You are on page 1of 24

1

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Manusia Diciptakan oleh Allah SWT semata- mata adalah untuk
beribadah kepadanya. Namun tentunya seseorang dikatakan sah atau diterimanya
amal adalah ia sudah beriman atau memeluk Agama Islam yang dalam hal ini
adalah melalui jalan bersyahadat. Setelah itu maka secara otomatis orang tersebut
berkewajiban untuk beribadah dan menjalankan ajaran islam secara menyeluruh
mulai dari rangkaian ibadah ritual dan ibadah yang ada hubungannya dengan
manusia.
Seorang muslim di akhirat kelak apabila di dalam hatinya terdapat
keimanan walaupun hanya sedikit pada akhirnya dia akan bisa masuk ke dalam
syurganya Allah SWT.
Di dalam konsep Islam bila diibaratkan sebuah pohon maka Aqidah itu
sebagai akarnya, dalam hal ini keimanan. Apabila akarnya kuat maka akan
berdampak baik pula pada cabang dan daun- daunya. Begitu pula dalam islam,
jika pondasi Aqidahnya sudah mantap maka godaan sehebat apapun akan bisa
dibentengi sehingga tidak akan merusak keimanannya. Setelah kuatnya Aqidah
seseorang maka akan berpengaruh pada aspek syariah atau ibadahnya. Gabungan
dari keduanya maka akan melahirkan Akhlak yang terpuji baik kepada Allah,
kepada dirinya sendiri maupun kepada orang- orang yang ada di sekelilingnya.
Namun tentunya hal tersebut tidak mudah dilakukan seperti halnya
membalikan telapak tangan, akan tetapi memerlukan proses panjang yang harus
dijalani. Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan tata cara beriman, beribadah dan berakhlaq kepada Allah SWT.





2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Akhlak dan Bagaimana cara berakhalaq yang baik kepada
Allah ?
2. Bagaimana cara yang benar dalam beriman kepada Allah SWT ?
3. Mengapa setelah beriman kita diperintahkan untuk bertaqwa kepada- Nya
?
4. Apa yang dimaksud dengan Ikhlas ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Akhlak dengan harapan kita bisa
mengaplikasikannya secara langsung tanpa adanya kebingungan.
2. Untuk mengetahui tata cara beriman kepada Allah SWT dan konsekuensi
dari keimanan kita kepada- Nya.
3. Untuk mengetahui sebab kita harus bertaqwa kepada Allah SWT
4. Untuk menjelaskan pentingnya sifat Ikhlas dalam beribadah kepada Allah
SWT.















3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlaq
1. Pengertian
Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari
bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang menurut logat
diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut
mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan "khalkun" yang
berarti kejadian, serta erat hubungan " Khaliq" yang berarti Pencipta dan
"Makhluk" yang berarti yang diciptakan. ( Zahruddin, 2004)
Menurut definisi yang dikemukakan oleh Al- Ghazali, akhlaq adalah;
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa ( Manusia) yang dapat melahirkan suatu
perbuatan yang mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan
pemikiran yang lama.
Melihat dari dua pengertian tersebut bahwa ada kesamaan inti dari
akhlaq itu sendiri, yaitu merupakan perbuatan seseorang yang telah menjadi
karakternya secara utuh, jadi dalam melakukannya tidak ada lagi berbagai
pertimbangan ataupun perenungan, namun secara spontan dilakukan oleh orang
yang bersangkutan.
Sedangkan menurut pengertian secara terminolog1, akan dikemukan dua
pengertian akhlaq dari masing- masing ahli di bidangnya, diantaranya :
1. Prof. Dr. Ahmad Amin
Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak
yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
kebiasaan itu dinamakan akhlak.
Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia
setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang
sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan
kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu
4

menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang
bernama akhlak.

