You are on page 1of 7

BAB I PENDAHULUAN

Ketentuan Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional sangat diperlukan sebagai dasar untuk membangun kesiapsiagaan dan kemampuan tanggap darurat yang handal dalam merespon tantangan kedaruratan yang dapat terjadi kapan saja dimanapun di wilayah Republik Indonesia. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (PP SKNN) merupakan aspek hukum yang mengatur secara sinergis dan strategis antara Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional dalam kerangka menjamin keselamatan dan keamanan publik dan lingkungan hidup dalam pemanfaatan tenaga nuklir baik pada operasi normal dan keadaan darurat. Status Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia sampai saat ini merupakan pencapaian positif yang berguna untuk menyempurnakan langkahlangkah pengawasan yang sudah terlaksana dan sebagai langkah mendasar yang penting untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional. Peningkatan pemanfaatan teknologi nuklir yang semakin meningkat baik secara kuantitas dan kualitas mengharuskan semakin siapnya sistem kesiapsiagaan nuklir di semua tingkatan: Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional. Peta bahaya yang semakin meluas membutuhkan kajian dan analisa ancaman yang teliti untuk penyiapan kemampuan kesiapsiagaan nuklir dan keandalan tanggap darurat yang efektif dan efisien. Keandalan kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan nuklir membutuhkan perencanaan kesiapan yang saling mendukung dan terintegrasi pada semua tingkatan serta diprogramkan dalam suatu sistem kesiapsiagaan nuklir . Dengan demikian system kesiapsiagaan nuklir yang terpadu harus dikembangkan sehingga fungsi penanggulangan kedaruratan dapat diaplikasikan setiap saat jika dibutuhkan. Dalam kasus kedaruratan nuklir, penanggulangan kedaruratan ditujukan untuk:

Mengendalikan situasi Mencegah atau mengurangi dampak di lokasi kecelakaan Mencegah timbulnya efek deterministik terhadap pekerja dan masyarakat Memberikan pertolongan pertama dan penanganan korban radiasi Mencegah timbulnya efek stokastik pada masyarakat Mencegah timbulnya dampak non radiologi yang tidak diharapkan Mencegah terjadinya kerusakan alam dan lingkungan Kegiatan pemulihan kondisi.

Untuk mencapai tujuan tersebut secara nasional ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan kecelakaan nuklir di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan pemerintah dan Keputusan kepala BAPETEN[3],[4],[5],[6],[7].

Ketentuanketentuan tersebut belum mengatur dan menetapkan sistem kesiapsiagaan nuklir nasional. Kondisi ini mengakibatkan belum terwujudnya suatu sistem kesiapsiagaan nuklir yang terpadu pada tingkat fasilitas, daerah dan nasional, hal ini ditunjukan: 1) Manajemen Penanggulangan Bencana masih terfokus pada bencanabencana konvensional. 2) Belum tersedianya Manajemen Kecelakaan nuklir dengan anggapan bahwa kecelakaan nuklir tidak mungkin akan terjadi karena sudah disediakan desain yang inherently safe maupun engineering safety pada fasilitas yang dimiliki. 3) Keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung 4) Belum tersedianya ketentuan yang mengatur Sistem Kesiapsiagaan nuklir Nasional yang disebabkan oleh belum terintegrasinya kedaruratan nuklir di dalam kebijakan nasional dalam manajemen penanggulangan bencana nasional.

Tinjauan

terhadap

Rancangan

Peraturan

Pemerintah

tentang

Sistem

Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (SKNN) dilakukan dengan menyajikan dan mengidentifikasi kecukupan/ kemampuan substansi materi RPP SKNN dalam memberikan solusi untuk menjawab tantangan keterbatasan kondisi terkini dari Kesiapsiagaan Nuklir Nasional pada semua tingkatan.

