You are on page 1of 42

Penyakit Degeneratif pada Lansia Mei17 Penyakit Degeneratif Pada Pria Usia Lanjut Beberapa penyakit tertentu seperti

i stroke, diabetes, dan kanker prostat biasanya dialami oleh pria ketika mencapai usia 40 tahun ke atas. Tak dapat dipungkiri, beberapa penyakit degeneratif memang dapat disebabkan oleh penuaan. Seperti dilansir bodyandsoul.com, Jumat (16/3/2012), berikut adalah beberapa macam penyakit pada pria yang seiring dialami sesuai pertambahan usia. Usia 20 30 Tahun : Kecanduan alkohol dan obat-obatan, merokok, mandul, penyakit menular seksual, dan gangguan mental. Sebagian besar pria muda tidak memikirkan bagaimana kondisi kesehatannya ketika berusia 50 tahun. Jika ingin tetap sehat di hari tua, pikirkanlah tentang kesehatan diri sendiri sejak usia 20 dan 30-an tahun. Kurangi minum alkohol, berhenti merokok, dan jagalah berat badan dengan tetap aktif, kata Profesor Duncan Topliss, direktur Departemen Endokrinologi dan Diabetes di Rumah Sakit Alfred di Melbourne. Penyakit degeneratif pada pria usia lanjut. Pria yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau tekanan darah tinggi sebaiknya memeriksakan diri ke dokter minimal setahun sekali. Gangguanganguan seksual juga sudah dapat dideteksi pada usia ini. Gejala seperti keluarnya cairan dari saluran kemih, ejakulasi yang menyakitkan dan ruam pada kulit penis bisa menunjukkan adanya penyakit menular seksual. Jika testis mengeras atau kenyal, segera lakukan pemeriksaaan USG. Kelainan pada ukuran testis bisa menunjukkan adanya gangguan kesuburan dan perlu diperiksa, kata Profesor Peter Royce, direktur urologi di Rumah Sakit Alfred. Remaja akhir hingga usia awal 20-an tahun adalah periode di mana banyak mengalami gangguan kesehatan mental. Sekitar tiga perempat pria mengalami gangguan skizofrenia untuk pertama kalinya pada usia 25 26 tahun. Kecemasan dan depresi seringkali muncul ketika sedang berjuang untuk membentuk hubungan, mengejar karir dan menjadi orang tua baru. Usia 40 50 Tahun : Penyakit jantung, diabetes, depresi, kanker usus, kandung kemih dan ginjal. Jika memiliki tekanan darah tinggi, kolesterol atau kelebihan berat badan, segera periksakan diri untuk mengetahui gejala diabetes setelah mencapai usia 45 tahun, kata Profesor Topliss. Ketika mencapai usia 50 tahun ke atas, pria lebih besar risikonya terserang kanker prostat dan kanker usus. Tanda-tanda kanker prostat adalah kesulitan buang air kecil, sedangkan tanda-tanda kanker usus adalah perdarahan pada anus dan susah buang air besar. Pemeriksaan usus sebaiknya dilakukan pada usia 50, 55 dan 65 tahun dan setiap 2 tahun setelah mencapai usia 50 tahun. Pria berusia di atas 50 tahun disarankan untuk berdiskusi dengan dokter mengenai perlunya menjalani tes prostat.

Kanker kandung kemih dan kanker ginjal dapat menjadi masalah atau penyakit degeneratif pada usia ini, teruatama pada pria perokok. Gejalanya adalah adanya darah dalam air seni. Selain itu, penyakit jantung dan serangan jantung juga bisa menjadi ancaman besar. Jika mengalami nyeri dada yang tidak diketahui penyebabnya, segeralah periska ke dokter, pada usia berapa pun. Sebab, rasa nyeri di dada dan sesak napas adalah dua gejala utama serangan jantung, kata Profesor Tony Dart, direktur pengobatan jantung di Rumah Sakit Alfred. Risiko kanker kulit juga meningkat setelahPenyakit Degeneratif Pada Pria Usia Lanjut Beberapa penyakit tertentu seperti stroke, diabetes, dan kanker prostat biasanya dialami oleh pria ketika mencapai usia 40 tahun ke atas. Tak dapat dipungkiri, beberapa penyakit degeneratif memang dapat disebabkan oleh penuaan. Seperti dilansir bodyandsoul.com, Jumat (16/3/2012), berikut adalah beberapa macam penyakit pada pria yang seiring dialami sesuai pertambahan usia. Usia 20 30 Tahun : Kecanduan alkohol dan obat-obatan, merokok, mandul, penyakit menular seksual, dan gangguan mental. Sebagian besar pria muda tidak memikirkan bagaimana kondisi kesehatannya ketika berusia 50 tahun. Jika ingin tetap sehat di hari tua, pikirkanlah tentang kesehatan diri sendiri sejak usia 20 dan 30-an tahun. Kurangi minum alkohol, berhenti merokok, dan jagalah berat badan dengan tetap aktif, kata Profesor Duncan Topliss, direktur Departemen Endokrinologi dan Diabetes di Rumah Sakit Alfred di Melbourne. Penyakit degeneratif pada pria usia lanjut. Pria yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau tekanan darah tinggi sebaiknya memeriksakan diri ke dokter minimal setahun sekali. Gangguanganguan seksual juga sudah dapat dideteksi pada usia ini. Gejala seperti keluarnya cairan dari saluran kemih, ejakulasi yang menyakitkan dan ruam pada kulit penis bisa menunjukkan adanya penyakit menular seksual. Jika testis mengeras atau kenyal, segera lakukan pemeriksaaan USG. Kelainan pada ukuran testis bisa menunjukkan adanya gangguan kesuburan dan perlu diperiksa, kata Profesor Peter Royce, direktur urologi di Rumah Sakit Alfred. Remaja akhir hingga usia awal 20-an tahun adalah periode di mana banyak mengalami gangguan kesehatan mental. Sekitar tiga perempat pria mengalami gangguan skizofrenia untuk pertama kalinya pada usia 25 26 tahun. Kecemasan dan depresi seringkali muncul ketika sedang berjuang untuk membentuk hubungan, mengejar karir dan menjadi orang tua baru. Usia 40 50 Tahun : Penyakit jantung, diabetes, depresi, kanker usus, kandung kemih dan ginjal. Jika memiliki tekanan darah tinggi, kolesterol atau kelebihan berat badan, segera periksakan diri untuk mengetahui gejala diabetes setelah mencapai usia 45 tahun, kata Profesor Topliss. Ketika mencapai usia 50 tahun ke atas, pria lebih besar risikonya terserang kanker prostat dan kanker usus. Tanda-tanda kanker prostat adalah kesulitan buang air kecil, sedangkan tanda-tanda kanker usus

