You are on page 1of 14

TUGAS BENJOLAN PADA LEHER

Pembimbing: dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT dr. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp. THT-KL

Penyusun:
Yolanda Nababan S.Ked Primanda A S.Ked Hana S.Ked Nur Suhaila Ahmad S.Ked Muhammad Fathi bin Abdul Latif S.Ked Marisa Wanda Aprilla S.Ked Ines Damayanti S.Ked Mohammad Bismo Wismoyo S.Ked Fitrisia Rahma S.Ked

Muhammad Haikal bin Asman S.Ked

Kepaniteraan Klinik THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode

Leher merupakan bagian tubuh yang terbuka dan karena itulah pembengkakan pada daerah ini mudah dikenali oleh penderita atau di deteksi selama pemeriksaan rutin. Di samping itu, lesi servikal kongenital, peradangan, dan keganasan relative lebih sering terjadi. Dengan demikian domter seringkali berhadapan dengan masalah benjolah pada leher.(12) Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai massa di leher berdasarkan penyebabnya. III. KONGENITAL III.1. KISTA CELAH BRONKIAL Kista celah brankial merupakan sisa aparatus brankial janin yang tertinggal dimana seluruh struktur leher berasal. Pada awal dari perkembangan terdapat lima arkus brankial dan empat sulkus (diantara arkus) pada embrio. Pertumbuhan yang cepat dari arkus pertama dan kedua dan tonjolan epiperikardial (bakal otot sternokleidonastoideus) menenggelamkan arkus brakialis ketiga dan keempat dan celah brakial kedua, ketiga dan keempat kedalam kavitas yang besar yang dikenal sebagai sinus servikal His. Oleh karena itu, sebagian besar kista celah brankial (berkembang dari arkus kedua, ketiga dan keempat) biasanya terdapat sebagai tonjolan atau muara saluran sinus sepanjang batas anterior otot sternokleidomastoideus. Saluran interna atau muara kista terletak pada derivatif embriologik sulkus faringeal yang sama, misalnya, tonsil (arkus kedua), atau sinus piriformis (arkus ketiga dan keempat). Letak saluran kista juga ditentukan oleh hubunban embriologik arkusna dengan derivat arkus yang terletak proksimal dan kaudal terhadap arkus. (12) Kista celah brankial adalah celah yang terbentuk akibat kegagalan dari pharyngobranchial dalam pemisahan selama pertumbuhan janin. Paling sering terjadi di masa kanak-kanak akhir atau awal kedewasaan, diantara usia 20-30 tahun sebagai massa yang licin, lunak, tidak begitu nyeri, membesarnya lambat yang terletak pada leherr bagian latereal (di perbatasan anterior m.sternocleidomastoid). Peradangan kista mungkin merupakan penyebab dari gejala-gejala peertama, kista terinfeksi biasanya setelah infeksi pada pernapasan bagian atas. (12, 13) Gambar III.1. Kista Brankial (14) Penggolongan kista celah brankial terdiri dari tiga kategori: anomali celah brankial pertama, anomali celah brankial kedua, dan anomali celah brankial ketiga. (13)
A. Anomali kista celah brankial pertama

Anomali kista brankial celah pertama terjadi kurang dari 1% dari semua keabnormalan bronkiogenik dan pada umunya nampak di wajah atau dekat telinga luar. Ada dua jenis anomali celah brankial, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I adalah duplikasi dari saluran eksternal dan terdiri atas jaringan ektodermal.

Kista ini dapat menyebar ke kelenjar parotid dan mengenai nervus fasialis.Tipe II adalah anomali yang di dapat dari jaringan ektodermal dan mesodermal. Luka ini biasanya berada di bawah sudut mandibula, sampai ke kelenjar parotid hingga bagian proksimal nervus fasialis, dan berakhir di kanalis auditoris eksterna atau ke dalam kanalis di tulang kartilago.
B. Anomali kista celah brankial kedua

Anomali kista celah brankial kedua ini adalah paling umum terjadi dari tiga jenis kista celah brankial. Tampak dengan ciri-ciri sebagai massa bulat di sudut mandibula dan di perbatasan dari anterior M.Sternocleidomastoid. Saluran kista ini berjalan antara arteri karotis interna dan eksterna, diatas saraf hipoglosus dan memasuki faring pada fosa tonsilaris. Bidang potensial dari hubungan suatu sinus tenggelam ke arkus struktur kedua (misalnya A. Karotis eksterma dan M. Stylohyoid dan M. Digastrikjs) dan bagian superfisial ke arkus derivat ketiga (misalnya A. Karotis interna), keluar ke dalam fossa tonsilaris.
C. Anomali kista celah brankial ketiga