STATUS TERKINI Tingkat Pemegang izin: a) Belum atau tidak melakukan identifikasi tentang potensi dan dampak bahaya radiasi yang ada di fasilitas terhadap manusia dan lingkungan pada saat kondisi kecelakaan nuklir seperti tersebut dalam Laporan Analisa Keselamatan (LAK) atau pada saat kecelakaan parah. b) Belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan evaluasi dan identifikasi kondisi kecelakaan beserta dampaknya sebagai dasar klasifikasi kecelakaan dan upaya langkah penanggulangan kedaan darurat. c) Belum atau tidak mempunyai sistem pelaporan kepada BAPETEN dan pihak terkait lainnya. d) Belum atau tidak mempunyai organisasi maupun personil yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kedaruratan nuklir. e) Belum atau tidak mempunyai koordinasi dengan pihak terkait lainnya. f) Tidak ada atau tidak mencukupinya prosedur penanggulangan keadaan darurat g) Tidak tersedianya atau tidak mencukupinya fasilitas, peralatan dan pendukung yang diperlukan untuk fungsi penanggulangan kedaruratan. h) Belum adanya program pelatihan uji coba dan sistem tes/evaluasi untuk menjamin kesiagaan personil, peralatan dan sistem secara keseluruhan. i) Fungsi penanggulangan: identifikasi kecelakaan awal, pemberitahuan dan pengaktifan, tindakan penanggulangan, perlindungan terhadap pekerja

kedaruratan dan masyarakat, informasi dan instruksi kepada masyarakat belum ditetapkan.

Tingkat Daerah Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan menyelenggarakan sebuah sistem kesiapsiagaan terhadap bencana dan kemampuan tanggap darurat selama ini masih terfokus kepada masalah bencana konvensional dan belum melibatkan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi terjadinya bencana akibat kecelakaan yang melibatkan HAZMAT (Hazard Material) termasuk didalam kecelakaan radiologik/nuklir. Berdasarkan hasil Emergency Prepredness Review oleh IAEA yang dilakukan pada tahun 1999 dan tahun 2004 di Indonesia oleh IAEA[8] menunjukkan bahwa belum tersedianya: a) Pemetaan bahaya dan dampaknya untuk kepentingan manajemen

kedaruratan di tingkat Pemerintah Daerah. b) Prosedur penanggulangan untuk proteksi pekerja kedaruratan

nuklir/radiologik c) Prosedur penanggulangan untuk proteksi dan evakuasi masyarakat d) Fasilitas, peralatan dan sarana pendukung untuk pelaksanaan evakuasi, prasarana dan lokasi evakuasi, dan pos koordinasi penanggulangan kedaruratan belum ditetapkan. e) Pedoman masyarakat. pelaksanaan pemberian informasi dan instruksi kepada

Tingkat Nasional : a) Kebijakan manajemen kedaruratan nuklir belum diakomodasikan didalam kebijakan manajemen penanggulangan bencana nasional (belum tersedianya UU Penanganan Bencana) b) Identifikasi dan pembagian tugas teknis penanggulangan dari tiaptiap organisasi terkait pada tingkat Nasional belum ditetapkan.

c) Kewenangan didalam fungsi koordinator pengendalian, komando dan pengawasan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional belum ditetapkan. d) Ketersediaan fasilitas, peralatan dan sarana pendukung fungsi

penanggulangan belum mencukupi. e) Program dan pelaksanaan pelatihan dan uji coba penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional belum disusun. f) Standar Pedoman Pelaksanaan Penanggulangan belum ditetapkan. Berdasarkan keadaan dan fakta pada setiap tingkatan pada level Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional seperti tersebut diatas maka tersedianya Peraturan Pemerintah yang mencukupi untuk mengatur dan mengkoordinasikan setiap unsur pada setiap level mutlak perlu segera ditetapkan.

