You are on page 1of 42

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2005). Sedangkan menurut Carpenito, Lynda Juall (1999) Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan

membuka bagian tubuh yang akan ditangani. Sebelum dilakukan pembedahan ada beberapa hal yang penting yang harus dipersiapkan yaitu persiapan preoperasi ( persiapan fisik dan mental ) Hal tersebut membantu memperkecil resiko operasi karena hasil akhir suatu pembedahan sangat tergantung pada penelitian keadaan penderita dan persiapan preoperasi. Pada pasien pre operasi dapat mengalami berbagai ketakutan .takut terhadap anestesi, takut terhadap nyeri atau kematian, takut tentang ketidaktahuaan atau takut tentang derformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dapat menyebabkan ketidaktenangan atau ansietas (Smeltzer and Bare, 2002). Prevalensi sindrom cemas diperkirakan dalam masyarakat sekitar 2% sampai 4%, dari populasi yang datang ke institusi pelayanan umum, baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap, terdapat sekitar 17% sampai 27% menunjukkan adanya sindrom cemas. Keadaan ini mempengaruhi lamanya

penyembuhan penyakit, jumlah pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan dan jenis pengobatan yang diberikan.(Muslim Rusdi, 1991). Keadaan pasien yang cemas akan mempengaruhi kebutuhan tidur dan istirahat (Ruth F. Craven, Costance J Himle, 2000). Tidur merupakan

kebutuhan yang sangat penting pada pasien preoperasi yang mengalami kecemasan. Proses biokimia dan biofisika tubuh manusia mempunyai irama dengan puncak fungsi atau aktifitas yang terjadi dengan pola yang konsisten dalam siklus sehari hari. Bila irama ini terganggu seperti gangguan pola tidur pada pasien pre operasi dapat mempengaruhi proses biokimia dan proses biofisika yang dapat menyebabkan penyimpangan dari norma kehidupan. (Hudak dan Gallo, 1997 ). Pada pasien preoperasi yang terencana mengalami kecemasan yang mengakibatkan terjadinya gangguan pola tidur antara 3 5 jam, sedangkan kebutuhan tidur dan istirahat normal adalah antara 7 8 jam. (Gunawan L, 2001).

B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah Bagaimana hubungan antara tingkat kecemasan dengan gangguan pola tidur pada pasien preoperasi elektif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan gangguan pola tidur pada pasien preoperasi elektif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu . 2. Tujuan khusus a. Mendiskripsikan tingkat kecemasan yang terjadi pada pasien

preoperasi elektif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu . b. Mendiskripsikan gangguan pola tidur yang dialami oleh pasien preoperasi elektif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu . c. Mendiskripsikan tentang preoperatif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu . d. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dan gangguan pola tidur pada pasien preoperasi Yunus Bengkulu . elektif di ruang Seruni RSUD M.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan peneliti di bidang keperawatan bedah dan menambah pengalaman dalam melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi dengan daftar teori yang telah peroleh serta sebagai dasar penelitian lain guna mengembangkan ilmu pengetahuan.

2. Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan meningkatkan efektifitas dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien pre operasi elektif 3. Bagi Pendidikan Sebagai tambahan referensi dalam penelitian lanjutan dan bahan pertimbangan bagi yang melakukan penelitian sejenis. 4. Bagi Petugas Kesehatan Penelitian ini memberi masukan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien preoperasi sehingga mampu mengatasi masalah gangguan pola tidur dan mampu mengurangi tingkat kecemasan pasien preoperasi elektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan pola tidur 1. Definisi tidur Tidur bisa diartikan sebagai bagian dari periode alamiah kesadaran yang
terjadi ketika tubuh direstorasi (diperbaiki) yang dicirikan oleh rendahnya kesadaran dan keadaan metabolisme tubuh yang minimal. Secara otomatis, otak kita memprogram untuk tidur begitu gelap datang dan terbangun ketika terang tiba. Pun kita bisa tidur kapan saja, baik karena mengantuk ataupun dipengaruhi obat-obatan. (Achmanto Mendatu.2006).

2. Pola Tidur Secara umum, proses tidur normal diawali dengan tahap mengantuk, yaitu suatu keadaan saat hunungan antara kesadaran dengan lingkungan. Pada saat mengantuk ini, rangsangan rangangan dari luar masih dapat diterima dengan mudah dan membuat terbangun atau tersadar kembali. Kemudian, jika proses tidur berlanjut, maka kesadaran semakin berkurang dan timbullah suatu tahap yang sering disebut sebagai tahap tidur ayam. Pada tahap ini, rangsangan indrawi masih sedikit dapat diterima (sayupsayup), namun tidak mengganggu kesadaran. Tahap berikutnya merupakan tahap yang terakhir, yaitu tahap tidur nyenyak. Sekarang para ahli telah berhasil menemukan adanya dua pola tidur, yaitu pola tidur biasa (Non REM) dan pola tidur paradoksal REM).

a. Pola Tidur Biasa/Non REM (Non Rapid Eye Movement)

Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya mempunyai ciri tersendiri. Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur. Gelombang listrik otak memperlihatkan gelombang alfa dengan penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus tidur. Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan, meskipun kita benarbenar berada dalam keadaan tidur. Periode tahap 2 berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur 2 seseorang dapat terbangun karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian sentakan ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM. Tahap 3 dan 4. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak. Pada tahap 3, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot lenyap sama. Tahap 4 mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang akan binggung bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh, memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan enak dan segar setelah tidur nyenyak, setidaktidaknya disebabkan karena hormon pertumbuhan bekerja baik.

