You are on page 1of 7

VERSIKOLOR

A. Pengertian Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005).
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.

B. Epidemiologi Menurut Laurence (1967) dalam Soeyoko, 2002) penyakit kaki gajah telah dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui ada seorang pengikut agama Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki gajah sehingga orang tersebut diusir dari lingkungannya. Filariasis limfatik mempengaruhi lebih dari 170 juta orang di seluruh dunia dan ditemukan di tempat tropik dan subtropik (Thomas B et al., 2008). Sekurang-kurangnya terdapat 21 juta penderita limfatik filariasis di equatorial Afrika dan amerika selatan (Jawetz, 1992). Angka filariasis di seluruh dunia masih terus meningkat.

Filariasis limfatik global terutama disebabkan filara limfatik spesies Wuchereria bancrofii, tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis sebagai berikut: Afrika, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah (WHO, 1997 dalam Soeyoko, 2002). Filariasis limfatik dikategorikan dalam 6 penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra (WHO, 1979 dalam Soeyoko, 2002). Filariasis limfatik stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan sosial ekonomi penduduk di beberapa negara berkembang di dunia (WHO, 1994). Walaupun penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, namun pada stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan mempunyai dampak social ekonomi besar, khususnya penduduk dengan sosial ekonomi rendah yang tinggal di negara-negara berkembang di daerah tropis maupun subtropis (Soeyoko, 2002). Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti (Haga et al., 1989 dalam Soeyoko 2002). Mikrofilaria dari filaria tersebut mempunyai morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga manifestasi klinisnya berbeda dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti. Brugia malayi belum teridentifikasi sampai tahun 1927, pada saat itu masih dinamakan Filaria malayi oleh (Brug et al., 1928 dalam Sudomo, 2008). Pada tahun yang sama Lichtenstein merubah nama genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao dan David dan Edeson (1961) dalam Sudomo, 2008) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan microfilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis. Sementara itu mikrofilaria yang sama ditemukan di Timor Barat, Flores dan Alor (Kurihara T et al., 1975 dalam Sudomo, 2008), pada periode tersebut penelitian difokuskan pada penyebaran W. bancrofti dan B. malayi. Pada tahun 1980, spesies baru dari Wuchereria pada lutung (Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan ditemukan oleh Palmieri et al. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria kalimantani. Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih

banyak ditemukan di Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia. Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang lebih 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk). Biasanya daerah endemik B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa (swampy forest), sepanjang sungai besar atau badan air yang lain. Sedangkan daerah endemik W. bancrofti perkotaan adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor parasit tersebut, yaitu Cx. Quinquefasciatus, tidak seperti W. bancrofti, gambaran epidemiologi B. malayi lebih rumit. Spesies Brugia malayi di Indonesia dibagi menjadi tiga bentuk (strain) yang dibagi menurut periodisitas mikrofilaria di dalam darah, yaitu bentuk periodik nokturna, sub-periodik nokturna dan nonperiodik. Walaupun antara berbagai tipe B. malayi dapat dibedakan secara morfologi dan epidemiologi, tetapi manifestasi klinisnya sama saja.

C. Morfologi Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan microfilaria yang bersarung. Microfilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, microfilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya microfilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat di kapiler alat dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya (Medical Microbiology And Immunology, 1992). Di daerah Pasifik, microfilaria W. bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurnal. Microfilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofilarianya yang bersifat subperiodik nokturna. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas microfilaria adalah zat asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodositas mikrofilaria tersebut belum diketahui. Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasatus. Di perdesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam

nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan belum diketahui secara pasti tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam Presbytis cristata (lutung). Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai soses dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium III. Gerakan larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudiam ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes , kemudian baru menggigit (Depkes RI, 2001). Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III bersifat infektif dan mengigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV lalu stadium V dan cacing dewasa (Parasitologi Kedokteran, 2008). Siklus ini yang berterusan sehingga semakin banyak menderita filariasis dan manusia merupakan definitive host.

D. Siklus Hidup Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250m x 10-17m dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300m x 15-30m dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400m x

20m. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).

E. Gejala Klinis 1. Gejala dan tanda klinis akut : Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.

2. Gejala dan tanda klinis kronis : Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator endemisitas filariasis bancrofti Kiluria : Kencing seperti susu ditemukan.

F. Pengobatan 1. Pengobatan Masal Dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombilansikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau pusing dapat diberikan Pracetamol.

Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2 tahun ke atas, yang ditunda selain usia 2 tahun, wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita penyakit berat. 2. Pengobatan Selektif Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non endemis). 3. Pengobatan Individual (penderita kronis) Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak.

G. Pencegahan Filariasis Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah: 1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan

pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara. 2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan. 3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. 4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular. 5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur.

You might also like