You are on page 1of 12

Seminar Nasional Biologi 2010

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS Pseudomonas UNTUK BIOREMEDIASI EKOSISTEM AIR SUNGAI TERCEMAR LIMBAH DETERJEN

Dr. SUHARJONO, MS. JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

A. Pencemaran Deterjen Di Ekosistem Air Sungai Pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan perkembangan sentrasentra industri di berbagai daerah telah meningkatkan kebutuhan air. Kebutuhan air tersebut sampai saat ini pada umumnya masih bergantung pada ketersediaan air sungai. Dengan demikian air sungai merupakan sumber daya alam yang vital dan esensial bagi kehidupan manusia dan bagi kelestarian flora dan fauna. Namun demikian pada saat ini menunjukkan sungai yang melintasi kota besar atau pemukiman dengan kepadatan penduduk yang tinggi serta daerah industri kualitas airnya terus menurun. Hal tersebut disebabkan sebagian besar pemukiman penduduk di negara-negara sedang berkembang pada umumnya limbah cair domestik dan industri dibuang langsung ke ekosistem air sungai. Hanya sedikit pemukiman yang memiliki unit pengolah limbah cair, misalnya di Taiwan kurang dari 5 % dan di Brasilia 10 %. Secara kualitas maupun kuantitas beban limbah domestik dan industri semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama dengan dipakainya bahan-bahan baku kimia yang sukar terurai untuk memproduksi barang-barang keperluan manusia. Menurut Roedjito (1996) sumber pencemar ekosistem sungai bagian hulu 68% berasal dari limbah domestik dan 32 % dari industri, sedangkan di bagian hilir sebaliknya. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan jumlah penduduk juga telah meningkatkan kebutuhan deterjen sebagai bahan pembersih. Deterjen yang digunakan pada saat ini dominan mengandung bahan aktif surfaktan anionik

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

Liniar Alkilbenzen Sulfonat (LAS). Deterjen pertama kali diproduksi di Indonesia pada awal tahun 1970 oleh PT Unilever Indonesia. Konsumsi deterjen di Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan seseorang. Di Indonesia ada sekitar 133 merk/nama produk deterjen dengan jumlah produksi 495.800 ton pada tahun 1998 menjadi 499.100 ton pada tahun 2002 dengan nilai ekspor 14.780 ton pada tahun 1997 menjadi 77.565 ton pada tahun 2002 (Goliath, 2004). Tingkat konsumsi penduduk per kapita rata-rata sebesar 18 kg. Konsumsi global terhadap surfaktan LAS menurut Vidali (2000) meningkat dari 13 juta ton pada tahun 1977 menjadi 18 juta ton pada tahun 1996, dengan jumlah sekitar 1,5 juta ton per tahun digunakan sebagai bahan aktif deterjen. Menurut Blagoev dan Gubler (2009) sekitar 2 juta ton LAS dikonsumsi per tahun di dunia pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 ditargetkan 3,4 juta ton untuk bahan aktif deterjen. Pengguna deterjen pada umumnya (86,8 %) tidak mengetahui jenis bahan aktif yang dikandung dalam deterjen dan memiliki rasa kepedulian yang rendah terhadap kelestarian lingkungan hidup yang ditunjukkan 91,2 % konsumen membuang air limbah deterjen ke saluran drainase. Alasan utama penggunaan suatu deterjen oleh konsumen karena daya bersih yang dihasilkan tetapi bukan didasarkan pada keamanan terhadap lingkungan. Hal tersebut diperkuat dengan 86 % responden menggunakan deterjen untuk setiap kali mencuci yang melebihi takaran yang dianjurkan, serta konsumsi deterjen sekitar 1,0-2,0 kg/keluarga/bulan (Suharjono, 2008). Deterjen adalah senyawa organik yang memainkan peran sangat penting dalam kehidupan manusia setiap hari serta sangat luas digunakan di industri dan domestik. Bahan tersebut saat ini lebih dominan dan secara luas digunakan sebagai agen pembersih menggantikan sabun karena harganya lebih murah, mempunyai daya pembersihan lebih baik, serta tidak membentuk garam

magnesium dan kalsium dalam air sadah. Produk tersebut secara aman dan efektif menghilangkan kotoran, menghilangkan/membunuh bibit penyakit dan kontaminan lain sehingga menjaga kesehatan dan memelihara lingkungan tempat tinggal menjadi nyaman. Menurut Farzaneh et al. (2010) surfaktan anionik

