You are on page 1of 18

APPROCH TO THE PATIENT WITH CONSTIPATION

HERNOMO KUSUMOBROTO
GASTRO-HEPATOLOGY CENTER AIRLANGGA UNIVERCITY SCHOOL OF MEDICINE SUTOMO HOSPITAL SURABAYA

Presented at : SIMPOSIUM ILMIAH DALAM RANGKA HUT KE 82 RS DARMO SURABAYA Surabaya, 8 Pebruari 2003

SUMMARY
Constipation is a symptom rather than a disease and is the most common digestive complaint in the United States. A Standard set of criteria has been suggested that includes at least 2 of the following symptoms present for at least 3 months: hard stools, straining at defecation, sensation of incomplete evacuation at least 25% of the time, and two or fewer bowel movements per week. Constipation results from a colonic or anorectal functional disorder. The cause of constipation is usually multifactorial., e.g : Secondary constipation (dietary, structural, endocrinopathic and metabolic, neurologic, connective-tissue disorders, drugs, and psychologic), functional constipation (simple constipation, irritable bowel sybdrome, constipation with colonic dilatation, constipation without colonic dilatation, chronic intestinal obstruction, rectal outlet obstruction, weak pelvic floor, and ineffective straining), and other problems to be considered (diabetes mellitus, hyperparathyroidism, hypothyroidism, lead poisoning, neuropathy, parkinsondiseas, and scleroderma. In the US, more than 4 million people have frequent constipation, a prevalence of about 2%. Constipation accounts for an estimated 2, 5 million physicion visits per year. Most patients with constipation can be treated medically, resulting in complete success or improvement. Constipation can occur in all ages, from newborns to elderly persons. An age-related increase in the incidence of constipation exists, with 30-40% of adults older than 65 years citing constipation as a problem. History provides the most useful information about the etiology of constipation. Understanding the type and degree of disability caused by the symptoms is important. Disability may include the following: length of time attempting rectal evacuation, number of bowel movement per week, and presence of chronic straining and/or hard stools. The patient may be totally asymptomatic or complain of the following: abdominal bloating, pain on defecation, rectal bleeding, spurious diarrhea, and low back pain. General physical examination often is of no benefit in determining etiology or deciding on treatment. An extensive workup of the constipated patient is performed on an outpatient basis and usually occurs after approximately 3-6 months of failed medical management. These tests are either anatomic (eg, Gastrografin enema, proctosigmoidoscopy, colonoscopy) or physiologic (eg, colonic trasit study, defecography, manometry, electromyography). Most patients have chronic constipation, which does not lend itself to a specific etiology at time of presentation. A comprehensive history should readily identify the most common causes of fecal impaction including (1) postoperative constipation, (2) prolonged bed rest, (3) residual barium from barium enemas, or (4) medication-related constipation (eg, opioids, anticholinergics). In elderly bedridden patients, it is important to exclude severe dehydration and electrolyte abnormalities. Exclude any life-threatening complication of constipation (eg, volvulus) and remember that the patient

might present with intestinal perforation after tap water enemas performed at home. The mainstay of treatment is a high- fiber diet. Bulking agents usually are the next line of treatment. Enemas can be used to assist in complete stool evacuation. Avoid irritant or peristaltic stimulants (eg, senna). Chronic use has been reported to induce damageto the myenteric plexus, which may eventually impair bowel motility.

RINGKASAN
Konstipati bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan. Keluhan ini merupakan keluhan penyakit saluran cerna terbanyak di Amerika Serikat. Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipati telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal selama 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu. Konstipati merupakan kelainan fungsi dari kolon dan anaorektal. Penyebab konstipati biasanya multifactor, misalnya : Konstipati sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolic, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat dan gangguan psikologi), Konstipati fungsional (konstipati biasa, Irritabel bowel syndrome, konstipati dengan dilatasi kolon, konstipati tanpa dilatasi kolon , obstruksi intestinal kronik, rectal outlet obstruction, daerah pelvic yang lemah, dan ineffective straining), dan lain-lain (diabetes mellitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma). Di Amerika Seriakt lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipati, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipati diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipati dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Keluhan konstipati tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipati dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipati ini. Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk mencari penyebab konatipati. Dengan menanyakan tipe dan derajat gangguan konstipati dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumalh defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang keras. Penderita dapat juga tanpa keluhan sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi, rectal bleeding (pendarahan rectum), diare spurious (sedikit-sedikit), dan nyeri pinggang bagian bawah (LBP). Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyabab serta pengobatan konstipati.

Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipati dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 6 bulan, dan pengobatan medik baik anatomi (eg, barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (eg, colonic transit study, defecography, manometry, electromyography). Sebagian besar penderita dengan konstipati kronik pada umumnya tidak menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipati yaitu : (1) konstipati pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enemas, atau (4) obat-obat yang dapat menimbulkan konstipati (misalnya : opioid, antikholinergik). Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipati yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus) dan ingat bahwa penderita mungkin mengalami perforasi usus setelah dilakukan klisma dengan air hangat di rumah. Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. Bulking agents merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang peritaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada myenteric plexus, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.

PENDEKATAN PENDERITA DENGAN KONSTIPATI


HERNOMO KUSUMOBROTO
PUSAT GASTRO-HEPATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

PENDAHULUAN
Konstipati bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan. Keluhan ini merupakan keluhan penyakit saluran cerna terbanyak di Amerika Serikat juga di Eropa Barat. Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipati telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 minggu. Penderita yang mengalami konstipasi biasanya merasa defekasinya menjadi sulit dan nyeri. Keluhan lain yang bias timbul adalah perasaan kembung, kurang enak, dan malas (Harari 1997 ; Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001). Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipati. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minimal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja. Kriteria lain dari konstipati bila defekasi terjadi kurang dari 3x/minggu, minimal dalam 12 minggu selama 1 tahun. Disebut dyschesia bila keluhan utamanya adalah hanya kesulitan defekasi (melakukan evakuasi tinja), usaha mengejan selama defekasi, dan perasaan tidak tuntas setelah berdefekasi (Van Outryve, 2002). Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Pada sebagian beras kasus, konstipasi

biasanya hanya bersifat sementara, dan tidak berbahaya. Dengan memahami penyebab konstipasi, bagaimana pencegahan dan pengobatannya, tentunya akan memudahkan kita menghadapi keadaan semacam ini (Harai 1997 ; Lennard-Jones 1998 ; Wald 1995).

PATOFISIOLOGI
Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi, perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan limbah sisa makanan, atau tinja. Konstraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rectum. Begitu mencapai rectum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu banyak air. Hal ini terjadi karena konstraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan dan malas, menyebabkan tinja bergerak kea rah kolon terlalu lama (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Shafik 1993 ; Velio 1996). Kolon mempunyai fungsi menerima bahan limbahan dari ileum, kemudian menyampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memedatkannya menjadi tinja. Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat kompleks. Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai amplitude tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh Pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak (Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Konstipasi merupakan kelainan fungsi dari kolon dan anaorektal. Penyebab konstipasi biasanya multifactor (Collins 2001 ; Hernomo 2001 ; Holson 2001 ; Lennard- Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Samson 2002 ; Talley 2002 ; Velio 1996 ; Wald 1995).

A. Konstipasi sekunder
1. Diit : kurang mengandung serat. 2. Kelainan anatomi (struktur) : fisura ani, hemoroid, striktur, dan tumor. 3. Kelainan endokrindan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM, dan kehamilan. 4. Kelainan syaraf : struke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier. 5. Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, mixed connective-tissue disease. 6. Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), calcium channel blockers (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang. 7. Gangguan psikologi (depresi).