adalah perdarahan pada anus dan susah buang air besar. Pemeriksaan usus sebaiknya dilakukan pada usia 50, 55 dan 65 tahun dan setiap 2 tahun setelah mencapai usia 50 tahun. Pria berusia di atas 50 tahun disarankan untuk berdiskusi dengan dokter mengenai perlunya menjalani tes prostat. Kanker kandung kemih dan kanker ginjal dapat menjadi masalah atau penyakit degeneratif pada usia ini, teruatama pada pria perokok. Gejalanya adalah adanya darah dalam air seni. Selain itu, penyakit jantung dan serangan jantung juga bisa menjadi ancaman besar. Jika mengalami nyeri dada yang tidak diketahui penyebabnya, segeralah periska ke dokter, pada usia berapa pun. Sebab, rasa nyeri di dada dan sesak napas adalah dua gejala utama serangan jantung, kata Profesor Tony Dart, direktur pengobatan jantung di Rumah Sakit Alfred. Risiko kanker kulit juga meningkat setelah pria mencapai usia 50 tahun. Pria sebaiknya memeriksa kulitnya setiap tiga bulan sekali jika melihat adanya perubahan. Usia 60 tahun ke atas : Penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker usus, kulit dan prostat. Setelah mencapai usia 55 tahun, semua orang sebaiknya diperiksa untuk mengetes diabetes. Gejala diabetes antara lain kelelahan, rasa haus yang berlebihan, banyak buang air kecil dan infeksi kulit. Menjadi tua adalah faktor risiko diabetes dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Tapi merawat tubuh dapat mengurangi risikonya, kata Profesor Topliss. Kanker prostat, kanker usus dan kanker kulit akan selalu menjadi masalah kesehatan utama bagi pria, terutama seiring bertambahnya usia. Pada usia ini, pemeriksaan rutin untuk memantau kondisi kesehatan penting dilakukan. Denyut jantung tidak teratur juga lebih sering terjadi dialami pria lansia dan meningkatkan risiko stroke. Apabila di usia paruh baya pria sudah sering mengalami masalah dengan jantungnya, berbagai masalah itu akan terakumulasi ketika lansia sehingga fungsi jantung lebih mungkin terganggu. Kondisi kesehatan dapat membaik hanya dengan memakan makanan sehat dan berolahraga, kata Profesor Dart Artikel informasi kesehatan Penyakit Degeneratif Pada Pria Usia Lanjut. pria mencapai usia 50 tahun. Pria sebaiknya memeriksa kulitnya setiap tiga bulan sekali jika melihat adanya perubahan. Usia 60 tahun ke atas : Penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker usus, kulit dan prostat. Setelah mencapai usia 55 tahun, semua orang sebaiknya diperiksa untuk mengetes diabetes. Gejala diabetes antara lain kelelahan, rasa haus yang berlebihan, banyak buang air kecil dan infeksi kulit. Menjadi tua adalah faktor risiko diabetes dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Tapi merawat tubuh dapat mengurangi risikonya, kata Profesor Topliss. Kanker prostat, kanker usus dan kanker kulit akan selalu menjadi masalah kesehatan utama bagi pria, terutama seiring bertambahnya usia. Pada usia ini, pemeriksaan rutin untuk memantau kondisi

kesehatan penting dilakukan. Denyut jantung tidak teratur juga lebih sering terjadi dialami pria lansia dan meningkatkan risiko stroke. Apabila di usia paruh baya pria sudah sering mengalami masalah dengan jantungnya, berbagai masalah itu akan terakumulasi ketika lansia sehingga fungsi jantung lebih mungkin terganggu. Kondisi kesehatan dapat membaik hanya dengan memakan makanan sehat dan berolahraga, kata Profesor Dart Artikel informasi kesehatan Penyakit Degeneratif Pada Pria Usia Lanjut. Share this:

BABI PENDAHULUAN

A. Definisi Gangguan Kognitif Kognitif adalah : Kemampuan berpikir dan memberikan rasional,termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Stuart&Sundeen,1987). Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai oleh daya ingat terganggu, disonentasi, inkoheren dan sukar bepikir logis. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak. a). Etiologi 1. Faktor Predisposisi Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah, keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams, 1984, hal 871). Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional. 2. Faktor Presipitasi Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang. Gangguan metabolisme sering mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme, hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang otak mengakibatkan gangguan fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat trauma atau tumor juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan

cahaya, bunyi yang konstan merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi, namun belum ada penelitian yang tepat. b). Akibat gangguan kognitif 1. 2. 3. Menurun kemampuan konsentrasi terhadap stimulus (misalnya, pertanyaan harus diulang). Proses pikir yang tidak tertata, misalnya tidak relevan atau inkoheren. Minimal 2 dari yang berikut : Menurunkan tingkat kesadaran. Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi. Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada siang hari. Meningkat atau Menurun aktivitas psikomotor. Disorientasi, tempat, waktu, orang.

Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru, misalnya nama beberapa benda setelah lima menit. B. Pengkajian

1. Faktor Predisposisi Penyebab : - Gangguan fungsi susunan saraf pusat - Gangguan pengiriman nutrisi - Ganggua peredaran darah a. Penuaan Kumulatif degeneratif jaringan otak = penuaan Racun dalam jaringan otak Kimia toksik/logam berat = Respon kognitif maladaptif b. Neurobiologi Penyakit Alzheimers Gangguan metabolik : - Penyakit lever kronik,

- GGK - Devisit vitamin - Malnutrisi Anorexia nervosa Bulimia nervosa c. Genetik : Penyakit otak degeneratif herediter ( Huntingtons Chorea) 2. Stressor Presipitasi a. Hipoksia : - Anemia hipoksik - Histotoksik hipoksia - Hipoksemia hipopoksik - Iskemia hipoksik = Suplai darah ke otak menurun/berkurang b. Gangguan metabolisme Malfungsi endokrin : Underproduct / Overproduct Hormon - Hipotiroidisme - Hipertiroidisme - Hipoglikemia c. Racun, Infeksi - Gagal ginjal - Syphilis - Aids Dement Comp d. Perubahan Struktur - Tumor - Trauma

e. Stimulasi Sensori - Stimulasi sensori berkurang - Stimulasi berlebih Lingkungan yang stimulusai berkurang / atau lebih = halusinasi Penerangan dan aktifitas di ICU yang konstan = bingung, delusi, halusinasi 3. Perilaku Delirum: Suatu keadaan proses pikir yang terganggu, ditandai dengan: Gangguan perhatian, memori, pikiran dan orientasi. Demensia: Suatu keadaan respon kognitif maladaptif yang ditandai dengan hilangnya kemampuan intelektual/ kerusakan memori, penilaian, berpikir abstrak. Insomnia: Insomnia/sulit tidur adalah masalah yang lazim dialami lansia; sleep-maintenance insomnia adalah kondisi terkait umur dan membuat penderitanya lemah (Bootzin, Engle-Friedman, dan Hazelwood).

BAB II PEMBAHASAN A. Delirium, Demensia Dan Insomnia Pada gangguan kognitif, diagnosa medis yang sering dihadapi adalah : 1. Delirium 2. Demensia 3. Insomnia I. Delirium

1) Pengertan Delirium Delirium adalah suatu kondisi yang dikarakterisasi dengan adanya perubahan kognitif akut (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) dan gangguaan pada sistem kesadaran manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab multipel yang terdiri atas berbagai macam pasangan gejala akibat dari suatu penyakit dasar. Delirium didefinisikan sebagai disfungsi cerebral yang reversible,akut dan bermanifestasi klinis pada abnormalitas neuropsikiatri. Delirium,

sering salah diintrepretasikan dengan demensia, depresi, mania, schizophrenia akut, atau akibat usia tua, hal ini dapat terjadi karena gejala dan tanda dari delirium juga muncul pada demensia, depresi, mania, psikosis dll. Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai delirium tremens,kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke. Delirium adalah fungsi kognitif yang kacau ditandai dengan Kesadaran, berkabut yang dimanifestasikan oleh lama konsentrasi yang rendah, persepsi yang salah, gangguan piker (Stuart dan Sundeen, 1987). 2) Terdapat 3 tipe delirium, yaitu: 1. Delirium hiperaktif: didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,amfetamin,lysergic acid diethylamide atau LSD. 2. Delirium hipoaktif: didapatkan pada pasien pada keadaan hepatic encephalopathy dan hipercapnia.

3. Delirium campuran: pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tapi pada malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap. Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan structural dan fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan hepatic encephalopathy dan pada pasien dengan putus alcohol. Hipotesis utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari multipel neurotransmiter. 3) Berikut faktor-faktor penyebab Delirium: a. Asetilkolin data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung,pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif delirium serum antikolinergik juga meningkat. b. Dopamine Pada otak,hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik,pengobatan simptomatis muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine. c. Neurotransmitter lainnya Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati hepatikum.

GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien dengan hepatic encephalopati,peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati,yang

menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol. d. Mekanisme peradangan/inflamasi Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik,bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium,terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin 6. e. Mekanisme reaksi stress Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium. f. Mekanisme struktural Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang mendukung hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang lebih penting daripada anatomi yang lainnya. Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium,mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk menembus otak. 4) Kriteria diagnostik untuk delirium : 1. Gangguan kesadaran. Penurunan kesadaran terhadap lingkungan sekitar ,dengan penurunan kemampuan untuk fokus,mempertahankan atau mengganti perhatian. 2. Perubahan kognitif ( defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa )

3. Gangguan perkembangan dalam periode waktu yang singkat. Bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung atau akibat kondisi medis yang umum. Pengobatan terutama pada pasien delirium adalah untuk mengkoreksi kondisi medis yang menyebabkan gangguan-gangguan utama. Langkah pertama pada tata laksana pasien dengan delirium adalah melakukan pemeriksaan yang hati hati terhadap riwayat penderita,pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Informasi dari pasien tentang riwayat pasien terdahulu maupun status penderita sekarang sangat membantu para praktisi medis untuk melakukan tata laksana yang baik untuk mengobati delirium. II. 1. Demensia Pengertian Demensia

Demensia merupakan istilah digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. Demensia bukan berupa penyakit dan bukanlah sindrom. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun. Namun demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa kemampuan belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi. Pikun merupakan gejala umum demensia, walaupun pikun itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya demensia. Orang-orang yang menderita demensia sering tidak dapat berpikir dengan baik dan berakibat tidak dapat beraktivitas dengan baik. Oleh sebab itu mereka lambat laun kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan perlahan menjadi emosional, sering hal tersebut menjadi tidak terkendali. 2. Faktor Penyebab Demensia

Banyak penyakit/sindrom menyebabkan demensia, seperti stroke, Alzheimer, penyakit CreutzfeldtJakob, Penyakit Pick, Huntington, Parkinson, AIDS, dan lain-lain. Demesia juga dapat diinduksi oleh defisiensi niasin. Hidrosefalus ini menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi mental tetapi juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan. Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali mengalami demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga menderita hidrosefalus. Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami pseudodemensia. Mereka jarang makan dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan pada demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka. 3. Gejala Demensia

a. Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda. Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka). Sering terjadi perubahan kepribadian.

b. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya dimulai secara samar.

Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi; tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya.

c. Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan penyakit dengan pola seperti menuruni tangga. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian agak membaik dan selanjutnya akan memburuk kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi. Mengendalikan tekanan darah tinggi dan kencing manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan kadang terjadi penyembuhan ringan. Beberapa penderita bisa menyembunyikan kekurangan mereka dengan baik. Mereka menghindari aktivitas yang rumit (misalnya membaca atau bekerja).

Penderita yang tidak berhasil merubah hidupnya bisa mengalami frustasi karena ketidakmampuannya melakukan tugas sehari-hari. 4. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang penting atau salah dalam melakukan tugasnya. Diagnosa

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh, dengan memperhatikan usia penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan gejala serta adanya penyakit lain (misalnya tekanan darah tinggi atau kencing manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar. Pemeriksaan CT scan dan MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau stroke. Jika pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap, maka diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer. Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya jika dilakukan otopsi terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang. Sel yang tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri dari amiloid (sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron emission tomography), yang merupakan pemerisaan skening otak khusus. 5. Pengobatan Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.

Obat takrin membantu penderita dengan penyakit Alzheimer, tetapi menyebabkan efek samping yang serius. Takrin telah digantikan oleh donepezil, yang menyebabkan lebih sedikit efek samping dan memperlambat perkembangan penyakit Alzheimer selama 1 tahun atau lebih. Ibuprofen juga bisa memperlambat perjalanan penyakit ini. Obat ini paling baik jika diberikan pada stadium dini. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan dengan stroke. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat antidepresi. Jika didiagnosis secara dini, maka demensia karena hidrosefalus bertekanan normal kadang dapat diatasi dengan membuang cairan yang berlebihan di dalam otak melalui selang drainase (shunting). Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikosa (misalnya tioridazin dan haloperidol). Tetapi obat ini kurang efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-psikotik efektif diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi atau paranoia. 6. Membantu penderita demensia dan keluarganya:

Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada penderita yang senang berjalan-jalan. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin, bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan memperburuk keadaan. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat membantu. III. Insomnia

Insomnia/sulit tidur adalah masalah yang lazim dialami lansia; sleep-maintenance insomnia adalah kondisi terkait umur dan membuat penderitanya lemah (Bootzin, Engle-Friedman, dan Hazelwood). Dalam sleep education, terapis mengajari klien tentang perubahan-perubahan tidur terkait umur; efek kafein, nikotin, alkohol, bantuan tidur olah raga, dan nutrisi; dan efek minimal dari deprivasi/kekurangan tidur bagi kebanyakan orang. Kebanyakan orang bisa kehilangan waktu tidur tanpa mengakibatkan masalah kesehatan.

Bagi sebagian klien, komponen terapi kognitif yang diadaptasi untuk imsomnia juga dapat ditambahkan. Ini membantu klien dalam; 1. Mengidentifikasi pikiran-pikiran atau kekhawatiran-kekhawatiran disfungsionalnya. 2. Menantang keyakinan dan sikap maladaptifnya tentang tidur dan dampak kehilangan jam tidur pada fungsinya disiang hari. 3. Mengganti pikiran-pikiran itu dengan alternative-alternatif yang lebih realistis.

B.

Perbedaan Delirium dan Demensia

BAB III

PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan kognitif pada pasien yang mengalami gangguan jiwa, erat hubungannnya dengan gangguan mental organik. Hal ini terlihat dari gambaran secara umum perilaku/ gejala yang timbul akan dipengaruhi pada bagian otak yang mengalami gangguan. Dari intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah pasien , hal utama yang dilakukan adalah: selalu menerapkan tehnik komunikasi terapeutik. Pendekatan secara individu dan kelompok, juga keterlibatan keluarga dalam melakukan perawatan sangat penting untuk mencapai kesembuhan pasien. Berdasarkan hal diatas masalah dengan gangguan kognitif sangat penting diketahui apa penyebab terjadinya . Sehinngga intervensi yang diberikan tepat dan sesuai untuk mengatasi masalah pasien. Akhirnya pasien diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari kecelakaan yang ,membahayakan keselamatan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan Demensia.St.louis: Mosby year book Towsend, M.C (1993). Psychiatric Mental Health Nursing: Concept of Care, Philadelphia, 2nd, Davis Company. Wilson, H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing . California : Addison Wesley Nursing. Stuart, Gail Wiscarz. Sundeen. J. Sandra. 1995. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Google: http://id.wikipedia.org/wiki/Demensia (Diakses: 3:22, 27 Oktober 2011). Google: http://id.wikipedia.org/wiki/Delirium (Diakses: 2:47, 27 Oktober 2011). NYERI PADA LANSIA Medikaholistik.com Nyeri merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan keberadaannya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Semua orang pernah mengalami nyeri termasuk orang lanjut usia (lansia). Pada usia lanjut banyak terjadi perubahan fisiologis pada fungsi organ-organ tubuh yang dapat menjadi faktor pencetus nyeri dan bahkan mempengaruhi tatalaksana dari nyeri tersebut.

Berdasarkan onsetnya, nyeri terbagi dua macam, yaitu : a. Nyeri akut. Umumnya terjadi karena suatu tujuan yaitu usaha tubuh untuk melakukan proteksi terutama karena adanya kerusakan jaringan (cedera). Nyeri akut memiliki onset yang cepat dan mendadak. Nyeri akan sembuh dan hilang kurang dari 2 minggu.

b. Nyeri kronis. Nyeri kronis adalah rasa tidak nyaman yang tetap ada walaupun nyeri akut telah hilang. Nyeri seperti ini menyebabkan penurunan dari kesehatan dan fungsi dari penderita. Pada umumnya nyeri kronis berhubungan dengan ansietas (perasaan cemas) dan depresi. Nyeri kronis berlangsung lebih dari 3 bulan Umur dapat membedakan persepsi dan respon seseorang terhadap nyeri. Pada lansia, ambang nyeri meningkat tetapi lansia juga menjadi lebih sensitif terhadap nyeri yang hebat. Meningkatnya ambang nyeri ini menghambat diagnosis nyeri pada lansia. Hal-hal tersebut terjadi karena : a. perubahan pada struktur, biokimia, dan fungsi dari serabut-serabut saraf perifer

b.

menurunnya jumlah-jumlah saraf ber-mielin dan tidak ber-mielin

c.

meningkatnya kerusakan saraf dan perubahan pada neurotransmitter

d.

menurunnya kecepatan hantaran saraf.

