You are on page 1of 15

A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi sehingga disebut sebagai megadiversitas.

Biodiversitas adalah keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologis yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam gen, di antara spesies, dan ekosistem. WWF (1989) menyebut biodiversitas sebagai

keanekaragaman hidup di bumi, mencakup jutaan spesies tumbuhan, hewan, mikroorganisme; materi genetik yang dikandungnya; serta ekosistem yang dibangun sehingga menjadi sebuah lingkungan hidup. Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia ini terlihat dari berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti: ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savana, dan lain-lain. Masing-masing ekosistem ini memiliki keaneragaman hayati tersendiri. Selain memiliki keanekragaman hayati yang tinggi, Indonesia mempunyai areal tipe Indomalaya yang luas, juga tipe Oriental, Australia, dan peralihannya. Selain itu di Indonesia juga mempunyai banyak hewan dan tumbuhan langka, serta hewan dan tumbuhan endemik (penyebaran terbatas). Hewan-hewan di Indonesia memiliki tipe Oriental (Kawasan Barat Indonesia) dan Australia (Kawasan Timur Indonesia) serta peralihan. Hewanhewan di bagian Barat Indonesia (Oriental) yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Kalimantan relatif sama dengan hewan-hewan di benua Asia dan hewan-hewan di Indonesia bagian timur, yaitu Irian, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, relatif sama dengan benua Australia. Dalam sebuah ekosistem, hewan memiliki peranan penting sebagai

stabilitor bagi habitatnya. Fungsi dan manfaatnya baik dari segi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya sangat diperhitungkan oleh manusia. Akan tetapi, hal ini tidak diimbangi oleh sifat dasar manusia yang selalu ingin merasa puas untuk memenuhi keinginannya. Banyak dari hewan yang tersebar di beberapa ekosistem di beberapa pulau dijadikan sebagi hewan buruan yang tidak hanya dimanfaatkan

sebagai sumber protein tetapi juga diperdagangkan. Sehingga distribusinya menjadi terbatas dan indeks kelimpahannya di alam menjadi terancam bahkan hampir punah. Salah satu contoh hewan yang memiliki status demikian adalah tapir. Di dunia, terdapat 4 jenis tapir yang dikenal. Salah satu spesies tapir terbesar adalah spesies Tapirus indicus yang merupakan salah satu hewan yang dilindungi, dan juga jumlahnya yang semakin sedikit akibat perburuan liar. Berkaitan dengan perlindungan spesies Tapirus indicus pada khususnya dan

hewan-hewan lain pada umumnya, manusia memiliki peranan penting dalam menangani hal ini. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kelestarian hewan langka yang jenis dan jumlahnya semakin menipis dengan menanamkan kesadaran dan kefahaman masyarakat, untuk itu perlu diketahui sejauh mana masyarakat bisa menyadari untuk mengenal, menyayangi, memahami, dan melindungi hewan-hewan langka disekitar kita. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi khusus mengenai spesies Tapirus indicus sebagai bentuk perwujudan untuk melestarikan jenisnya dan meminimalisir terjadinya perburuan dan pembalakan liar. B. RUMUSAN MASALAH 1. Di manakah spesies Tapirus indicus dapat ditemukan? 2. Bagaimanakah distribusi spesies Tapirus indicus di alam? 3. Bagaimanakah indeks kelimpahan dari spesies Tapirus indicus? 4. Apa peran pemerintah dan masyarakat sebagai upaya perlindungan satwa langka khususnya spesies Tapirus indicus? C. TUJUAN MASALAH 1. Untuk mengetahui habitat dari spesies Tapirus indicus 2. Untuk mengetahui distribusi dari spesies Tapirus indicus 3. Untuk mengetahui indeks kelimpahan dari spesies Tapirus indicus 4. Untuk mengetahui peran pemerintah dan masyarakat sebagai upaya perlindungan satwa langka khususnya spesies Tapirus indicus

D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Taksonomi Tapir asia (Tapirus indicus) adalah salah satu spesies tapir dari famili Tapiridae dan genus Tapirus. Tapir asia merupakan jenis yang terbesar dari keempat jenis tapir yang hidup di dunia dan satu-satunya yang berasal dari Asia. Di Indonesia, hewan ini memiliki habitat alami di hutan hujan tropis di pulau Sumatra. Tapir di daerah Sumatra umumnya memiliki nama lokal yaitu tanuak atau seladang, gindol, babi alu, kuda ayer, kuda rimbu, kuda arau, marba, cipan, dan sipan. Berikut ini adalah klasifikasi Tapir asia menurut Desmarest 1819: Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Perissodactyla : Tapiridae : Tapirus : Tapirus indicus