Anomali kista celah ketiga terletak di anterior M. Sternocleidomastoid dan di leher bagian bawah dibandingkan anomali kista celah pertama maupun kedua, kista celah brankial ketiga tenggelam di dalam derivat arkus ketiga (misalnya N. Glossopharyngeal dan A. Karotis internal) dan bagian superficial ke arkus derivat ke empat (misalnya vagus syaraf). Berakhir di faring pada memran tirohioid atau sinus piriformis. Pengobatan terdiri dari pengangkatan pembedahan yang sempurna dari kista dan salurannya. Jika terdapat infeksi atau peradangan, sebaiknya diobati dan dibiarkan sampai tenang sebelum dilakukan pengangkatan. (12) III.1.2. KISTA DUKTUS TRIGLOSUS Kelenjar tiroid pertama kali tampak sebagai divertikulum ventral garis tengah daridasar faring tepat di distal pelekatan arkus brankial pertama dan kedua yang dikenal sebagai foramen sekum. Tiroid yang berkembang pindah ke distal sepanjang saluran yang melewati ventral korpus hioid, kemudian membelok dibawahnya dan turun sampai tingkat kartilago krikoid. Kista duktus tiroglosus merupakan sisa saluran ini yang tertinggal. Oleh karena itu, biasanya merupakan kista yang terletak di garis tengah yang ditemukan dimana saja antara dasar lidah dan bats superior kelenjar tiroid. (12) Kista duktus tiroglosus tampak sebagai massa dei depan leher. Seperti kista celah bronkial, gejalanha asimtomatik dan tampak hanay ketika terinfeksi atau tersebar di saluran pernapasan bagian atas. Insiden kista duktus tiroglosus kira-kira sepertiga dari semua massa leher kongenital. Lokasi terjadina bervariasi, dengan beberapa kista terletak lebih lateral (superior dari hyoid) atau terletak ndah setinggi dari kelenjar gondoj. Kista duktus tiroglosus

yang terletak di pertengahan leher mungkin sulit untuk di bedakan dari kista celah brankial. Suatu tanda yang patognomonik pada pemeriksaan fisik adalah gerak vertikal dari massa dengan menelan dan penonjolan lidah, menunjukkan hubungan dengan tulang hioid. (13) Gambar III.2. Kista duktus tiroglosus (15) Pengobatan kista duktus tiroglosal terdiri dari eksisi yang sempurna dari kista dan seluruh saluran duktus tiroglosus sampai foramen sekum pada dassar lidah. Hubugan yang erat antara traktus dengan tulang hioid menharuskan pengangkatan bagian tengah hioid secara simultan untuk meyakinkan pengangkatan saluran yang sempurna (prisedur Sistrunk). Kegagalan untuk melakukan tindakan ini merupakan penyebab kekambuhan yang paling sering. lebih baik untuk mengobati kista terinfeksi dengan antibiotik sampai peradangan berkurang sebelum eksisi. (12) Selama reseksi tulang hioid, harus hati-hati jangan sampai melukai nervus hipoglosus memotong tulang hioid hanya di tengah-tengah, lebih sedikit ke cornu yang akan membantu melindungi saraf. Sejak karsinoma tiroid dapat terjadi dari sedikit persen dari kista duktus tiroglosus, maka semua kista duktus tiroglosus seharusnya dilakukan pemeriksaan histologi. (13) III.1.3. Laringokel Suatu laringokel digambarkan sebagai suatu pembesaran yang abnormal atau herniasi dari sakul di laring. Infeksi sekunder dari suatu laringokel disebut sebagai suatu laryngopyocele. Laringokel dapat digolongkan ke dalam tiga jenis: internal, eksternal, dan dikombinasikan. Suatu laringokel digambarkan sebagai internal jika pembesaran palsu di dalam batas dari kartilago tiroid. Jika laringokel meluas di luar kartilago tiroid dan menonjol sampai membran tirohioid yang memproduksi suatu massa di lateral leher di golongkan sebagai eksternal. (13) Laringokel adalah sejenis kista kongenital khusus, yang berkembang sebagai sisa-sisa dari suatu apendiks atau sakus kecil dari ventrikel laring. Seperti juga duktus tiroglosus, laringokel dapat timbul pada usia berapapun, namun berasal congenital. Dengan timbulnya kista, maka mulamula menyebabkan suatu tonjolan pada korda vokalis palsu disatu sisi. Dengan pembesaran, kista akan memotong sepanjang saraf dan pembuluh laringeus superior, dan tampak sebagai suatu massa di leher. Karena kista ini dapat berhubungan dengan jalan napas, maka radiogram dapat memperlihatkan suatu batas udara-cairan. Kista-kista ini tidak harus berisi udara ,namun dapat padat dan hanya berisi cairan. Dengan pembesarannya, kista mengganggu jalan napas dan dapat menimbulkan stridor serta obstruksi jalan napas.12 Jadi pasien dengan laringokel memiliki gejala parau, batuk, dispnea, disfagia, suatu sensasi benda asing, atau kombinasi apa pun dari gejala ini. Laringoskopi dapat memperlihatkan suatu pembesaran di korda vokalis palsu yang termasuk keduanya, korda vokalis dan lipatan ariepiglotik. Suatu CT sangat menolong dalam menetapkan hasil dignosa dan menggambarkan tingkat dari luka iti. Diagnosis dapat diperkirakan dengan melakukan aspirasi pada massa dengan