Selain gangguan kognitif dan memori, perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia menyebabkan perubahan pada reaksi terhadap nyeri dan juga kadar obat dalam tubuh. Perubahan-perubahan fisiologis pada organ tubuh dapat mengubah farmakologi dari analgesik yang diberikan. Perubahan-perubahan fisiologis tersebut diantaranya meningkatnya kadar lemak tubuh, menurunnya kadar air dalam tubuh, menurunnya fungsi hepar, dan menurunnya fungsi ginjal.

Dalam menegakkan diagnosis nyeri pada lansia dapat diketahui melalui karakteristik dari nyeri, riwayat penyakit, aktivitas sehari-hari, serta pemeriksaan fisik pada lansia. Untuk pengobatan nyeri tergantung pada penyebab, onset (nyeri akut atau nyeri kronis), patofisiologi (meliputi asal penyakit, proses terjadinya penyakit, dan lain-lain), dan penyakit penyerta. Adapun hal yang dapat dilakukan untuk penanganan nyeri pada lansia terdiri dari langkah nonfarmakologi dan

farmakologi.

1. Non-farmakologi Pada nyeri akut terutama karena cedera digunakan prinsip RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation). Rest diartikan adalah istirahat pada bagian yang mengalami cedera. Pada bagian tubuh yang mengalami cedera akan menyebabkan nyeri, karena nyeri akut menandakan adanya kerusakan jaringan dan nyeri dijadikan sinyal untuk perlindungan jaringan lebih lanjut ( sebaiknya tidak melakukan tindakan memijat daerah yang nyeri). Istirahat dan imobilisasi (mengurangi kegiatan) pada bagian tersebut akan mencegah kerusakan lebih lanjut pada jaringan sekitarnya, contohnya pada pasien dengan patah tulang dilakukan fiksasi untuk imobilisasi dan istirahat organ tersebut. Pemakaian tongkat jalan juga merupakan salah satu upaya mengistirahatkan anggota gerak yang nyeri. Kompres dingin atau hangat, peregangan otot dan sendi yang bermasalah, gerakangerakan aerobik ringan juga dapat membantu mengatasi nyeri akut maupun kronis. Pada nyeri yang menetap, evaluasi oleh petugas kesehatan secara berkelanjutan dianjurkan. Apabila dengan tatalaksana yang sudah diberikan ternyata kondisi pasien tidak membaik maka alternatif terapi lain perlu dipertimbangkan.

2. Farmakologi Tatalaksana (pengobatan) nyeri yang adekuat perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas hidup dari lansia. Nyeri akut dan kronis memiliki langkah tatalaksana (pengobatan) yang berbeda. Pada pasien dengan tatalaksana nyeri kronis dan memerlukan terapi analgesik yang lama, maka tindak lanjut berupa penyesuaian dosis dan evaluasi efek samping, fungsi ginjal dan fungsi hepar. Cara pemberian obat juga harus diperhatikan berkaitan dengan waktu paruh obatnya. Pemberian obat secara oral cenderung memiliki waktu paruh lebih lama dibandingkan dengan obat injeksi selain itu kadar obat dalam darah juga cenderung lebih stabil pada pemberian oral. Oleh karena itu, pemberian obat analgesik pada pasien lansia lebih aman dengan menggunakan obat oral. Setiap kali pasien mendatangi tenaga medis, riwayat pemakaian obat yang digunakan sebaiknya selalu diinformasikan oleh pasien kepada tenaga medis. Penggunaan obat nyeri jangka lama sebaiknya dihindari dan perlu pemantauan dokter. Perlu diingat bahwa nyeri hanyalah gejala yang timbul. Sebaiknya tidak hanya menghilangkan gejala saja namun perlu ditelaah penyebab nyerinya. Pendekatan terapi tidak hanya mengandalkan obat saja namun pendekatan psikologis sangat penting. Nyeri akan bertambah saat pikiran kita terfokus pada nyeri. Demikian juga

nyeri bertambah saat depresi dan cemas. Pendekatan psikologis sangatlah membantu untuk mengurangi nyeri.

PENYAKIT YANG SERING TERJADI PADA LANSIA Dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi tubuh pun makin menurun. Tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak keluhan yang dilontarkan karena tubuh tak lagi mau bekerja sama dengan baik seperti kala muda dulu. Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut , yang disebutnya sebagai a series of Is. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh). Sumber lain menyebutkan, penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemuduran fisik, antara lain : 1. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang menetap 2. Rambut kepala mulai memutih atau beruban 3. Gigi mulai lepas (ompong) 4. Penglihatan dan pendengaran berkurang 5. Mudah lelah dan mudah jatuh 6. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah Disamping itu, juga terjadi kemunduran kognitif antara lain : 1. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik 2. Ingatan terhadap hal-hal di masa muda lebih baik daripada hal-hal yang baru saja terjadi

3. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang 4. Sulit menerima ide-ide baru MASALAH FISIK SEHARI-HARI YANG SERING DITEMUKAN PADA LANSIA 1. Mudah jatuh 1. Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Ruben, 1996). 2. Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intrinsik: gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan sendi dan sinkope-dizziness; faktor ekstrinsik: lantai yang licin dan tidak rata, tersandung oleh benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya yang kurang terang dan sebagainya. 2. Mudah lelah, disebabkan oleh :
o o o

Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi Gangguan organis: anemia, kurang vitamin, osteomalasia, dll Pengaruh obat: sedasi, hipnotik

Kekacauan mental karena keracunan, demam tinggi, alkohol, penyakit metabolisme, dehidrasi, dsb Nyeri dada karena PJK, aneurisme aorta, perikarditis, emboli paru, dsb Sesak nafas pada waktu melakukan aktifitas fisik karena kelemahan jantung, gangguan sistem respiratorius, overweight, anemia Palpitasi karena gangguan irama jantung, penyakit kronis, psikologis Pembengkakan kaki bagian bawah karena edema gravitasi, gagal jantung, kurang vitamin B1, penyakit hati, penyakit ginjal, kelumpuhan, dsb Nyeri pinggang atau punggung karena osteomalasia, osteoporosis, osteoartritis, batu ginjal, dsb. Nyeri sendi pinggul karena artritis, osteoporosis, fraktur/dislokasi, saraf terjepit Berat badan menurun karena nafsu makan menurun, gangguan saluran cerna, faktor sosio-ekonomi Sukar menahan BAK karena obatobatan, radang kandung kemih, saluran kemih, kelainan syaraf, faktor psikologis Sukar menahan BAB karena obat-obatan, diare, kelainan usus besar, kelainan rektum Gangguan ketajaman penglihatan karena presbiopi, refleksi lensa berkurang, katarak, glaukoma, infeksi mata Gangguan pendengaran karena otosklerosis, ketulian menyebabkan kekacauan mental Gangguan tidur karena lingkungan kurang tenang, organik dan psikogenik (depresi, irritabilitas) Keluhan pusing-pusing karena migren, glaukoma, sinusitis, sakit gigi, dsb Keluhan perasaan dingin dan kesemutan anggota badan karena ggn sirkulasi darah lokal, ggn syaraf umum dan lokal Mudah gatal-gatal karena kulit kering, eksema kulit, DM, gagal ginjal, hepatitis kronis, alergi KARAKTERISTIK PENYAKIT LANSIA DI INDONESIA 1. Penyakit persendian dan tulang, misalnya rheumatik, osteoporosis, osteoartritis