2. Ibn Miskawaih
Bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih
dahulu.
Jadi jelas bahwasannya akhlaq itu merupakan hal yang sudah menjadi
karakter seseorang dan butuh pembiasaan yang berkesinambungan untuk
menjadikan akhlaqnya itu sesuai dengan tuntunan Islam. Seperti halnya ketika
seseorang jatuh dan secara otomatis dia melontarkan kata- kata yang tidak pantas,
maka dapat dikatakan bahwa itu merupakan akhlaqnya, lain halnya dengan orang
yang jatuh dan dengan spontan mengingat Allah dengan mengucapkan ucapan
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun maka ia dapat digolongkan orang yang
berakhlaq mulia.
2. Akhlaq kepada Allah
Akhlaq kepada Allah adalah segala bentuk respon positif dari seseorang
kepada Allah dalam segala hal. Ketika hubungan akhlaq seorang manusia kepada
Allah baik, dapat dipastikan akhlaqnya kepada manusia pun akan menjadi baik
pula. Begitupun sebaliknya, apabila ia memiliki kebiasaan berakhlaq jelek kepada
Allah maka jangan harap hubungan kepada sesame dan lingkungannya pun akan
baik.
Memiliki akhlaq yang terpuji kepada Allah merupakan dambaan setiap
muslim. Ada beberapa akhlaq yang sudah semesti dilakukan seorang muslim
kepada Allah SWT sebagai perwujudan dari keimannya. Akan tetapi masih
banyak orang yang tidak memahami atau mungkin sudah paham tapi sulit dalam
melaksanakannya dalam kehidupan sehari- hari. Beberapa akhlaq tersebut adalah :
5

1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya
Sebagai bukti rasa syukur seorang hamba terhadap Tuhannya adalah
dengan senantiasa berupaya untuk menjalankan apa yang diperintahkannya
dan semaksimal mungkin menjauhi larangannya. Allah SWT selalu
memberikan apa yang dibutuhkan oleh hambanya, jadi sudah sewajarnya
hambanya taat dan patuh terhadap semua yang disuruh oleh Allah SWT.
Karena sebenarnya apa yang diperintahkan kepada Umat Islam ini tentunya
selalu memiliki hikmah yang besar apabila dilakukan dengan sungguh-
sungguh.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat
di atas dengan bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kalian,
hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang
dariku (Al-Quran dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani).
Jadi berdasarkan hadis tersebut konsekuensi seseorang telah beriman
kepada Allah adalah dengan cara taat dan patuh kepada Allah dalam hal
melaksananakan perintah dari- Nya.
2. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT
Segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT itu merupakan hal
yang baik. Tidak ada satu pun dari ciptaanya yang cacat dan tidak berguna.
Contohnya cacing tanah, meskipun bentuknya menjijikan, namun begitu
banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari keberadaanya, yaitu bisa
menggemburkan tanah. Atau ciptaan Allah berupa semut, menurut kita
terkadang apa keuntungan adanya semut, padahal dari binatang kecil itu kita
dapat belajar banyak hal, diantaranya seekor semut sesibuk apapun senantiasa
menyempatkan diri untuk bersalaman, lalu mengapa kita yang notabene
memiliki pikiran terkadang melupakan hal tersebut. Lalu gotong royong yang
dilakukan para semut patut kita tiru dan diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Ketentuan Allah SWT semuanya baik dan tidak ada satu pun yang
merugikan kita. Namun, kita seringkali tidak bisa menemukan hikmah dari
setiap pemberian dari Allah SWT terutama yang berkenaan dengan musibah.
6