suatu jarum besar. Satu-satunya terapi yang efektif pada laringokel adalah diseksi kista dengan pendekatan eksternal. Tindakan inin biasanya dilakukan bersama trakeostomi sementara.12,13 Jika gejalanya simtomatik, manajemen dari laringokel terdiri dari 1) laringoskopik dekompresi untuk luka yang kecil 2) Eksisi dengan pembedahan melalui pendekatan eksternal untuk luka yang lebih besar, atau endoskopi laser. Jika suatu pendekatan yang eksternal telah selesai, harus hati-hati untuk menghindari melukai N.Laringeus Superior.13 III.1.4. Plunging ranulas13 Plunging ranulas adalah mukosel aatau retensi kista dari dasar mulut yang pada umumnya memberikan gejala slow-growing, tanpa rasa sakit, massa di submental. Hal ini berasal dari kelenjar sublingual dan digambarkan sebagai plunging ketika meluas sampai M.Mylohyoid ke dalam leher. Pengobatannya meliputi eksisi massayang berhubungan dengan kelenjar sublingual. III.1.5.Limfoma Limfangioma adalah bentuk cacat sejak lahir dari saluran getah bening. Muncul karena kegagalan hubungan dengan ruang getah bening ke system getah bening sisanya. Massa pada umumnya lembut, seperti adonan, lembut, non tender, dan dapt dimampatkan. Massa ini bias dikateristikkan dengan transaluminasi. CT scan dan MRI penting untuk menggambarkan tingkat dari penyakit dan menggambarkan potensi apa pun dihubungkan kelainan (misalnya,hemangiomas). Eksisi dengan pembedahan adalah utama dari ilmu pengobatan. Oleh karena infiltrative sifat dari luka ini , maka eksisi seluruhnya mustahil tanpa merusakkan struktur penting.

Gambar III.3. Bayi dengan makrositik limfangioma16

III.1.6 Higroma Kistik12 Higroma kistik merupakan limfangioma yang timbul dari sisa saluran limfe pada leher. Higroma kistik terjadi sebagai kista berdinding tipis yang relative sederhana pada dasar mulut atau dapat melibatkan seluruh jaringan dari dasar mulut turun sampai ke mediastinum. Walaupun kira-kira 80% dari waktunya hanya berupa kista yang tanpa rasa nyeri pada sepertiga servikal posterior atau pada daerah supraklavikula. Sebagian besar tumor ini terjadi menjelang usia 2 tahun. Pembesaran yang tiba-tiba kadang-kadang terjadi sebagai akibat infeksi saluran napas atas, infeksi massanya sendiri atau perdarahan dalam jaringan. Jika massa menjadi cukup besar, dapat menyebabkan penekanan trakea dan kesulitan menelan Pengobatan biasanya terdiri dari pembedahan eksisi yang total. Bagaimanapun karena regresi yang spontan diketahui dapat terjadi, tidak ada gejala-gejala penekanan(obstruksi jalan

