurunkan atau mengurangi protein tubuh dan kehilangan pembentukan nitrogen, meningkatkan dan

glikogen

mengurangi atau mencegah ketosis jika diberikan dosis yang cukup. Dekstrosa dimetabolisme menjadi

CO2 dan air, maka larutan dekstrosa dan air dapat mengganti cairan tubuh yang hilang. Injeksi dekstrosa dapat juga digunakan sebagai diuresis dan volume pemberian tergantung kondisi klinis pasien. 9. Monitoring urin output Untuk mengetahui intake dan output klien, apakah sama dengan intake atau malah kurang 10. Monitoring vital tanda-tanda Untuk mengetahui perubahan tandatanda vital yang sewaktu-waktu dapat berubah

11.

Monitoring EKG

a. Mengetahui kelainan-kelainan irama jantung (aritmia) b. Mengetahui kelainan-kelainan miokardium (infark, hipertrophy atrial dan ventrikel) c. Mengetahui adanya pengaruh atau efek obat-obat jantung d. Mengetahui adanya gangguan elektrolit e. Mengetahui adanya gangguan perikard

12.

Rencana hemodialisa

Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan : a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat b.Membuang c.Mempertahankan kelebihan air. atau

mengembalikan system buffer tubuh. d. Mempertahankan atau

mengembalikan kadar elektrolit tubuh. e. Memperbaiki status kesehatan

penderita.

DAFTAR PUSTAKA Smeltzer, S.C. & Bare, B. G. 2000. Brunner and Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta : EGC Soeparman. Et al. (1990). Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=PENANGANAN+AKUT+MIO KARD+INFARK+DENGAN++ST+ELEVASI http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22069/4/Chapter%20II.pdf

You might also like