Menurut Tarwoto & Wartonah, (2006) tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi otot, berlangsung 10 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15 30 menit. NonREM Tahap IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat.
b. Pola Tidur Paradoksal/REM (Rapid Eye Movemoent) Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah tahapan tidur yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki dapat timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, enjernihkan rasa kuatir dan daya ingat dan mempertahankan fungsi sel-sel otak. Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi setiap 90 menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90

menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat singkat, berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode REM akan muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu akan mendapatkan tidur tahap 3 & 4 lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam, mungkin saja tidak ada tahap 3 atau 4. Tapi malam lainnya seluruh tahapan tidur akan didapatkannya. (Widodo DP, 2000) Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka, kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006)

3. Gangguan tidur Menurut Lanywati (2001), Gangguan tidur adalah kondisi yang jika tidak diobati, secara umum akan menyebabkan gangguan tidur malam yang mengakibatkan munculnya salah satu dari ketiga masalah berikut : insomnia, gerakan atau sensasi abnormal di kala tidur atau ketika terjaga di tengah malam; atau rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. Gangguan tidur itu sendiri meliputi :

a. Insomnia

Insomnia merupakan suatu keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat, baik kualitas maupun kuantitas, dengan keadaan tidur yang hanya sebentar atau susah tidur. Insomnia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Initial insomnia merupakan ketidakmampuan untuk jatuh tidur atau mengawali tidur. 2) Intermiten insomnia merupakan ketidakmampuan tetap tidur karena selalu terbangun pada malam hari. 3) Terminal insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari. Proses gangguan tidur ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya rasa khawatir, tekanan jiwa, ataupun stres.
b. Hipersomnia

Hipersomnia merupakan gangguan tidur dengan kriteria tidur berlebihan, pada umumnya lebih dari sembilan jam pada malam hari, disebabkan oleh kemungkinan adanya masalah psikologis, depresi, kecemasan, gangguan susunan saraf pusat, ginjal, hati, dan gangguan metabolisme.
c. Parasomnia

Parasomnia merupakan kumpulan beberapa penyakit yang dapat mengganggu pola tidur, seperti somnambulisme (berjalan-jalan dalam

10

tidur) yang banyak terjadi pada anak-anak, yaitu pada tahap III dan IV dari tidur NREM. Somnambulisme ini dapat menyebabkan cidera.
d. Enuresa

Enuresa merupakan buang air kecil yang tidak disengaja pada waktu tidur, atau biasa juga disebut dengan istilah mengompol. Enuresa dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Enuresa nokturnal merupakan mengompol di waktu tidur. Enuresa nokturnal umumnya merupakan gangguan pada tidur NREM 2) Enuresa diurnal merupakan mengompol pada saat bangun tidur
e. Apnea Tidur

Apnea saat tidur adalah periode henti napas saat tidur. Tanda-tanda yang dapat diamati adalah mendengkur berlebihan. Apnea tidur adalah gangguan yang dicirikan dengan kurangnya aliran udara melalui hidung dan mulut selama periode 10 detik atau lebih pada saat tidur.
f. Narkolepsi

Narkolepsi merupakan keadaan tidak dapat mengendalikan diri untuk tidur, misalnya tertidur dalam keadaan berdiri, mengemudikan kendaraan, atau di saat sedang membicarakan sesuatu. Hal ini merupakan suatu gangguan neurologis

4. Fisiologis Tidur Dua sistem didalam batang otak, sistem pengaktivasi retikulum dan daerah sinkronisasi bulbar, diyakini bekerja bersama mengontrol sifat siklik pada tidur. Formasi retikulum ditemukan didalam batang otak. Ini