napas atau gangguan dengan penelanan) atau deformitas yang total,lesi-lesi ini sebaiknya diobati pada awalnya. Jika regresi gagal terjadi, sebaiknya dilakukan pembedahan. Eksisi dapat sulit dilakukan karena perluasan beberapa satelit yang seringkali terdapat di sekitar massa utama dan karena hubungan tumor dengan struktur vital seperti saraf kranialis. Perlindungan saraf-saraf ini dianjurkan, dan seringkali perlu dilakukan pemotongan pada massanya saja. Oleh karena iti kekambuhan biasanya terjadi dan seringkali diperlukan tindakan bertahap untuk eksisi yang sempurna. III.1.7. Hemangioma Hemangioma adalah bentuk cacat dari jaringan vaskuler. Dapat digolongkan kapiler, cavernous, juvenile. Hemangioma adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada neonates, sekitar 10 %. Resiko hemangioma pada anak perempuan 3-5x lebih tinggi dibandingkan pada anak laki-laki, lebih tinggi pada neonates premature dan 10x lebih tinggi pada wanita yang mempunyai kelainan amnion.17 Hemangioma bias timbul saat kelahiran, tetapi biasanya tidak tumbuh pada mingguminggu awal, dan tumbuh secara cepat selama setahun,kemudian pertumbuhan melambat pada lima tahun ke depan dan mengalami involusi pada usia 10-15 rahun13 Hemangioma tampak sebagai massa lembut kebiru-biruan atau merah padat dan meningkat ukuran dengan ketegangan atau menangis. Bruits kadang-kadang dapt ditemukan dengan auskultasi di atas luka tersebut. CT scan, MRI atau kedua-duanya adalah alat yang berharga dalam membuat hasil diagnose dari luka vaskuler ini dan juga melukiskan keseluruhan luas dari luka itu. Oleh karena hemangioma timbul secara spontan, luka ini dapat di tangani secara konservatif dengan pengamatan sendiri. Pertimbangan tidak hanya diberikan pada daerah sekitar luka tapi perhatikan juga daerah lainnya, seperti subglotis, traktus gastrointestinal, dan tulang belakang.13

Gambar III.4.Hemangioma18

Indikasi intervensi dilakukan jika luka menyebabkan gejala-gejala sebagai berikut: gangguan nafas, ulkus pada kulit, disfagia, trombositopenia, atau kegagalan pada jantung. Kortikosteroid sistemik atau operasi eksisi dengan laser dapat dilakukan pada beberapa kasus. Terapi utama adalah prednisone, dengan dosis 1-3 mg/kg BB/hari per oral; dosis yang lebih tinggi atau kortikosteroid intra lesi kadang-kadang digunakan. Sekitar 30% hemangioma berespon terhadap kortikosteroid dan mulai bereaksi dalam 1 minggu ; 40% hemangioma stabil atau menunjukkan respon yang minimal dan sisanya tidak bereaksi. Interferon (IFN-a) juga digunakan sebagai terapi pada pasien yang tidak menunjukkan respon terhadap kortikosteroid.