Kita terkadang ketika mendapatkan sebuah musibah atau cobaan menggerutu
dan menunjukan sikap yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang muslim.
Padahal setiap ketentuan Allah baik itu yang menurut kita buruk atau baik
didalamnya memiliki hikmah yang besar. Misalnya saja ketika seseorang
tidak diterima di perguruan tinggi dan jurusan yang diinginkannya. Sekilas
kita menganggap bahwa Allah tidak mengabulkan setiap doa yang senantiasa
dipanjatkan agar bisa diterima di perguruan tinggi tersebut. Padahal Allah
memiliki rencana lain yang kedepannya akan lebih baik untuk kita. Bisa saja
kita diterima di perguruan tinggi A tapi kita malah terbawa pergaulan yang
tidak baik, sementara Allah menggantinya dengan diterima di perguruan
tinggi B dan disana kita akan mendapatkan prestasi yang baik. Maka
alangkah lebih baik apabila kita menyikapi setiap ketentuan Allah dengan
Ridha. Karena hal tersebut akan membuat kita senantiasa bahagia dan tidak
selalu dirundung oleh kesedihan.
3. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Manusia itu memang tempatnya salah dan lupa. Namun, tidak
selamanya manusia itu salah karena bukan syaitan dan tidak pula selamanya
benar layaknya malaikat. Manusia terletak diantara keduanya. Ketika
imannya sedang naik maka kecenderungan manusia untuk berbuat baik sangat
tinggi. Lain halnya ketika imannya sedang terpuruk maka akan terasa sulit
untuk berbuat kebaikan, karena ia sudah tergelincir dan mudah sekali untuk
digoda syaitan untuk melakukan kemaksiatan. Meskipun dosa seorang hamba
sangat besar, tentunya pengampunan Allah lebih besar kepadanya. Jadi tidak
ada alasan untuk kita senantiasa bertaubat kepadanya. Jangan sampai karena
tidak terhitungnya dosa kita, dan kita malah berputus asa dari pengampunan
Allah SWT.
4. Merealisasikan ibadah kepada-Nya
Tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah
SWT. ibadah disini terbagi menjadi dua, yaitu mahdhah dan ghair mahdhah.
Kita sebagai hamba Allah selain menjalankan ibadah yang pokok ( mahdhoh)
tentunya harus kita hiasi dengan ibadah- ibadah pelengkap lainnya. Karena
tidak ada jaminan ibadah pokok yang kita kerjakan itu dapat diterima. Oleh
7

karena itu sangat perlu kiranya kita memaksimalkan bermacam- macam
aktivitas yang mengandung kebaikan, karena dengan diiringi niat untuk
beribadah kepada Allah segal hal baik yang dilakukan akan bernilai amal
soleh disisi-Nya.
5. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan
padanya.
Setiap amanah kelak akan dimintai pertanggung jawaban. begitu
pula dengan kehidupan yang kita jalani, ini merupakan amanah dari Allah
SWT. Apabila kehidupan yang sebentar ini diisi dengan amal kebajikan maka
tentunya pahala yang akan di dapat, begitupun sebaliknya apabila
kemaksiatan yang selalu dikerjakan tiap waktu, maka tunggulah saatnya
dimana pertanggung jawaban itu akan diminta.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda: Dari ibnu Umar ra,
Rasulullah SAW bersabda,
Artinya : "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung
jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/
imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami
merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab
atas apa dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin
atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba
adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab
terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah
pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya."
(HR. Muslim)

B. Iman
1. Pengertian
Iman menurut bahasa berarti keyakinan atau kepercayaan, sedangkan
menurut istilah berarti kepercayaan tentang adanya Allah sekaligus membenarkan
apa saja yang datang dari Allah dengan cara meyakini dalam hati, menyatakan
dengan lisan, dan membuktikan dengan amal nyata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman adalah kepercayaan yang
berkenaan dengan agama; keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Nabi, kitab,
8

yang tidak akan bertentangan dengan ilmu dapat pula berarti ketetapan hati;
keteguhan batin; keseimbangan batin. Jadi makna iman secara umum
mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota
badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan
memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada
Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah
Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :

Artinya : Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan
perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Keimanan dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah,
pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan
dilaksanakan dalam bentuk perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut
berpengaruh terhadap pandangan hidup dan cita-cita seseorang.
Meskipun keimanan merupakan perbuatan hati, tetapi pantulan
dari keimanan tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan nyata yang menjadi
tuntutan keimanan tersebut. Oleh sebab itu, al-Quran menjelaskan kewajiban-
kewajiban, sikap-sikap, dan tingkah laku seorang yang harus terwujud dalam diri
setiap orang beriman dalam kehidupannya. Konsep seperti itu misalnya ditemukan
dalam firman Allah dalam QS. al-Muminun (23): 1-6 sebagai berikut:
;~ EEU^ 4pONLg`u^- ^
4g~-.- - O) jgjE=
4pONg=E= ^g 4g~-.-4
- ^}4N O^^U- ]O@OuN`
^@ 4g~-.-4 -
jE_OEEOUg 4pOUg ^j
4g~-.-4 - )__NOg
4pOOgEO ^) ) -O>4N
)__4^e u 4` ;eU4`
9

g+EuC gE+) +OOEN
--g`OU4` ^g
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang- orang yang khusyu dalam sembahyangnya, dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela. (QS. al-Muminun [23]: 1-6)