Gambar 1. Empat Jenis Tapir yang Hidup di Dunia Sumber: Nash (2009) Genus Tapirus terbagi menjadi empat spesies (Downer 2001) yaitu Tapirus indicus (Tapir asia) yang merupakan spesies Dunia Lama (Old World

Species) dan tiga spesies lainnya yaitu Tapirus terrestris (Tapir dataran rendah), Tapirus bairdii (Tapir bairdii), dan Tapirus pinchaque (Tapir pegunungan) yang merupakan spesies Dunia Baru (New World species). 2. Morfologi Nash (2009) menyebutkan bahwa Tapir asia merupakan jenis yang terbesar dari keempat jenis tapir lainnya. Hewan ini mudah dikenali berdasarkan pola warna tubuhnya. Bagian depan tubuh mulai dari kepala, leher dan kaki berwarna hitam, sedangkan bagian belakang termasuk punggung dan pinggang berwarna putih. Telinga berbentuk oval dan tegak lurus, dengan ujung telinga berwarna putih. Hewan ini memiliki mata yang kecil dengan indera penglihatan yang agak buruk, karena itu tapir lebih mengandalkan indera penciuman dan pendengaran dalam menjalani kehidupannya. Tapir yang baru lahir berwarna coklat gelap kemerahan, dengan garis bintik berwarna kuning dan putih. Pola warna ini akan mulai berganti setelah anak tapir berumur 51 hari dan mencapai tingkatan warna yang sama dengan individu dewasa setelah berumur 105 hari (Novarino 2000). Pola warna ini berguna untuk kamuflase, terutama di hutan rindang pada saat malam hari. Tapir memiliki ciri khas yaitu bentuk hidungnya yang memanjang seperti belalai pada gajah, tetapi pada tapir lebih pendek. Belalai tersebut merupakan gabungan dari hidung dan bibir atas yang terdiri dari otot dan jaringan ikat lunak (Tapir Specialist Group 2007), berfungsi untuk mengambil daun muda atau buah dari pepohonan. Hidung ini didekatkan ke tanah saat hewan ini berjalan. Fahey (2009) menyebutkan bahwa tapir memiliki empat jari di tiap kaki depan dan tiga jari di tiap kaki belakangnya yang dilengkapi dengan kuku. Jari kaki keempat pada kaki depan tapir tidak menyentuh tanah pada saat berjalan, sehingga hanya terlihat tiga bentukan jari pada jejak kakinya. Jejak kaki depan individu dewasa memiliki panjang antara 155220 mm dan lebar sekitar 139240 mm, sedangkan kaki belakang memiliki panjang sekitar 127220 mm dan lebar 113180 mm. Bentuk tubuh yang membulat dan kaki depan yang lebih pendek memungkinkan tapir untuk berlari dengan cepat diantara rerimbunan semak. Selain itu, tapir memiliki kemampuan untuk berenang dan menyelam dalam air untuk waktu yang cukup lama. Tapir asia dewasa dapat tumbuh hingga mencapai
4

panjang 1,8-2,4 m (sekitar 6-8 kaki) dan tinggi 0,9 m (sekitar 3 kaki) (Lernout & Hauspie 2009). Tapir betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada tapir jantan. Bobot tubuh tapir betina berkisar antara 340-430 kg, sedangkan tapir jantan 295-385 kg (Tapir Specialist Group 2007).

Gambar 2. Tapir asia (Tapirus indicus) 3. Reproduksi Tapirus indicus Sistem reproduksi biologi dan tingkah laku tapir umumnya hampir sama untuk semua spesiesnya. Hewan ini akan mengalami kematangan seksual pada umur sekitar 2 tahun (Barongi 1993). Periode kebuntingan Tapir asia berlangsung selama kurang lebih 400 hari atau 13 bulan. Siklus estrus pada tapir betina dapat diketahui berdasarkan kadar progesteron dan estradiol dalam plasma (Schaftenaar et al. 2006). Pada umumnya, tapir betina mengalami siklus estrus yang berulang tiap kurang lebih 43 hari dengan estrus yang terjadi selama 1-4 hari (Tapir Specialist Group 2007). Tapir jantan akan mengawini betina satu kali dalam periode tersebut dengan kopulasi yang dapat terjadi selama 1520 menit. Tapir asia memiliki siklus estrus yang lebih panjang dibandingkan dengan Tapir bairdii yang hanya berlangsung selama sekitar 1 bulan (Brown et al. 1994; Kusuda et al. 2002). Tapir betina akan menunjukkan estrus postpartum dan memungkinkan untuk kembali bunting pada waktu 1-3 bulan setelah melahirkan (Grzimek 1990). Bamberg et al. (1991) mengemukakan bahwa kebuntingan pada tapir betina yang terdapat di alam bebas dapat didiagnosa terhadap kadar esterogen dalam feses menggunakan metode enzyme immunoassay.