B. Konstipasi fungsional
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi. Irritabel bowel syndrome. Konstipasi dengan dilatasi kolon : idiopathic megacolon or megarectum Konstipasi tanpa dilatasi kolon : idiopathic slow transit constipation Obstruksi intestinal kronik. Rectal outlet obstruction : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi. Daerah pelvic yang lemah : descending perineum, rectocele. Mengejan yang kurang efektif (ineffective straining)

C. Penyebab lain
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Diabetes mellitus Hiperparatiroid Hipotiroid Keracunan timah (lead poisoning) Neuropati Penyakit Parkinson Skleroderma

Penelitian dari Lyford dan kawan-kawan menunjukkan bahwa distribusi Interstial Cells of Cajal (ICC) relative merata di seluruh kolon manusia. Namun pada idiopathic slow transit constipation ternyata menurun secara merata di seluruh kolon (Lyford 2002).

EPIDEMIOLOGI
Sesuai dengan sigi National Health Interview di Amerika Serikat lebih dari 4 4 juta penduduk mempunyai keluhansering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Penderita yang mengeluh konstipasi ini kebanyakan adalah wanita, anak-anak, dan orang dewasa di atas usia 65 tahun. Wanita hamil juga sering mengeluh konstipasi, demikian pula setelah melahirkan atau pasca bedah. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Namun sebagian kecil merasa terganggu akibat konstipasi ini. Beberapa penderita dengan konstipasi fungsional (mis. colonic inertia), bahkan membutuhkan kolektomi abdominal total dengananastomosis ileorectal (Holson 2001 ; Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Sonnenberg 1989). Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin menungkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 40 % penderita mengalami masalah dengan

keluhan konstipasi ini. Namun sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri, tanpa pergi ke dokter. Akibatnya adalah pengeluaran biaya sebesar 500 725 juta dollar setiap tahunnya untuk pembelian obat-obat golongan laksans (Johanson 1989 ; Koch 1995 ; Rankumar 2001 ; Wald 1995).

DIAGNOSIS 1.Anamnesis
Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk mencari penyebab konstipasi. Dengan menanyakan tipe dan derajat gangguan konstipasi dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang keras (Holson 2001 ; Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Penderita dapat juga tanpa keluhan sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi, rectal bleeding (perdarahan rectum), diare spurious (sedikit-sedikit), dan nyeri pinggang bagian bawah (LBP). Keluhan berikut juga dapat dipakai sebagai dugaan bahwa penderita kesulitan mengalami defekasi : perasaan kurang puas setelah defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, tenesmus, dan retensi pada saat dikerjakan klisma (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Sachs 2002 ; Wald 1995).

2.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada kejadian berikut ini (Holson 2001 ; Koch 1995 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995) : Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen. Lesi anorectal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi (misalnya : fisura ani, striktur, kanker, hemoroid yang mengalami trombosis) Intususepsi yang tampak pada saat mengejan. Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan kelainan berikut ini (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995) : Masa anorectal. Tonus sfingter ani internal. Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis. Adanya gross blood atau occult bleeding dengan memeriksa tes guaiac tinja.

Jumlah dan konsistensi tinja : pada pelvic outlet dysfunction, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah rectal vault dari pada colonic inertia atau irritable bowel syndrome, di mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. Pelvic floor dysfunction (disfungsi dasar panggul) dapat memberi gejala khas berupa kegagalan pada waktu dilakukan pemeriksaan colok dubur.

3.Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolic sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum (gross atau occult). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid (Holson 2001 ; Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Rantis 1997).

4.Pemeriksaan radiology
Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat menunjukkan jumlah tinja dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : fecal impaction, obstruksi usus, dan fecalith dapat dibuat. Diagnosis adanya fecaliths penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi stercoral ulcers, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati diabetic, seperti halnya fecal impaction, dapat timbul pada penderita neuropati diabetic. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada foto polos abdomen (Collins 2001 ; Halligan 1995 ; Hernomo 2002 ; Koch 1995 ; Mezwa 1993). Skleroderma dan penyakit jarinagn ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen myxedema ileus dapat terjadi akibat hipotiroid (Halligan 1995 ; Holson 2001).