2. Penyakit Kardiovaskuler. Misalnya: hipertensi, kholesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida tinggi, anemia, PJK 3. Penyakit Pencernaan yaitu gastritis, ulcus pepticum 4. Penyakit Urogenital. Seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), Gagal Ginjal Akut/Kronis, Benigna Prostat Hiperplasia 5. Penyakit Metabolik/endokrin. Misalnya; Diabetes mellitus, obesitas 6. Penyakit Pernafasan. Misalnya asma, TB paru 7. Penyakit Keganasan, misalnya; carsinoma/ kanker 8. Penyakit lainnya. Antara lain; senilis/pikun/dimensia, alzeimer, parkinson, dsb PENYAKIT YANG SERING TERJADI PADA LANSIA Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut , yang disebutnya sebagai a series of Is. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh). Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit kronik degeratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu: 1. Osteo Artritis (OA) OA adalah peradangan sendi yang terjadi akibat peristiwa mekanik dan biologik yang mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya sendi, dan perkapuran. OA merupakan penyebab utama ketidakmandirian pada usia lanjut, yang dipertinggi risikonya karena trauma, penggunaan sendi berulang dan obesitas. 2. Osteoporosis Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang dimana masa atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis osteoporosis, tipe I merujuk pada percepatan kehilangan tulang selama dua dekade pertama setelah menopause, sedangkan tipe II adalah hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena terganggunya produksi vitamin D. 3. Hipertensi Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada

proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal 4. Diabetes Mellitus Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa dimana gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa. Kondisi ini dapat berkembang menjadi diabetes melitus, dimana kadar gula darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar glukosa darah saat puasa di atas 126 mg/dl. Obesitas, pola makan yang buruk, kurang olah raga dan usia lanjut mempertinggi risiko DM. Sebagai ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75 tahun menderita DM. Beberapa gejalanya adalah sering haus dan lapar, banyak berkemih, mudah lelah, berat badan terus berkurang, gatal-gatal, mati rasa, dan luka yang lambat sembuh. 5. Dimensia Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan jenis demensia yang paling sering terjadi pada usia lanjut. Adanya riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit vaskular/pembuluh darah (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi), trauma kepala merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap terjadi pada wanita dan individu dengan pendidikan rendah. 6. Penyakit jantung koroner Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas, pingsan, hingga kebingungan. 7. Kanker Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi sebuah sel mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel lainnya yang masih sehat. Sel yang berubah ini mengalami mutasi karena suatu sebab sehingga ia tidak bisa lagi menjalankan fungsi normalnya. Biasanya perubahan sel ini mengalami beberapa tahapan, mulai dari yang ringan sampai berubah sama sekali dari keadaan awal (kanker). Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Faktor resiko yang paling utama adalah usia. Dua pertiga kasus kanker terjadi di atas usia 65 tahun. Mulai usia 40 tahun resiko untuk timbul kanker meningkat. ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

Pengelompokan askep dasar pada lansia


o o

Aktif support personal hygiene Pasif total care

Lansia potensial mengalami decubitus

o o

Penyebab: immobilisasi, defisit jaringan lemak, defisit jaringan kolagen Faktor intrinsic: status gizi, anemia, hipoalbuminemia, penyakit neurologik, penyakit pemb. Darah, dehidrasi Faktor extrinsic: kurang bersih tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor, defisit personal hygiene

Pengelompokan decubitus
o

Derajat I: terbatas pada epidermis Perawatan: bersihkan dgn air hangat dan sabun, lotion, masase 2-3 x/h, perubahan posisi Derajat II: mencapai dermis subkutan Perawatan: perawatan luka aseptik & antiseptik, gosok dgn es dan dihembus udara hangat bergantian, pengobatan topikal, dibalut Derajat III: meliputi jaringan lemak subkutan dan cekung, berbau Perawatan: debridement, pertahankan sirkulasi & oksigenasi Derajat IV: meluas sampai ke tulang Perawatan: debridement, perawatan luka aseptik & antiseptik, transplantasi kulit setempat (bila memungkinkan)

PENDEKATAN PERAWATAN LANSIA 1. Pendekatan fisik terdiri dari aktif pasif 2. Pendekatan piskis menggunakan komunikasi edukatif 3. Pendekatan sosial dengan cara diskusi, sharing perception 4. Pendekatan spiritual dengan peace TUJUAN ASKEP 1. Kemandirian yaitu health promotion, preventive, maintenance 2. Mempertahankan kesehatan 3. Mempertahankan semangat hidup (life support) 4. Menolong dan merawat klien lansia yang mengalami sakit 5. Merangsang petugas kesehatan mengenal & menegakkan diagnosa yang tepat

FOKUS ASKEP 1. Health promotion 2. Prevention disease 3. Mengoptimalkan fungsi mental 4. mengatasi gangguan kesehatan yang umum PENGKAJIAN

Tujuan o Menentukan kemampuan klien memelihara diri sendiri o Melengkapi dasar-dasar rencana perawatan individu o Membantu menghindarkan bentuk dan penandaan klien o Memberi waktu kepada klien untuk menjawab Meliputi: fisik, psikologis, ekonomi, spiritual

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Fisik o Gangguan nutrisi : defisit/over o Gangguan persepsi sensorik : pendengaran, penglihatan o Defisit knowledge o Resti cedera fisik o Gangguan pola tidur o Perubahan pola eliminasi o Gangguan mobilitas fisik Psikologis: Isolasi sosial, Menarik diri, Depresi, Harga diri rendah, Coping tidak adekuat Spiritual: reaksi berkabung/berduka, penolakan terhadap proses penuaan, marah terhadap Tuhan, perasaan tidak tenang

RENCANA KEPERAWATAN

Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi

1. Penyebab
o o o o

Penurunan alat penghiduan dan pengecapan Organ pengunyah kurang sempurna Rasa penuh pada perut dan susah BAB Melemah otot-otot lambung dan usus

2. Masalah gizi: berlebihan, berkurang, kekurangan/kelebihan vitamin

3. Kebutuhan nutrisi
o o o o o o

Kalori ? 2100 kal pada laki-laki, 1700 kal pada wanita Karbohidrat, 60% dari jumlah kalori yang dibutuhkan Lemak tidak dianjurkan, 15-20% dari total kalori yang dibutuhkan Protein 20-25% dari total protein yang dibutuhkan Vitamin dan mineral sama dengan usia muda Air 6-8 gelas/h

4. Rencana tindakan 1. 2. 3. 4. 5.

Berikan makanan porsi kecil tapi sering Banyak minum dan kurangi makanan yang terlalu asin Berikan makanan yang mengandung serat Batasi pemberian makanan yang tinggi kalori Batasi minum kopi dan teh Peningkatan keamanan dan keselamatan

1. Penyebab
o o o o o o

Fleksibilitas kaki yang berkurang Fungsi penginderaan dan pendengaran yang menurun Pencahayaan yang berkurang Lantai licin dan tidak rata Tangga tidak ada pengaman Kursi/ tempat tidur yang mudah bergerak

2. Tindakan mencegah kecelakaan 1. Klien :


Anjurkan klien menggunakan alat bantu (sesuai indikasi) Latih untuk pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya

Biasakan gunakan pengaman tempat tidur, jika tidur Bantu klien bila ke kamar mandi Usahakan ada yang menemani ketika berpergian

2.

