Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN PENELITIAN
OLEH :
INDRA GUMAY YUDHA, S.Pi., M.Si.
NIP 132231087
I. PENDAHULUAN
Propinsi Lampung memiliki panjang pantai 1.105 km2 dan luas wilayah pesisir
sekitar 16.625,3 km2 merupakan salah satu propinsi dengan keragaman
potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup besar. Keragaman
potensi tersebut meliputi sumberdaya ikan, rumput laut, teripang, ubur-ubur,
udang, kerang hijau, kepiting, dan sumberdaya perikanan lainnya yang
tersebar di sepanjang perairan Pantai Barat, Pantai Timur, Teluk Lampung
dan Teluk Semangka. Selain wilayah pesisir, propinsi Lampung juga memiliki
berbagai jenis perairan umum seperti sungai, rawa, waduk, dan danau yang
juga mengandung potensi perikanan air tawar yang cukup tinggi. Dengan
luas wilayah perairan yang demikian diharapkan sektor perikanan dapat
dijadikan unggulan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) Propinsi
Lampung.
Berdasarkan hal tersebut maka di Propinsi Lampung pada tahun 2005 akan
segera dibangun sarana dan prasarana pemasaran hasil perikanan yang
memenuhi kriteria Pedoman Perencanaan dan Petunjuk Teknis Pusat
Pemasaran Hasil Laut dan Ikan Terpadu (PPHLIT). Kawasan pemasaran
terpadu ini diharapkan mampu menyediakan fasilitas yang relatif lengkap
untuk kebutuhan promosi dan informasi serta display penjualan hasil
perikanan yang memenuhi standar teknis mutu dan higienis yang diwujudkan
dalam bentuk Pasar Ikan Higienis (PIH). PIH yang akan dibangun harus
dapat memenuhi konsep good and link manufacturing practice, di mana
komoditas perikanan yang tersedia ditangani dan ditampilkan dengan kondisi
yang bagus dan terjamin mutunya, sehingga siapa pun konsumen yang
datang ke PIH akan mendapatkan jaminan. Adapun calon lokasi pasar ikan
higienis tersebut terletak di Lempasing.
Data-data yang diperoleh dapat dibedakan atas data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diukur secara langsung, seperti
kualitas air dan udara. Data sekunder umumnya merupakan data penunjang
yang telah tersedia di dinas/instansi terkait, seperti data produksi perikanan,
kebijakan pemerintah setempat, data kependudukan, sosial ekonomi dan
budaya, dan data lainnya. Dalam penelitian ini beberapa data utama
merupakan data sekunder yang telah tersedia di Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Lampung, seperti data situasi (topografi) lokasi PIH, data
analisis tanah, dan data lainnya yang telah diukur oleh pihak konsultan.
U
5º22’ -
Skala 1: 93.750
5º23’ -
5º24’ -
5º25’ -
5º26’ -
5º27’ -
5º28’ -
5º29’ -
5º30’ -
Survei sumber air di lokasi PIH Lempasing berasal dari air PDAM, air sumur
dangkal, dan air laut. Hasil survei kualitas air yang berasal dari air sumur
dangkal menunjukkan bahwa ketersediaan air sangat melimpah pada
kedalaman 3-5 m, namun air tersebut mengandung sedikit garam (salinitas
1,2 ‰) sehingga tidak layak digunakan sebagai air bersih untuk memasak
ataupun untuk mengisi bak/akuarium ikan air tawar. Dengan demikian air
dari sumur dangkal ini hanya dapat diperuntukkan sebagai air saniter kamar
mandi/wc dan pembersihan/ penggelontoran kios.
Air yang berasal dari PDAM memiliki kualitas yang layak digunakan sebagai
air bersih untuk keperluan memasak di rumah makan. Secara lengkap, hasil
pengujian kualitas air disajikan pada Tabel 1 berikut.
Oleh karena lokasi rencana pembangunan PIH Lempasing dekat dengan laut
dan tidak ada sungai yang melintasi area PIH, maka pengukuran parameter
kualitas air laut perlu dilakukan untuk mengetahui kondisinya sebelum
dilakukan kegiatan pembangunan. Kualitas air laut yang diukur disajikan
pada Tabel 2 berikut.
