You are on page 1of 3

Meragukan Legitimasi Pemilu 2009

Adhari purnawan

Mantan santri Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

Begitu membuka facebook, para kolega saya di Lampung maupun di Jakarta


mencecar dengan berondongan pertanyaan: "Hai, bagaimana itu ceritanya KPU
Lampung? Ente kan yang ikut menyeleksi? Jangan-jangan elu juga ikut terlibat?"

Ketika saya pasang kabar kasus yang melilit KPU Lampung itu di status facebook,
tanggapan dan keingintahuan muncul juga dari beberapa orang, antara lain dari Maspriel
Aries (jurnalis di Palembang), Juri Ardiantoro (Ketua KPU DKI Jakarta), dan Andi Arief
(Komisaris PT Pos Indonesia).

Dialog lewat dunia maya itu muncul setelah Lampung Post memberitakan Ketua
KPU Lampung Edwin Hanibal dan anggota KPU Pattimura diusulkan Bawaslu untuk
dicopot. Selain mereka, anggota KPU Nanang Trenggono dan Sholihin diusulkan
diperiksa.

Saya sangat prihatin; bukan karena para komisioner itu secara pribadi kawan lama
yang juga teman-teman baik saya. Mereka terpilih bukan karena saya mengenalnya
secara pribadi, melainkan karena merekalah yang menurut KPU Pusat dianggap paling
layak menjadi tim penyelenggara pemilu di Lampung.

Meski dengan nada prihatin, saya menanggapi semua pertanyaan itu dengan enteng.
Saya katakan tugas saya dan Tim Seleksi sudah selesai ketika menyerahkan 10 nama
calon anggota KPU Lampung. Ketika itu tidak ada protes berarti.

Kini, ketika para anggota KPUD Lampung tersandung masalah, secara pribadi saya
merasa berdosa. Berdosa karena kalau kasus itu benar, pilihan saya dan Tim Seleksi lain
ternyata salah. Kalau isu bahwa mereka terlibat desain besar bekerja untuk kekuatan
tertentu adalah benar, mereka tidak hanya membohongi Tim Seleksi, tetapi mengingkari
sumpah jabatan.

Saya agak ragu soal desain itu. Yang paling mungkin, barangkali, adalah soal KKN.
Hal itu bisa dilacak dari alur hubungan para anggota KPUD di tujuh kota/kabupaten
dengan para anggota KPU Lampung. Baik itu hubungan kekerabatan maupun hubungan
atas dasar sentimen lembaga. Untuk membuktikan itu perlu kerja keras.

Namun, saya tidak mau masuk wilayah isu dan hukum. Biarlah hukum dan alam yang
akan membuktikan apakah para anggota KPU itu benar atau salah.

Yang menjadi pertanyaan mendasar: Pemilu 2009 sudah sangat dekat. Bagaimana
legitimasi pemilu di tangan anggota KPU yang sedang dirundung masalah? Pertanyaan
ini tidak hanya tertuju pada kasus KPU Lampung dan 7 KPU di kabupaten/kota di
Lampung, tetapi bagi KPU Pusat dan seluruh KPU di Indonesia.

Untuk menjawab itu, sebuah logika sederhana bisa diajukan: Yakinkah perjalanan kita
menuju Krui akan sampai dengan selamat jika sopir bus yang membawa kita diragukan
keahlian dan moralitasnya? Si sopir mungkin sudah punya surat izin mengemudi (SIM);
memiliki legitimasi atau wewenang menjalankan mobil. Namun, apa gunanya kalau itu
"SIM tembak"? Lebih parah lagi, sudah "SIM tembak", si sopir gemar mabuk pula. Ini
pengandaian saja.

Dalam buku wajib berjudul Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern
(Pustaka Utama Gramedia, 1994), Franz Magnis-Suseno menjelaskan ada tiga
kemungkinan kriteria legitimasi: Legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis.
Dalam legitimasi sosiologis, yang dipertanyakan sejauh mana kita sebagai anggota
masyarakat meyakini wewenang pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar
dan patut kita hormati?

Di sinilah pertanyaan saya dalam kaitannya dengan kasus KPU Lampung


mendapatkan korelasinya. Ketika ditemukan dugaan kasus di KPU Lampung dan KPU 7
kota/kabupaten di Lampung, amat wajar kalau publik juga tidak bisa menghormati
wewenang menyelenggarakan pemilu yang dimiliki KPU. Logika sederhananya: Kalau
rekrutmen saja sudah banyak masalah, mungkinkah mereka bisa bekerja profesional?
Kalau masyarakat sudah meragukan legitimasi penyelenggara pemilu, nilai legitimasi
hasil pemilu menjadi berkurang. Atau lebih konkret lagi: Pemilu yang diselenggarakan
lembaga yang diragukan kredibilitasnya, hasilnya pun layak diragukan legitimasinya.

Kaitannya dengan legalitas, menurut Magnis, hal yang mendasar suatu tindakan
dikatakan legal jika dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku.
Legalitas, dengan begitu, menuntut wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku.

Namun, legalitas bukanlah tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang
politis. Artinya, meskipun dari sisi legalitas KPU Lampung bisa menyelenggarakan
pemilu dan tetap dianggap legal, bobot nilai keabsahannya bisa jadi bukan 100 persen
lagi. Sebab, legalitas yang mereka miliki tidak bisa dijadikan ukuran satu-satunya untuk
mengatakan pemilu yang mereka selenggarakan menjadi sah secara politik.

Dengan dasar ini, tidak bisa seorang komisioner di KPU Pusat mengatakan bahwa
mau tidak mau pemilu legislatif harus dilaksanakan pada 9 April 2009. Sudah tak
zamannya lagi seorang pejabat publik bekerja atas dasar "pokoke" atau "pokoknya".
Pejabat publik harus mendasarkan pekerjaannya demi kepentingan publik untuk kebaikan
bangsa dan negara.

Yang tak kalah penting, menurut Romo Magnis, adalah legitimasi etis, yaitu
pandangan tentang legitimasi yang mempersoalkan kekuasaan politik dari segi norma-
norma moral. Legitimasi etis dimaksudkan untuk mengkritisi agar setiap tindakan
negara--baik eksekutif, legislatif, maupun lembaga-lembaga independen semacam KPU--
bisa dipertanyakan dari segi norma-norma moral.

Kasus Lampung sebenarnya mirip dengan kasus di Sumatera Selatan; berkaitan


dengan penetapan anggota KPU di sejumlah daerah. Bedanya, penyelesaian kasus KPU
Sumsel lumayan taktis dan cepat. Dugaan keterlibatan anggota KPU Sumsel di parpol
terbukti. Di Lampung, kasusnya bukan soal keterlibatan komisioner di parpol.

Kasus para para komisioner di Sumsel segera ditindaklanjuti dengan pemeriksaan,


rekomendasi, dan pencopotan. Ketua dan para anggota KPU Sumsel melanggar Peraturan
KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Eik Penyelenggara Pemilu dan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Tentu, publik tidak berandai-andai para anggota KPU Lampung juga akan mengalami
nasib seperti para komisioner di Sumatera Selatan. Kita masih berbaik sangka bahwa
tuduhan dan isu itu tidak benar. Kita juga tetap mendukung KPU untuk
menyelenggarakan Pemilu 2009 dengan catatan mereka bekerja dengan profesional dan
tidak mencederai kepecayaan publik. Namun, kalau memang proses hukum menunjukkan
bahwa mereka bersalah, apa boleh buat, hukum harus tetap ditegakkan. Bagaimanapun
kepentingan publik dan bangsa harus lebih diutamakan.

You might also like