Lingkungan :

Tempatkan di tempat khusus yang mudah diobservasi Letakkan bel di bawah bantal & ajarkan cara menggunakannya Tempat tidur tidak terlalu tinggi Letakkan meja dekat tempat tidur, atur peralatan mudah pakai Lantai bersih, rata, tidak licin dan basah serta pasang pegangan kamar Mandi Kunci semua peralatan yang menggunakan roda Hindarkan lampu redup dan menyilaukan Gunakan sandal atau sepatu yang beralaskan karet

Memelihara kebersihan diri

1. Penyebab

Penurunan daya ingat Kurangnya motivasi Kelemahan dan ketidak mampuan fisik

2. Rencana tindakan 1. Mengingatkan/membantu melakukan personal hygiene 2. Menganjurkan gunakan sabun lunak mengandung minyak/skin lotion

Memelihara keseimbangan istirahat/tidur

1. Penyebab

Personal hygiene kurang gatal-gatal Ggn psikologisinsomsia Faktor lingkungan kebisingan, ventilasi dan sirkulasi Kelemahan dan ketidakmampuan fisik

2. Rencana tindakan 1. Menyediakan tempat/ waktu tidur yang nyaman 2. Mengatur lingkungan yang adekuat 3. Latihan fisik ringan memperlancar sirkulasi dan melenturkan otot 4. Minum hangat sebelum tidur

Meningkatkan hubungan interpersonal melalui komunikasi

1. Penyebab
o

daya ingat menurun, depresi, lekas marah, mudah tersinggung dan curiga

2. Rencana tindakan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berkomunikasi dengan mempertahankan kontak mata Mengingatkan terhadap kegiatan yang akan dilakukan Menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan klien Memberi kesempatan untuk mengekspresikan diri Melibatkan klien dalam kegiatan sesuai kemampuan Menghargai pendapat klien

TINDAKAN KEPERAWATAN 1. Menumbuhkan dan membina rasa saling percaya 2. Penerangan cukup 3. Meningkatkan ransangan panca indera membaca, rekreasi 4. Mempertahankan dan latih daya orientasi nyatakalender, jam 5. Berikan perawatan sirkulasi 6. Berikan perawatan pernafasan 7. Berikan perawatan pada alat pencernaan

Berikan perawatan genitourinaria Berikan perawatan kulit

Daftar Pustaka Darmojo, Boedhi,et al.2000.Beberapa masalah penyakit pada Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Lueckenotte. 1997. Pengkajian Gerontologi edisi 2.EGC: Jakarta www.google.com. Keyword: Penyakit yang Sering Muncul pada Lansia. Diakses tanggal 12 September 2009 pukul 12.16 WIB PENYAKIT YANG SERING TERJADI PADA LANSIA_3A.doc

LATIHAN KOGNITIF PADA LANSIA Sep28 Bahan ajar keperawatan gerontik AKPER PEMKAB TAPANULI TENGAH: 1. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Mahasiswa akan dapat menjelaskan perubahan kognitif pada lansia Mahasiswa akan dapat menjelaskan demensia Mahasiswa akan dapat menjelaskan pengenalan dini demensia Mahasiswa akan dapat menjelaskan latihan kognitif pada lansia

1. PERUBAHAN KOGNITIF PADA LANSIA Proses penuaan menyebabkan kemunduran kemampuan otak. Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah: Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Intelegensia Dasar (fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi 1. DEFENISI Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak.

1. KONDISI DEMENSIA Kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan berbagai jenis gangguan seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan pendapat dan pemecahan masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat, gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan dalam pemeliharaan diri. 1. TANDA dan GEJALA

Kesukaran dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari Pelupa Sering mengulang kata-kata Tidak mengenal dimensi waktu, misalnya tidur di ruang makan Cepat marah dan sulit di atur. Kehilangan daya ingat Kesulitan belajar dan mengingat informasi baru Kurang konsentrasi Kurang kebersihan diri Rentan terhadap kecelakaan: jatuh Mudah terangsang Tremor Kurang koordinasi gerakan.

1. Pengenalan Dini Demensia Pengenalan dini demensia berarti mengenali :

Kondisi normal (mengidentifikasi BSF dan AAMI): kondisi kognitif pada lanjut usia yang terjadi dengan adanya penambahan usia dan bersifat wajar. Contoh: keluhan mudah-lupa secara subyektif, tidak ada gangguan kognitif ataupun demensia. Kondisi pre-demensia (mengidentifikasi CIND dan MCI): kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan ciri mudah lupa yang makin nyata dan dikenali (diketahui dan diakui) oleh orang dekatnya. Mudah lupa subyektif dan obyektif serta ditemukan performa kognitif yang rendah tetapi belum ada tanda-tanda demensia.

Kondisi demensia : kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan berbagai jenis gangguan seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan pendapat dan pemecahan masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat, gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan dalam pemeliharaan diri.

1. STRATEGI LATIHAN KOGNITIF


Menurunkan cemas Tehnik relaksasi Biofeedback, menggunakan alat untuk menurunkan cemas dan memodifikasi respon perilaku. Systematic desenzatization. Dirancang untuk menurunkan perilaku yang berhubungan dengan stimulus spesifik misalnya karena ketinggian atau perjalanan melalui pesawat. Tehnik ini meliputi relaksasi otot dengan membayangkan situasi yang menyebabkan cemas. Flooding. Klien segera diekspose pada stimuli yang paling memicu cemas (tidak dilakukan secara berangsur angsur) dengan menggunakan bayangan/imajinasi Pencegahan respon klien. Klien didukung untuk menghadapi situasi tanpa melakukan respon yang biasanya dilakukan.

1. TERAPI KOGNITIF

Latihan kemampuan social meliputi : menanyakan pertanyaan, memberikan salam, berbicara dengan suara jelas, menghindari kiritik diri atau orang lain Aversion therapy : therapy ini menolong menurunkan perilaku yang tidak diinginkan tapi terus dilakukan. Terapi ini memberikan stimulasi yang membuat cemas atau penolakan pada saat tingkah laku maladaptive dilakukan klien. Contingency therapy: Meliputi kontrak formal antara klien dan terapis tentang apa definisi perilaku yang akan dirubah atau konsekuensi terhadap perilaku itu jika dilakukan. Meliputi konsekuensi positif untuk perilaku yang diinginkan dan konsekuensi negative untuk perilaku yang tidak diinginkan.

About these ads Share this:

POLIFARMASI

Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya (inadherence). Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus. Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia. Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu : 1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing) : hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting. 2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing) : hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obatobat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya. 3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing) : hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan. 4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala dan tandatanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.

5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing) : hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan. Masalah Dalam Peresepan Obat Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia adalah sebagai berikut : I. Farmakokinetik, Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat. * Penyerapan obat : beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu. * Distribusi obat : dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan keterikatan obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di dalam sel. Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot. Mengenai kelarutan obat, ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan takarannya perlu dikurangi. Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat meningkat. *Metabolisme : berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450. *Pengeluaran: berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat. II. Farmakodinamik Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia

yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor. III. Masalah-masalah khusus. Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat pada lansia, yaitu : 1. Polifarmasi: lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun). Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun, mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang berisiko tinggi. 2. Takaran obat : akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan (S!- takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal (start low, go slow, but use enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat. 3. Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik. 4. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan. Peresepan Obat Yang Dianjurkan Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat yang dianjurkan adalah sebagai berikut : * Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana mungkin. * Start low, go slow, but use enough. * Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal. * Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala dan tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara berkala. * Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang digunakan.

* Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis, hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat. * Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat. * Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat. * Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat. * Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.

POLIFARMASI Posted on January 22, 2012 by shigenoiharuki under IPD BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004): 1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas 2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama 3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi 4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat 5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat. Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004). 2.1 Farmakodinamik Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA. 2.1.1 Efek Samping Obat Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen (Terrie, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004). Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004). Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal. Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan oleh penghentian obat. Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003). 2.1.2 Interaksi Obat Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara keseluruhan, insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010). 2.1.2.1 Inhibisi Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang signifikan secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung dan melambatnya motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et al.,2010). 2.1.2.2 Potensiasi

Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan warfarin mempengaruhi faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada pasien (Lin, 2003). 2.1.2.3 Akumulasi Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang diterapi denganangiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003). Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim, seperticytochrome P450 (CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat lainnya, mengubahglomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge, et al.,2010). 2.2 Farmakokinetik Linjakumpu, T. 2003. Drug use among the home-dwelling elderly. Oulun yliopisto. University of Oulu. ISBN 951-42-7102-5. Standrigde JB, Zylstra LG, Miller KE, Ruiz DE, Simpson JD. 2010. Caring for Elderly Individual: Polypharmacy and Drug Interaction.http://www.researchresidency.com/goppert/FP2010/FP_Comprehensive/FPE_297/section3_polypharmacy.html. Terrie YC. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in the Elderly.http://www.pharmacytimes.com Lin, P. 2003. Drug Interaction and Polypharmacy in the Elderly. The Canadian Alzheimer Disease Review, September 2003, p 10-14. Juurlink DN, Mamdani M, Kopp A, Laupacis A, Redelmeier DA. 2003. Drug-Drug Interactions Among Elderly Patients Hospitalized for Drug Toxicity.JAMA. 2003;289(13):1652-1658. doi: 10.1001/jama.289.13.1652 CHAPTER 2

