You are on page 1of 19

Trip to The Country of 5 Towers

(Perjalanan ke Negeri 5 Menara)

Muhammad Taufiqi

Sebuah Cerpen tentang Kisah Nyata

Hari itu cuaca cerah, tidak terdengar rintik-rintik hujan di luar rumah. Aku terbangun dengan sedikit kedinginan, jam di kamarku masih menunjukkan pukul tiga. Aku buka selambu jendela kamarku, ku lihat langit masih hitam berkilat-kilat kebiruan, dihiasi sedikit awanawan putih tipis yang sekarang terlihat abu-abu. Halaman rumah agak basah bekas hujan kemarin sore. Semoga hari ini tidak hujan, karena hari ini aku sekeluarga mau ke ponorogo, untuk menjemput adikku yang di Gontor. Tidak kusangka juga adikku sekarang sudah pergi ke pondok. Masih teringat beberapa kenangan kemarin, aku jailin dia dengan berbagai cara, waktu dia mandi aku buka pintu kamar mandi dari luar, dengan kunci cadangan tentunya, atau waktu tidur nyenyak-nyenyak aku jejeri dan aku ganggu dia sampai marah-marah. Sekarang satu anggota rumah di luar kota, ya memang tidak sepi karena aku masih sering guyon-guyon sama ibu atau ayah, tapi masih aja terasa ada yang berbeda. Kuliahat jam dinding sudah lima belas menit berlalu, sebaiknya aku shalat sekarang.

Ayam sudah berkokok, kututub Quran yang dulu biasanya ku pakai sewaktu belajar di Taman Pendidikan Quran, ayah dan ibu sudah datang dari masjid. Seperti biasa aku buka laptop, untuk menjelajahi dunia maya dengan bermodal hape cina. Aku memang sengaja mencari waktu pagi karena operator sedang cepatcepatnya mentransfer data. Aku buka facebook, untuk melihat ada

notification apa kemarin, update status-status galau, ngeshare gombalan-gombalan yang ku karang, atau hanya ingin melihat status-status teman yang terkadang membuat aku tertawa sendiri. Fiq, kopi, suara ibuku dari dapur yang setiap hari membuatkan aku dan ayah kopi buatan sendiri. Nggeh buk jawabku masih di depan laptop. Sudah merasa agak bosan aku tutup laptop, lau pergi ke belakang, mau menggoda ibuku.

Buk, engken pun nangis lo buk, engken kaet tutuk misep misep, ibuku menjawab, Wak nek Fiqi, ya mboten Fiq. Ayah menyaut yang masih di ruang tengah dengan membawa Quran besarnya, Enggak Fiq nek ibuk, wingi tepak nang rono yo g popo. Sambil tersenyum sedikit menggoda aku ambil kopi hitam faforitku itu ke ruang tamu, lalu ku ambil buku faforitku dan ku baca beberapa halaman. Sedikit hening suasana subuh itu, cukup membuatku sedikit terkantuk-kantuk di sofa depan. Lalu kuseruput kopi hitamku agar kantukku sedikit hilang. Di keluargaku ada beberapa kebiasaan yang sudah dibuat sejak aku masih kecil, salah satunya tidak tidur setelah subuh. Jadi kurang enak aja kalau aku sampai tertidur. Tiba-tiba suara hape berbunyi memecah

keheningan, hapeku berbunyi dipanggil oleh nomor tak dikenal, aku lihat itu nomor nggak pernah aku tahu. Siapa ya, pikirku. Lalu ku angkat, dan bilang Assalamualaikum halo, tidak ada jawaban. Sinten niki?, masih juga tidak ada jawaban. Lalu aku tutup

panggilannya. Ah mungkin nomor iseng atau nggak salah nomer. Nomor itu memanggil lagi, Halo, niki sinten?, trus ada jawaban dengan suara pendek yang nggak begitu jelas Uuuiii..., Sinten?, Ruri.... Ternyata itu adikku, mungkin dia sedang pinjam hape ustadnya atau menyewa di wartel pondok. Memang biasanya dia telpon untuk mengabari sesuatu, atau untuk meminta doa karena akan ujian. Oalah awakmu ta rur, Tilpun balik, Opo?, Tilpunen balik, Oalah iyo, hape segera kumatikan. Lalu dengan langkah cepat aku pergi ke belakang. Buk, Ruri telpon. Sakniki dikengken telpon balek. Kulo tilpunaken sakniki Paringaken Ayah ae Fiq, kata ibuku Oh nggeh Terdengar bunyi tut panggilan keluar, Ayah yang barusan mendengar percakapan aku dan ibu, sudah ada di pintu masuk dapur, hape ku kaberikan ke tanya ayah. 5