10

11

membetang ke atas sampai ke medula, pons, otak tengah dan kemudian ke hipotalamus. Ini terdiri dari banyak sel saraf dan serabut. Saraf mempuyai hubungan yang merelay impuls ke dalam kerteks serebral dan ke dalam medula spinalis. Formasi retikulum membantu refleks dan gerakan volunter, maupun aktivitas korteks yang berkaitan dengan keadaan sadar penuh. Selama tidur, sistem retikulum mengalami beberapa stimulasi dari korteks serebral dan dari tepi tubuh. Keadaan terbangun terjadi apabila sistem retikulum diaktivasi dengan stimulasi dari korteks serebral dan dari sel dan organ sensori tepi. Sebagai contoh: jam alam membangunkan kita dari tidur ke keadaan sadar apabila kita menyadari bahwa kita harus mempersiapkan diri untuk hari itu. Sensasi seperti nyeri, tekanan dan suara menimbulkan keadaan terbangun melalui sel dan organ tepi. Keadaan terbangun diaktivasi oleh korteks serebral dan sensasi tubuh. Selama tidur, stimulasi dari korteks adalah minimal. Hipotalamus mempunyai pusat kontrol untuk beberapa aktivitas tubuh, salah satunya adalah mengenai tidur dan terbangun. Cedera pada hipotalamus dapat menyebabkan seseorang tertidur untuk periode yang abnormal atau panjang. Sejumlah senyawa berperan sebagai neurotransmitter dan terlibat dalam proses tidur. Norepinefrin asetilkolin, diikuti oleh dopamine, serotonin dan histamin, terlibat dalam inhibisi GaBa (gamma aminobutyric acid ) tampaknya perlu untuk inhibisi.

11

12

5. Manfaat Tidur Tidur akan terlihat lebih baik setelah tidur malam yang baik adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa tidur : a. Memulihkan kondisi fisik b. Mengurangi stres dan kecemasan. c. Memulihkan kemampuan untuk mengatasi dan berkonsentrasi pada aktifitas kehidupannya sehari-hari. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan tidur dan istirahat :
a. Kebiasaan tidur

Yang perlu diperhatikan kebiasaan banyaknya tidur pasien, kebiasaan menjelang tidur, jam berangkat tidur, waktu yang diperlukan untuk dapat tidur, jumlah terjaga selama tidur, obat-obatan yang diminum pasien dan pengaruhnya terhadap tidur, lingkungan tidur sehari-hari, persepsi pasien terhadap kebutuhan tidur, posisi waktu tidur.
b. Tanda-tanda klinis kekurangan istirahat dan tidur

Ada beberapa tanda klinis yang perlu diketahui terhadap pasien yang kurang istirahat dan tidur, pasien mengungkapkan rasa capek, pasien mudah tersinggung, dan kurang santai, apatis, warna kehitam-hitaman di sekitar mata, konjungtiva merah, pusing dan mual.

12

13

c. Tahap perkembangan

Lama tidur yang dibutuhkan oleh seseorang tergantung pada usia. Semakin tua usia seseorang semakin sedikit pula lama tidur yang diperlukan. Tabel 2.1 Pola Tidur Berdasarkan Tingkat Usia/Perkembangan Tingkat Perkembangan Bayi baru lahir Tidur 14-18 jam/hari, pernapasan teratur, gerakan tubuh sedikit. 50 % tidur NREM siklus tidur 45-60 menit Bayi Tidur 13-16 jam/hari, 20-30 % tidur NREM mungkin tidur sepanjang malam 1-3 tahun Tidur sekitar 11-12 jam/hari, 25 % tidur REM. 3-6 tahun Akil baligh Dewasa Muda Tidur sekitar 11jam/hari, 20 % tidur REM. Tidur sekitar 7-8,5 jam/hari, 20 % tidur REM Tidur sampai 7-8 jam/hari, 20-50 % tidur REM. Dewasa pertengahan Tidur 7-8 jam/hari, 20 % tidur REM. Mungkin mengalami insomnia dan sulit untuk dapat tidur. Dewasa Tua Tidur sekitar 5-6 jam/hari, 20-25 % tidur Pola Tidur Normal

13

14

(Diatas 60 tahun)

REM, mungkin mengalami insomnia dan sering bangun sewaktu tidur.

(Lumbantobing, 2004)

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur Beberapa faktor mempengaruhi tidur baik kualitas maupun kuantitas tidur : a. Pertimbangan tentang perkembangan Variasai karena usia terjadi pada siklus tidur bangun. b. Aktivitas fisik Aktivitas dan olah raga mempengaruhi tidur dengan cara meningkatkan kelelahan, tampak bahwa aktivitas fisik meningkatkan baik tidur REM maupun NREM. c. Stres psikologis. Penyakit dan situasi dalam kehidupan sehari hari yang menyebabkan srtess psikologis cencerung mengganggu tidur. Biasanya stress psikologis mempengaruhi tidur melalui dua cara : 1) Orang yang mengalami stres cenderung sulit memperoleh jumlah tidur yang dibutuhkan. 2) Tidur REM Berkurang jumlahnya, ini menambah kecemasan dan stres.

14

15

d. Motivasi Keinginan untuk bangun dan sadar penuh membantu mengatasi mengantuk dan tidur. Apabila motivasi untuk tetap terbangun adalah minimal, biasanya akan diikuti oleh tidur. e. Implikasi kultural Penting bagi perawat mengetahui bahwa pekerjaan dan praktek kultural dapat mempengaruhi istirahat dan tidur. Walaupun tahap-tahap perkembangan adalah serupa, tetapi tempat tidur, pola tidur mungkin bervariasai sesuai dengan budaya (Ruth F, Constance J. Himle, 2000).