2.1 Pharmacodynamic When drugs with similar pharmacologic effects are administered concurrently, an additive or synergistic response is usually seen. The two drugs may or may not act on the same receptor to produce such effects. Conversely, drugs with opposing pharmacologic effects may reduce the response to one or both drugs. Pharmacodynamic drug interactions are relatively common in clinical practice, but adverse effects can usually be minimized if one understands the pharmacology of the drugs involved. In this way, the interactions can be anticipated and appropriate countermeasures taken (Rang, et al., 2007). It was long believed that geriatric patients were much more sensitive to the action of many drugs, implying a change in the pharmacodynamic interaction of the drugs with their receptors. It is now recognized that many of these apparent changes result from altered pharmacokinetics or diminished homeostatic responses. Clinical studies have supported the idea that the elderly are more sensitive to some sedative-hypnotics and analgesics. In addition, some data from animal studies suggest actual changes with age in the characteristics or numbers of a few receptors. The most extensive studies show a decrease in responsiveness to -adrenoceptor agonists (Katzung, 2007). Certain homeostatic control mechanisms appear to be blunted in the elderly. Since homeostatic responses are often important components of the total response to a drug, these physiologic alterations may change the pattern or intensity of drug response. In the cardiovascular system, the cardiac output increment required by mild or moderate exercise is successfully provided until at least age 75 (in individuals without obvious cardiac disease), but the increase is the result primarily of increased stroke volume in the elderly and not tachycardia, as in young adults. Average blood pressure goes up with age (in most Western countries), but the incidence of symptomatic orthostatic hypotension also increases markedly. It is thus particularly important to check for orthostatic hypotension on every visit. Similarly, the average 2-hour postprandial blood glucose level increases by about 1 mg/dL for each year of age above 50. Temperature regulation is also impaired, and hypothermia is poorly tolerated in the elderly (Katzung, 2007). 2.1.1 Adverse Drug Effects The positive relationship between number of drugs taken and the incidence of adverse reactions to them has been well documented. In long-term care facilities, in which a high fraction of the population is elderly, the average number of prescriptions per patient varies between 6 and 8. Studies have shown that the percentage of patients with adverse reactions increases from about 10% when a single drug is being taken to nearly 100% when ten drugs are taken. Thus, it may be expected that about half of patients in long-term care facilities will have recognized or unrecognized reactions at some time. The overall incidence of drug reactions in geriatric patients is estimated to be at least twice that in the younger population. Reasons for this high incidence undoubtedly include errors in prescribing on the part of the practitioner and errors in drug usage by the patient (Rang, et al., 2007). Practitioner errors sometimes occur because the physician does not appreciate the importance of changes in pharmacokinetics with age and age-related diseases. Some errors occur because the practitioner is unaware of incompatible drugs prescribed by other practitioners for the same patient. For

example, cimetidine, an H2-blocking drug heavily prescribed (or recommended in its over-the-counter form) to the elderly, causes a much higher incidence of untoward effects (eg, confusion, slurred speech) in the geriatric population than in younger patients. It also inhibits the hepatic metabolism of many drugs, including phenytoin, warfarin, blockers, and other agents. A patient who has been taking one of the latter agents without untoward effect may develop markedly elevated blood levels and severe toxicity if cimetidine is added to the regimen without adjustment of dosage of the other drugs (Rang, et al., 2007). Patient errors may result from noncompliance. In addition, they often result from use of nonprescription drugs taken without the knowledge of the physician. Many over-the-counter agents and herbal medications contain hidden ingredients with potent pharmacologic effects. For example, many antihistamines have significant sedative effects and are inherently more hazardous in patients with impaired cognitive function. Similarly, their antimuscarinic action may precipitate urinary retention in geriatric men or glaucoma in the patient with a narrow anterior chamber angle. If the patient is also taking a metabolism inhibitor such as cimetidine, the probability of an adverse reaction is greatly increased. A patient taking an herbal medication containing gingko is more likely to experience bleeding while taking low doses of aspirin (Rang, et al., 2007). 2.1.2 Drug Interaction 2.1.2.1 Inhibition

-Adrenoceptor antagonists diminish the effectiveness of -adrenoceptor agonists such as salbutamol (Rang, et al., 2007). Warfarin competes with vitamin K, preventing hepatic synthesis of various coagulation factors. If vitamin K production in the intestine is inhibited (e.g. by antibiotics), the anticoagulant action of warfarin is increased (Rang, et al., 2007).

2.1.2.2 Potentiation

Many diuretics lower plasma K+ concentration, and thereby predispose to digoxin toxicity and to toxicity with type III antidysrhythmic drugs (Rang, et al., 2007). Sildenafil inhibits the isoform of phosphodiesterase (type V) that inactivates cGMP; consequently, it potentiates organic nitrates, which activate guanylate cyclase, and can cause severe hypotension in patients taking these drugs (Rang, et al., 2007). Monoamine oxidase inhibitors increase the amount of noradrenaline (norepinephrine) stored in noradrenergic nerve terminals and interact dangerously with drugs, such as ephedrine or tyramine, that release stored noradrenaline. This can also occur with tyramine-rich foodsparticularly fermented cheeses such as Camembert (Rang, et al., 2007).

The risk of bleeding, especially from the stomach, caused by warfarin is increased by drugs that cause bleeding by different mechanisms (e.g. aspirin, which inhibits platelet thromboxane A2 biosynthesis and which can damage the stomach) (Rang, et al., 2007). Sulfonamides prevent the synthesis of folic acid by bacteria and other micro-organisms; trimethoprim inhibits its reduction to tetrahydrofolate. Given together, the drugs have a synergistic action of value in treating Pneumocystis carinii (Rang, et al., 2007). Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), such as ibuprofen or indometacin, inhibit biosynthesis of prostaglandins, including renal vasodilator/natriuretic prostaglandins (prostaglandin E2, prostaglandin I2). If administered to patients receiving treatment for hypertension, they cause a variable but sometimes marked increase in blood pressure. If given to patients being treated with diuretics for chronic heart failure, they can cause salt and water retention and hence cardiac decompensation (Rang, et al., 2007). Histamine H1 receptor antagonists, such as promethazine, commonly cause drowsiness as an unwanted effect. This is more troublesome if such drugs are taken with alcohol, and it may lead to accidents at work or on the road (Rang,et al., 2007).

2.1.2.3 Accumulation The combined use of two or more drugs, each of which has toxic effects on the same organ, can greatly increase the likelihood of organ damage. For example, concurrent administration of two nephrotoxic drugs can produce kidney damage even though the dose of either drug alone may have been insufficient to produce toxicity. Furthermore, some drugs can enhance the organ toxicity of another drug even though the enhancing drug has no intrinsic toxic effect on that organ (Katzung, 2007). 2.2 Pharmacokinetic Katzung, BG. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. San Francisco: McGraw-Hill Medical. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ. 2007. Rang and Dales Pharmacology. 6th ed. New York: Churcill Livingstone. CHAPTER 3 FRAMEWORK AND HYPOTHESIS 3.1 Framework 3.2 Hypothesis 1. The more medications are used by the patient, the lower MMSE value will be. 2. The more medications are used by the patient, the lower ADL value will be. 3. The more medications are used by the patient, the higher GDS value will be.