Lalu aku kembali ke ruang tamu untuk menyelesaikan baccanku tadi. Suara ayah waktu telpon memang agak nyaring. Mungkin kadang-kadang malah menjadi seperti berteriak, seperti berlomba-lomba dengan suara lawan bicaranya. Keheningan sudah mulai pecah, diganti kehangatan suara ayah dan sinar yang mulai menerjang halaman depan rumah. Halaman yang tadinya gelap sekarang mulai berwarna kejinggaan, matahari sudah mulai terbit. Hawa dingin diganti dengan hawa hangat yang begitu enak terasa di badan. Ini adalah salah satu keajaiban pagi, yang menyimpan begitu banyak rahasia. Terkadang aku duduk-duduk di lapangan luas untuk menikmati suasana terbitnya matahari ini. Aku bisa melihat perubahan warna langit yang begitu cepat ketika matahari mulai muncul. Di Quran juga sering disinggung tentang peristiwa terbit dan terbenamnya matahari, dan sampai sekarang aku masih belum menemukan jawabannya.

Fiq,

maringene

berangkat,

kata

Ayah

menyadarkanku dari lamunanku. Loh, tirose engken siang jam satu yah Adek jaok ndang disosol. Nek budal engkok kesuwen jarene. Oh nggeh pun, mobile mboten sido diumbah? Yo sido, maringene diumbah. Karena tau jadwal berubah, aku segera ganti pakaian. Aku beresi bukuku dan pakaianku kumasukkan tas untuk dibawa nanti. Yang sedang ada dipikiranku saat itu bukan perubahan jadwal ini, tetapi bagaimana kukatakan kepada temanku tentang janjiku untuk nginap di rumahnya. Namanya Roni, dia tinggal di Ponorogo tetapi berbeda sisi dengan Gontot. Rencana awal, Aku sekeluarga berangkat ke Ponorogo jam satu siang. Perjalanan dari rumahku ke Ponorogo sekitar enam jam. Setelah isya aku sudah sampai disana. Rencananya Roni ku sms untuk dijemput dengan motor ke rumahnya, sedangkan ayah

dan ibu tetap di pondok, tidur di penginapan pondok sambil menemani Ruri. Akhirnya ku ambil hape, ku sms Roni, Ri, aku g sido nginep ya. Perubahan jadwal, ndadak. Dia nggak bales. Aku sudah nggak enak itu, rencana nginap itu sudah direncanakan sejak tengah semester kemarin tetapi masih belum keturutan. Dret dret, hapeku bergetar, ku buka sms dari Roni, Oh yo wes gpp. Alhamdulillah, tu anak emang baik, sebaik kebo yang disuruh mbajak sawah berjam-jam. Hehe, kalo yang ini guyon. Tapi bener baik kok dianya. Setelah semuanya sudah siap, ayah dan aku memindah barang-barang ke mobil yang baru saja sudah dicuci. Ibu sedang mandi karena dari tadi menyiapkan masakan untuk bekal biar nggak usah jajan di luar. Di mobil masih terlihat beberapa debu yang masih menempel di beberapa kecil bagian akibat nyucinya tadi tergesa-gesa. Debu ini sungguh mencolok karena sudah 8

nggak dicuci hampir dua bulan, terlihat sekali mana yang bersih dan mana yang berdebu. Beberapa kali aku dan ayah mondar mandir membawa, pakaian, buku, alas plastik, dan makanan. Di saat aku mengambil bawaannku yang terakhir, aku lihat Ibu sudah shalat duha, artinya sebentar lagi kita berangkat. Alhamdulillah pagi itu benar cerah, tidak ada awan mendung meski juga tidak terlalu panas. Hawanya dingin-dingin angin semilir. Jalanan sudah mulai ramai karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku starter mobil kijang tua itu sambil membaca basmalah. Meski tua tapi mesinnya masih stabil, larinya juga masih kenceng dan sangat nyaman dikendarai. Ni mobil kesukaan ayah, aku tau bener kebiasaan mobil ini sama cara ngatasinnya, karena dari awal beli sampai sekarang cuma aku saja yang mengendarai, ayah masih belum punya waktu belajar mengemudi.