Pengambilan contoh air limbah dilakukan terhadap air buangan yang berasal
dari pasar ikan di TPI Lempasing yang lokasinya berdekatan (bersebelahan)
dengan rencana pembangunan PIH Lempasing. Tipe limbah yang dihasilkan
dari TPI Lempasing diduga akan mempunyai karakteristik yang sama pada
limbah yang nantinya akan dihasilkan oleh PIH Lempasing. Dari hasil
analisis laboratorium diketahui bahwa air limbah yang berasal dari TPI
Lempasing memiliki kandungan BOD dan COD yang sangat tinggi. Demikian
juga dengan TDS, NH3 dan H2S, sehingga memerlukan penanganan khusus
dalam pengelolaannya. Secara rinci, hasil pengukuran air limbah disajikan
dalam Tabel 3 berikut.
3.3 TANAH
Dari hasil pengukuran tanah yang dilakukan pada lokasi PIH Lempasing
diketahui beberapa hal seperti yang tertera pada Tabel 4.
Sieve Analysis:
Finer sieve No.200 % 4,04
Sand fraction N0.4-No.200 % 40,14
Gravel fraction > N0.4 % 55,22
Parameter Kimia:
6. NO2 (μg/m3) 400 PP No. 41 Tahun 1999 1,44
7. SO2 (μg/m3) 900 - 0,10
8. CO (μg/m3) 30.000 - 479
9. NH3 (μg/ m3) 1360 Kep. Men.LH No.02 tahun 1988 11,53
10. H2S (μg/ m3) 42 Kep. Men.LH No.02 tahun 1988 2,00
11. - - 6,77
Oksidan/O3 (μg m3)
70 Kep. Men.LH No.48 tahun 1996 46 - 50
Kebisingan (dB A)
3.4.2 Kebisingan
yang dinyatakan dalam satuan desibel dengan notasi dBA; sedangkan Baku
Tingkat Kebisingan merupakan batas maksimum kebisingan yang diperboleh-
kan untuk diradiasikan ke lingkungan dari suatu kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan di sekitarnya.
3.5.1 Flora
3.5.2 Fauna
Jenis-jenis fauna yang terdapat di sekitar lokasi studi tidak terlalu banyak,
umumnya jenis fauna terrestrial, tidak ditemukan fauna akuatik, karena tidak
ada sungai atau selokan, kecuali ada cekungan yang ada sedikit genangan
air, yang hanya di temukan jenis amphibia. Di lokasi tersebut hanya ada
beberapa jenis aves atau burung, reptilia dan amphibia yang ditemukan
melalui pengamatan langsung yang jenisnya dapat dilihat pada Tabel 7
B. Reptilia
6 Kadal Mabouya multifasciata 2
7 Bunglon Calotes jubatus 1
C. Amphibia
8 Kodok Bufo bufo 2
9 Katak Rana rana 3
Kecamatan Teluk Betung Barat yang memiliki luas wilayah sebesar 27.160
ha dengan jumlah penduduk sebesar 49.197 jiwa dengan 8 wilayah desa.
Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Betung Barat dan kepadatan
penduduk per desa, cukup bervariasi dengan rata-rata jumlah penduduk
sebanyak 6.150 jiwa dalam kisaran terendah yakni sejumlah 3.286 jiwa yang
terdapat di Desa Perwata dan tertinggi yakni sejumlah 17.317 jiwa yang
terdapat di Desa Kota Karang. Kepadatan penduduk per desa di Kecamata
Teluk Betung Barat yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dibagi luas
wilayah memiliki kisaran terendah, yaitu 46 jiwa /km2 di desa N O Gading dan
tertinggi sejumlah 1.088 jiwa/km2 di Desa Kota Karang.