Dengan demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai
berbagai amal saleh sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut. Sekedar
kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman, karena iman
menghasilkan ketenangan. Karena itu pula iman berbeda dengan ilmu, karena
ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan
iman. (Anonim,2011)
Seseorang tidak dianggap beriman kepada Allah sehingga meyakini hal-
hal berikut ini:
Pertama: Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wataala satu-satu-Nya
pencipta alam mayapada ini, menguasai, mengatur, mengurus segala sesuatu di
dalamnya, memberi rizki, kuasa, menjadikan, mematikan, menghidupkan dan
yang mendatangkan manfaat serta madharat. Dia berbuat segala sesuatu sesuai
dengan kehendak-Nya, menghukum sesuai dengan kehendak- Nya,
memuliakan siapa yang dikendaki-Nya dan menghinakan siapa saja yang
dikendaki-Nya, ditangan- Nya semua kekuasaan langit dan bumi, Maha Kuasa
atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak butuh kepada
siapapun, bagi-Nya segala urusan, di tangan-Nya semua kebaikan, tidak ada
sekutu bagi-Nya, tidak satupun yang bisa menghalangi-Nya.
Semua makhluk; baik malaikat, jin, manusia adalah hamba-Nya,
semuanya di bawah kekuasaan, ketetapan dan kehendak-Nya, perbuatan-
perbuatan-Nya tidak terhitung dan tidak terhingga. Semua kekhususan tersebut
hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wataala, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak
ada yang berhak memiliki sifat- sifat tersebut selain-Nya, dan tidak boleh
menisbatkan dan menetapkan salah satu sifat-sifat tersebut kepada siapapun
selain-Nya.
10

Og^4C +EE4-
W-+:;N- N7+4O Og~-.-
7U 4g~-.-4 }g`
7)U:~ 7+UE 4pO+->
^g Og~-.- EE_ N7
4O- V-4Og
47.EOO-4 w7.E4)
44O^4 =}g` g7.EOO-
w7.4` E4Ou= gO) =}g`
g4OEEV- +~^ejO 7- W
E W-OUE^_` *. -41-E^
+^4 ]OUu> ^gg
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena
itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,Padahal
kamu mengetahui. ( QS. Al- Baqarah : 21-22 )

Dan dalam ayat lain :
~ O_^U- El)U4`
lU^- O)u> CU^- }4`
+7.4= 7vjO6>4 CU^-
}Og` +7.4= Og>4 }4`
+7.4= OO>4 }4` +7.4= W
Eg41) +OOEC^- W ElE^)
_O>4N ]7 7/E* EOCg~ ^gg
Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( QS.Ali
Imran :26)

Dan Allah berfirman :
4`4 }g` lO+.-E1 O)
^O- ) O>4N *.-
E_~^ejO OUu4C4
E-O4ON` E_4NE1O4ON`4
_ 7 O) U4- -)lG` ^g
Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang
11

itu dan tempat penyimpanannya semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).( QS. Hud : 6 )

Kedua : Meyakini bahwa hanya Allah Subhanahu wataala satu- satunya yang
memiliki nama- nama yang paling agung dan sifat- sifat yang paling sempurna,
yang sebagiannya telah Allah jelaskan, baik dalam Al- Quran maupun sunah
Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam.
Dalam Al- Quran Allah berfirman :
*.4 +7.E;--
_/E_O+4^- +ONNu1 Ogj
W W-+OO4 4g~-.- ]UNC
EO) gOj^Ec _ 4pu4O;NOEc
4` W-O+^~E 4pOUEu4C ^g
Artinya : Hanya milik Allah asmaul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-
Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.( QS. Al Araf : 180 )