5.Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan ekstenseif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Rantis 1997 ; Wald 1995). Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (eg, barium enema, progtosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (eg, colonic transit study, defecography, manometry, electromyography) (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995).

Beberapa prosedur yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis :


Anoscopy/Proctoscopy : pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan local anorektal (Lennard-Jones 1998 : Ramkumar 2001 : Rantis 1997). Digital disimpaction (disimpaksi dengan jari) : dengan menggunakan sarung tangan yang telah di lubrikasi, tinja yang telah menekan daerah anorektal bawah selama beberapa lama dapat dilepaskan (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001). Klisma dengan air hangat : biasanya kurang popular, mungkin belum perlu dikerjakan pada penangan awal (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).

PENGOBATAN
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipasi yaitu : (1) konstipasi pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enemas, atau (4) obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya : opioid, antikholinergik) (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus) dan ingat bahwa penderita mungkin mengalami perforasi usus setelah dilakukan klisma dengan air hangat di rumah (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001). Perhatian terhadap pengobatan yang spesifik seyogyanya lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan ahli bedah sebaiknya segera dikerjakan bila ada dugaan obstruksi intestinal atau volvulus (Holson 2001).

PERUBAHAN GAYA HIDUP


Diet
Penyebab umum dari konstipasi adalah diit yang rendah serat, seperti terdapat pada sayuran, buah, dan biji-bijian, dan tinggi lemak seperti dalam keju, mentega, telur, dan daging. Mereka yang makan makanan yang kaya serat biasanya lebih jarang yang mengalami konstipasi (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995).

Makanan berserat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut, merupakan bagian dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Makanan berserat yang mudah larut akan cepat melarut dalam air dan membentuk bahan gel dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut, akan melewati usus tanpa mengalami perubahan. Bahan serat yang berbentuk kasar (bulk) dan lunak ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras dan kering yang lebih sulit melewati usus (Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ;Wald 1995). Rata-rata orang Amerika makan 5 20 gram makanan berserat setiap harinya, lebih sedikit dibanding jumlah 20 35 gram yang dianjurkan oleh the American Dietetic Association. Baik anak-anak maupun orang dewasa makan terlalu banyak makanan yang sudah dibersihkan dan diproses, domana serat alamiahnya sudah dibuang. Diit rendah serat juga memegang peranan penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Mereka biasanya kurang berminat untuk makan, dan lebih senag memilih makanan cepat saji yang kadar seratnya rendah. Selain itu berkurangnya jumlah gigi, memaksa mereka lebih suka makan makanan lunak yang sudah diproses dengan kadar serat yang rendah (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).

Banyak minum dan olah raga


Cairan seperti air dan jus, menambah jumlah air yang masuk ke dalam kolon dan memperbesar bentuk tinja, dan membuat gerakan usus menjadi lebih per-lahan-lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi, seyogyanya minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. Cairan lain seperti kopi dan soft drinks, yang mengandung kafein, tampaknya mempunyai efek dehidrasi (Lennard-Jones 1998 ;Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Kurang olah raga dapat menimbulkan konstipasi, tanpa diketahui penyebab sebenarnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita setelah mengalami kecelakaan atau pada saat penderita diharuskan tirah baring dalam waktu yang lama karena penyakitnya (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).

PEMBERIAN OBAT
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. Bulking agents merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang periltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada myenteric plexus, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus (Holson 2001 ; Koch 1995 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Velio 1996 ; Wald 1995).

Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama akibat usus yang malas. Pada anakanak, pengobatan laksans jangka pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur, juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, gum, bubuk, dan granules. Ada beberapa macam cara kerjanya (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997 ; Wald 1995).