Kami berangkat dengan mengambil jalur lewat mojokerto. Aku agak buru-buru karena takut kemalaman, karena hari itu juga kami harus balik ke Pasuruan. Beberapa mobil kulewati dengan ligas, ayah dan ibu sudah biasa dengan gayaku itu, aku juga nyaman-nyaman saja nyetir kenceng asal jalannya nggak terlalu ramai. Aku sudah melewati Mojokerto dan Jombang. Sekarang mulai memasuki daerah Kertosono. Jam menunjukkan pukul setengah satu. Tadi sempat macet total di Japanan karena ada pengaliharn jalur yang menuju Surabaya. Aku pacu mobil kenceng kenceng, beberapa kali aku melihat mobil di pinggir jalan bersama polisi. Ini pasti tilang, kasian juga pikirku. Kulirik ibuku yang sedang memerhatikan polisi tersebut, ibuku paling nggak suka dengan polisi, karena beberapa kali kena tilang karena alasan yang kurang jelas sewaktu kulakan di Surabaya.

10

Tidak berselang lama aku sudah memasuki daerah Nganjuk. Ini jalur favoritku, karena jalanan lurus panjang dengan kecepatan tinggi. Tapi sayangnya ini bukan jalanan lebar, jadi kalau menyalip harus lewat di jalur lawan arah. Itulah kelemahan ku, aku kurang berani kalau aku harus menyalip dengan cara tersebut, sehingga cukup menyebalkan bagiku kalau sedang berada di belakang truk. Ketika hampir seperempat jalan, ada truk besar di depan, wah ini, nggak bisa jalan kenceng, aku belokkan mobil sedikit ke kanan untuk melihat jalur satunya sedang ada kendaraan atau kosong. Dan kosong, oke, aku belokkan dan aku injak kencang pedal gas, lalu dengan cepat aku masukkan ke gigi selanjutnya. Mobil berjalan kenceng melewati truk tersebut. Lalu aku melaju lurus mengikuti jalur. Tidak selang beberapa lama, ada truk lagi, ada juga mobil di belakang truk tersebut yang juga sepertinya mencari kesempatan untuk menyalip. Aku buntuti mobil itu di belakang. Tapi kok nggak nyalip nyalip ya, padahal 11

jalur satunya sedang kosong. Aku belokkan mobil ke kanan, dan aku lakukan cara yang serupa, dengan cepat aku sudah melewati mobil dan truk itu. Ketika sudah berada di sisi depan truk dan akan belok ke kiri untuk kembalik ke jalur, kulihat garis tengah yang tadinya putus-putus sekarang sudah menjadi garis lurus memanjang. Wah, gawat ini, garis ini artinya tidak boleh menyalip. Dan ternyata benar, di depan sudah ada polisi yang menunggu dengan mengendarai sepeda motornya pelan-pelan. Dia melambaikan tangan menyuruh aku minggir. Ah, tilang. Selamat pagi, boleh melihat surat-suratnya. Aku kasihkan SIM dan STNK, Anda tau kesalahnnya apa Garis tengah itu Pak. Jawabku agak sebel karena curiga dengan kejadian ini. Iya, kalau garis lurus begitu tidak boleh menyalip, kalau garis putus-putus boleh Iya Pak Singkat cerita, uang 75 ribu melayang.

12

Ayah dan ibu agak kesal dengan kejadian itu, yang dikesali bukan karena pelanggarannya, tapi karena tarif 75 ribu yang terlalu banyak untuk melewati garis lurus satu kali. Ayah dan Ibu juga paham aku tadi ketlisut, bukan bermaksud dengan sengaja melewati garis lurus itu. Kami melanjutkan perjalanan. Masih ada yang mengganjal di pikiranku. Kejadian itu agak aneh, tadi itu bukan jalan belokan, bukan penyebrangan, dan juga tidak ada jembatan, tapi kenapa harus ada garis lurus. Sambil mengemudi agak pelan aku mengamati pola garis tengah tersebut. Putus-putus, beberapa meter kemudian lurus, aku juga mengamati karakter belokan dan rambu-rambu sekitar jalan. Tidak ada rambu atau belokan yang berarti. Wah ini. Garis pendek-pendek yang hanya beberapa puluh meter, tidak cukup untuk mobil menyalip dengan leluasa, karena hanya punya waktu yang cukup singkat untuk kembali ke jalur semula sebelum garis lurus selanjutnya. Dan yang membuatku cukup heran, kenapa polisi cuma ada di daerah dengan garis lurus saja, dan hampir setiap garis lurus. Ada yang aneh. 13

Dasar, aku kena Ranjau Uang. Akhirnya aku sampai di terminal Ponorogo, beberapa belas kilo lagi aku sudah sampai di Pondok Madani Gontor. Aku merasakan ada yang aneh ketika aku sudah melewati belokan pertama menuju arah pondok tersebut. Aku merasakan semacam aura yang terpancar dari arah pondok itu. Seperti ada suatu sumber yang memancarkan semacam energi. Ini beneran. Semakin dekat pondok, aku semakin terasa. Aku lihat sekeliling, iya ada yang berbeda dengan cahaya ini. Sampai aku berada di pintu masuk pondok dan aku mulai lupa dengan pemikiranku tadi, karena yang ada di pikiranku adalah bertemu dengan adikku. Agak aneh juga rasanya, aku yang dulunya suko nggudoi ternyata ada rasa kangen juga. Padahal waktu yang kulalui juga tidak banyak, karena kami masing-masing sibuk dengan sekolah. 14