Kondisi budaya masyarakat dapat dilihat sebagai berikut: agama yang dianut
oleh sebagian besar penduduk adalah agama Islam (95,60%) dengan jumlah
jiwa 47.032. Agama lainnya adalah: Katolik (555 jiwa), Protestan (691 jiwa),
Hindu (149 jiwa), Budha (739 jiwa), dan lainnya (31 jiwa). Heterogenitas
penduduk berdasarkan suku bangsa dapat diketahui bahwa sebagian besar
penduduknya adalah Suku Jawa yang mencapai 14.207 jiwa (28.88%). Suku
Lampung terdiri dari suku Peminggir, Pepadun dan Abung Bunga Mayang
hanya 9.103 jiwa (18,50%), suku Sunda Priangan berjumlah 9.840 jiwa,
Melayu Semendo berjumlah 14 jiwa, Banten 4.685 jiwa, Melayu Palembang
876 jiwa, dan selebihnya, yaitu sejumlah 10.472 jiwa, dikelompokkan dalam
suku lainnya.
Bangunan Pasar Ikan Higienis Lempasing akan dibuat dalam 3 lantai yang
terdiri dari lantai basement seluas 809,75 m2 yang terdiri dari kios grosir ikan
sebanyak 7 lokal dengan luas masing-masing lokal 4x5 m2, laboratorium
kualitas ikan dengan luas 8x5 m2, toilet seluas 8x4 m2, dan selebihnya
merupakan lokasi pedagang tradisional dengan kapasitas lebih kurang 200
pedagang.
Pada lantai bawah seluas 809,75 m2 akan dibangun ruang staf administrasi
berukuran 6x5 m2, ruang kepala UPT 4x4 m2, gudang 4x3 m2, cold storage
6x4 m2, ruang refrigerator 4x3 m2, ruang penerimaan ikan segar 6x4 m2,
locker dan toilet 4x8 m2, ruang sortir ikan 4x2 m2, dan selebihnya merupakan
lokasi penjualan ikan pedagang modern yang terdiri dari bak akuarium ikan
hidup, meja penyayatan ikan, meja pajang ikan olahan, serta kasir dan ruang
pengepakan.
Beberapa sarana yang diperlukan untuk arus barang di pasar ikan higienis
meliputi: area parkir, area bongkar muat, lantai bongkar muat, alat bantu
angkut, pelindung sinar matahari, penerangan, alat timbang, bak penampung
ikan, bak sampah, air bersih (mengandung antiseptik), bak penyimpan dan
gudang peralatan. Sarana penyimpanan dilengkapi dengan fasilitas
pendukung berupa ruang penyimpanan, alat bantu angkut, alat bantu angkat
dan susun, alat pendingin, es curai, dan penerangan.
C). Perijinan
C). Penjualan
D). Penyimpanan
adanya fasilitas tersebut, maka penyimpanan ikan segar akan lebih terjamin
mutunya dan stok ikan yang ada dapat memenuhi kebutuhan konsumen
hingga pasokan berikutnya.
E). Rekreasi
yang berupa debu. Pada saat pembangunan gedung PIH Lempasing yang
terdiri dari 3 lantai (1 basement dan 2 lantai utama) diperkirakan akan
menimbulkan dampak lingkungan yang berupa peningkatan debu, kebisingan
dan sampah padat yang berasal dari sisa-sisa material bangunan yang tidak
terpakai. Kebisingan dapat terjadi pada saat pengerasan tanah yang
menggunakan stamper, pengecoran yang menggunakan alat pencampur dan
pengaduk semen (mollen), serta saat pemotongan keramik untuk lantai,
sehingga dapat mengganggu ketenangan masyarakat sekitarnya.
Selain hal tersebut, masalah lainnya yang juga perlu mendapat perhatian
khusus adalah penggunaan klorin sebagai desinfektan pada sebagian besar
aktivitas yang menggunakan air di dalam lokasi PIH Lempasing (basement
dan lantai 1). Limbah cair yang mengandung klorin tersebut harus diolah
(treatment) terlebih dahulu, sehingga saat dibuang sudah bersifat netral dan
tidak mencemari lingkungan.
kerja mesin pendingin pada cool storage dan freezer, serta .generator listrik
(genset) yang dioperasikan saat listrik dari PLN tidak bekerja (padam).
Tabel 9. Ringkasan Hasil Prakiraan Dampak yang Mungkin Terjadi pada Rencana Pembangunan Pasar Ikan Higienis
(PIH) Lempasing.