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

sintetik merupakan senyawa yang secara ekonomi penting dan digunakan secara luas dalam industri deterjen, cat, polimer, tekstil, pestisida, penambangan minyak, dan kertas. Deterjen pada saat ini merupakan salah satu parameter penting yang memengaruhi kualitas air limbah industri dan domestik, bila penggunaannya berlebihan dan limbahnya secara berkesinambungan dibuang langsung ke ekosistem air sungai menambah beban pencemaran dan menurunkan kualitas air sungai (Kementerian Lingkungan Hidup, 2005). Di sebagian besar negara sedang berkembang, air sungai tercemar berat oleh limbah industri dan rumah tangga yang terutama mengandung

deterjen/surfaktan sintetik. Menurut OECD SIDS (2005) surfaktan LAS dalam deterjen dimasukkan sebagai bahan kimia prioritas rendah karena potensi bahaya dan bioakumulasi yang rendah serta mudah terdegradasi. Namun demikian pembuangan limbah cair domestik di negara berkembang yang mengandung deterjen dan tidak didegradasi di unit pengolah limbah cair (UPLC) akan mengitroduksi surfaktan anionik ke ekosistem akuatik khususnya air sungai. Surfaktan tersebut di air sungai dengan kandungan oksigen terlarut yang rendah sulit terdegradasi, persisten dan terakumulasi sehingga konsentrasinya melampau nilai ambang 0,5 mg/L (Tabel 1). Limbah deterjen tersebut tidak menjadi masalah bagi negara-negara industri/maju dengan UPLC yang dapat mendegradasi lebih dari 95 % sehingga konsentrasinya dalam air yang keluar dari reaktor tersebut maupun di badan air sungai masih di bawah nilai ambang 0,5 mg/L.

Tabel 1. Perbandingan konsentrasi deterjen di air beberapa sungai Nama Sungai Konsentrasi Pustaka Deterjen (mg/L) Air Kali Mas 0,82 1,43 Retnaningdyah et al., Air Kali Mas (musim kemarau) 2,49 4,65 1999 Mitakda et al.,2000 Air Anak Kali Brantas (musim 3,75 - 4,44 hujan) 4,63 - 5,29 Suharjono, 2008 Air Anak Kali Brantas (musim 15,20 63,97 Suharjono, 2008 kemarau) 45-132 Suharjono, 2008 Sedimen Anak Kali Brantas 0,084-5,592 Eniola & Olayemi, 2008 Sedimen sungai Nigeria 0 10,24 Sungai Gediz Turki 0,004 0,29 Minareci et al., 2009 0,01 0,3 Rustu, 2006 Sungai di Turki pada umumnya

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

Sungai di Jepang Sungai di Amerika Serikat (Mississippi) Sungai di Inggris (Yorkshire) Sungai di Jerman (Itter) Sungai Gediz Muara Sungai Laut Mediterranean mg/L

0,05 0,25 0,007 0, 011 0,084 5,592 0,083-0,4

Rustu, 2006 Rustu, 2006 Rustu, 2006 Rustu, 2006 Rustu, 2006 Guven et al., 2010

Surfaktan dalam deterjen yang terakumulasi di ekosistem air sungai bersifat toksik bagi berbagai organisme akuatik (Tabel 2). Toksisitas surfaktan dalam deterjen terhadap organisme dipengaruhi oleh struktur kimiawinya, jenis dan stadium pertumbuhan organisme, lama terdedah serta kondisi lingkungannya. Surfaktan tersebut dapat menimbulkan busa yang menghalangi penetrasi cahaya yang menghambat fotosistensis dan membunuh mikroalga serta menghalangi difusi oksigen dari udara sehingga suplai oksigen ke badan air berkurang. Senyawa fosfat sebagai builder dalam deterjen juga dapat menyebabkan eutrofikasi yang mengakibatkan ledakan populasi (blooming) tanaman air dan berkurangnya kandungan oksigen terlarut dalam air. Hal ini menyebabkan turunnya kandungan oksigen terlarut dalam air yang mengakibatkan terganggunya respirasi organisme heterotrof dan terhambatnya biodegradasi deterjen. Surfaktan anionik LAS memiliki toksisitas akut dan kronis terhadap alga invertebrata dan ikan antara 0 1 mg/L (Cramer, 2010). Semua jenis deterjen dapat merusak lapisan mukus/lendir eksternal yang melindungi ikan dari bakteri dan parasit serta merusak insang. Sebagian besar jenis ikan akan mati bila kandungan deterjen dalam air sekitar 15 mg/L dan pada konsentrasi 5 mg/L membunuh telur ikan. Surfaktan deterjen dapat menurunkan kemampuan perkawinan organisme

