You are on page 1of 19

NERVI CRANIALIS Saraf otak adalah saraf perifer yang berpangkal pada otak dan batang otak.

Fungsinya untuk sensorik, motorik, dan khusus. Yang dimaksud fungsi khusus itu ialah yang bersifat panca indera, seperti penghiduan, penglihatan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan. Dalam menentukan ada atau tidaknya disfungsi pada saraf, diperlukan pengetahuan anatomi dan fisiologi susunan saraf.. Pada hakekatnya pemeriksaan neurologik adalah pemeriksaan terhadap fungsi-fungsi susunan saraf. Susunan saraf berkaitan erat dengan topografi dan fungsi. Dengan diketahuinya suatu disfungsi susunan saraf maka dapat diketahui juga kerusakan pada anatomiknya. Pada tubuh manusia terdapat 12 pasang saraf otak (12 Nervus Cranialis). Nervus I langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui batang otak. Sebelas Nervus Cranialis lainnya berasal dari batang otak. Nervus II dan III berpangkal di Mesensephalon,Nervus IV , V, VI danVII berinduk di Pons. Sedangkan Nervus VIII sampai Nervus XII berasal dari Medula Oblongata. Memeriksa Saraf otak dapat membantu kita menentukan lokasi dan jenis penyakit. Inti saraf otak yang terdapat di batang otak letaknya saling berdekatan dengan struktur yang lain, sehingga jarang kita jumpai lesi pada satu nti saja tapa melibatkan bangunan lainnya.

12 Nervus Cranialis 1. Nn. olfactorii (I) 2. N. opticus (II) 3. N. oculomotorius (III) 4. N. trochlearis (IV) 5. N. trigeminus (V) - N. ophthalmicus (V/1)

Exit from and entry into the brain Bulbus olfactorius Chiasma opticum Pedunculus cerebri, Sulcus oculomotorius Dorsal to the Tectum mesencephalicum Lateral margin of the Pons Ganglion trigeminale

- N. maxillaris (V/2) - N. mandibularis (V/3) 6. N. abducens (VI) 7. N. facialis (VII) [N. intermediofacialis] (VII) 8. N. vestibulocochlearis (VIII) 9. N. glossopharyngeus (IX) 10. N. vagus (X) 11. N. accessorius (XI) 12. N. hypoglossus (XII)

Ganglion trigeminale Ganglion trigeminale Between Pons and Pyramis Cerebellopontile angle Cerebellopontile angle Medulla oblongata, Sulcus posterolateralis (retro-olivaris) Medulla oblongata, Sulcus posterolateralis (retro-olivaris) Medulla oblongata Medulla oblongata, Sulcus anterolateralis

1. Nervus I Olfactorius Penyakit yang hanya melibatkan N. Olfactorius saja jarang dijumpai. Biasanya kerusakan saraf ini disebabkan oleh kelainan disekitarnya. Bulbus Olfactorius dan Tractus Olfactorius dapat terganggu karena adanya tumor, meningioma atau glioma. Nervus ini juga dapat rusak akibat adanya infeksi seperti meningitis basal. Trauma kapitis juga dapat menyebabkan terputusnya serabut Olfactorius. Pada sindrom Parkinson, Alzheimer dan Khorea Huntington juga dapat menyebabkan disfungsi Olfactorius. Lesi pada N. Olfaktorius mengakibatkan hilangnya daya penghiduan. Keadaan ini disebut sebagai Anosmia. Bila daya penghiduan kurang tajam maka disebut hiposmia. Daya penghiduan yang terlambat disebut hiperosmia, dan bila tercium bau yang tidak sesuai dinamakan parosmia. Tindakan yang dilakukan bila terdapat Lesi N. Olfactorius adalah memberikan rangsangan dengan modalitas berupa bau-bauan yang cukup tajam seperti amonia, kamfer dan alkohol.