Jenis Kegiatan
Tahap Sifat
No. yang Menjadi Jenis Dampak Lingkungan Ukuran Dampak
Kegiatan Dampak
Sumber
Dampak
1. Prakonstruksi Tidak ada • Tidak ada
2. Konstruksi a. Rekruitment tenaga • Tersedianya kesempatan kerja • Jumlah penduduk setempat yang +
kerja terekrut sebagai tenaga kerja
b. Pembersihan lahan • Penurunan kualitas perairan • Meningkatnya kekeruhan perairan -
• Penurunan nilai Estetika pantai
• Menurunkan nilai estetika
-
c. Pekerjaan • Penurunan kualitas perairan • Kekeruhan (turbiditas) perairan -
Bangunan • Meningkatnya kandungan debu udara pantai
• Meningkatnya nilai estetika • Kandungan debu di udara > 230
-
µg +
• Penilaian masyarakat menurun
3. Pasca a. Bongkar Muat Tidak ada
konstruksi/ Barang
Operasional b. Pemeriksaan Ikan • Penurunan kualitas perairan oleh limbah • BOD > 40 mg/l -
organik cair • COD > 40 mg/l
c. Penyiangan dan • Penurunan kualitas perairan oleh limbah • BOD > 40 mg/l -
penjualan ikan organik • COD > 40 mg/l
• Penurunan kualitas udara akibat • Kandungan Khlorin
-
pembusukan limbah padat ikan • Udara berbau bangkai ikan
d. Penyimpanan • Kebisingan akibat mesin pendingin • Tingkat kebisingan > 55 dBA -
e Rekreasi. • Penurunan kualitas perairan akibat • BOD > 40 mg/l -
limbah organik • BOD > 40 mg/l
• Penurunan kualitas udara akibat limbah • Udara berbau bangkai ikan
-
padat ikan
f. Saniter (WC dan • Penurunan kualitas perairan pantai
• BOD > 40 mg/l -
Kamar mandi) • COD > 40 mg/l
Keterangan: (+) = Dampak positif, (-) = Dampak negatif
Ukuran dampak untuk BOD dan COD ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No.Kep.02/MENKLH/1/1988, tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Peralihan bentang lahan hijau menjadi lahan terbangun pada tahap konstruksi
yang dapat menurunkan nilai estetika lingkungan dan mempercepat proses erosi
diperkirakan tidak menimbulkan dampak penting karena prosesnya tidak
berlangsung lama dan lahan yang digunakan merupakan lahan tidur dengan
keanekaragaman flora dan fauna yang rendah. Pengubahan bentang alam yang
pada awalnya dapat mengurangi nilai estetika lingkungan justru akan meningkat
setelah pembangunan selesai dengan dibangunnya taman yang ditanami dengan
berbagai jenis tanaman untuk mendukung kegiatan rekreasi dan penghijauan.
Limbah padat yang dihasilkan pada tahap konstruksi diperkirakan cukup banyak,
yaitu yang berasal dari sisa-sisa material yang tidak terpakai (potongan kayu, sisa
keramik, kantong semen, kaleng cat, potongan besi, dan sisa-sisa material
lainnya). Limbah tersebut tidak berbahaya, namun memiliki potensi untuk
mencemari lingkungan. Berdasarkan pengamatan pada beberapa proyek
bangunan, biasanya sudah ada pihak-pihak yang akan menampung limbah
tersebut untuk digunakan ataupun dijual kembali kepada pihak lain. Dalam hal ini
berlaku prinsip reuse dan recycle. Adapun limbah padat yang tidak dimanfaatkan
kembali dapat dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Bakung yang
terletak tidak jauh dari lokasi PIH Lempasing (sekitar 5 km). Pemusnahan sampah
dengan cara dibakar tidak dianjurkan karena dapat mencemari udara.
Pencemaran udara yang terjadi pada tahap konstruksi yang berupa cemaran debu
dan kebisingan diperkirakan tidak menimbulkan dampak penting karena
berlangsung dalam waktu yang relatif tidak lama dan terus menerus. Pencemaran
debu yang terjadi saat mobilisasi bahan/material bangunan dapat dikurangi
dengan cara penyiraman dengan air, sehingga tidak terbawa angin dan
mengganggu masyarakat sekitarnya; sedangkan kebisingan saat pelaksanaan
pembangunan diupayakan dikurangi atau setidak-tidaknya terjadi saat siang hari,
sehingga tidak mengganggu istirahat (tidur) masyarakat pada malam harinya.