akuatik. Deterjen pada konsetrasi 2 mg/L menyebabkan kemampuan absorbsi senyawa menjadi dua kali lebih besar dibandingkan pada kondisi normal. Surfaktan juga dapat menyebabkan hemolisis, iritasi kulit dan mata, dan penghambatan enzim. Surfaktan kationik bersifat herbisidal dan toksisitasnya tinggi bagi moluska, cacing, anabaena, dan bakteri; sedangkan konsorsium mikrobia pembentuk biofilm di sedimen ekosistem air sungai pertumbuhannya sensitif pada konsentrasi LAS 8,22 mg/L (Flores et al., 2010). Oleh karena itu

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

limbah deterjen tersebut merupakan salah satu faktor penyebab punahnya berbagai organisme akuatik di ekosistem air sungai.

Tabel 2. Toksisitas akut surfaktan deterjen pada organisme akuatik Takson LC50 (mg/L) Pustaka Melanoides granifera (moluska) 6,17 (LAS) 13,02 Retnaningdyah et al., - 96 jam (ABS) 1999 Lymnaea rubiginosa (moluska) - 11,96 (LAS) 27,8 Retnaningdyah et al., 96 jam (ABS) 1999 Belamya javanica (moluska) - 96 18,86 (LAS) 23,53 Retnaningdyah et al., jam (ABS) 1999 OECD SIDS. 2005 Lepomis macrochirus (ikan) - 96 1,67 OECD SIDS. 2005 jam 1,62 OECD SIDS. 2005 Daphnia magna (krustacea) - 48 29,0 jam Selenastrum capricomutum (alga) - 96 jam B. Peran Bakteri Pseudomonas dalam Biodegradasi Limbah Deterjen Strain-strain bakteri anggota Genus Pseudomonas tersebar luas di alam dan kelimpahannya predominan. Densitas bakteri anggota Genus Pseudomonas di kolom air ekosistem sungai yang tercemar deterjen lebih tinggi dibandingkan dengan di ekosistem yang relatif tidak tercemar dan di kedua ekosistem sungai tersebut memiliki densitas bakteri lebih tinggi di permukaan sedimen dibandingkan dengan di kolom airnya. Konsentrasi deterjen di sedimen juga lebih tinggi dibandingkan di kolom air, sehingga bakteri penghuni sedimen akan terdedah pada konsentrasi surfaktan yang tinggi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan bakteri di kolom air (Olayemi et al., 2003, Suharjono et al., 2008). Berbagai strain anggota genus tersebut memiliki keunggulan metabolik, sehingga dapat digunakan dalam bioremediasi berbagai pencemar di lingkungan khususnya berperan sangat penting dalam biodegradasi dan mereduksi toksisitas limbah deterjen yang mengandung bahan aktif LAS (Tabel 3). Surfaktan LAS merupakan sumber karbon dan energi yang potensial untuk pertumbuhan beberapa strain bakteri anggota Genus Pseudomonas meskipun senyawa tersebut toksik bagi strain-strain bakteri yang lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa berbagai strain indigenous khususnya strain-strain anggota Genus Pseudomonas

