You are on page 1of 4

Tes Audiometri dan Rinne Tes Audiometri Tes audiometri menggunakan alat audiometer.

Bagian audiometer terdiri dari tombol pengatur intensitas bunyi, frekuensi, dan headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara) dan BC (hantaran tulang).1 Sebelum membahas audiometri lebih lanjut, ada beberapa istilah yang harus dipahami sebagai berikut: 1,2 - Nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya memiliki satu frekuensi. Satuannya dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

Gambar 1. Nada murni dan bising1 Bising yaitu bunyi yang mempunyai banyak frekuensi yang terdiri dari spektrum terbatas (narrow band) dan spektrum luas (white noise). Frekueni adalah nada murni yang dihasikan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana. Jumlah getaran per detik dinyatakan dengan Hertz. Manusia dapat mendengar bunyi yang terletak antara 20-20.000 Hz Intensitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell) Dikenal beberapa intensitas bunyi yaitu dB HL (Hearing Level), dB SL ( Sensation Level), dan dB SPL (Soun Pressure Level). dB dan dB SL bersifat subyektif dan biasanya digunakan pada audiometer. Sementara dB SPL biasanya digunakan untuk mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika (ilmu alam). Ambang dengar Ambang dengar merupakan bunyi nada terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Ambang dengar dinilai dari AC dan BC. Bila ambang dengar AC dan BC pada frekuensi-frekuensi tertentu dihubungkan maka akan didapat hasil audiogram. Dari nilai audiogram tersebut dapat ditentukan jenis dan derajat ketulian. Nilai nol audiometrik. Nilai nol audiometrik (dalam dB HL dan dB SL) merupakan intensitas nada murni terkecil pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh rata-rata dewasa muda normal (1830 tahun). Intensitas nol audiometrik untuk tiap frekuensi berbeda-beda. Telinga manusia paling sensitif pada suara dengan frekuensi 1000 Hz. Nlai nol audiometrik pada frekuensi

1000 Hz adalah 0,0002 dyne/cm2. Untuk frekuensi lebih dari 1000 Hz, maka nilai nol audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2. Notasi pada audiogram: Audiogram memakai grafik AC dengan menghubungkan intensitas yang diperiksa (125-8000 Hz) dan menghubungkan BC dengan intensitas yang diperiksa (250-4000 Hz). Telinga kiri memakai warna biru dan telinga kanan memakai warna merah. Dari hasil audiogram dapat ditentukan pendengaran seseorang normal atau tuli. Apabila seseorang mengalami ketulian dapat ditentukan jenis ketulian yang dialami oleh seseorang tersebut, tuli konduktif, tuli sensorineural atau campuran.1,2 Derajat ketulian dapat dhitung dengan menggunakan indeks Fletcher:2 AD (Ambang Dengar)= AD 500 Hz+AD 1000 Hz+ AD 2000 Hz + AD 4000 Hz 4 Interpretasi audiogram dapat ditulis telinga yang mengalami gangguan, jenis ketulian dan derajat ketuliannya. Untuk derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar ACnya saja. Derajat ketulian menurut ISO yaitu:,1,2 0-25 dB normal > 25-40 dB tuli ringan > 40-55 dB tuli sedang > 55-70 dB tuli sedang > 70-90 dB tuli berat > 90 dB tuli sangat berat Pada pemeriksaan audiometrik dapat terjadi gap, yaitu perbedaan antara AC dan BC lebih atau sama dengan 10 dB pada dua frekuensi yang berdekatan. Adanya gap ini menandakan terjadinya tuli konduktif pada seseorang. Pada tuli sensorineural tiak ditemukan adanya gap. Terkadang pada pemeriksaan audiometrik perlu diberikan masking. Suara masking berupa suara bising seperti angin diberikan pada telinga yang tidak tidak diperiksa supaya teling yang tidak diperiksa tersebut tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang sedang diperiksa. Masking diberikan apabila terdapat perbedaan yang mencolok antara telinga yang diperiksa dengan telinga yang tidak diperiksa. Hal ini dikarenakan AC pada 45 dB atau lebih dapat diteruskan melalui tulang tengkorak ke teling kontralateral. Dengan adanya bising, maka telinga yang tidak diperiksa tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang mendengar.1,2 Interpretasi:

Gambar 2. Audiogram1 Pada keadaan normal, ambang suara untuk konduksi tulang sama dengan konduksi udara. Apabila ambang suara untuk konduksi udara lebih tinggi daripada ambang konduksi tulang, maka dapat disimpulkan terjadi tuli konduksi. Pada audiogram juga dapat ditemukan adanya gap antara konduksi tulang dan konduksi uadra. Tuli konduksi dapat disebabkan oleh kelainan pada telinga luar ataupun telinga tengah. Apabila terdapat peningkatan ambang pendengaran untuk AC dan BC serta tidak terdapat adanya gap, maka dapat disimpulkan bahwa sesorang mengalami tuli sensorineural. 1,2 Tes Rinne Tes Rinne brtujuan untuk mmbandingkan konduksi udara dan tulang pada telinga yang sama. Pemeriksaan hantaran udara dilakukan dengan meletakkan penala didepan telinga. Sementara konduksi tulang dinilai dengan cara menempelkan penala pada tulang mastoid. Kemudian pasien diminta membandingkan suara yang lebih keras antara konduksi udara atau konduksi tulang. Apabila pasien susah membedakan suara yang lebih keras, maka pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan ambang antara hantaran udara dengan hantaran tulang. Pertama penala ditempelkan pada tulang mastoid, kemudian pemeriksa meminta pasien untuk memberikan sinyal apabila suara dari penala sudah tidak terdengar lagi. Kemudian penala dipindahka kedepan telinga dan menanyakan kepada pasien suara dari penala tersebut masih dapat didengar atau tidak. 1,2

Gambar 3. Tes Rinne1

Interpretasi Pada keadaan normal getaran dari penala dihantarkan ke koklea lebih baik melalui konduksi udara dibandingkan dengan konduksi tulang. Apabila hasil Rinne positif, maka konduksi melalui udara lebih baik dibandingkan dengan kondukti tulang. Biasanya konduksi udara 15 detik lebih lama dibandingkan dengan konduksi tulang. Pada tuli konduktif tes Rinne menunjukkan hasil negatif, artinya suara yang diterima melalui konduksi tulang lebih keras daripada konduksi udara, atau konduksi tulang lebih panjang dibandingkan dengan konduksi udara. Pada tuli sensorineural, pendengaran lebih baik pada salah satu sisi dibandingkan dengan sisi lainnya. 1,2

Gambar 4. Interpretasi tes Webwe dan Rinne1 Daftar Pustaka 1. Rudolf P, Gerhard G, Heinrich I. Basic otorhinolaryngology. New York: Thieme; 2006. p. 171-81. 2. Soepardi EA, Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. h. 18-22.

You might also like