Pada tahap pasca konstruksi/operasi akan dihasilkan limbah cair dan padat.
Selain itu juga diperkirakan juga akan menimbulkan pencemaran udara yang
berupa debu dan kebisingan (Bab 5). Limbah padat anorganik yang dihasilkan
saat operasional PIH Lempasing dapat diatasi dengan menampung sementara
dalam bak sampah untuk selanjutnya dibuang ke TPA Bakung yang terletak tidak
jauh dari lokasi PIH (sekitar 5 km). Pemusnahan sampah dengan cara dibakar
tidak dianjurkan karena dapat mencemari udara.
Limbah padat organik yang berasal dari sisa-sisa hasil pembersihan (penyiangan)
ikan, seperti isi perut, insang, sisik, sirip, tulang, serta ikan yang telah busuk, dapat
dibuang langsung ke tempat penampungan sampah sementara untuk selanjutnya
dibuang ke TPA Bakung dengan sistem sanitary landfill; atau diolah menjadi silase
yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak dan ikan (pengganti
tepung ikan). Alternatif penanganan limbah ini menjadi silase sangat dianjurkan
karena dapat memanfaatkan bahan-bahan yang tidak berguna menjadi bahan
yang bermanfaat. Silase ini masih mengandung protein yang cukup tinggi,
sehingga sangat baik untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak dan ikan.
Proses pembuatan silase ini tidak memerlukan teknologi tinggi dan dapat
dilakukan secara sederhana (Lampiran 2). Dengan pemanfaatan limbah padat
sisa-sisa ikan tersebut, maka prinsip 3R telah terpenuhi.
Limbah cair yang berasal dari air cucian ikan, restoran, dan akuarium pajangan
yang diperkirakan mengandung bahan organik tinggi harus diolah terlebih dahulu,
sehingga saat dibuang telah memenuhi kriteria air limbah yang diperbolehkan
dibuang ke lingkungan. Penanganan limbah cair ini memerlukan instalasi
pengolah limbah khusus dengan berbagai perlakuan, sehingga nantinya limbah
tersebut tidak lagi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, dengan kriteria BOD <
50 mg/l dan COD< 100 mg/l. Instalasi pengolah limbah yang disarankan terdiri
dari kolam aerobik, kolam fakultatif, kolam pengendapan (settling) dan saluran
pembuangan (Gambar 2). Kapasitas kolam aerobik, kolam fakultatif dan kolam
pengendapan disesuaikan dengan jumlah limbah cair yang dihasilkan setiap
harinya. Perlakuan yang dialami oleh air limbah di kolam aerobik adalah
pemberian oksigen dengan cara aerasi menggunakan kincir, sehingga oksigen
terlarut akan tercampur merata di dalam air limbah tersebut. Di kolam aerobik ini
juga ditambahkan lumpur aktif yang mengandung sejumlah mikroba pengurai
aerob. Di kolam fakultatif air limbah yang ditampung akan mengalami pemisahan
secara alami, lapisan air di permukaan bersifat aerabik karena dilengkapi dengan
kincir, sedangkan di bagian bawah hingga dasar perairan bersifat anaerob. Air
anaerobik di lapisan bawah ini akan dioksidasi oleh lapisan di atasnya. Lumpur
yang terendapkan di dasar perairan akan diuraikan secara anaerob. Selanjutnya
air limbah dari kolam fakultatif akan dialirkan ke kolam pengendapan. Di kolam
pengendapan akan terjadi pemisahan air dengan lumpur residual, untuk
selanjutnya air tesebut sudah dapat dibuang jika telah memenuhi syarat. Proses
pembuangan limbah yang telah diolah tersebut ke perairan mengikuti persyaratan
dan prosedur yang tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 111 tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan
serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air (Lampiran
1.B)
Pengelolaan terhadap limbah cair yang berasal dari saniter (kamar mandi dan WC)
akan dikelola dengan sistem resapan melalui septic tank, sehingga limbah cair ini
tidak akan mencemari perairan sekitar, terutama sumur penduduk di sekitarnya,
sehingga dampak yang ditimbulkan sangat kecil atau tidak penting.
