You are on page 1of 14

HUKUM RESPONSIF

Sejarah Perkembangan Hukum Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami asang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu ukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai lmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis,

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 1

dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada di alam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut. Dari situlah unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial perlu diintegrasikan ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick mengategorikan hukum ke dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom dan hukum responsif. Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa. Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan. Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Hukum otonom memfokuskan diri pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum, sehingga memisahkan pemikiran hukum dari realitas sosial. Hasilnya

adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan untuk menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan masalah di tingkat praktek. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada saat awal-awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1960 Orde Lama. Kemudian hukum otonom juga pernah dirasakan bangsa ini, yaitu pada era pimpinan Soeharto Orde Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga kredibilitas masingmasing pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenarbenarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 3

perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini Seperti apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Transisi Hukum Otonom ke Hukum Responsif Seperti telah disebutkan di atas bahwa hukum responsif lebih menekankan pada tujuan, jadi bukan hanya keadilan yang procedural. Lebih

dari itu hukum responsif juga memiliki kompeten dan keadilan yang lebih dibanding keinginan hukum public otonom dan ataupun represif serta mampu mengenali keadilan punya komitmen bagi tercapainya

substantive. Misalnya permasalahan hukum yang berasal dari akar rumput dapat diakomodir dengan baik untuk selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam rangka menegakkan keadilan yang tidak semu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sifat hukum otonom yang lebih berpusat pada peraturanperaturan memiliki dasar yang praktis dalam hal-hal berikut ini: Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan. Peraturan menetukan cakupan otoritas jabatan secara akurat sehingg menawarkan pengetesan yang meyakinkan terhadap akuntabilitas. Hakim cenderung dibatasi oleh peraturan sehingga kekuasaan yudikatis menjadi sangat terbatas dan lebih mudah untuk memberikan justifikasi serta yang palin parah bahwa ancaman hukum terhadap para pembuat keputusan politikpun menjadi kendur, bahkan seolah-oleh para elit politik kebal hukum. Meningkatnya jumlah peraturan perundangan yang dapat menimbulkan kompleksitas pembuatan dan mendatangkan permasalahan dapat konsisten. lahan Bahkan untuk perundangan-pun dijadikan

menguntungkan dan memperkaya diri mereka maisng-masing. Otoritas pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab hukum. Dalam menjalankan tugasnya sebuah hukum harus berpatokan pada peraturan-peraturan tertentu, hal ini dimaksudkan agar dapat membantu system tersebut untuk menghindari tuntutan-tuntutan yang mungkin tak terpenuhi. Walapun hukum otonom dapat menjinakkan represi, namun tetap berkomitmen bahwa hukum adalah sebagai kontrol sosial yang dapat digunakan untuk lebih melegitimasi kekuasaan pemerintah. Dari gambaran di atas bahwa taat hukum yang terjadi pada hukum otonom hanyalah bersifat semu, artinya dalam menjalankan tertib hukum

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 5

masyarakat terpaksa untuk mematuhinya. Karena siapapun yang melanggar hukum maka sanksipun akan menunggunya, walaupun sebenarnya aturan hukum tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan segelintir orang. Dari sinilah akan terjadi pergolakan dalam diri masyarakat itu, dia akan patuh pada hukum jika ada pengawasan dari aparat penegak hukum, namun dengan berbagai cara merekapun akan melanggar hukum tersebut jika pengawasan tidak ada. Hukum otonom memiliki kapasitas dalam mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga Negara. Dari sinilah akan muncul kritik-kritik yang memberikan sumbangan terhadap tergerusnya rul of law, namun sikap ini bukanlah sebuah pandangan yang ideologis karena model ini lebih mungkin untuk menerima kepatuhan otoritas daripada menerima kritik otoritas. Kemudian muncullah sebuah visi dan suatu kemungkinan dirasakan, akan sebuah tertib hukum yang responsif yang lebih terbuka terhadap pengaruh social. Institusi-institusi hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit terhadap hukum otonom dan menjadikan instrument-instrumen yang lebih dinamis bagi penataan social dan perubanhannya. Dalam pembentukan lembagalembaga yang sarat pengetahuan dan efektif akan menemukan adanya tantangan yang dapat membangkitkan penolakan-penolakan yang kuat. Jadi selama penghormatan terhadap bentuk-bentuk procedural melemah dan peraturan-peraturan dibuat problematic, para pejabat dan warga Negara dapat bertindak sekehendak hatinya dengan lebih mudah. Maka hal ini dapat menghilangkan kemampuan hukum untuk mendisiplinkan pejabat dan memaksakan kepatuha pada hukum. Tatanan hukum yang dibuat terlalu terbuka akan kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan peran kekuasaan di dalam masyarakat. Dalam hukum otonom terdapat adanya ketegangan antara keterbukaan dan kepatuhan terhadap hukum, dan ketegangan ini dapat menimbulkan masalah sentarl dalam perkembangan hukum. Semua institusi mengalami konflik integritas dan keterbukaan. Integritas harus dilindungi