2. Nervus II Opticus Pemeriksaan Oftalmoskopik merupakan pemeriksaan rutin dalam Neurologi. Banyak kelainan atau penyakit yang menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan Oftalmoskopik. Gangguan pada Nervus Opticus, baik yang bersifat radang, demilienisasi maupun degenerasi semuanya dinamakan Neuritis Optika. Secara sistematik etiologi neuritis optika dapat dibagi menjadi : 1. Proses radang a. Intra Okular : retinitis, koroiditis, oftalmia simpatetik, tuberkulosa, sifilis dan toksoplasmosis. b. Sinusitis c. Radang di dalam ruang Orbita d. Meningitis akut dan kronik, baik yang bakterial maupun yang viral 2. Penyakit Demilienisasi a. Neuritis optika pasca infeksi virus b. Neuritis optika karsinomatosa c. Neuromielitis optika (Penyakit Devic) d. Penyakit sklerosis multipleks e. Penyakit Schilder 3. Penyakit Metabolik a. Diabetes Mellitus b. Defisiensi vitamin : beri-beri, pelagra, anemia pernisiosa, penyakit gastrointestinal karena parasit. 4. Racun Eksogen Racun timah, tembakau, obat 5. Gangguan Vaskular 6. Infiltrasi atau metastasis tumor ganas Keluhan utama disfungsi N. II ialah gangguan penglihatan. Keluhan itu dapat dibagi menjadi : a. Mata menjadi kabur b. Penglihatan menjadi gelap

c. Buta

3. Nervus III Occulomotorius Nervus Occulomotorius ata Nervus III merupakan saraf oatak somato dan viscero motorik. Saraf ini menangani gerakan dari kedua bola mata. Lesi pada N. III dapat dibagi menjadi lesi total dan parsial. Gangguan total pada N. Occulomotorius ditandai oleh : 1. M. Levator palpebrae lumpuh, mengakibatkan terjadinya Ptosis atau menurunnya kelopak mata atas 2. Paralisis m. Rectus Superior, m. Rectus Internus, m. Rectus Inferior dan m. Oblikus Inferior. 3. Kelumpuhan saraf parasimpatik, mengakibatkan pupil melebar (midriasis) yang tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi. Dua otot mata lainnya tidak ikut lumpuh, yaitu m. Rectus Lateralis (disarafi oleh N. IV) dan Oblikus Superior (N. VI). Hal ini mengakibatkan sikap bola mata menjadi terlirik keluar dan ke bawah. Lesi parsial pada N. III bisa disebabkan oleh gangguan aliran darah, misalnya Neuropatik Diabetik. Bagian N. III yang terkena ialah yang letaknya di tengah sehingga reaksi pupil tidak terganggu. Beberapa penyebab gangguan gangguan N. Occulomotorius a. Gangguan Vaskuler Diabetes Mellitus Infark Arteritis Herniasi Aneurisma

b. Adanya tekanan akibat :

Tumor Trauma

4. Nervus IV Trochlearis Adalah satu-satunya saraf otak yang meninggalkan batang otak dari permukaan dorsalnya. Dan merupakan saraf otak yang terkecil. Kelumpuhan N. IV tersendiri jarang dijumpai. Penyebab kelumpuhan N. IV yang paling sering adalah akibat trauma. Dapat juga dijumpai pada pada orang yang menderita Diabetes Mellitus, namun tidak sesering lesi N. III. Nervus IV dapat mengalami lesi di dalam Orbita, di puncak Orbita atau di Sinus Kavernosus. Lesi N. IV mengakibatkan kelumpuhan m. Oblikus Superiror Ipsilateral, sedangkan lesi nuklearis disusul dengan kelumpuhan otot oblikus superior kontralateral. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia (melihat ganda / melihat kembar) bila mata dilirikkan ke arah bawah. Penderitanya juga mengalami kesulitan bila naik atau turun tangga dan membaca buku karena harus melirik ke bawah.

5.