B. Teori Operasi
1. Pengertian Operasi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan oleh dokter spesialis atau operator dengan syarat ada persetujuan operasi,

kelengkapan laboratorium, EKG, Radiologi dan lain-lain sesuai perintah dokter yang menaggani operasi, disetujui oleh dokter anestasi.

2. Macam-macam operasi
a. Operasi Elektif (Terprogram)

Operasi elektif (terprogram) pada pasien dari ruang kenangga yang sehari sebelumnya telah didaftarkan ke IBS (Instalasi Bedah Sentral) dengan ACC dari dokter anestesi. Semua prosedur operasi sudah memenuhi syarat termasuk persiapan pasien puasa, laborat, lagnen, skeren daerah operasi dan lain-lain, dimana terencana terlebih dahulu.

15

16

b. Operasi Cyto (emergency)

Operasi segera atau mendadak (emergency) dimana pasien harus dioperasi segera dengan alasan medik misalnya SC dengan perdarahan, placentaprefia dan lain-lain. Fraktur terbuka dengan perdarahan hebat dan lain-lain.

3. Klasifikasi tindakan operasi a. Sederhana meliputi operasi ringan 1) 2) 3) 4) Incici Caterisasi lesi kecil Fungsi ringan Jahit luka < 5 cm.

b. Kecil 1) 2) 3) 4) Exterpasi tumor kulit superfisial diameter kecil Wound toilet luka kecil Exterpasi klavus Cabut kuku dan lain-lain

c. Sedang 1) 2) 3) 4) Hernioterapy reponible Apendiksitis simple tanpa penyulit Mekrotopmiluas Incici abses dengan anestesi ringan

16

17

d. Besar 1) 2) 3) 4) Laparatomy explorasi (Lilies, peritonitis) Apendiksitis dengan penyulit (perforasi, infitrat) Thiroidectomy para anal Amputasi extermitas superior atau eksternal

e. Canggih 1) 2) Prostatectomy terbuka Urectrolitotomy

f. Khusus 1) 2) 3) Laparatomy explorasi reseksi dan anastomosis usus Laparatomy dan coloctomi Orit fraktur pasang plat, screw prothese dengan penyulit

4. Persiapan pre operasi elektif Tindakan umum yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulut pasca operasi dapat dicegah sebanyak mungkin. Sebagian tindakan tersebut dilakukan secara rutin seperti pembersihan kulit, sedangkan yang lain dipilih berdasarkan keterangan anamnesis. Pemerksaan pra operasi dan rencana pengolahan. Toleransi pasien terhadap pembedahan mencakup toleransi fisik maupun mental.

17

18

a. Persiapan Mental Secara mental seorang pasien harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anestesi terhadap kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini hubungan baik antara penderita, keluarga dan dokter sangat menentukan. Kecemasan ini adalah reaksi normal yang dapat dihadapi dengan sikap terbuka dan penerangan dokter dan petugas kesehatan lainnya. Atas dasar pengertian, pasien dan keluarga dapat memberikan persetujuan dan izin untuk pembedahan. b. Persiapan Fisik 1) Berbagai organ dan sistem Sebelum pembedahan dimulai (dengan anesthesia umum) lambung harus kosong, Reflek esophagus mudah terjadi terutama pada permulaan anesthesia, sehingga dapat terjadi aspirasi isi lambung yang merupakan suatu penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia yang tidak mudah diatasi. oleh karena itu pasien dipuasakan 6 jam sebelum pembedahan. Kulit tubuh khususnya didaerah lapangan operasi harus bersih. Pasien harus mandi atau dimandikan dengan sabun atau larutan antiseptik seperti khorheksidin atau larutan yang mengandung yodium. Sealin itu harus bebas infeksi, sehingga operasi efektif harus ditunda selama ada infeksi kulit.

18

19

Suhu badan sebaiknya dipertahankan kurang lebih normal. Penderita yang demam metabolismenya meningkat dan

memerlukan lebih banyak zat asam sehingga iribilitas miskord meningkat dan keadaan syok tidak dapat dikompensasikan seperti biasa. Suhu tubuh harus diturunkan terlebih dahulu umpamanya dengan sedia salisilat. Bila demam disertai mengigil dapat diberikan klorpromazin, hipotermia dibawah 340 C berisiko karena metabolisme berlangsung lambat, sehingga pembekuan darah terjadi keterlambatan. pasien yang demikian harus dihanggatkan dahulu dengan selimut hangat atau dimandikan dengan air hangat 400 C. Diuresis menjadi pegangan penting dalam menentukan

keseimbangan cairan. Jika diuresis mencapai 30ml/jam, lidah lembab, mukosa lain tampak basah, turgor kulit memadai pasien dapat dianggap normal. Penyulit pasca bedah paling banyak terjadi diparu. Perokok diharuskan berhenti merokok satu minggu sebelum operasi, karena merokok melumpuhkan siliamukosa dan meningkatkan sekresi jalan nafas sehingga proses pembersihan jalan nafas terganggu. Selain itu gangguan faal hati, gangguan pembekuan darah juga perlu dikoreksi.