KESIAPSIAGAAN NASIONAL RPP SKNN mengatur distribusi dalam dan pembagian tugas kewenangan

Departemen/Lembaga

Nasional

penyusunan

dan

penyelenggaraan

kesiapsiagaan dan kemampuan tanggap darurat ditetapkan sesuai dengan kompetensi dan kemampuan teknis masing masing Departemen/Lembaga sesuai Tugas Fungsinya. RPP SKNN yang bersifat khusus dalam bidang Teknologi Nuklir ini menuntut ditetapkannya satu Institusi yang bertindak sebagai focal point nasional yang berfungsi sebagai koordinator nasional dalam menginisiasi program nasional dan pelaksanaannya, sesuai dengan UU.No.10/1997 tugas ini dilaksanakan oleh BAPETEN, selanjutnya RPP SKNN mengatur seluruh Departemen/Instansi terkait: a. BAPETEN mengkoordinasikan pembentukan SKNN , termasuk didalamnya penetapan Organisasi Tanggap Darurat Nuklir Nasional (OTDN) dan Posko tanggap darurat nuklir Nasional. OTDN ini sekurangkurangnya mencakup: (1) Kegiatan dukungan operasional yang melibatkan Departemen Pertanian, BPOM, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen

Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan hidup.

(2) Kegiatan investigasi / Penegakaan Hukum bersama POLRI (3) Kegiatan operasional sekurangkurangnya melibatkan first responder (polisi, PMK, AGD/Kesehatan) dan RMA (BAPETEN, BATAN, NUBIKA, BMG, BPS). b. Departemen/lembaga teknis terkait kesiapsiagaan nuklir tersebut harus menyediakan infrastruktur dan fungsi penanggulangan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Dalam hal kesiapan pemberian layanan medis kedaruratan nuklir, Depkes harus menyediakan pusat medis kedaruratan nuklir nasional. d. BAPETEN mengkoordinasikan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir tingkat nasional yang melibatkan Pemda dan pemegang izin 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) tahun.

Fungsi penanggulangan Pelaksanaan tanggap darurat yang membutuhkan operasi tindakan sampai level nasional dilaksanakan oleh OTDN yang aktivasinya diatur dengan menetapkan criteria aktivasi tanggap darurat nasional dan menggunakan mekanisme oparasional tanggap darurat nasional BAKORNAS PB: a. Tanggap darurat nasional diaktivasi dengan adanya laporan PIN pada kondisi: (1) Laju paparan radiasi sebesar 500 msv/jam atau lebih tinggi diukur selama sepuluh menit atau lebih pada batas tapak. (2) Pelepasan radioaktif yang abnormal yang konsentrasi aktivitas udaranya setara dengan laju dosis 500 msv/jam di batas tapak yang terdeteksi melalui jalur pelepasan normal. (3) Adanya kejadian hilangnya fungsi penyungkup yang disebabkan karena ledakan atau lainnya dengan laju dosis 5 msv/jam atau konsentrasi aktivitas udara setara dengan laju dosis 500 msv/jam.

(4) Adanya kejadian khusus pada tiap fasilitas seperti halnya kejadian kritikalitas yang diperhitungkan dalam kemungkinan pada IN, kejadian yang melibatkan ketidaktersediaan ruang kendali, kejadian yang melibatkan kegagalan pemadaman darurat oleh batang kendali dalam reaktor, kejadian yang melibatkan hilangnya pendingin pada ECCS, dan hilangnya redundansi pada suplai daya listrik. b. Pelaksanaan tanggap darurat nasional mengikuti mekanisme BAKORNAS PB sebagaimana diatur dalam PERPRES. c. Dalam hal kecelakaan yang melibatkan : (1) Orphan Source (2) RDD (3) reentry nuclear satellite

Kemampuan tindakan penanggulangan kedaruratan nasional ini tidak menutup kemungkinan timbulnya eskalasi kecelakaan yang mengakibatkan seluruh

kemampuan nasional yang tersedia tidak mampu untuk mengatasi kedaruratan yang terjadi, RPP SKNN memberikan kewenangan BAPETEN untuk meminta dan member informasi/bantuan kepada IAEA dalam kerangka Konvensi Pemberitahuan Dini Kecelakaan Nuklir [10,11,12], Konvensi mengenai Bantuan dalam hal terjadinya Kecelakaan atau Kedaruratan nuklir, konvensikonvensi internasional lainnya serta persetujuan bilateral.

You might also like