Sekitar 70% pasien menunjukkan respon tetapi sekitar 10-20% menunjukkan resiko kelainan neurologi. Terapi laser kadang-kadang digunakan pada beberapa situasi. III.1.8. Teratoma13 Teratoma pada kepala dan keher terjadi kira-kira 3.5%dari semua teratoma. Berasal dari sel pluripoten dan menurut definisi berisi unsure-unsur dari tiga lapisan kuman. Teratoma pada umumnya tampak sebagai massa di leher dan umumnya terjadi sejak lahir atau tahun pertama kehidupan. 20% timbulnya teratoma dihubungkan dengan ibu yang mengalami polihidramnion. Ketika bertambah besar, teratoma dapat menyebabkan gangguan pernapasan, karena menekan trakea atau disfagiasekunder karena menekan esofagus. Proses kalsikfikasi mungkin dapat dilihat dengan CT scan dan MRI. Metoda perawatan yang paling berhasil adalah eksisi dengan pembedahan. III.1.9.Kista dermoid13 Kista dermoid berasal dari epithelium yang telah menempel di jaringan yang lebih dalam baik selama embryogenesis maupun oleh traumatic implantasi. Kista ini berisi berbagai jaringan dari tiga lapisan kuman dan paling sering terbentuk dari fusi embriologi. Secara khas tampak di midline, nontender, massa leher yang bias digerakkan di regoon submental. Eksisi dengan pembedahan adalah perawatan utama. III.1.0.Kista timik13 Kantong brankial yang ketiga membentuk timus pada minggu ke enam dari kehidupan janin, elongasi di faring dan kemudian turun mediastinum. Kista timik muncul ketika ada implantation dari jaringan timik sepanjang perjalanannya. Kista ini tampak sebagai slowgrowing, massa yang asimtomatik yang mungkin sakit jika terkena infeksi. Jarang sekali, kista ini tumbuh dengan cepat dan menyebabkan dispnea atau disfagia. CT scan dan MRI bermanfaat dalam diagnose banding. Diagnosa pasti dibuat secara histology dengan ditemukannya sel darah Hassall. Kista timik ditangani dengan eksisi dengan pembedahan. III.1.11. Tumor sternokleidomastoid pada masa kanak-kanak13 Tumor sternokleidomastoideus pada massa kanak-kanak tampak sebagai massa dengan ciri histologinya adalah jaringan berserat tebal dan tidak adanya otot striated normal. Kelainan ini dihubungkan dengan tortikolis sejak lahir. Tumor sternokleidomastoideus pada masa kanakkanak secara khas tampak sebagai massa terpisah tanpa rasa sakit di dalam otot sternokleiodmastoid, meningkat ukurannya secara pelan-pelan dalam 2-3 bulan dan kemudian menurun dalam 4-8 bulan. 80% dari kasus pecah secara spontan dan tidak memerlukan intervensi apapun selain dari fisioterapi untuk mencegah tortikolis. Reseksi pembedahan dilakukan untuk kasus yang menetap. 12. Hiperplasia sebasea

Hiperplasia sebasea sering muncul pada dahi, hidung, bibir bagian atas dan leher dari neonates dalam bentuk papul berwarna putih kekuningan sebesar jarum pentul dan luas. Papul ini biasanya mengecil dan hilang dalam beberapa minggu kelahiran. IV. INFEKSI Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman-kuman / bakterbakteri yang masuk ke dalam badan dan barier pula untuk sel-sel tumor ganas. Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel-sel limfosit darah tepi. Kelainan yang dapat dijumpai pada kelenjar getah bening berupa pembesaran kelenjar itu dapat disebabkan oleh infeksi akut maupun kronis (nonspesifik dan spesifik). 1. Parotitis Parotitis (mumps atau gondongan) adalah suatu penyakit menular dimana seseorang terinfeksi virus (paramoxyvirus) yang menyerang kelenjar ludah (kelenjar parotis)di antara telinga rahang sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi bagian bawah. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara endemic atau epidemic. Gangguan ini cenderung menyerang anak-anak yang berumur 2-12 tahun. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar), sistemsaraf pusat, pancreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Adapun mereka yang berisiko besar untuk menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormone kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat iodium dalam tubuh. Penyebaran virus dapat ditularkan melalui kontak langsung, percikan ludah, bahan muntah, mungkin dengan urin. Virus dapat ditemukan dalam urin hari pertama sampa hari keempat belas setelah terjadi pembesaran kelenjar. Penyakit ini sangat jarang ditemukan pada anak yang berumur kurang dari 2 tahun, hal tersebut karena umumnya mereka masih memiliki atau dilindungi oleh antibody yang baik. Seseorang yang pernah menderita parotitis, maka dia akan memiliki kekebalan seumur hidupnya. 2. LIMFADENITIS TB Tuberkulosis (TB) merupakan masih merupakan masalah terbesar di Indonesia. Prevalensinya mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian nomor 3 di Indonesia. Indonesia merupakan penyumbang kasus TB nomor 3 terbesar di dunia. Diperkirakan, masalah TB yang belum juga berakhir ini terjadi karena basil tuberculosis resisten yang telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Kemungkinan juga karena adanya infeksi ganda spesies basil mikobacterium, misalnya infeksi basilM. Atipik bersama-sama dengan M. tuberculosis terjadi

pada satu penderita TB. Atau, bahkan infeksi ganda antara satu spesies M.atpik dengan spesies M. atipik lainnya pada satu penderita TB. Bakteri dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfe di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur-angsur kelenjar didekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Disamping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan seperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru disertai secret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Pengobatan dilakukan secara tuberkulostatik. 3. Abses Peritonsil (Quincy) Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Webber di kutub atas tonsil. Biasanya kumam penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium awal (stadium infiltrate), selain pembengkakan tampak permukaan hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peraangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. 4. Abses Retrofaring Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran linfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Pada usia diatas 6 tahun kelenjar limfe akan mengalami atrofi. Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring adalah: A. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring

B. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi trakea, dan endoskopi C. Tuberculosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)

5. Abses Parafaring Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara: a. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. b. Proses supurasi kelenjar linfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. c. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. 6. Abses Submandibula Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe, submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran dapat kuman aerob dan anaerob. Gejala yang muncul adalah nyeri leher disertai pembengkakan dibawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. 7. Angina Ludovici Angina Ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak terbentuk abses, sehingga keras pada

perabaan submandibula. SUmber infeksi sering kali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuma aerob dan anaerob. Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas. V. TRAUMA Massa pada leher akibat trauma jarang terjadi. Umumnya dokter dan pasien menghubungkan massa pada leher dikarenakan sebab lain selain trauma. Massa pada leher akibat trauma bisa disebabkan karena luka tajam atau tembak yang mengenai sserabut otot plastisma leher. Sebab lain massa pada leher akibat trauma dapat kita dijumpai pada cedera vascular yang dapat menyebabkan fistula arteriovenosus, laringocele yang sering kita jumpai pada pemain terompet, dan divertikulum zenker (24,25). III.3.1 Massa akibat trauma benda tajam dan peluru (25) Trauma benda tajam atau peluru yang mengenai leher dapat mencederai serabut oto plastima leher. Luka tersebut dapat berupa luka tembak dan luka tajam. Cedera pada leher 5-10% kasus merupakan kasus emergensi. Untuk cedera pada leher yang dapat menyebabkan kematian sekitar 30% kasus. Kematian paling sering akibat cedera pembuluh darah besar seperti vena dan arteri carotis dan subklavia. Klasifikasi cedera pada leher dapat di sengaja dan tidak sengaja. Alat yang digunakan dapat dibagi menjadi benda tajam(pisau, gunting dan lain-lain) dan tembak (peluru dan proyektil). Setiap luka mempunyai karekterikstik tertentu dalam pembedahannya. III.3.2 Fistula karotis-cavernosa merupakan hubungan yang abnormal dari system arteri dan vena dalam sinus cavernosus pada tengkorak. Ini merupakan jenis dari fistula arteriovenous, dimana terbagi menjadi beberapa stadium kelainan sirkulasi pada fistel arteriovenousus. Pada stadium dini terdapat flekbektasi yaitu pelebaran vena di distal maupun proksimal fistel. Pada stadium kedua terhadi kompensasi jantung yang diperlihatkan dengan curah jantung yang meningkat. Juga terdapat tanda awaliskemik perifer. Pada stadium ketiga ditemukan dekompensasi jantung dengan tanda bendungan jantung dan oedema. Terlihat pelebaran pembuluh darah kea rah sentral dan massa fistel arteriovenosus berupa aneurisma. (gambar III.5.fistula karotis kavernosa) Fistula karotis-cavernosa bias terjadi luka tertutup atau terbuka pada trauma kepala, komplikasi dari pembedahan, rupture dari aneurisma intravena dan lain-lain. III.3.3. Divertikulum Zenker(30)