19

20

2) Keadaan Gizi Kebanyakan pasien yang akan dioperasi tidak membutuhkan perhatian khusus tentang gizi. Pada umumnya mereka itu dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan penyakit dan waktu pembedahan, tetapi tidak jarang pasien yang datang dalam keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna, keganasan infeksi kronis dan trauma berat. Malnutrisi berat dipengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun malnutrisi ringan protein dan kalori tidak banyak mempengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan pada penderita bedah terdapat faktor lain yang menyebabkan malnutrisi yaitu kurangnya asupan makanan dan proses radang akibat katalisme meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat berlangsung tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.

C. Kecemasan 1. Pengertian Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi

20

21

adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan, sedangkan menurut Nettina (2001) kecemasan adalah perasaan kekhawatiran subyektif dan ketegangan yang dimanifestasikan oleh tingkah laku psikofisiologi dan berbagai pola perilaku. Freud juga berpendapat bahwa kecemasan merupakan pengalaman subyektif individu mengenai ketegangan-ketegangan, kesulitan-kesulitan dan tekanan yang menyertai suatu konflik atau ancaman (Basuki, 1987; Hanum, 2002). Sedangkan menurut Suliswati, (2005) Definisi

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian dari kecemasan adalah keadaan dimana seseorang mengalami perasaan gelisah, kekhawatiran atau cemas yang bersifat subyektif dan adanya aktivitas sistem saraf otonom dalam berrespon terhadap ancaman yang tidak jelas dan tidak spesifik yang dimanifestasikan oleh tingkah laku psikofisiologi dan berbagai pola perilaku.

21

22

2. Fungsi Adaptif Dari Kecemasan Kecemasan merupakan tanda akan adanya bahaya bagi ego. Ego menjaga keseimbangan antara id dan super ego dan antara individu yang bersangkutan dengan dunia luar. Keseimbangan itu dipertahankan dengan memuaskan dorongan id, mensublimasikan atau merepresikannya. Represi merupakan proses yang automatik. Dorongan atau pikiran yang tidak dapat diterima oleh ego disangkal (denial) atau disingkirkan dari kesadaran (alam sadar) dan ditanam di alam tak sadar ( represi dan supresi). Bila data yang direpresikan dengan ego yang merepresikan tercantum sehingga timbul gejala kecemasan (Depkes RI, 1996). Kaplan dan Sadock (1999) menyatakan bahwa kecemasan sebagai suatu sinyal peringatan, kecemasan dapat dianggap sebagai emosi yang sama seperti ketakutan. Kecemasan memperingatkan adanya ancaman eksternal dan internal. Pada tingkat yang lebih rendah kecemasan memperingatkan ancaman akan cedera pada tubuh, rasa takut, keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustrasi dari kebutuhan sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada keberhasilan atau status seseorang dan akhirnya ancaman pada kesatuan atau keutuhan seseorang. Kecemasan akan mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah ancaman atau meringankan akibatnya. Sedangkan menurut Long, B. C (1996) kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam, baik secara fisik maupun secara psikologis,

22

23

seperti harga diri, gambaran diri, atau identitas diri. Kecemasan dapat dimanifestasikan dalam tingkatan yang berbeda-beda yaitu mulai dari tingkatan yang ringan sampai dengan tingkatan yang panik. Selain itu Hudak dan Gallo (1997) menambahkan kecemasan dapat juga terjadi bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi dan harga diri, kegagalan membentuk pertahanan, perasaan terisolasi dan juga takut mati.

3. Tingkat Kecemasan Menurut Asmadi (2009 : 166), kemampuan untuk merespons terhadap suatu ancaman yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kemampuan ini berimplikasi terhadap perbedaan tingkat kecemasan yang dialami. Respons individu terhadap kecemasan beragam dari kecemasan sampai panik. Menurut Stuart dan Sundeen (1998), kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak sejalan dengan kehidupan. Adapun tingkat kecemasan mempunyai karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain, antara lain sebagai berikut :

23

24

Tingkat Kecemasan Kecemasan ringan

Karakteristik 1) Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari 2) Kewaspadaan meningkat 3) Persepsi terhadap lingkungan meningkat 4) Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas 5) Respons fisiologis: sesekali napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar. 6) Respons kognitif: mampu menerima

rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada secara masalah, efektif, menyelesaikan dan terangsang masalah untuk

melakukan tindakan. 7) Respons perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.

24

25

Kecemasan sedang

1)

Respons fisiologis: sering napas pendek, nadi ekstra sistol dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia diare/ konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih.

2)

Respons kognitif: memusatkan perhatiannya pada hal yang yang penting lain, dan lapang

mengesampingkan

persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima. 3) Respons perilaku dan emosi: gerakan

tersentak- sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman.

25

26

Kecemasan Berat

1)

Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain.

2)

Respons fisiologis: napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan berkelabut, serta tampak tegang.