Upaya pengelolaan terhadap kualitas udara yang meliputi pengurangan debu dan
kebisingan dapat dilakukan dengan menanam tumbuhan hijau yang dapat
menahan debu dan berfungsi sebagai peredam suara. Jenis tumbuhan yang
dipilih adalah jenis yang dapat ditanam dengan kerapatan tinggi, seperti bambu
kuning/jepang atau jenis lainnya. Secara lebih rrinci, upaya pengelolaan
lingkungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Ringkasan Langkah Pencegahan dan Pengelolaan Dampak Pembangunan Pasar Ikan Higienis (PIH)
Lempasing.
Jenis Kegiatan
Tahap yang Menjadi Jenis Dampak Langkah Pencegahan dan
No. Ukuran Dampak
Kegiatan Sumber Lingkungan Pengelolaan Dampak
Dampak
1. Prakonstruksi Tidak ada • Tidak ada
2. Konstruksi a. Rekruitment tenaga • Tersedianya kesempatan • Memberikan prioritas kepada • Jumlah penduduk
kerja kerja penduduk setempat setempat yang terekrut
sebagai tenaga kerja
b. Pembersihan lahan • Penurunan kualitas • Mencegah masuknya lumpur ke • Lumpur tidak masuk ke
perairan perairan perairan pantai
• Penurunan nilai Estetika • Pemagaran areal • Areal pembangunan
pembangunan terpagar rapi
c. Pekerjaan • Penurunan kualitas • Pengaturan tanah galian agar • Tanah galian tidak masuk
Bangunan perairan tidak hanyut ke perairan ke perairan pantai
• Meningkatnya kandungan • Penyemprotan areal • Kandungan debu di udara
debu udara pembangunan < 230 µg
• Meningkatnya nilai • Penanaman tumbuhan bernilai • Penilaian masyarakat
estetika estetik tinggi meningkat
3. Pasca a. Bongkar Muat Tidak ada
konstruksi/ Barang
Operasional b. Pemeriksaan Ikan • Penurunan kualitas • Pembuatan IPAL • BOD efluent < 50 mg/l
perairan oleh limbah • COD efluent < 100 mg/l
organik cair
c. Penyiangan dan • Penurunan kualitas • Pembuatan IPAL • BOD efluent < 50 mg/l
penjualan ikan perairan oleh limbah • Penetralan Khlorin efluent • COD efluent < 100 mg/l
organik sebelum masuk ke IPAL • Efluent tidak mengandung
• Penurunan kualitas udara • Limbah padat ikan dapat Khlorin
akibat pembusukan limbah dikelola dengan sistem sanitary • Udara tidak berbau
padat ikan landfill di TPA Bakung bangkai ikan
• Menjual limbah padat ikan
kepada pengusaha Silase
d. Penyimpanan • Kebisingan akibat mesin • Pemasangan peredan suara • Tingkat kebisingan < 55
pendingin dBA
e Rekreasi. • Penurunan kualitas • Pembuatan IPAL • BOD efluent < 50 mg/l
perairan akibat limbah • COD efluent < 100 mg/l
organik
Jenis Kegiatan
Tahap yang Menjadi Jenis Dampak Langkah Pencegahan dan
No. Ukuran Dampak
Kegiatan Sumber Lingkungan Pengelolaan Dampak
Dampak
• Penurunan kualitas udara • Limbah padat ikan dapat • Udara tidak berbau
akibat limbah padat ikan dikelola dengan sistem sanitary bangkai ikan
landfill di TPA Bakung
• Menjual limbah padat ikan
kepada pengusaha silase
f. Saniter (WC dan • Penurunan kualitas • Pembuatan septic tank • Air limbah tidak masuk ke
Kamar mandi) perairan pantai perairan umum/pantai
Keterangan :
• Baku mutu pencemaran udara ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan RI Nomor 205/07/1996
Tentang : Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara untuk Sumber Tidak Bergerak.
• Baku mutu untuk BOD dan COD effluent ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep.51/MENLH/10/1995
tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.