1.Bulk forming agents / hydrophilic


Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang terjadinya perilstatik. Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga dikenal dengan nama fiber supplements, dan harus diminum dengan air. Dalam usus bahan ini akan menyerap air, dan membuat tinja menjadi lebih lunak. Beberapa contoh (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997 ; Wald 1995) : Psyllium (Metamucil, Fiberall) Methylcellulose (Citrucel) Ispaghula (Mucofalk) Dietary brand

2.Emollients / softeners / surfactant / wetting agents


Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran bahan cairan dan lemak, sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak tinja (stool softeners) dapat melembabkan tinja, dan menghambat terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita setelah melahirkan atau pasca bedah. Beberapa contoh (Holson 2001 ; LennardJones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997 ; Wald 1995) : Docusate (Colace, Surfak) Mineral oil Polaxalko

3.Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant


Emollient stool softeners menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur (rhythmic). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenolftalen, yang dikandung dalam beberapa laksans stimulans, ternyata dapat meningkatkan resiko kanker. FDA telah melakukan pelarangan penjualan bebas produk yang mengandung bahan fenolftalen ini. Sebagian besar produsen laksans saat ini telah mulai mengganti fenolftalen dengan bahan yang

lebih aman. Beberapa contoh (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997 ; Wald 1995) : Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto C, Silace C) Bisacodyl (Dulcolax) Brand names include Correctol, Senna, Purge, Feen-A-Mint, and Senokot.

4.Ostomic laxatives
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini mempunyai kemampuan seperti spons, menarik air ke dalam kolon, sehingga tinja mudah melewati usus (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997 ; Wald 1995). a.Hyperosmolar laxatives : Polyethylene glycol solution (Miralax) Lactulose (Cephulac, Cholac, Constilac, Duphalac, Lactulax) Sorbitol Glycerine b.Saline laxatives : Magnesium sulfate Magnesium hydroxide (PhilipsMilk of Magnesia) Sodium phosphate (Fleet enema) Magnesium phosphate Penderita yang sudah tergantung pada pemakaian laksans ini, sebaiknya dianjurkan untuk menghentikan obat ini secara perlahan-lahan. Pada sebagian besar penderita, biasanya kemampuan untuk kontraksi kolon dapat dipulihkan kembali secara alamiah, dengan memperbaiki penyebab konstipasi tersebut (Lennard-Jones 1998 ; Wald 1995).

PENGOBATAN LAIN
Pengobatan spesifik terhadap penyebab konstipasi, juga dapat dikerjakan tergantung apakah penyebabnya dapat dikoreksi atau tidak. Sebagai contoh, penghentian obat yang menimbulkan konstipasi, atau tindakan bedah untuk mengoreksi ada tidaknya kelainan anorektal, seperti prolapsus rekti (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995).

1.Prokinetik
Obat-obat prokinetik telah dicoba untuk pengobatan konstipasi, tetapi belum banyak publikasi yang menunjukkan efektivitasnya. Obat prokinetik (seperti : cisapride dan metoclopramide) merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Cisapride telah dilaporkan dapat memperbaiki keluhan penyakit refluks gastroesofagus, namun pada

konstipasi belum banyak laporan yang ditulis (Hernomo 2001 ; Ramkumar 2001 ; Wald 1995). Tegaserot, merupakan agonis parsial 5-HT4, dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Dalam uji klinik fase III, tegaserot 12 mg/hari, menghasilkan peningkatan kelompok IBS tipe konstipasi yang mencapai tujuan utama hilangnya keluhan penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung (Hernomo 2002).

2.Analog prostaglandin
Analog prostaglandin (misoprostil) dapat meningkatkan produksi PGE2 dan merangsang motilitas saluran cerna bagian bawah (Ramkumar 2001).

3.Klisma dan supositoria


Bahan tertentu dapat dimasukkan ke dalam anus untuk merangsang kontraksi dengan cara menimbulkan distensi atau lewat pengaruh efek kimia, untuk melunakkan tinja. Kerusakan mukosa rectum yang berat dapat terjadi akibat ekstravasasi larutan klisma ke dalam lapisan supmukosa. Beberapa cara yang dapat dipakai (Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001 ; Schiller 1997) : Klisma dengan PZ atau air biasa Na-fosfat hipertonik Gliserin supositori Bisacodyl supositori