3)

Respons kognitif: tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan banyak

pengarahan / tuntutan, serta lapang persepsi menyempit. 4) Respons perilaku dan emosi: perasaan terancam meningkat dan komunikasi

menjadi terganggu (verbalisasi cepat).

26

27

Panik

1)

Respons fisiologis: napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, motorik. serta rendahnya koordinasi

2)

Respons kognitif: gangguan realitas, tidak dapat berpikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan

ketidakmampuan memahami situasi. 3) Respons perilaku dan emosi: agitasi,

mengamuk dan marah, ketakutan, berteriakteriak, kehilangan kendali/kontrol diri

(aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan/ atau orang lain.

4. Rentang Respon Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (1998), rentang respon kecemasan dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Bersifat konstruktif seperti motivasi individu untuk belajar, mengejar perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman serta

27

28

berfokus pada proses perubahan, sedangkan reaksi kecemasan yang bersifat dekstruktif seperti menimbulkan tingkah laku maladaptif, disfungsi yang menyangkut kecemasan berat dan panik. Rentang respon kecemasan dapat digambarkan sebagai berikut :

Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Antisipasi

Ringan

Sedang

Berat

Panik

Bagan 2.1: Rentang Respon Kecemasan Sumber : Stuart dan Sundeen (1998)

5. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Menurut Kozier (2004) kecemasan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : a. Sifat stressor Sifat stressor dapat berubah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur dan dapat mempengaruhi seseorang dalam menghadapi kecemasan, tergantung mekanisme koping seseorang. Sifat stressor dapat meliputi : apa arti stressor bagi ibu bersalin ?, apakah proses persalinan menimbulkan kecemasan ?, apakah jenis persalinan dapat mempengaruhi kecemasan ?, seorang ibu yang mengetahui kondisi kehamilannya normal dan dapat melahirkan normal akan memiliki

28

29

tingkat kecemasan yang berbeda dibandingkan dengan seorang ibu dengan penyulit dalam kehamilan dan persalinannya. b. Jumlah stressor yang bersamaan Pada waktu yang sama terdapat sejumlah stressor yang harus dihadapi bersama. Semakin banyak stressor yang dialami seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi tubuh, sehingga jika terjadi stressor yang kecil dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan. c. Lama stressor Lamanya waktu terpapar stressor dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk dapat mengatasi masalah dan dapat mempengaruhi respon tubuh, misalnya : saat menanti persalinan merupakan saat yang membuat ibu berada dalam kecemasan yang lebih lama karena panjangnya waktu persalinan. d. Pengalaman masa lalu Pengalaman masa lalu individu dalam menghadapi kecemasan dapat mempengaruhi individu ketika menghadapi stressor yang sama karena individu memiliki kemampuan beradaptasi/mekanisme koping yang lebih baik, sehingga tingkat kecemasan pun akan berbeda, dapat menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih ringan, misalnya : Ibu bersalin multipara memiliki pengalaman persalinan yang lalu sehingga tingkat kecemasannya dengan ibu primipara. berbeda dibandingkan

29

30

e.

Tingkat perkembangan Tingkat perkembangan individu dapat membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stressor. Pada tiap tingkat perkembangan terdapat sifat stressor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stress dan kecemasan berbeda pula.

6. Gejala Klinis Kecemasan Menurut Hawari (2006:66), keluhan-keluhan yang sering

dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut : a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung. b. c. d. e. f. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang. Gangguan pola tidur, mimpi yang menegangkan. Gangguan konsentrasi dan daya ingat. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya. Selain keluhan-keluhan cemas secara umum di atas, ada lagi kelompok cemas yang lebih berat yaitu gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, gangguan phobik dan gangguan obsesif-komplusif.

30

31

a.

Gangguan cemas menyeluruh Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap dengan manifestasi 3 dari 4 kategori gejala berikut ini : 1) Ketegangan motorik/alat gerak Gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, mudah kaget. 2) Hiperaktivitas saraf autonom Berkeringat berlebihan, jantung berdebar-debar, rasa dingin, telapak tangan/kaki basah, mulut kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran panas atau dingin, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu ati, kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas cepat waktu istirahat. 3) Rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan datang Cemas, khawatir, takut, berpikir berulang, membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain. 4) Kewaspadaan berlebihan Mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga

mengakibatkan perhatian mudah teralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, merasa ngeri, mudah tersinggung, tidak sabar.

31

32

b.

Gangguan panik Gejala klinis gangguan panik yaitu kecemasan yang datangnya mendadak disertai perasaan takut mati. Secara klinis gangguan panik ditegakkanoleh paling sedikit 4 dari 12 gejala-gejala di bawah ini yang muncul pada setiap serangan yaitu : 1) Sesak nafas. 2) Jantung berdebar-debar. 3) Nyeri atau rasa tidak enak di dada. 4) Rasa tercekik atau sesak. 5) Pusing, vertigo, perasaan melayang. 6) Perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realistik. 7) Kesemutan. 8) Rasa aliran panas atau dingin. 9) Berkeringan banyak. 10) Rasa akan pingsan. 11) Menggigil atau gemetar. 12) Merasa takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan melakukan suatu tindakan secara tidak terkendali selamaa berlangsungnya serangan panik.

c.