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

yang sudah terdaptasi dengan pencemaran deterjen memiliki potensi yang lebih tinggi dalam mendegradasi LAS di bandingkan strain-strain dari genus tersebut yang berasal dari ekosistem sungai yang tidak tercemar (Suharjono 2008 ; 2010b) . Struktur surfaktan yang kompleks untuk mendegradasinya memerlukan interaksi beberapa strain bakteri, karena terbatasnya kemampuan metabolik strain bakteri secara individual. Strain bakteri tertentu anggota Genus Pseudomonas mampu mengoksidasi rantai alkil dan strain yang lain dapat memecah hasil biodegradasi tersebut. Dalam fase adaptasi selama pertumbuhan bakteri dalam medium air yang tercemar surfaktan anionik, bakteri dapat mengalami: i) induksi enzim yang relevan dan atau ii) mutasi secara acak untuk menghasilkan kemampuan biodegradasi, dan atau iii) peningkatan densitas sel bakteri yang kompeten. Proses biodegradasi surfaktan tersebut melibatkan sistem enzim oksidatif, sehingga biodegradasi dapat berlangsung optimal dalam kondisi aerobik. Strain-strain bakteri mampu mendegradasi surfaktan dalam deterjen karena memiliki operon OCT yang menyandikan sistem enzim pendegradasi rantai alkil (Van Beilen et al., 2001; Smits et al., 2002; Dinamarca et al., 2003), dan operon TOL yang menyandikan enzim-enzim pengatalisis pemecahan cincin benzene (McCoy, 2000; Wackett, 2003), serta operon ssu EADCBF pada plasmid yang menyandikan sistem enzim monooksigenase untuk desulfonasi LAS (Kahnert et al., 2000; Schleheck et al., 2003). Tabel 3. Potensi Biodegradasi LAS oleh Strain Bakteri anggota Genus Pseudomonas Strain Bakteri Potensi Pustaka Biodegradasi Pseudomonas sp. H-3-1 Batch 70-75% dalam 24 Lee dan Hong culture jam (1980) et al. Pseudomonas sp. KJB1 Batch 25 % dalam 13 hari Jimenez culture 66,6 % dalam 28 (1991) Pseudomonas isolat Kali Mas Batch hari Suharjono et al. 52,67 % dalam 4 (1999) culture Pseudomonas sp. strain J Batch hari Suharjono (2008) 48,9 % dalam 4 hari Suharjono (2008) culture Pseudomonas sp. strain R Batch 34,96 % dalam 4 Suharjono (2008) culture hari Suharjono (2008)

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

P. putida FNCC071 Batch culture Pseudomonas sp. strain A Batch culture Pseudomonas sp. strain B Batch culture P. putida FNCC071 Pseudomonas sp. strain J adapted Pseudomonas sp. strain R adapted Konsorsium 10 Pseudomonas sp. biofilm - debit 40 mL/jam - debit 60 mL/jam - debit 80 mL/jam sedimen pasir - debit 80 mL/jam sedimen kerikil - debit 80 mL/jam sedimen kerakal

41,4 % dalam 9 hari 46,1 % dalam 9 hari 89 % dalam 12 hari 80 % dalam 12 hari 87 % dalam 12 hari 51,06% 67,23% 59,85 % 60,37 % 44,47 %

Suharjono (2008) Suharjono (2008) Suharjono et al. (2007) Suharjono et al. (2007) Suharjono (2008) Suharjono et al. (2009) Suharjono et al. (2009) Suharjono et al. (2010a) Suharjono et al. (2010a) Suharjono et al. (2010a)

C. Pemberdayaan Bakteri Pseudomonas dalam Bioremediasi Ekosistem Sungai Tercemar Limbah Deterjen Hingga saat ini pengelolaan ekosistem air sungai masih difokuskan pada pengendalian pencemaran sungai yang dirintis sejak tahun 1989 oleh Kantor Menteri Negara PPLH melalui program kali bersih (prokasih). Prokasih antara lain bertujuan mencegah terjadinya pencemaran air dan meningkatkan peruntukannya. Namun demikian setelah 21 tahun prokasih ternyata tidak berhasil meningkatkan kualitas air sungai dan bahkan kualitas airnya terus menurun. Menurut Trihadiningrum (2001) ketidakberhasilan prokasih antara lain disebabkan: a) Sumber pencemaran yang dikendalikan terfokus pada limbah industri, sedangkan limbah pertanian dan domestik belum dikendalikan. b) Program pengendalian pencemaran belum melibatkan pihak-pihak yang berkompeten secara optimum dan terpadu. c) Belum adanya kepedulian dan komitmen yang memadai dari pihak-pihak pengguna air sungai. d) Aspek penerapan dan hukum lingkungan masih lemah. Program kali bersih tersebut masih terbatas pada pengendalian limbah padat yang kasat mata sedangkan limbah kimia yang terlarut dan secara nyata menjadi pencemar dan penyebab penurunan kualitas air sungai belum banyak ditangani. Usaha pengolahan limbah