4.Biofeedback
Penderita dengan konstipasi kronik akibat disfungsi anorektal dapat dicoba dengan pengobatan biofeedback untuk mengembalikan otot yang mengendalikan gerakan usus. Biofeedback menggunakan sensor untuk memonitor aktivitas otot yang pada saat yang sama dapat dilihat di layer computer sehingga fungsi tubuh dapat diikuti dengan lebih akurat. Seorang ahli eksehatan yang professional, dapat menggunakan alat ini untuk menolong penderita mempelajari bagaimana cara menggunakan otot tersebut (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Mason 2002 ; Ramkumar 2001). Dalam penelitian Houghton dan kawan-kawan (2002) ditemukan bahwa emosi dapat mempengaruhi persepsi dan distensi rectal pada penderita IBS. Juga dapat ditunjukkan bahwa pikiran mempunyai peranan yang sangat penting dalam modulasi faal saluran cerna (Houghton, 2992).

5.Operasi
Tindakan bedah (subtotal colectomy dengan ileo-ractal anastomosis) hanya dicadangkan pada penderita dengan keluhan yang berat akibat kolon yang tidak berfungsi sama sekali

(colonic inertia). Namun tindakan ini harus dipertimbangkan sungguh-sungguh, karena konplikasinya cukup banyak seperti : nyeri perut dan diare (Holson 2001 ; LennardJones 1998 ; Ramkumar 2001).

FOLLOW UP 1.Untuk penderita rawat inap :


Penderita rawat inap dengan konstipasi yang perlu mendapat perhatian khusus, karena mungkin perlu evaluasi ahli bedah adalah (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001) : Adanya tanda-tanda obstruktif Nonrectal impactions Demem dan dehidrasi.

2.Penderita rawat jalan


Pengawasan penderita rawat jalan harus mengikut sertakan dokter keluarga penderita untuk memastikan pengawasan yang labih baik. Konultasi ke Gastroenterologist dianjurkan pada penderita dengan keluhan (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001) : Konstipasi yang relative baru. Konstipasi kronik dengan penurunan BB. Anemia, atau perubahan konsistensi tinja. Konstipasi yang refrakter. Konstipasi yang membutuhkan pemakaian laksans yang terus menerus.

3.Obat-obat yang dianjurkan (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar


2001) Bulk-forming agent : Psyllium (eg, Metamucil) dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan onsistensi tinja. Emollient : Docusate sodium (eg, Colace) memperbaiki gerakan usus. Klisma dengan air hangat : dapat mempercepat perbaikan keluhan penderita dan dapat mengatur gerakan usus selanjutnya.

4.Pencegahan (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).


Minum yang cukup (misalnya, 8 gelas air sehari). Olah raga teratur. Diet tinggi serat. Hindari atau kurangi obat-obat yang menimbulkan konstipasi. Defekasi yang teratur, usahakan pada jam yang sama setiap harinya, dapat mengurangi kaluhan, terutama setelah makan di mana refleks gastrocolic menunjukkan kerja paling kuat.

5.Komplikasi (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).


> > > > > > > > > > Fisura ani. Fecal impaction Obstruksi usus Fecal incontinence Ulserasi stercoral Megakolon Volvulus Prolaps rectum Retensi urin Syncope

6.Prognosis (Holson 2001 ; Lennard-Jones 1998 ; Ramkumar 2001).


Sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik dengan pemberian obat. Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi masalah, juga yang debilated (cacat). Kolektomi biasanya hanya dicadangkan pada penderita dengan slow transit constipation yang gagal diobati secara medik selama 6 bulan, dengan keadaan umum yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Collins SM and Ismail M, 2001 :Irritable bowel syndrome. In Evidence-Based Gastroenterology, Ed by EJ Irvine and RH Hunt, BC Decker Inc, Hamilton London, p 194-206 2. Halligan S and Bartram CI, 1995: The radiological investigation of constipation. Clin Radiol 50(7): 429-35 3. Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al, 1997: How do older person define constipation ? Implications for therapeutic management. J Gen Inter Med 12 (1): 63-6 4. Hernomo K, 2001: Irritable Bowel Symdrome. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam XVI, Surabaya, 18-19 Agustus 5. Hernomo K, 2002: Lower GI Disorder in diabetes mellitus (Pathogenesis and treatment). Surabaya Diabetes Update XI, Surabaya, 2-3 November