Gangguan phobik Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktifitas atau situasi

32

33

tertentu, yang menimbulkan suau keinginan mendesak untuk menghindarinya. Rasa ketakutan itu disadari oleh orang yang bersangkutan sebagai suatu ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk akal, namun ia tidak mampu mengatasinya. Seseorang yang menderita phobia social mempunyai rasa takut yang menetap dan tidak rasionalterhadap situasi sosia tertentu dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Ia merasa cemas karena mungkin dinilai atau menadi pusat perhatian orang lain. Ia mersa takut bahwa ia akan bereaksi dengan cara yang memalukan dirinya. Gangguan tersebut sudah barang tentu merupakan penderitaan berat bagi dirinya, karena ia mersa terisolasi dari pergaulan sosial. Tidak jarang pada orang yang menderita gangguan ini di samping ketakutan dan juga kecemasan juga menderita depresi. Ada juga jenis-jenis phobia lainnya, misalnya klaustrophobia, yaitu ketakutan terhadap ruang tertutup (missal di dalam lift); akrophobia yaitu ketakutan terhadap ketinggian; phobia hewan, yaituketakutan terhadap anjing,ular, serangga, tikus dan lain sebagainya. Dari sudut psikopatologi dapat disebutkan bahwa gangguan phobia adalah suatu mekanisme defensive dalam upaya seseorang untuk mengatasi kecemasannya. Mekanisme defensive tersebut dilakukan dengan jalan mengalihkan (displacement) pada ide, obyek, atau situasi tertentu yang bertindak sebagai symbol dari konflik atau

33

34

psikotrauma

masa

lalu

(symbolization).

Meskipun

yang

bersangkutan itu sadar bahwa sebenarnya tidak ad aide, objek atau situasi yang membahayakan dirinya (tidak rasional), namun hal itu dikemukakan atau diciptakan suatu simbolik atas ketidak-

berdayaan(powerless) terhadap pengalaman atau psikotrauma masa lalu yang penuh dengan ketegangan dan ketakutan, suatu konflik yang tak terselesaikan dan ditekan dalam alam tak sadarnya. d. Gangguan obsesi kompulsif Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang didominasi oleh pikiran yang terpaku (persistence) dan berulang kali muncul (recurrent). Sedangkan kompulsi adalah perbuatan yang dilakukan berulangulang sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesif tadi.

34

35

D. Kerangka Konsep

Variabel Independen Tingkat kecemasan

Dependen Variabel Gangguan Pola Tidur

Gambar.2 Kerangka konsep. Penelitian yang akan diteliti. (Stuard and Sunden, 1998 dan Gunawan L, (2001)).

E. Definisi operasional Variabel Variabel Independent Tingkat kecemasan Definisi Operasional


Respon emosional yang muncul pada pasien pre operasi elektif selama dirawat di rumah sakit.

Alat Ukur
Kuesioner yang terdiri dari 14 item pertanyaan dengan kriteria jawaban: 1) Tidak pernah = 0 2) Jarang = 1 3) Sering = 2 4) Selalu = 3

Hasil Ukur

Skala

Dari dengan total 14 item nilai Interval (4x14=56) Score tertinggi: 56 Score terendah: 4 Untuk menjelaskan secara deskriptif dengan Klasifikasi: a. Tidak ada kecemasan = 0-13 b. Kecemasan ringan = 14-20 c. Kecemasan sedang = 21-27 d. Kecemasan berat = 28-41 e. Panik = 42-56 Dengan kategori: a. Cemas b. Tidak Cemas

Variabel Dependent Gangguan pola tidur

Suatu keadaan ketidakmampua n mendapatkan tidur yang adekuat, baik secara kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang hanya

Kuesioner, metode checklist dengan kriteria jawaban : 0 = Tidak 1 = Ya

Penilaian Pertanyaan positif : Selalu = 4 Sering = 3 Kadang-kadang = 2 Tidak pernah = 1 Penilaian Pertanyaan negatif :

Ordinal

35

36

sebentar atau susah tidur

Selalu = 1 Sering = 2 Kadang-kadang = 3 Tidak pernah = 4 Dikategorikan : Berat = 76% - 100% Sedang = 56% -75% Ringan = 55% (Nursalam, 2003)

F. Hipotesis Penelitian Ha : Ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan gangguan pola tidur pada pasien preoperasi elektif.

36

37

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan objek penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di RSUD M. Yunus Bengkulu dan objek penelitiannya adalah pasien pre-operasi elektif.