Upaya pemantauan lingkungan yang akan dilakukan oleh pengelola Pasar Ikan
Higienis Lempasing mulai dari tahap konstruksi hingga pasca konstruksi/operasi,
yang meliputi: jenis kegiatan yang menjadi sumber dampak, jenis dampak
lingkungan yang terjadi, metode pemantauan dampak lingkungan yang akan
dilakukan, dan ukuran dampak. Adapun lokasi pemantauan adalah di sekitar
lokasi PIH Lempasing, baik di lingkungan darat, perairan, udara, serta kondisi
sosial ekonomi masyarakat setempat.
Tabel 11. Ringkasan Upaya Pemantauan Lingkungan Pembangunan Pasar Ikan Higienis (PIH) Lempasing.
Jenis Kegiatan
Tahap yang Menjadi Jenis Dampak Metode Pemantauan
No. Ukuran Dampak
Kegiatan Sumber Lingkungan Lingkungan
Dampak
1. Prakonstruksi Tidak ada • Tidak ada
2. Konstruksi a. Rekruitment • Tersedianya kesempatan • Pemeriksaan administrasi • Jumlah penduduk setempat
tenaga kerja kerja perekrutan tenaga kerja yg terekrut sebagai tenaga
kerja
b. Pembersihan lahan • Penurunan kualitas • Pengawasan selama pembersihan • Lumpur tidak masuk ke
perairan lahan perairan pantai
• Penurunan nilai Estetika • Pemeriksaan pagar areal • Areal pembangunan terpagar
pembangunan rapi
c. Pekerjaan • Penurunan kualitas • Pengawasan selama penggalian • Tanah galian tidak masuk ke
Bangunan perairan pondasi perairan pantai
• Meningkatnya kandungan • Pengamatan kualitas udara, pema- • Kandungan debu di udara <
debu udara sangan alat pemantau sederhana 230 µg
• Meningkatnya nilai & pengambilan sampel udara. • Penilaian masyarakat
estetika • Pengamatan selama pembangunan meningkat
taman.
3. Pasca a. Bongkar Muat Tidak ada
konstruksi/ Barang
Operasional b. Pemeriksaan Ikan • Penurunan kualitas • Pengambilan sampel secara • BOD efluent < 50 mg/l
perairan oleh limbah periodik dan pemeriksaan di • COD efluent < 100 mg/l
organik cair laboratorium (3 bulan sekali)
c. Penyiangan dan • Penurunan kualitas • Pengambilan sampel secara • BOD efluent < 50 mg/l
penjualan ikan perairan oleh limbah periodik dan pemeriksaan di • COD efluent < 100 mg/l
organik laboratorium (3 bulan sekali) • Efluent tidak mengandung
• Penurunan kualitas udara • Pengamatan ada tidaknya Khlorin
akibat pembusukan tumpukan limbah ikan busuk dan • Udara tdk berbau bangkai
limbah padat ikan pemeriksaan kualitas udara ikan
d. Penyimpanan • Kebisingan akibat mesin • Pengukuran tingkat kebisingan • Tingkat kebisingan < 55 dBA
pendingin secara periodik (3 bulan sekali)
e Rekreasi. • Penurunan kualitas • Pengambilan sampel secara • BOD efluent < 50 mg/l
perairan akibat limbah periodik dan pemeriksaan di lab (3 • COD efluent < 100 mg/l
organik bln sekali)
Jenis Kegiatan
Tahap yang Menjadi Jenis Dampak Metode Pemantauan
No. Ukuran Dampak
Kegiatan Sumber Lingkungan Lingkungan
Dampak
• Penurunan kualitas udara • Pengamatan ada tidaknya • Udara tidak berbau bangkai
akibat limbah padat ikan tumpukan limbah ikan busuk dan ikan
pemeriksaan kualitas udara
f. Saniter (WC dan • Penurunan kualitas Pengamatan ada tidaknya buangan • Air limbah tidak masuk ke
Kamar mandi) perairan pantai limbah ke perairan umum. perairan umum/pantai
Keterangan :
• Baku mutu kandungan debu ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan RI Nomor 205/07/1996 Tentang : Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara untuk Sumber Tidak Bergerak.
• Baku mutu untuk BOD dan COD effluent ditentukan berdasarkan Kep. Men. Lingkungan Hidup No. Kep.51/MENLH/10/1995)
7.1 KESIMPULAN
7.2 SARAN