Nervus V Trigeminus N. V adalah saraf otak motorik dan sensorik. Terbagi menjadi tiga cabang.

Cabang pertama menghantarkan impuls eksteroseptif dari kulit dahi, pelipis, kepala sampai verteks, kelopak mata atas, hidung bagian anterior, bola mata dan kornea. Cabang kedua menghantarkan impuls eksteroseptif dari kulit hidung bagian posterior, kulit kelopak mata bawah dan bibir atas. Cabang ketiga terdiri dari serabut motorik dan sensorik. Otot yang dipersarafi cabang ini m. Maseter, temporalis, pterigoideus eksterna dan interna, milohiodeus, venter anterior, m. digastricus, m.tensor velum palatini dan tensor timpani. Karena mempunyai fungsi motorik dan sensorik maka pemeriksaan fungsi N. V dibagi dalam : 1. Pemeriksaan fungsi motorik 2. Pemeriksaan fungsi sensorik 3. Pemeriksaan refleks trigeminal

Keluhan yang dapat terjadi sebagai akibat gangguan N. V ialah hipestesi atau anestesi di wajah, parestesi, rasa nyeri yang kadang-kadang dapat hebat dan datang dalam bentuk serangan, gangguan mengunyah, dan mulut tidak dapat dibuka lebar (trismus). Trismus disebabkan oleh spasme otot mengunyah. Beberapa penyebab gangguan gangguan N. V : Neuralgia Trigeminus Idiopatis Trauma kapitis Infeksi oleh Herpes Zoster Penyakit Sjogren

6. Nervus VI Abducens N. VI berasal dari intinya di Substansia Grisea yang menjadi lantai ventrikel keempat. Mensarafi m. Rectus lateralis yang bertugas melakukan abduksi bola mata. Lesi N. VI akan melumpuhkan otot rektus lateralis, sehingga mata akan terganggu saat melirik ke arah luar (lateral, temporal) dan akan terjadi diplopia. Bila penderita melihat lurus ke depan posisi mata akan terlihat sedikit mengalami adduksi. Ini karena aksi dari otot rectusnmedialis yang tidak terganggu. Penyebab gangguan N. VI adalah : a. Vaskuler, misalnya pada : Infark Arteritis Anerurisma (A. Basilaris) Fraktur Os. Petrosum

b. Trauma c. Tekanan intrakanial tinggi d. Mastoiditis e. Meningitis f. Sarkoidosis g. Glioma di Pons

Nervus III, IV dan VI sama-sama mengurus gerakan kedua bola mata. Karena itu, maka ketiga saraf otak itu dinamakan Nervi Occulares yang di dalam klinis diperiksa secara bersama-sama. Pemeriksaan terhadapfungsi nervi occlares mencakup : 1. Observasi terhadap kelopak mata 2. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil 3. Pemeriksaan bola mata

7. Nervus VII Facialis Merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata serta ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantar berbagai jenis sensasitermasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga. Karena terjadi prose yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold, N. Facialis bisa menjadi sembab. Karena itu Nervus ini terjepit di dalam foramen Stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan Facialis LMN. Kelumpuhan tersebut dinamakan Bells Palsy. Istilah Bells Palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan N. VII bagian perifer yang timbul secara akut yang penyebabnya belum diketahui, tanpa kelainan Neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bells Palsy akan sembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa orang kelumpuhan sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini dapat berupa kontraktur, sinkenesia atau spasme spontan.

8. Nervus VIII Vestibulococlhearis Terdiri dari 2 berkas saraf yang menyalurkan 2 macam impuls. Yang pertama N. Coclhearis yang menghantarkan impuls pendengaran dan N. Vestibularis yanng menghantarkan impuls keseimbangan. Sehingga pemeriksaan pada N. VIII meliputi pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan keseimbangan.