4. The more medications are used by the patient, the patient will suffer from spinning sensation, syncope-like sensation, and edematous state. Polypharmacy and Depression in Elderly Patient who were Admitted in Chronic Ward of Saiful Anwar Hospital dr. Bernandus Anggaru *, dr. Sri Sunarti, SpPD **, dr. Gadis Nurlaila, SpPD ** Objective: To verify whether depression is associated with greater drug utilization in elderly patients. It was hypothesized by the age-related increase of concurrent disease (polypathology) contribute in polypharmacy. Among these, the perceived need of care could affect the use of drugs and precipitate depression. Population: 83 patients who was admitted in RSSA during September-October 2011 (Preliminary study) Main outcome measure: Polypharmacy, ie having more than 6 drugs prescribed at discharge. Depression, ie defined as a 15-item Geriatric Depression Scale (GDS) > 5 Method: Data on drugs that patient had received when patient admitted in hospital were collected. Depression statuses of patients were defined by Geriatric Depression scale more than 5 of 15 items. Logistic regression analysis was performed to investigate the correlation between polypharmacy and depression. Results: Non polypharmacy patient showed slightly more depressing than polypharmacy patient. However, there is no significant difference of depression status between non polypharmacy and polypharmacy patient ( Mean SD of GDS 17.18 7.83 vs 16.08 9.10, p = 0.348 ). GDS>5 suggested depression was found in 90.36% patients and didnt correlate with polypharmacy (odds ratio 0.367, 95% CI 0.43-3.17, Spearman correlation p = 0.351). Conclusion: Polypharmacy isnt associated with depression status in elderly patient who was admitted in RSSA Keyword: Geriatric, Polypharmacy, Depression, Hospitalized patient * Resident of Internal Medicine Department ** Internist, Geriatric Department Medical Faculty Brawijaya University SPSS ANALYSIS Logistic Regression Block 0: Beginning Block Block 1: Method = Enter Interactive Graph

Kruskal-Wallis Test Oneway Crosstabs

FENOMENA PENYAKIT KRONIS PADA LANSIA Penyakit Kronis Pada Lansia Penyakit kronis Merupakan penyakit yang sudah berlangsung lama dan bisa menyebabkan kematian. Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain itu penyakitnya bersifat progresif dan sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia remaja/dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh yang makin menurun. Sifat penyakit pada orang lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Sebab penyakit pada orangorang lansia umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zatzat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi (occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhankeluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifatsifat atipik, asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual munculnya gejala dan tanda tanda penyakit meskipun macam penyakitnya sama (pikiran-rakyat.com) Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia Salah satu penyakit kronis yang sering diderita oleh lansia yaitu Diabetes melitus. Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000). Prevalensi Diabetes Melitus pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia >45 tahun. Pada tahun 2006, proporsi penduduk di Indonesia yang berumur 50 tahun keatas sebesar 17 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 33 juta orang (Tahir 2007). Selanjutnya tahir mengatakan Peningkatan jumlah penduduk berumur tua cenderung akan meningkatkan fenomena disabilitas yang secara normal bersifat gradual yang akan nyata dalam melakukan aktivitas perawatan diri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tahir pada subjek penelitian adalah lanjut usia yang berumur 50 tahun keatas berjumlah 12.459 jiwa. Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa kuesioner SAGE-WHO dan INDEPTH oleh 63 petugas wawancara dengan 7 pengawas lapangan. Analisis data menggunakan regresi logistik multinomial memperoleh hasil Prevalensi gangguan perawatan diri sebesar 28,2%, disabilitas pergerakan 47,77%, disabilitas penglihatan 64,12% dan disabilitas daya ingat

66,71%. Risiko terbesar terhadap gangguan perawatan diri pada kategori berat yaitu disabilitas pergerakan pada laki-laki (OR=10,93; 95%CI= 8,85 -13,50) dan perempuan (OR=19,75 ;95%CI=14,3827,13), disabilitas penglihatan pada laki-laki (OR=3,24; 95%CI= 2,31-4,55) dan perempuan (OR=4,72; 95%CI=3,52-6,33), disabilitas daya ingat pada lakilaki (OR=5,96; 95%CI=4,10-8,67) dan perempuan (OR=6,33; 95%CI=4,53-8,86). Pendekatan Self Care (Teori Orem) Berdasarkan Fenomena Penyakit Kronis Pada Lansia Penanganan terhadap penyakit diabetes melitus yang meliputi diet yang tepat, olahraga rutin, minum obat secara teratur dan teratur periksa kadar gula darah merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh penderita diabetes melitus. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri). Klien dewasa dengan Diabetes Melitus menurut teori self-care Orem dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejahteraan. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami oleh klien dengan DM menurut Orem disebut dengan self-care deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifikasikannya sesuai dengan klasifikasi kemampuan klien yang telah kami sebutkan sebelumnya. Setelah mengkaji dan mendapatkan informasi yang lengkap barulah perawat mulai bekerja untuk mengembalikan kemampuan self-care klien secara optimal sesuai dengan kondisi aktual klien yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus yang diderita oleh klien. Klien dewasa dengan Diabetes Mellitus dapat mencapai sejahtera / kesehatan yang optimal dengan mengetahui perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri. Oleh karena itu, perawat menurut teori self-care berperan sebagai pendukung/pendidik bagi klien dewasa dengan Diabetes Mellitus terkontrol untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera. Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan, dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakat dimana klien tinggal. Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinum atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera, klien membutuhkan 3 kebutuhan selfcare berdasarkan teori Orem yaitu: Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal), kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh klien selama siklus hidupnya dalam mempertahankan kondisi yang seimbang/homeostasis yang meliputi kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, istirahat, dan interaksi sosial serta menghadapi resiko yang mengancam kehidupan. Pada klien DM, kebutuhan tersebut mengalami perubahan yang dapat diminimalkan dengan melakukan selfcare antara lain melakukan latihan/olahraga, diet yang sesuai, dan pemantauan kadar glukosa darah. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan), klien dengan DM mengalami perubahan fungsi perkembangan yang berkaitan dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan DM antara lain, menimbulkan peningkatan dalam berkemih, rasa haus, selera makan,

keletihan, kelemahan, luka pada kulit yang lama penyembuhannya, infeksi vagina, atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya tinggi). Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan), kebutuhan yang berkaitan dengan adanya penyimpangan kesehatan seperti adanya sindrom hiperglikemik yang dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), hipotensi, perubahan sensori, kejangkejang, takikardi, dan hemiparesis. Pada klien dengan DM terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan yang dimiliki. Klien DM akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi keharmonisan pasangan (missal infeksi vagina dan bagian tubuh lainnya). Tujuan untuk memenuhi kebutuhan self care dapat dicapai dengan : 1. Menurunkan kebutuhan self care 2. Meningkatkan kemampuan pasien 3. Memperbolehkan keluarga atau orang lain untuk memberikan dependent care 4. Bila semua yang di atas tidak bias di laksanakan maka perawat akan melaksanakannya. Lima metode bantuan untuk memenuhi kebutuhan self care: 1. Berperan melakukan 2. Mengajak atau menyuluh 3. Membimbing 4. Mendukung 5. Menciptakn lingkungan yang dapat menunjang tunjangan untuk dapat melaksanakan bantuan kepada orang sakit dan aspek yang perlu di perhatikan: Menjalin hubungan yang baik dengan pasien, keluaraga sampai pasien dapat melepaskan diri atau melaksanakan sendiri Menentukan bantuan yang di butuhkan pasien dalam memenuhi kebutuhan Memberikan bantuan langsung bersama pasien atau keluarga, orang lain yang akan melakukan asuhan sesuai kebutuhan pasien Merencanakan bantuan langsung bersama pasien, keluarga atau orang lain yang akan melakukan asuhan. Agar lansia dapat mandiri tanpa bantuan orang lain perlu motivasi dari perawat dan keluarga pada klien Lansia supaya klien bisa melakukannya sendiri sebab kenyataan yang ada dilapangan kebanyakan klien bisa melakukannya sendiri. Dan perlu adanya penyuluhan dan pelatihan tentang program aktivitas lansia. Referensi: Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapipada-usia-lanjut-geriatri.html,diakses 14 Maret 2009 Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009 Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 14 Maret 2009

Potter, Patricia. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktek/Patricia A. Potter, Anne Griffin Perry; Alih Bahasa, Yasmin Asih et al. Editor edisi Bahasa indonesia, Devi Yulianti, Monica Ester. Ed.4. Jakarta ; EGC, 2005

You might also like