B. Jenis atau Rancangan Penelitian dan metode pendekatan Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif analitik yaitu pengukuran terhadap berbagai variabel subyek penelitian menurut keadaan alamiah tanpa melakukan manipulasi atau intervensi.(sasroasmoro, 1995) dan rancangan penelitian ini adalah menggunakan cross sectional. Pada pendekatan ini, merupakan metode penelitian survey yang bermaksud melakukan pengamatan atau observasi dan pemantauan terhadap objek yang di teliti tetapi objek hanya di teliti satu kali.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2012). Populasi yang diteliti adalah semua pasien preoperasi

37

38

elektif/terencana yang ada di ruang rawat bedah RSUD M. Yunus Bengkulu. 2. Sampel Sampel adalah bagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik Quota Sampling, dimana tujuan pengambilan sample sebanyak jumlah tertentu yang dianggap dapat memperoleh sampel tertentu, yang mana dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara random. Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut : a. Pasien pre operasi elektif di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu. b. Pasien pre operasi yang pada saat penelitian telah terprogram untuk dioperasi sesuai prosedur di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu. Kriteria Eksklusi : a. b. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden. Pasien pre operasi yang pada saat penelitian belum telah terprogram untuk dioperasi sesuai prosedur di ruang Seruni RSUD M. Yunus Bengkulu.

38

39

D. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan data penelitian, pengumpulan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan cara : 1. Pengisian lembar observasi / lembar kuesioner pasien preoperasi dewasa yang terencana ) 2. Data dari rekam medik RSUD M. Yunus Bengkulu, literatur yang relevan dengan topik penelitian, sumber yang menunjang topik penelitian. 3. Alat penelitian. Merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.(Sugiono, 2005). Alat penelitian yang digunakan adalah menggunakan berupa lembar observasi dan lembar kuesioner untuk memperoleh data tentang kecemasan dan gangguan pola tidur. a. Uji validitas Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan alat tingkattingkat kesahihan suatu alat ukur (Arikunto, 2002) Uji validitas isi terhadap kuesioner gangguan pola tidur dilakukan karena peneliti ingin mengetahui kelayakan instrument yang digunakan dalam penelitian, maka dilakukan uji korelasi antara skor tiap item pertayaan dengan skor total tersebut menggunakan uji korelasi Product moment dengan rumus : pada responden (

39

40

N X - X N Y - Y

N XY X Y

Keterangan : r = Korelasi antara masing-masing item pertanyaan X = Skor pertanyaan N = Jumlah subyek Y = Skor total pertanyaan Untuk perhitungan tiap-tiap item pertayaan akan dibandingkan dengan table nilai Product Moment, jika r hitung > koefisien nilai table kritis r yaitu pada taraf signifikan 5%, maka instrument yang diuji ditanyakan valid (Sugiono, 2005). Pengujian validitas pada penelitian ini dilakukan terhadap responden dalam hal ini pasien pre operasi dengan gangguan pola tidur di RSUD M. Yunus kota Bengkulu. b. Uji Reliabilitas. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alatt pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan

(Notoadmojdo, 2002). Menurut Sugiyono (2005) pengujian reliabilitas kuesioner dapat dilakukan dengan menggunakan metode Internal Consistency, dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Untuk mengetahui reliabilitas caranya adalah

40

41

membandingkan nilai r tabel dengan nilai alpha. Dengan ketentuan bila r alpha > r tabel maka alat penelitian handal.

E. Metode Pengolahan Pengolahan data dilakukan meliputi tahap tahap sebagai berikut : 1. Editing Editing dilakukan untuk peneliti setiap daftar pertanyaan yang sudah diisi oleh responden, peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan data-data yang ada. 2. Coding Yaitu pengklasifikasian dan pemberian kode pada data. Hasil jawaban dari setiap pertanyaan sesuai petunjuk koding yaitu pada lembar observasi bagian A. Berupa lembar observasi jika skor 1 terdapat (satu gejala dari pilihan yang ada), jika skor 2 terdapat (separuh dari gejala yang ada), jika skor 3 terdapat (lebih dari separuh gejala yang ada), jika skor 4 terdapat (semua gejala ada) dan Bagian B berupa kuesioner, apabila jawaban Ya dinilai 1 dan apabila jawaban Tidak diberi nilai 0. 3. Entry data Memasukkan data yang telah dilakukan koding dengan bantuan komputer program SPSS.

41

42

4. Tabulating Merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. F. Teknik Analisa Data 1. Analisa univariat Penelitian ini menggunakan analisa univariat dengan dua tujuan yaitu analisi deskriptif variable penelitian dan uji kenormalan data. Analisa univariat digunakan untuk mengestimasi parameter populasi untuk data numeric terutama ukuran-ukuran tendesi sentral (modus,mean, median), ukuran variabilitas (frekuensi, minimum, maksimum,standar deviasi dan varians). 2. Analisa bivariat Analisa bivariat berfungsi untuk mengetahui hubungan antara variable depanden dengan independen. Untuk menguji kepastian sebaran data yang diperoleh, peneliti akan menggunakan uji kenormalan data dengan uji Kolmogorof Smirnov. Jika data berdistribusi normal maka digunakan uji Pearson dan jika data berdistribusi tidak normal menggunakan uji Spearman Rho, dengan nilai p value <0,05. pengujian menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan

menggunakan program komputer SPSS Versi 10,00.

42

You might also like