Dan Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh Sembilan nama,
barangsiapa menghitungnya, maka ia akan masuk surge dan Allah itu
witir ( ganjil ) dan menyukai hal- hal yang ( berjumlah ganjil ). (
Muttafaq alaih ).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan nama-nama Allah:
1. Beriman dengan semua nama-nama Allah, baik yang terdapat dalam Al-
Quran maupun sunah tanpa menambah dan mengurangi.
Allah berfirman:
4O- +.- Og~-.- 4O) )
4O- l)UE^- +EO^-
NUOO- }g`u^-
;g^OE_^- +OCjOE^-
+O*:E^- +O)E:4-^- _
=}E:c *.- O4N ]O)O;+C
^g@
Artinya : Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci,
yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha
12

Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki
segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. Al- Hasyr :23 )
Dan terdapat dalam sebuah hadits bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam mendengar seorang laki-laki berdoa dengan mengatakan:
Artinya : Ya Allah aku memohon kepada-Mu bahwa hanya bagimu segala
puji, tidak ada Tuhan (yang patut disembah) melainkan Engkau,
Engkau yang memberi karunia, yang menciptakan langit dan bumi,
Engkau yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang maha kekal,
yang senantiasa mengurus hamba- Nya , maka nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam berkata: Tahukah kamu dengan apa dia
telah berdoa kepada Allah? Mereka menjawab: Allah dan Rasul-
Nya lebih tahu. Nabipun berkata: Demi Dzat yang jiwaku berada
di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah berdoa kepada Allah dengan
nama-Nya yang agung, yang mana, apabila seseorang berdoa dengan
nama-nama itu, niscaya Dia akan mengabulkan, dan apabila seseorang
meminta dengan nama itu, niscaya Dia akan memberinya. (HR. Abu
Dawud dan Ahmad).

2. Beriman bahwa Allah sendiri yang telah menamakan diri-Nya dengan
nama-nama itu, tidak ada seorang makhlukpun yang memberi nama
kepada-Nya, Dialah yang memuji diri-Nya dengan nama-nama tersebut, dan
nama itu bukan muhdats (suatu yang baru) dan bukan pula makhluk.
3. Beriman bahwa nama-nama Allah yang agung tersebut mengandung
makna yang maha sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun pada- Nya,
dan wajib kita mengimani kandungan makna dari nama-nama tersebut
sebagaimana kita wajib mengimani nama-nama itu sendiri.
4. Wajib memuliakan kandungan makna dari nama-nama tersebut, tanpa
menyelewangkan atau meniadakannya.
5. Beriman dengan hukum-hukum yang yang dikandung oleh setiap nama-
nama tersebut, begitu pula dengan segala perbuatan dan kesan yang lahir
dari nama-nama itu.

Untuk memperjelas maksud dari lima point di atas, kita buat sebuah contoh:
1. Beriman dengan nama As-Sami (yang maha mendengar) sebagai salah satu
dari nama-nama Allah yang agung, karena nama tersebut terdapat dalam Al-
Quran dan sunah.
2. Beriman bahwa Allah lah yang menamakan diri-Nya dengan nama
13

tersebut, dan Dialah yang menuturkannya, serta menurunkannya dalam kitab-
Nya.
3. Beriman bahwa nama As-Sami (yang maha mendengar) mengandung makna
mendengar, yang merupakan salah satu sifat-Nya.
4. Wajib kita memuliakan sifat Allah mendengar, yang dikandung oleh
nama-Nya As- Sami, tanpa menyelewengkan maknanya, atau
meniadakannya.
5. Beriman bahwasanya Allah subhanahu wataala mendengar segala
sesuatu, dan pendengarannya mencakup semua bentuk suara, ini berarti
kita harus senantiasa merasa di bawah pengawasannya, merasa takut
kepada-Nya, serta benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun yang
tersembunyi dari-Nya.