6. Holson D, and Oster N, 2001: November

Constipation. EMedicine Specialities. 5

7. Houghton LA, Calvert EL, Jackson NA, et al, 2002: Visceral sensation and emotion: a study using hypnosis. Gut 51: 701-704 8. Johanson JF, Sonnenberg A, Koch TR, 1989: Clinical epidemiology of chronic constipation, J Clin Gastroenterol 11(5): 525-36 9. Koch TR, 1995: Constipation. In Bockus Gastroenterology, vol 1, 5th ed, ED by WS Haubrich et al, WB Saunders Co, Philadelphia Tokyo, p 102-112 10. Lennard-Jones JE, 1998: Constipation. In Sleisenger and Fordtranss Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology / Diagnosis / management. Vol 1, 6th Ed, Ed by M Feldman et al, WB Saunders CO, Philadelphia Toronto, p 174-197 11. Lyford GL, He C-L, Soffer E, et al, 2002: Pan-colonic decrease in interstitial cells of Cajal in patients with slow transit constipation. Gut 51: 496 501 12. Mason HJ, Serrano-Ikkos E, and Kamm MA, 2002: Psychological state and quality of life in patients having behavioral treatment (biofeedback) for intractable constipation. Am J Gastroenteral 97: 3154 3159 13. Mezwa DG, Feczko PJ, Bosanko C, et al, 1993: Radiologic evaluation of constipation and anorectal disorder. Radiologic Clinic Of North America 31(6): 1375 1392 14. Ramkumar DP and Rao SSC, 2001: Functional anorectal disorder. In EvidenceBased Gastroenterology, Ed by EJ Irvine and RH Hunt, BC decker Inc, Hamilton London, p 207 222 15. Rantis PC Jr, vernava AM III, Daniel GL, et al 1997: Chronic constipation: Is the work up worth the cost ? Dis Colon Rectum 40: 280 286 16. Sach J, Bolus R, Fitzgerald L, et al, 2002: Is there a sifference between abdominal pain and discomfort in moderate to severe IBS patients ? Am J Gastroenterol 97: 3131 3138 17. Samsom M, 2002: Predictors of turnover of lower GI symptoms in diabetes mellitus Editorial. Am J Gastroenterol 97: 2944 2945 18. Schiller LR, 1997: Cathartics, Lazatives, and Lavage Solution. In GGastrointestinal Pharmacology and Therapeutics, Ed by G Friedman et al, Lippincott Raven, Philadelphia New York, p 159 174

19. Shafik A, 1993: Constipation: Pathogenesis and management. Drugs 45(4): 528 540 20. Sonnenberg A and Koch TR, 1989: Epidemiology of constipation in the United State. Dis Colon Rectum 32(1): 1 8 21. Talley NJ, Howell S, Jones MP and Horowits, 2002: Predictors of turnover of lower GI symptoms in diabetes mellitus. Am J Gastroenterol 97 : 3087 3094 22. Van Outryvel SM, Van Outryvel MJ, De Winter BY, et al, 2002: Is anorectal endosonography valuable in dyschesia ? Gut 51 : 695 700 23. Velio P and Bassotti G, 1996: Chronic idiopathic constipation : pathophysiology and treatment. J Clin Gastroenterol 22(3): 190 -6 24. Wald A, 1995: Approach to the patient with constipation. In Textbook of Gastroenterology, vol 1, 2nd Ed, Ed by T Yamada et al, JB Lippincott Co, Philadelphia, p 864 880 25. Whitehead WE, Wald A, Diamant P, et al, 1999: Functional disorder of the anus and rectum. Gut 45 (Suppl II) : 1155-9

----oo0oo----

You might also like