ketika sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada suatu misi khusus atau dapat dibuat akuntable pada misi tersbut oleh control eksternal. Namun isntitusi-institusi yang memiliki komitmen tersebut menyatu dengan berbagai sudur pandang dan pola kerja mereka sendiri, mereka akan kehilngan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini berarti bahwa tidak selamanya keterbukaan akan menjamin hukum tersebut dapat dipatuhi dengan baik oleh semua masyarakat, ada kalanya integritas didahulukan agar kepatuhan hukum dapat terwujud. Dengan kata lain akuntabilitas akan melahirkan formalism dan kemunduran, sehingga mengakibatkan institusi-institusi menjadi kaku, tidak mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru yang timbul secara tak terduga. Di sisi lain keterbukaan juga mengandaikan pemeberian diskresi yang luas sehingga tindakan aparatur Negara dapat tetap fleksibel, adaptif dan mawas diri. Namun tanggung jawab para aparat akan semakin kabur ketika mereka kehilangan kepastian, dan juga terdapt resiko bahwa komitmen akan menipis di saat flrksibelitas diterapkan. Dengan demikian keterbukaan dapat dengan mudah merosot menjadi oportunisme, yaitu adaptasi yang tidak terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan. Hukum represif memiliki tanda-tanda adanya adaptasi pasif dan oportunis dari institusiinstitusi hukum terhadap lingkungan social dan politik. Hukum motonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan yang kegiatan utamanya adalah bagaimana cvara menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersbut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalism yang buta demi mencapai integritas. Hukum responsif yang merupakan kelanjutan dari proses hukum diatas berusaha mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut dengan cara menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab yaitu adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang essential bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan
Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 7

baru di lingkungannya sehingga antara keterbukaan dan integritas dapat berjalan bersama dan saling membantu satu sama lain walaupun di antara keduanya terdapat pertentangan. Lembaga responsif menganggap tekanantekanan social sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Suatu institusi atau lambaga haruslah memililiki tujuan, karena dengan tujuan sebuah lembaga atau institusi tertesbut dapat memadukan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Usaha untuk mencapai tujuan merupakan suatu kegiatan yang beresiko tinggi bagi sebuah institusi hukum. Karena sebagian lembaga beranggapan lebih baik memelihara identitas dan mempertahankan legitimasi jika dibanding harus menyediakan keterbuakaan kepada lingkungannya. Generalisasi Tujuan Suatu perangkat hukum, baik peraturan, kebijakan, dan prosedur tertentu dianggap penting dan dihormati sebagai sekumpulan pengalaman, namun semua itu berhenti mendefiniskan komtmen tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat umum, yang berisikan premis-premis kebijakan dan sekedar menyampaikan urusan yang sedang ditangani. Jadi cirri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan serta generalisasi tujuan merupakan sumber utama fleksibelitas dalam organisasi modern. Sebagai contoh misalnya dalam membuat perda, suatu kabupaten/kota harus meneriam masukan-masukan dari beberapa orang yang merupakan wakil dari masyarakat, kemudian yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan dibuatnya perda. Dalam prosesnya pembuatan perda harus mementingkan kepentingan mayoritas di atas kepentingan beberapa orang. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Fuller peran sentral tujuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hukum, maksudnya dalam penegakan hukum harus ditetapkan tujuannya, Untuk apa hukum ini disyahkan dan untuk siapa? Ketika hukum menekankan pada asas dan