Ketiga: Keyakinan hamba bahwa Allah subhanahu wataala adalah Tuhan yang
haq, Dialah satu-satunya yang berhak untuk menerima semua ibadah yang lahir
dan batin, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah berfirman:
;4 4Lu1E4 O) ] lOE`q
OcO ] W-+:;N- -.-
W-O+lg[4-;_-4 =O7-C- W
_u4g ;}E` OEE- +.- _u4g`4
;E` ;eOEO gO^OU4N 7-U_- _
W-+OOO O) ^O-
W-NOO^ E-^OE ]~E
O4l4N --)O^- ^@g
Artinya : Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul). ( QS. An- Nahl: 36 )
( Tarmizi,2007)

C. Bertaqwa kepada Allah
1. Makna Taqwa
14

Kata Taqwa banyak sekali dalam ayat Al- Quran. Dari sekian banyak ayat itu,
sering diartikan dengan takut kepada Allah, tetapi bukan takut dalam arti biasa.
Orang- orang yang takut kepada Allah ( Al- Muttaqun ) sering diidentikan dengan
mereka yang selalu melaksakan perintah Allah dan menjauhi larangan- Nya.
Karena itu, ada yang mengertikan al- mutaqun sebagai orang- orang yang
memenuhi kewajiban dan menjaga dirinya dari kejahatan ( Tim dosen PAI, 2011
)

D. Ikhlas kepada Allah
1. Makna Ikhlas
Secara etimologis, ikhlas adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi
bersih. Secara istilah, ikhlas adalah usaha seseorang melakukan perbuatan semata-
mata berharap ridha Allah swt. Menurut para ahli hakikat (tasawuf), ikhlas
merupakan syarat sah ibadah. Jika amal diumpamakan sebagai badan, maka ikhlas
adalah ruh (jiwa) amal itu. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa seseorang yang
ikhlas dala melakukan perbuatan, tujuan, cita-cita dan amalannya semata hanya
karena Allah swt, maka Ia (Allah) akan selalu menyertainya. (Rohima, tanpa
tahun )
Ikhlas adalah meluruskan niat dalam hati dengan semata-mata hanya
untuk mengharap ridha Allah SWT. Dalam kaitannya dengan ibadah dan seluruh
amal perbuatan, seperti shalat, zakat, puasa, membaca al-Quran, sedekah, senyum
dan lain sebagainya, semua itu dilakukan dengan hati yang ikhlas. Bukan untuk
mengharapkan hal-hal yang lain. Semisal mengharapkan perhatian dari orang lain,
dibicarakan oleh orang lain, atau malah ingin dipuji di pandangan mata manusia.
Ikhlas juga bisa diartikan lapang dada. Bisa diartikan dengan bersikap
menerima tanpa perasaan sakit hati atau menggerutu terhadap suatu cobaan atau
sebuah kondisi disaat kita telah mengerjakan sesuatu namun mendapatkan hasil
yang mengecewakan. Yang demikian itu adalah ciri-ciri orng yang ikhlas dalam
mengerjakan amal ibadah. Intinya orang yang ikhlas itu ada atau tidak adanya
orang lain, berhasil atau gagalnya usaha yang dilakukannya tidak merusak
ketulusan hatinya yang semata-mata mengharap ridha Allah. Walaupun ia tidak
15

berhasil dan memperoleh hal yang menyakitkan bagi diriya ia tidak akan berhenti
melakukan yang terbaik. Baik itu amal kepada Allah maupun kepada manusia.
Karena pentingnya ikhlas dalam beribadah dan beramal, dalam al-
Quran, Allah menyebut kata-kata ikhlas berulang sebanyak 37 kali. Selain itu,
kata-kata ikhlas ternyata selalu dibgabungkan dengan dengan kata agama. ini
menunjukkan bahwa dalam beragama (beribadah dan bermu`amalah) kita harus
ikhlas dan berniat melakukannya anya karena Allah semata.
Untuk mengetahui hakikat orang ikhlas (mukhlis), para ulama sepakata
bahwa mereka mempunyai ciri-ciri antara lain bahwa ia sama sekali tidak
mempunyai niat untk menjadi orang yang sum`ah(orang yang suka menari
ketenaran), suka memuji ketimbang dipuji, tidak sombong, tidak ria (ingin
dipandang orang). Ia selalu merendah, suka beramal. Orang ikhlas juga selalu
berbuat wajar ketika menjadi pejabat atau pemimpin, selalu mencari kerdhaan
Allah dan melakukan sesuatu hanya karena Allah. Selain itu orang ikhlas ju
galselalu sabar dalam bekerja dan sabar dalam menghadapi cobaan. Merka merasa
senang kaalu ada orang yang bergabung dengannya, senang melakukan amal
yang bernafaat. Inilah beberapa ciri orang yang muklis, yang melakukan suatu
ibadah atapun amal dengan ikhlas.