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

terlarut tersebut juga telah dilakukan di bagian hilir sungai oleh pihak PDAM atau institusi penelitian, tetapi hasilnya tidak efektif karena beratnya tingkat pencemaran oleh berbagai pencemar di bagian hilir. Usaha penanggulangan limbah deterjen tersebut telah dilakukan dengan metode koagulasi dan metode adsorpsi dengan zeolit tetapi hasilnya juga kurang efektif dan kurang memadai untuk digunakan dalam skala besar. Penelitian dengan metode keramba makrofita akuatik di perairan Sungai Brantas hilir (di Surabaya) ternyata tidak efektif menurunkan kandungan deterjen karena debit air yang terlampau besar. Salah satu alternatif cara penanggulangan limbah cair domestik yang mengandung surfaktan anionik dalam suatu badan air adalah dengan bioremediasi oleh mikrobia di tempat sumber pencemar bagian hulu, karena debit airnya tidak terlampau besar serta macam bahan pencemarnya relatif lebih sedikit. Bioremediasi merupakan salah satu teknologi yang efektif untuk restorasi lingkungan yang tercemar deterjen serta mampu menurunkan toksisitas pencemar tersebut dengan melibatkan aktivitas mikrobia. Komunitas mikrobia tersebut memainkan peran sangat penting dalam biodegradasi senyawa pencemar alami maupun yang berasal dari aktivitas manusia, sehingga mendukung swapurifikasi ekosistem secara alami. Pertumbuhan bakteri Pseudomonas di ekosistem air sungai yang tercemar deterjen berasosiasi dengan permukaan sedimen membentuk biofilm. Biofilm merupakan mekanisme untuk mempertahankan kelangsung hidup di alam khususnya strain-strain anggota Genus Pseudomonas yang umumnya terbentuk dari beberapa strain/spesies (Dunne, 2002; OToole, 2003, Suharjono et al., 2009 dan 2010a). Komunitas tersebut merupakan bentuk kerja sama organisme teradaptasi yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya lingkungan secara efisien dan menghasilkan lingkungan mikro yang sesuai di dalam lingkungan makro yang tidak sesuai. Densitas bakteri komunitas Pseudomonas di sedimen (26,33 x105-103,67 x105 cfu/g) lebih tinggi daripada di kolom air (0,51 x105-10,47x105 cfu/ml). Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya sumber nutrisi seperti nitrat, fosfat, bahan organik, dan LAS pada sedimen akan menyebabkan mikrobia cenderung tumbuh lebih baik dan densitasnya lebih tinggi pada sedimen dibandingkan dengan di kolom air. Tingginya densitas bakteri di sedimen

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

disebabkan kondisinya aerob serta banyak nutrisi hasil sedimentasi bahan organik dari kolom air di atasnya dan difusi dari sedimen bagian dalam. Keuntungan masing-masing strain bakteri penyusun komunitas dalam biofilm tersebut antara lain: a) Mendapat perlindungan dari berbagai parameter lingkungan yang tidak sesuai dan b) Terjaminnya ketersediaan nutrien dan kerjasama metabolik. Potensi komunitas bakteri anggota Pseudomonas pembentuk biofilm pada umumnya tidak optimal dalam meremediasi ekosistem air sungai yang tercemar deterjen. Hal ini antara lain disebabkan a) densitas yang rendah dari komunitas bakteri pendegradasi limbah, b) kandungan oksigen terlarut yang rendah, c) sedimen yang sedikit karena diambil oleh manusia atau tertutup sampah padat, dan d) debit air yang tidak optimum. Untuk biodegradasi yang optimum limbah deterjen diperlukan kandungan oksigen dan densitas bakteri yang tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan potensi bakteri supaya optimal kinerjanya dalam meremediasi ekosistem tercemar deterjen dapat dilakukan dengan beberapa usaha: a) Mempertahankan sedimen selalu ada dalam jumlah yang memadai sebagi tempat bakteri membentuk biofilm yang dapat meningkatkan densitas bakteri. Adanya sedimen tersebut dapat meciptakan riak-riak atau jeram yang dapat meningkatkan difusi oksigen ke dalam air. b) Eksositem sungai dibuat dangkal sehingga penetrasi cahaya sampai permukaan sedimen untuk fotosistensis mikroalga dan terdapat jeram yang meningkatkan kandungan oksigen terlarut. Jeram air dan jeluknya dengan debit yang disesuaikan dengan volume jeluk, adanya sedimen dengan densitas biofilm bakteri, dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan degradasi pencemar lebih cepat. Usaha tersebut harus disertai dengan peningkatan kepedulian dan komitmen pada kelestarian lingkungan, efisiensi dan penggunaan deterjen secara bijak, pengelolaan sumber pencemar, implementasi hukum lingkungan yang kuat, dan pengelolaan ekosistem secara terpadu. Daftar Pustaka M. and R. Gubler. 2009. Detergent Blagoev, http://www.sriconsulting.com/CEH/Public/Reports/609.5000/ Alcohol.