Gambar 3. Perilaku kawin Tapir asia Berdasarkan data Tapir asia yang berada di Malay Peninsula, Malaysia, dalam Huffman (2004) dikatakan bahwa musim kawin biasanya terjadi pada bulan April dan Mei. Perkawinan ditandai dengan ritual saling berkejaran dan bercumbu terlebih dahulu. Setelah tertarik secara seksual, hewan ini akan membuat suara menciut dan bersiul kemudian mencoba untuk saling mencium bagian genital sambil berputar-putar. Mungkin juga hewan ini akan saling mengigit daerah telinga, kaki ataupun panggul. Tapir asia merupakan jenis yang terbesar pada saat lahir dibandingkan jenis tapir lainnya dan tumbuh lebih cepat dari jenis tapir lain. Tapir betina melahirkan satu anak tiap dua tahun dan dapat hidup hingga mencapai 30 tahun. Anak Tapir asia disapih pada umur 6 hingga 8 bulan. (Fahey 2009). Anak tapir yang baru lahir sangat tergantung pada induknya. Dalam habitat alaminya, seringkali seekor induk tapir terlihat sedang bersama anaknya. Sebelum melahirkan, tapir betina akan memisahkan diri hingga anaknya lahir dan berumur tiga sampai empat bulan. Dalam beberapa kasus kelahiran bayi jantan, induk tapir dapat meninggalkan anaknya lebih cepat, namun demikian dalam contoh kasus ainnya, induk tapir tidak dapat meninggalkan anaknya dan bergaul kembali dengan tapir lainnya hingga anaknya benar benar dapat berpisah dari induknya. Beberapa minggu setelah kelahiran, induk tapir akan meninggalkan anaknya di tempat tersembunyi. Setelah berumur beberapa bulan, anak tapir akan mulai mengikuti induknya untuk belajar mencari makan.

Gambar 4. Induk Tapir asia dan anaknya Sumber: Nash (2009) Seekor tapir muda yang baru lahir dapat mencapai berat hingga 10 kg (22 pon). Tapir yang baru lahir memiliki warna cokelat dengan garis-garis dan bintik bintik putih, pola yang memungkinkannya bersembunyi secara efektif di dalam bayang-bayang hutan untuk menghindari predator di alam liar. Pola ini akan memudar dan berubah menjadi pola warna tapir dewasa pada umur 105 hari. 4. Pakan Tapirus indicus Tapir adalah jenis hewan herbivora, yaitu hewan pemakan tumbuhan (Jenssen & Michelet 1995). Hewan ini selektif memilih makanannya, yaitu berupa daun muda. Tabel 1. Tanaman yang disukai oleh Tapir asia dalam area penelitian di Taman Negara, Malaysia N o 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Nama Ilmiah Lasianthus maingayi L. griffithii Urophyllum glabrum Urophyllum sp. Psychotria sp. Prismatomeris malayana Rubiaceae Rubiaceae Macaranga denticulata M. hypoleuca M. curtisii var. Glabra Aporosa praineana Nama Lokal kentul tampoi tenboh cabal narum pecang banran pengemang camakob mahang hijau mahang puteh mahang hijau tembasa
7

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

A. symplocoides metkot Baccaurea parviflora kemai B. pyriformis jentek Homalomena deltoidea Kemoi yang hijau Amorphophallus sp. sampah Memecylon oligoneuron klandis Symplocos crassipes nirat Symplocos sp. tenboh Gomphandra quadrifida var. ubat kerah Ovalifolia gaboit Ficus semicordata asam kera Garcinia nigrolineata pahung Saurauia leprosa cateng Curculigo latifolia jering tupai Sumber: Brooks et al. (2007) Tapir biasanya memakan umbi, daun-daunan dan buah-buahan dari lebih