Pemeriksaan daya pendengaran dapat dilakukan dengan menggunakan suara, arloji, garpu tala, atau audiometer. Fungsi Vestibular ditelitti kalau terdapat keluhan pusing, baik yang bersifat vertigo maupun sakit kepala yang kurang jelas sifatnya. Pemeriksaan funsi Vestibular meliputi : - Observasi sikap berdiri dan sikap badan waktu bergerak - Observasi nistagmus spontan - Observasi nistagmus yang dibangkitkan Berbagai penyakit atau kelainan dapat mengganggu sistem vestibular : a. Gangguan jenis perifer c. Lain-lain Toksik Infeksi Hipotiroid Neuronitis Vestibular Vertigo posisional benigno Mabuk kendaraan Trauma Obat-obatan Labirintis Penyakit Meniere Tumor di Fossa posterior

b. Gangguan jenis Sentral Stroke atau ischemia batang otak Migrain Basilair Trauma Perdarahan atau lesi di Cerebellum Lesi lobus temporalis Neoplasma

9. Nervus IX Glossopharingeus dan Nervus X Vagus Nervus IX dan X diperiksa bersamaan karena kedua saraf ini berhubungan erat satu sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendirikecuali pada bagian yang perifer sekali. Nervus Glossopharingeus terdiri dari serabut-serabut motorik dan sensorik. Serabutserabut efferen N. IX sebagian berfungsi sebagai somatosensorik dan sebagian viscerosensorik khusus yang menghantarkan impuls citarasa. N. IX merupakan saraf motorik utama bagi farings yang memegang pera penting dalam mekanisme menelan. Nervus ini mensarafi otot Stilofaringeus yang merupakan levator farings. Di samping tugas motorik , N. IX menangani inervasi sensorik protopatik permukaan orofarings dan pengecapan 1/3 bagian belakang lidah. Nervus Vagus juga mengandung serabut efferen somatomotorik dan sekretosensorik di satu bagian dan serabut afferen somatosensorik dan viscerosensorik di lain pihak. Lesi pada N. IX dan N. X dapat menyebabkan gangguan berupa : mengalami kesukaran dalam menelan (disfagia) bicara pelo (disartria) dijumpai tangis paksa atau tertawa paksa tanpa sebab. Wajah kurang ekspresi Gerak volunter wajah berkurang

Beberapa penyebab gangguan N. IX dan N. X : Keadaan patologis di sekitar foramen jugulare Aneurisma a. vertebralis Idiopatis Stroke bilateral (hemiparesa duplex) Sklerosis lateral amiotrofik

10. Nervus XI Accecorius Nervus Accecorius hanya terdiri atas serabut motorik saja. Saraf ini menginervasi otot Sternocleidomastoideus dan otot trapezius. Pemeriksaan N. XI meliputi pada otot pemeriksaan dan penilaian fungsi otot Sternocleidomastoideus dan Trapezius. Gangguan unilateral Sternocleidomastoideus dan otot trapezius mengakibatkan posisi leher/kepala menjadi asimetri. Disebut sebagai torticolis. Disamping paralisis didapatkan manifestasi hiperkinetik sering dijumpai. Kontraksi otot mengakibatkan kepala dan leher berputar. Kepala miring dengan wajah menoleh ke salah satu sisi dengan dagu sedikit terangkat. Kelumpuhan bilateral pada otot sternocleidomastoideus dan trapezius dapat dijumpai pada motoneuron disease distrofia muskulorum progresiva dan miopatika tirotoksika. Dalam keadaan ini kedua otot yang diarafi oleh N. XI menjadi lemah dan tidak dapat menegakkan leher/kepala sehingga kepala menunduk ke depan. Gangguan pada N. XI dapat terjadi karena lesi supranuklir (UMN), nuklir atau infranuklir.Banyak penyakit yang menyebabkan sindrom torticolis, misalnya faktor miogen, fusi vertebracervicalis congenital, spina bifida dan spondilitis cervicalis. Torticolis juga dapat disebsbkan oleh gangguan sistem ekstrapiramidal.