10

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

Cramer, M. L . 2010. Laundry Detergents & Pollution. Laundry Detergents & Pollution | http://www.ehow.com/about_6163345_laundry-detergents pollution.html#ixzz0ySKqECPI Dinamarca, M. A., I. Aranda-Olmedo, A. Puyet & F. Rojo. 2003. Expression of the Pseudomonas putida OCT Plasmid Alkane Degradation Pathway is Modulated by two Different Global Control Signals: Evidence from Continuous Cultures. J. Bacteriol. 185(6): 4772-4778. Dunne, W. M. 2002. Focus. Bacterial Adhesion : Seen Any Good Biofilm Lately? Clin. Microbiol. Rev. 15 (2): 155-166. Eniola, K.I.T. and A.B. Olayemi. 2008. Linear Alkylbenzene Sulfonate Tolerance in Bacteria Isolated from Sediment of Tropical Water Bodies Polluted with Detergents. Rev. Biol. Trop. (Int. J. Trop.Biol.) 56(4): 1595-1601. Farzaneh H., M. Fereidon, A. Noor and G. Naser. 2010. Biodegradation of Dodecylbenzene Sulfonate Sodium by Stenotrophomonas maltophilia Biofilm. Afr. J. Biotechnol. 9(1): 055- 082. Flores, G.P., C.M. Badillo, M.H. Cortazar, C.N. Hipolito, R.S. Perez and I.G. Sanchez. 2010. Toxic Effect of Linear Alkylbenzene Sulfonate, Anthracene and Their Mixture on Growth of a Microbial Consortium Isolated from Polluted Sediment. Rev. Int. Contam. Ambient. 26(1): 3946. Goliath. 2004. Consumption of detergent increasing up to 499,100 tons in 2002. Indonesian Commercial Newsletter. http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-169343/Consumption-ofdetergent-increasing-up.html Guven, K.C., F. Nesimigil, S. Cumali, A. Yalcin, C. Gazioglu, B. Coban. 2010. Anionik Detergent LAS Pollution and Discharged Amount from Turkish Coast to the Black Sea during 2004-2007. J. Black Sea/Mediterranean Environment. 16(1): 5-24. Jimenez, L., A. Breen, N. Thomas, T. W. Federle & G. S. Saylor. 1991. Mineralization of Linear Alkylbenzene Sulfonate by a four member Aerobic Bacteries Consortium. Appl. Environ. Microbiol. 57 (5): 1566 1569. Kahnert, A., P. Vermeij., C. Wietek, P. James, T. Leisinger, & M. A. Kartesz. 2000. The ssu locus Plays a Key role in Organosulfur Metabolism in Pseudomonas putida S-313. J. Bacteriol. 182 (10): 2869 2878. Kementerian Lingkungan Hidup. 2005. Panduan Teknis Bagi Industri dalam Pemenuhan Persyaratan Kriteria Ekolabel Produk Serbuk Deterjen Pencuci Sintetik untuk Rumah Tangga. Asdep Urusan Standardisasi, Teknologi dan Produsi Bersih, Kementerian Lingkungan Hidup. Lee, H. J. & S. W. Hong. 1980. Biodegradation of and Comparison of Adaptability to Detergents. Kor. J. Microbiol. 18 (4): 153 160. McCoy, M. M. 2000. Determination of the Presence of the Catabolic Alkane Monooxygenase Gene From Soil Microorganisms Isolated from Coastal Sand Dunes. Biological Sciences Department, College of Science and Mathematics, California Polytechnic State University, San Luis Oispo.