Mobil ku parkir di dekat penginapan pondok. Ayah dan Ibuku keluar. Fiq, menengo kene ae, Ayah kate marani Ruri, Fiqi menengo kene ae istirahato, nek isok bubuk. Engkok bengi wes mbalek, kata ayah. Oh nggeh yah,

Ayah dan Ibu masuk ke area pondok. Aku di mobil sendiri, ku tutup jendela untuk mengurangi sinar yang masuk dari matahari sore. Aku rebahkan jok mobil depan agar lebih enak untuk tidur. Aku pejamkan mata, lalu terpikir olehku beberapa hal. Memang ini kebiasaanku suka memikirkan hal-hal yang mungkin kata orang tidak penting, aku suka sekali kedetilan sehingga kalau bertanya sesuatu aku sering memberi pertanyaan sampai ke empot-empotnya. Aku mulai melayang dengan pikiranku itu, dan tersadar lagi. Susah amat mau tidur pikirku. 15

Aku pejamkan mata lagi, dan begitu lagi. Sampai aku terdengar suara adikku. Spontan aku bangun dari jok yang merabah itu, ku lihat sosok anak kurus agak tinggi yang sekarang kulitnya mulai kecoklatan karena tersengat matahari, dengan rambut pendek cekak gaya seperti tentara gadungan, jalannya cepat. Ah itu Ruri, kataku. Ruri sudah agak berbeda dari sebelum mondok. Dulu yang kulitnya putih dengan hidung agak mancung, yang suka minum natur E, atau memakai pelembab kulit dan sabun cuci muka berbagai macam, metrosexual juga adikku ya, sekarang seperti menjadi pekerja keras dan sigap. Rur! panggilku Adikku cuma mengerdip, dia memang orangnya kurang bisa berekspresi. 16

Mas duwe buku rur, lanjutane negeri 5 menara Ranah 3 Warna kan? jawabnya Kok ngerti kon? Iyo wong aku tuku Dasar, Ayah, aku, dan adikku ternya sama saja. Semuanya seperti nggak tahan ngeliat buku bagus. Kalau ada uang lebih ingin beli saja. Jangan-jangan di gen kita ada satu gen namanya gen BL, Book Lover. Pernah dulu sewaktu ayahku kuliah, karena alasan tertentu beliau harus cuti di suatu semester. Uang SPP yang sudah dibayarkan di ambil kembali dengan bantuan beberapa teman beliau. Uang itu hasil kerja beliau, karena beliau cari uang sendiri, tidak menggantung kepada orang tua. Seharusnya, uang itu disimpan untuk membayar SPP semester depan. Tapi apa, waktu itu ada bazar buku di alun-alun Malang, beliau ke situ, dan memakai uang SPP tadi untuk membeli buku-buku di situ. Persis aku banget ini, kalau sudah ketemu buku bagus sudah nggak mikir lagi mau gimana besok, besok lusa, pokoknya beli dulu. Dan sehabis itu beneran agak ketetran.

17

Mas iki lo onok kaos Gontor kata adikku menyadarkanku dari lamunanku Wah gaya rek kataku Stiker e endi?, aku pernah titip stiker Gontor ke dia Onok telu Oke siip Wes ndang bubuk, istirahat. Ruri kene maem disek, ibuk mbeto Kentaki. kata istirahat. Nggeh buk. Warna benda-benda di luar mobil sudah berubah. Sinar yang tadinya berwarna kekuningan sudah hilang, tergantikan dengan hawa dingin yang sedikit membuatku bergidik. Ku lihat jam digital yang ada di dashboard mobil yang sekarang menunjukkan angka lima dua belas. Ku ambil hape di sakuku dan kulihat ada beberapa sms masuk, jarkom, dan sms dari teman dekat. Aku mencoba memejamkan mata, merasa puas telah bertemu saudaraku. Rasa yang tadinya sedikit menggandol di hatiku sudah hilang. Aku mendengar cakap-cakap kangen dari ayah dan ibuku, sedikit diwarnai dengan tawa . Ibuku menyuruhku

18

Aku tersenyum sendiri. Dan tidak terasa, dengan sekejap aku sudah hanyut ke alam mimpi.

19

You might also like