2. Ayat-Ayat Al-Quran tentang Keikhlasan Dalam Beribadah
a. Surah Al-Anam : 162 163

1. Bacaan surah Al-Anam Ayat 162-163
~ Ep) O)E= OOOe4
EO4O^4E`4 )E4`4 *. p4O
4-gE^- ^gg ElC)O=
+O W ElgEO)4 Og`q
4^4 NE 4-gjO+^-
^g@

Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu
bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
16

(QS. Al-Anam [6]: 162 163)

2. Isi Kandungan

a) Ucapan penyerahan diri dengan penuh kerendahan serta
kepasrahan dalam upaya mendapatkan keridaan Allah.
b) Menyadari dan bersumpah tidak menyekutukan Allah
c) Senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah sepanjang
hidup dan meninggalkan larangan-Nya.

b. Surah Al-Bayyinah : 5

1. Bacaan surah Al-Bayyinah Ayat 5
.4`4 W-+Oq )
W-+:u4Og -.- 4-)U^C`
N. 4g].- 47.E4LNO
W-OONC4 E_OUO-
W-O>uNC4 E_OEEO- _
ElgO4 }Cg1 gOEj1^-
^)
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(QS. Al-Bayyinah [98] : 5)

2. Isi Kandungan

Allah memerintahkan kepada makhlukNya khususnya manusia untuk
menyembahNya, yaitu senantiasa ingat kepada Allah dalam keadaan
apapun.
Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin semoga Allah memberikan
hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-
Kitab dan As-Sunnah, sesungguhnya Allah Taala tidak akan menerima
suatu amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua
syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:

17

a) Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah,
sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak
mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah
Taala.
b) Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan
petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Dalil untuk kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Taala dalam
beberapa tempat dalam Al-Qur`an. Di antaranya:

~ .E^^) 4^ O=E
7Uu1g)` -/EONC O)
.E^^ 7_) O)
/g4 W }E 4p~E W-ON_O4C
47.g gO)4O Eu4OU
1E44N w)U= 4 ')O;+C
jEE14lg) gO)4O -4
^

Artinya : Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada
Rabbnya. (QS. Al-Kahfi [18] : 110)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam tafsirnya
(3/109) menafsirkan ayat di atas, [Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai
dengan syariat Allah, [dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya
diinginkan wajah Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Inilah dua rukun untuk amalan yang diterima, harus ikhlas
hanya kepada Allah dan benar di atas syariat Rasulullah -
Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Dan juga Firman Allah Taala:

18

Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji
kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya.
(QS. Al-Mulk [67] : 2)

Al-Fudhoil bin Iyadh Rahimahullah sebagaimana dalam Majmu
Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah rahimahullah (18/250) berkata
ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang
paling baik amalannya], (Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang
paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada
keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan
diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai
keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut
ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya
(diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada
di atas sunnah (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam).
Berikut uraian kedua syarat ini :
Syarat Pertama: Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian
bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah dan
diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu wa Taala- semata
serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam
bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Taala.
Ada banyak dalil yang menopang syarat ini, di antaranya:

Allah Taala berfirman :
.^^) .4L^4O^ C^O)
=U4:^- --E^)
g+l;N -.- +)U^C` +O-
-g].- ^g *.
}Cg].- gC^- _

Artinya :Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Quran)
kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
(QS. Az-Zumar [39]: 2-3)
Allah Taala berfirman:
19

~ EO)E+) Og`q up
E+l;N -.- +)U^C` +O-
4g].- ^

Artinya :Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama. (QS. Az-Zumar [39]: 11)

Dan dalam firman-Nya:
.4`4 W-+Oq )
W-+:u4Og -.- 4-)U^C`
N. 4g].- 47.E4LNO
W-OONC4 E_OUO-
W-O>uNC4 E_OEEO- _
ElgO4 }Cg1 gOEj1^-
^)

Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al-Bayyinah [98]:
5)
Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa ala alihi wasallam- telah menegaskan dalam sabda beliau:
Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan
niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan
mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan
yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang
dia hijrah kepadanya. (HR. Al-Bukhari no. 54, 2392 dan
Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab
Radhiallahu anhu)
Kemudian, keikhlasan yang diinginkan di sini adalah
mencakup dua perkara:
(1) Lepas dari syirik ashgar (kecil) berupa riya` (ingin dilihat),
sumah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan
duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-
bentuk ketidakikhlasan. Karena semua niat-niat di atas
menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia,
20

tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah
Taala.
Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah Taala berfirman
dalam hadits Qudsy:
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan apapun
yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya
dalam amalan tersebut, maka akan saya tinggalkan dia
dan siapa yang dia perserikatkan bersama saya. (HR.
Muslim no. 2985 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-)
Kata dia bisa kembali kepada pelakunya dan bisa
kembali kepada amalannya, Wallahu Alam. Lihat Fathul
Majid hal. 447.
Bahkan Allah Taala telah menegaskan:

}4` 4p~E C@ONC E_O41E^-
4Ou^O- 444[C)e4
]4O+^ jgO) _UE;N
OgOg -4 OgOg
4pOOOEClNC ^) Elj^q
4g~-.- "^1 +O O)
jE4O=E- ) +OE4- W
EO)lEO4 4` W-ON4L= OgOg
gC44 E` W-O+^
4pOUEu4C ^g
Artinya : Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya)
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan. (QS. Hud [11]: 15-16)
(2) Lepas dari syirik akbar (besar), yaitu menjadikan
sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia
21

amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Taala-.
Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak
hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan
tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala
ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya
tanpa terkecuali.
Allah Taala telah mengancam Nabi Muhammad saw dan
seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:

;4 =/^q El^O) O)4
4g~-.- }g` C)U:~ u'
=e^4O'= O}C4:4O ElU4E
O}4^O74-4 =}g` =}C)OOC^-
^g)
Artinya :Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: Jika kamu berbuat
kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
(QS. Az-Zumar [39]: 65)

Dari syarat yang pertama ini, sebagian ulama ada yang
menambahkan satu syarat lain diterimanya amalan, yaitu:
Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia
tidak meyakini sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai
dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja
dia meyakini bahwa Allah Taala berada dimana-mana.
Keyakinan dia ini adalah keyakinan yang kafir karena
merendahkan Allah, yang karenanya shalatnya tidak akan
diterima.
Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas
dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-,
hanya saja dia meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui
22

perkara ghaib. Maka hajinya pun tidak akan diterima karena dia
telah meyakini keyakinan yang rusak lagi merupakan kekafiran.







---oOo---















BAB III
PENUTUP



A. Simpulan
23

Antara akhlaq, beriman, bertaqwa,dan Ikhlas kepada Allah SWT,
masing- masing memiliki korelasi yang sangat erat. Konsekuensi seseorang yang
telah mengikrarkan diri beriman kepada Allah maka secara otomatis harus
bersikap Taqwa, berakhlaq baik, dan memurnikan ibadah kepada-Nya dengan
jalan Ikhlas, melakukan segala sesuatu dengan dasar ingin mencari keridhoan
Allah SWT tanpa dikotori oleh hal- hal yang bisa menghapuskan pahala kebaikan
kita, yaitu dengan Riya dan Sumah.













DAFTAR PUSTAKA

Anonim.(2011). Dimensi Islam Iman dan Ihsan, (online)
http://www.scribd.com/doc/72020445/Dimensi-Islam-Iman-Dan-Ihsan,
diakses 27 September 2012
24

Murata, Sachiko. (1997) Trilogi Islam, ( Islam, Iman, dan Ihsan), Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Rohima.(tt).Makalah : Makna Ikhlas Dalam Ibadah (online)
http://www.scribd.com/doc/68747198/Makna-Ikhlas-Dalam-Ibadah,
diakses 29 September 2012
Tarmizi, E. (2007).Maktab Dakwah dan bimbingan Jaliyat Rabwah.Universitas
Islam Madinah.
Zahruddin, A.R. (2004). Pengantar Ilmu Akhlak. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

You might also like