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

11

Seminar Nasional Biologi 2010

Minareci, O., M. Ozturk, O. Ogemen, and E. Minareci. 2009. Detergent and Phosphate Pollution in Gediz River, Turkey. Afr. J. Biotechnol. 8(15): 3568-1575. Mitakda, B., Prayitno, Suharjono & C. Retnaningdyah. 2000. Perancangan dan Pemodelan Usaha Peningkatan Kemampuan Purifikasi Sungai Brantas Hilir. Natural 4 (2): 38 49. OECD SIDS. 2005. Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS). SIDS Initial Assessment Report for 20th SIAM, Paris Perancis. Olayemi, A.B., K.I.T. Eniola, S. Awe and T.M. Kayoe-isola. 2003. Distribution of Bacteria in three Detergent-effluent-polluted Water Bodies in Ilorin, Nigeria. NISEB Journal 3(3): 79-86. OToole, G. A. 2003. To Build a Biofilm. J. Bacteriol. 185 (9): 2687-2689. Retnaningdyah, C., S. Samino, Suharjono, I. Doddy & Prayitno. 1999. Uji Toksisitas Akut Surfaktan Deterjen LAS dan ABS terhadap Beberapa Gastropoda Sungai. Natural 3 (2): 63-74. Roedjito. 1996. Peran Limbah Domestik Pada Permasalah Sungai Brantas. Perusahaan Umum ( Perum) Jasa Tirta, Malang. Rustu, I. 2006. Determining The Level of Detergent Pollution in Dardanelles. Tent International Water Technology Conference IWTC, Alexandria, Egypt. Schleheck, D., T. P. Knepper, K. Fischer & A. M. Cook. 2004. Mineralization of Individual Congeners of Linear Alkylbenzene Sulfonate by Defined Pairs of Heterotrophic Bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 70(7): 4053-4063. Smits, T. H. M., S. B. Balada, B. Witholt & J. B. Van Beilen. 2002. Functional Analysis Alkana Hydroxylases from Gram Negative and Gram Positive Bacteria. J. Bacteriol. 184(6): 1733-1742. Suharjono, Y. Subagja, L. Sembiring, C. Retnaningdyah, dan I.K.J.W. Putra. 2007. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Fosfor terhadap Potensi Pseudomonas Pendegradasi Alkilbenzen Sulfonat Liniar (LAS). Berkala Penelitian Hayati 12(2): 107-114. Suharjono. 2008. Keanekaragaman dan Potensi Pseudomonas Strain Indigenous Pendegradasi Surfaktan Anionik di Ekosistem Sungai Tercemar Deterjen. Suharjono, Sutrisno, Ayu Ashari. 2009. Potensi Konsorsium Bakteri Pembentuk Biofilm dalam Mendegradasi Liniar Alkilbenzen Sulfonat. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres PBI XIV pada tanggal 24-25 Juli 2009 di UIN, Malang. Suharjono, Sutrisno, R. N. C. Utama. 2010a. Biodegradasi Liniar Alkilbenzen Sulfonat (LAS) oleh Konsorsium Bakteri Pembentuk Biofilm di sedimen Ekosistem Sungai. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Biologi: Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik, pada tanggal 26 Juni 2010 di Universitas Jenderal Soedirman (Onsoed), Purwokerto. Suharjono, Langkah Sembiring, Yusup Subagja, dan Wiwik E. Widayati. 2010b. Sistematik Filogenetik Pseudomonas Strain Indigenous Pendegradasi Liniar Alkilbenzen Sulfonat. Biota 15(1): 41-50.

12

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

Seminar Nasional Biologi 2010

Trihadiningrum, Y. 2001. Manajemen Perairan Tawar dan Daerah Aliran Sungai serta Kaitannya dengan Konservasi Sumber daya Alam Darat di Era Globalisasi. Program Studi Biologi, FMIPA, ITS, Surabaya. Van Beilen, J. B., S. Panke, S. Lucchini, A. G. Ranchini, M. Rothlisberger & B. Witholt. 2001. Analysis of Pseudomonas putida Alkane-Degradation Gene Clusters and Flanking Insertion Sequences: Evolution and Regulation of the alk Genes. Microbiology 147: 1621-1630. Vidali, M. 2001. Bioremediation. An Overview. Pure Appl. Chem. 73(7): 11631172. Wackett, L. 2003. Pseudomonas putida a Versatile Biocatalyst. Nat. Biotechnol. 21 (2): 136 138.

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010

13

You might also like