tujuan, tersedia sumber yang kaya untuk mengkritisi otoritas yang dimiliki peraturan-peraturan tertentu. Meskipun peraturan tersebut mengandung otoritas resmi hukum, namun peraturan tersebut harus dapat diuji ulang dalam konteks konskuensinya bagi nilai-nilai yang dipertaruhkan. Maksudnya adalah sebelum perturan disyahkan harus diujicobakan dulu di suatu lingkungan tertentu yang mewakili suatu tempat, jika masih ada kesalahan dan masukan dari akar rumput, peraturan tersebut harus dikaji ulang kembali, kemudian diujicobakan ulang dan begitu seterusnya (trial and error). Namun ketika tujuan melemahkan otoritas peraturan, di sisi lain tujuan juga dapat memperlebar ruang bagi diskresi dalam penilaian hukum. Sejauh mana otoritas otoritas tujuan tujuan yang dapat menggantikan kritis otoritas peraturan dapat dan menimbulkan pertanyaan serius. Mungkin relative mudah untuk menerima bersifat dalam menginterpretasi mengevaluasi berbagai peraturan, putusan atau target tertentu. Akan lebih sulit untuk memiliki kepercayaan pada otoritas tujuan yang bersifat afirmatif, yaitu tujuan sebagai pedoman bagi arah perkembangan kebijakan. Sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah meningkatkan rasionalitas dalam pertimbangan hukum. Oleh karena itu terkadang berkembangnya orientasi pada tujuan dalam hukum maka menjadi sulit untuk membedakan analisis hukum dengan analisis kebijakan, rasionalitas hukum dengan bentuk-bentuk lain pengambilan keputusan yang sistematis. Pada saat akuntabilitas mengarah ke tujuan-tujuan yang lebih umum, dedikasi kepada peraturan tidak lagi cukup memadai untuk menjadi tameng aparatur Negara terhadap kritik. Namun beban juga akan terasa berat pada saat aparatur Negara harus mengenaralisasi tanggung jawab karena sama saja dengan memperlemah tanggung jawabnya. Tujuan yang bersifat umum cenderung impoten, yaitu begitu abstrak dan kabur sehingga tidak dapat memberikan panduan dalam membuat keputusan maupun standar-standar evaluasi yang jelas. Sehingga agar tujuan dapat memperoleh otoritas afirmatif ataupun kritis, maka hukum harus mampu mengelaborasi, sebagaimana

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 9

mengeneralisasikan mandate institusi-institusi. Dengan demikian tahapan yang krusial dalam hukum responsif adalah menerjemahkan tujuan yang bersifat umum menjadi sasaran-sasaran yang bersifat spesifik. Penegasan yang berkelanjutan terhadap tujuan memerlukan tenaga dan sumbersumber daya yang tidak dapat mempertahankan intergritas tujuan akhir sambil melakukan perhitungan efektif atasbiaya-biaya yang dikeluarkannya. Dengan demikian kurangnya sumber akan memaksa pergerakan antara mundur dari tujuab yang ada atau kembali ke instrumentalisme yang lebih monolitik dan represif, yaitu sesuatu yang mempu mengabaikan perintah. Sebagai contoh penggusuran dan razia para PKL akan meningkatkan angka kejahatan. Penentuan tujuan adalam suatu organisasi ataupun institusi sangat dibutuhkan untuk menentukan perkembangan dari institusi tersbut, karena sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah meningkatkan rasionalitas dalam pertimbangan hukum. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah menjabarkan tujuan-tujuan yang sifatnya umum menjadi lebih spesifik dan mudah dipahami dan diterjemahkan oleh setiap warganya. Walaupun berbagai teknik dan perspektif pertimbangan hukum dapat berbuat banyak untuk meningkatkan otoritas kritis dari tujuan, konstribusnya terhadap otoritas afirmatif lebih kecil dan tidak bisa tidak tergantung pada sumbersumber daya di dalam masyarakat yang bersedia memberikan komitmen dalam rangka terealisasinya tujuan akhir hukum. Di atas telah disebutkan bahwa prinsip dan tujuan hukum merupakan sumber bagi kritik hukum, maka pengorbanan (manfaat) merupakan pengikisan bagi otoritas. Di sinilah dibutuhkan kewajiban dari warga Negara terhadap tertib hukum yang berlaku, karena melemahnya kewajiban warga Negara untuk taat hukum berkaitan erat dengan upaya menuju proses pembuatan peraturan yang lebih fleksibel. Seperti menguatnya tujuan, melemahnya otonom. kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri di dalam kompleksitas dan kerumitan yang selalu menyertai perkembangan hukum