Atau disebut juga divertikulum faringoseofageal, yaitu merupakan suatu massa yang berasal dari mukosa faring, dibawah dari ototkrikofaringeuss (yaitu, di atas spingter esofagus) Divertikulum Zenker banyak mengenai dewasa tua, disebabkan karena adanya fase relaksasi dari otot krikofaringeus sewakktu menelan. Selain itu karena adanya tekanan yang tinggi yang menimbulkan herniasi dari mukosa posterior, yaitu antara otot kontriktor faringeus inferior dengan oto krikofaringeus. (gambar III.6.Divertikulum Zenker) III.4.METABOLIK (31) Penyakit-penyakit metabolic yang melibatkan kelenjar tiroid dan paratiroid dapat bermanifestasi sebagai benjolan pada leher. Pada hipertiroidism manifestasi klinisnya jelas dan dapat didiagnosis denga test tetra-iodotironin (T4), tri-iodotironin (T3), tirod stimulating hormone (TSH) dan tiroid uptake serta tiroid scan (24) III.5 TUMOR III.5.1. Keganasan Metastatik (12) Keganasan metastatic sebaiknya selalu dicurigai jika ditemukan massa yang membesar, keras, tidak nyeri pada individu yang lebih tua. Pada sebagian besar kasus kegansan prmer terletak di atas klavikula. Khususnya untuk massa-massa pada leher dua pertiga bagian atas. III.5.1.1.Karsinoma Sel Squamosa Metastatik Kanker yang paling sering bermetastasis ke kelenjar getah bening sevikal adalah kanker sel squamosa dari kulit wajah, kulit kepala, bibir, lidah, mukosamulut, nasofaring, sinus-sinus paranasal, orofaring dan hipofaring. Pemeriksaan yang sempurna pada daerah-daerah ini menunjukkan lesi primer pada sebagian besar kasus. Jika lesi primer dapat ditemukan sebelum biopsy daerah metastatic. Sebaliknya, biopsy leher yang terburu-buru tanpa pencarian lesi primer terlebih dahulu dapat mengkontaminasi leher dengan sel-sel kanker dan menimbulkan komplikasi atau pengobatan yang terlambat dari lesi primer. Factor-faktor ini dapat mengurangi kesempatan untuk sembuh. Letak kelenjar getah bening dapat membantu diagnosis. misalnya, kelenjar getah being supraklavikula saja dengan kanker sel squamosa biasanya menunjukkan penyakit metastatic dari paru-paru. Sebaliknya, kanker sel squamosa pada kelenjar segitiga posterior biasanya merupakan penyakit metasstatik dari nasofaring. Kadang-kadang walupun sudah dilakukan pemeriksaan yang ekstensif tetapi sumber primer karsinoma sel squamosa metastatic dari kelenjar getah being servikal tidak ditemukan. Pada keadaaan ini, pembedahan leher yang meliputi kelenjar getah being servikal tidak ditemukan. Pada keadaan ini, pembedahan leher

yang meliputi kelenjar getah being yang terkena sebaiknya dilakukan. Pada sebagian besar kasus terapi radiasi pasca operatif tambahan sebainya diberikan pada leher dan saluran aerodigestif bagian atas. III.5.1.2.Adenokarsinoma Metastatik Adenokarsinoma padakelenjar getah bening sevikal paling sering menunjukkan penyakit metastatic dari kelenjar tiroid, kelenjar ludah atau saluran pencernaan. Dengan demikian, keadaan ini juga membutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk tumor primer melalui pemeriksaan endoskopi dan pemeriksaan radiologi dari bronkopulmoner, saluran pencernaan dan saluran kemih, kelenjar liur dan tiroid. Pada wanita, tumor payudara dan pinggul juga harus dipertimbangkan. III.5.1.2.Tumor Badan Karotis Tumor badan karotis merupakan salah satu dari kelompok tumor yang dikenal sebagai kemodekstoma yang berasal dari jaringan kemoreseptif kepala dan leher. Tumor yang spesifik ini tamapk sebagai massa yang keras, bulat, tumbuhnya lambat pada bifukasio karotis. Diagnosis ini dapat dibuat berdasarkan CT Scan dan/atau arteriografi, yang akan memberikan gambaran gambaran massa yang kaya dengan pembuluh darah yang khas pada bifukasio karotis. Biopsy sebainya dihindari. Tumor-tumor ini jarang menjadi ganas tetapi sebaiknya diangkat pada individu yang masih muda dan sehat untuk menghindari pertumbuhan selanjutnya dan gejal-gejala penekanan massa. Sebaliknya, tidak adanya gejala-gejala, risiko perdarahan pada waktu operasi (karena tumor ini berhubungan erat dengan arteri karotis interna dan eksterna) dan kecenderungan pertumbuhan yang lambat maka pengobatan dapat ditunda pada individu yang lebih tua atau individu yang lemah. III.5.1.4.Tumor-tumor Neurogenik Sebagian besar saraf-saraf di kepala dan leher membentuk daerah yang rentan terhadap tumor yang berasal dari tumor neurogenik. Neurilemoma (schawanoma) dan neurofibroma, yang merupakan jenis yang paling sering ditemukan, merupakan jenis yang hamper sama. Keduanya berasal dari sel neurilema (Schwann) saraf-saraf yang bermielin dan keduanya biasanya terjadi sebagai massa yang tanpa rasa nyeri, tumbuh lambat pada leher bagian lateral. Perbedaan antara kedua jeni tumor ini hanya dapat

You might also like