11. Nervus XII Hipoglossus N. XII mengandung serabut somato motorik yang menginervasi otot ekstrinsik dan intrinsik lidah. Fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakkan lidah dan otot intrinsik lidah mengubah-bah bentuk lidah Lesi N. XII dapat bersifat supranuklir, misalnya pada lesi di korteks atau kapsula interna yang dapat disebabkan oleh stroke. Jika terjadi kelumpuhan bilateral maka lidah tidak dapat digerakkan atau dijulurkan. Terjadi disartria (cedal, pelo) dan kesukaran menelan. Selain itu terjadi juga kesukaran bernafas karena lidah dapat terjatuh ke belakang sehingga menghalangi jalan nafas. Proses patologik yang sering menganggu bagian perifer nervus hipoglossus ialah infiltrasi karsinoma nasofarings, seringobulbi dan infeksi retrofaringeal.

DEKUBITUS

PENDAHULUAN Kita kehilangan sekitar satu gram sel kulit setiap harinya karena gesekan kulit pada baju dan aktivitas higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi. Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada lansia. Khsusnya pada klien dengan imobilitas. Seseorang yang tidak im-mobil yang tidak berbaring ditempat tidur sampai bermingguminggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam sejam. Penggantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur. Sedangkan im-mobilitas hampir menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan ganggual aliran darah setempat, dan juga keadaan umum dari penderita. Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Walaupun semua bagian tubuh mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khsus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Dinegara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.

Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain: Berkurangnya jaringan lemak subkutan Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh. TIPE ULKUS DEKUBITUS Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga; 1. Tipe normal Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluhpembuluh darah sebenarnya baik. 2. Tipe arterioskelerosis Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu. 3. Tipe terminal Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.

PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat

tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring bermingguminggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya. Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus; Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit tertinggal dari area tubuh lainnya. Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat. Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces. Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.

Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma. Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga berperan untuk terjadinya dekubitus antara lain;

FAKTOR INTRINSIK Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990) Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun. Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight Anemia Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, juga mempermudah dan meperjelek dekubitus Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.

FAKTOR EKSTRINSIK Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus. Duduk yang buruk Posisi yang tidak tepat Perubahan posisi yang kurang

PENAMPILAN KLINIS DARI DEKUBITUS Karakteristik penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut; Derajat I Derajat II Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet. Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan, tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit. Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau. Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi. Mengingat patofisiologi terjadinya dekubitus adalah penekanan pada daerah-daerah tonjolan tulang, harusla diingat bahwa kerusakan jaringan dibawah tempat yang mengalami dekubitus adalah lelih luas dari ulkusnya.

PENGELOLAAN DEKUBITUS Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio. Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita. Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah: 1. Meningkatkan status kesehatan penderita; umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan. khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM. 2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah; a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan. b. Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur

air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat ruasak) c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain; Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi. Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan

tubuh penderita, kue donat untuk tumit, Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita. Bagitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempattempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit. Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi: 1. Dekubitus derajat I Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis; kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari. 2. Dekubitus derajat II Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi, hangat

Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan. 3. Dekubitus derajat III

karena malahan dapat

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.

4. Dekubitus derajat IV Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik; Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan , sebaba akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka, Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat.

Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.

SKOR NORTON UNTUK MENGUKUR RISIKO DEKUBITUS.


NAMA PENDERITA Kondisi fisik umum: - Baik - Lumayan - Buruk - Sangat buruk Kesadaran: - Komposmentis - Apatis - Konfus/Soporis - Stupor/Koma Aktivitas : - Ambulan - Ambulan dengan bantuan - Hanya bisa duduk - Tiduran Mobilitas : - Bergerak bebas - Sedikit terbatas - Sangat terbatas - Tak bisa bergerak Inkontinensia : - Tidak - Kadang-kadang - Sering Inkontinentia urin - Sering Inkontinentia alvi dan urin skor total SKOR 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 TANGGAL

Risiko dekubitus jika skor total 14

You might also like