Hukum responsif membawa janji akan kesopanan ke dalam cara hukum yang digunakan untuk mendefinisikan dan memelihara ketertiban umum. Dalam pengertian yang lebih umum dan lebih klasik, kesopanan merupakan atribut kehidupan politik. Politik yang sopan adalah politik yang mendukung nilai sentral kewarganegaraan asas bahwa tidak ada anggota komunitas politik sejati yang tidka dilindungi. Oleh karena itu rasa hormat/kesopanan adalah kebajikan yang penting, barang siapa berbagi ruang social, maka ia akan memperoleh jaminan legitimasi. Mengatasi parokialisme dalam moralitas kemunal. Hukum responsif mengeksplorasi sarana-saran alternative untuk mencapai tujuan hukum, khususnya strategi-strategi pengaturan yang bersifat non criminal seperti zoning, yakni pembagian legeslatif dalam suatu wilayah menjadi distrik-distrik yang berbeda. Proses ini sedang berlangsung di Indeonsia, yaitu adanya otonomi daerah, pembagain kekuasaan legislative merata dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Mendorong suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integrative secara social terhadap krisia ketertiban umum. Dalam kondisi tertentu kadang suatu peraturan yang merupakan produk hukum tidak dapat menangani suatu kasus, misalnya demonstrasi, krisis kerusuhan dan lainnya, karena produk hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan suatu hukum yang dapat mendorong kritik terhadap peraturan-peraturan dan bahkan yang membuat ketidakpatuhan sebagai cara yang sah untuk menguji dan mengubah peraturan yang lebih siap untuk mengendalikan berbagai ancaman simbolis kekuasaan. Pengampunan terhadap pelanggaran hukum dapat dinegoisasi demi menyusun kepentingan kembali suatu kerangka kerja dimana kerja sama dapat etrus berjalan sehingga akan menghasilkan produk hukum yang dapat menguntungan benyak orang. Produk hukum semacam ini mengasumsikan bahwa syarat-syarat ketertiban umum bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih
Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 11

Hukum

responsif dapat membantu berkembangan kesopanan melalui 2 cara, yaitu:

terbuka untuk dinegoisasikan kembali sedemikian rupa sehingga

kondisi-

kondisi tersebut akan lebih memperhatikan kepentingan social yang dipengaruhi. Ketidakpatuhan bisa dipandang sebagai perbedaan pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya gaya hidup baru, kerusuhan tidak dianggap sebagai aksi mass yang tidak masuk akal namun dipuji karena relevansinya sebagai protes social. Dengan cara ini, seni negoisasi, diskusi dan kompromi secara politis dan sopan ikut dilibatkan. Sudahkah Indonesia menggunakan Hukum Responsif Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam. Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang

mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo : Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh. Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum (general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto Rahardjo sebagai akuarium. Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya. Masih menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan
Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 13

kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia. Tapi apapun itu semua hal di dunia ini melalui suatu proses, cepat atau lambat proses tersebut tergantung kepada komponen-komponen yang ada di dalamnya. Sebagai bangsa yang besar Indonesia memang identik dengan pluralisma, namun jangan dijadikan alasan bahwa keadaan itu akan memperlambat proses bangsa ini untuk menuju cita-cita luhur menciptakan bangsa Indonesia yang sejahtera. Dengan adanya perbedaan tersebut diharapkan dapat terjadi sinergi sehingga semau komponen bangsa ini dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sesuai Pancasila dan UUD 1945, serta tetap menggunakan hati nurani dalam setiap langkahnya.

Daftara Pustaka:
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi , (Terj. Nusamedia), Bandung, 2003. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Membedah Hukum Progresif,Kompas, Jakarta,

2008 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Natangsa Surbakti, S.H, M.Hum, Problematika Penegakan Hukum UU Penghapusan Kekerasan dalam Runah Tangga. Univ. Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Dr. Sudijono Sastroatmodjo, Konfigurasi

Hukum Progresif, Univ. negeri Semarang.

Dikutip dari Legalitas.org, Hukum Progresif : Upaya untuk Mewujudkan Ilmu Hukum menjadi Sebenar Ilmu

You might also like