115 jenis tumbuhan. Menu pakan pada tapir yang terdapat dalam penangkaran biasanya terdiri dari pelet atau pakan khusus untuk hewan pemakan tumbuhan yang dijual secara komersil (kurang lebih terdiri dari 15% protein, 0,7% lisin, 21% serat) dan hijauan (kurang lebih terdiri dari 18% protein dan 30% serat). Pakan yang diproduksi secara komersil dan bahan makanan yang berasal dari tanaman perkebunan juga dapat digunakan sebagai pakan. Pisang dan buahbuahan lunak lainnya merupakan makanan yang disukai oleh tapir. Buah-buahan tersebut juga dapat digunakan untuk membantu penanganan perilaku tapir, misalnya untuk pelatihan dan administrasi standar perawatan medis (Nowak 1999). Berbagai jenis makanan dapat digunakan sebagai pakan tapir tetapi sebaiknya mencukupi dengan hijauan sebanyak 33%, pelet dengan kandungan gizi lengkap dan makanan komersil atau hasil perkebunan sebanyak 33%. Total jumlah pakan yang dapat diberikan kepada satu ekor tapir dewasa dalam satu hari sebanyak kurang lebih 4-5 % dari bobot tubuh minimalnya. Semua bahan pakan dipotong sesuai ukuran gigitan dan makanan yang diberikan segar setiap hari. Pakan diletakkan dalam suatu wadah tempat makan terpisah. Tapir yang berada dalam penangkaran memiliki beberapa catatan tentang penyakit wasir atau prolapsus anii. Penyakit tersebut dapat disebabkan oleh pemberian pakan dengan kandungan serat yang rendah seperti pakan yang berasal dari produk komersil

(Barongi 1993). Pakan yang kasar dan berukuran terlalu besar juga dapat menyebabkan penyakit wasir karena tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat mengganggu saluran pencernaan. (Brooks et al. 1997) Dalam habitat alaminya, kegiatan makan tidak hanya terpusat pada satu tempat. Tapir akan mencari makanan dimana terdapat banyak dedaunan dan bua buahan yang sesuai dengan seleranya. Hewan ini mengkonsumsi makanannya dalam jumlah sedikit tetapi terus menerus selama periode aktifnya. Saluran pencernaan tapir sangat mirip dengan kuda, dimana proses fermentasi makanan oleh mikroba terjadi di dalam sekum (hindgut fermenter). 5. Perilaku Tapirus indicus Tapir asia merupakan hewan penyendiri atau soliter (Wilson & Reeder 1993). Hewan ini menandai daerah kekuasaannya dengan mengencingi tumbuhan di sekitarnya, walaupun daerah tersebut biasanya juga merupakan daerah kekuasaan individu tapir lainnya (Eisenberg et al. 1990). Hewan ini bergerak dengan lambat, tetapi bila merasa terancam tapir dapat lari dengan cepat. Tapir juga dapat membela diri dengan rahang kuat serta gigi tajamnya. Hewan ini berkomunikasi satu sama lain dengan cicitan dan siulan bernada tinggi dan juga suka tinggal di dekat air untuk mandi dan berenang. Tapir juga bisa memanjat tempat yang curam dan aktif terutama malam hari, walaupun tidak benar-benar nokturnal. Hewan ini cenderung makan begitu matahari terbenam dan sebelum matahari terbit, dan juga tidur sebentar di siang hari. Tingkah laku ini menandai mereka sebagai hewan crepuscular. F. PEMBAHASAN 1. Habitat dan Persebaran Tapirus indicus Dahulu, Tapir asia dapat ditemukan di seluruh hutan hujan dataran rendah di Asia Tenggara termasuk Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Burma, Thailand, dan Vietnam. Namun populasinya semakin lama semakin menurun. Saat ini, Tapir asia memiliki persebaran meliputi Myanmar, Thailand bagian selatan, Peninsular Malaysia, dan pulau Sumatera (Cranbrook dan Piper 2009).

Gambar 5. Persebaran habitat alami Tapir asia (Tapirus indicus) Sumber: Khan (1997) Hewan ini dapat hidup dalam habitat rawa, dataran rendah, pegunungan, hutan perbukitan, hutan sekunder, semak lebat, dan perkebunan palem. Beberapa penemuan menyatakan bahwa tapir pernah terlihat di pinggir hutan, hutan primer, hutan sekunder, dan di beberapa perkebunan seperti kebun karet dan kebun palem (Santiapilai & Ramono 1990). Dalam laporan yang tercatat di Taman Nasional Kerinci Seblat, hewan ini dapat mencapai daerah dengan ketinggian 2300 m (Holden et al. 2003). Menurut informasi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007), populasi tapir di Lembaga Konservasi ex-situ di Indonesia tercatat 17 ekor yang tersebar di Taman Margasatwa Ragunan 4 ekor, Taman Safari Cisarua 5 ekor, Taman Safari Prigen 2 ekor, Kebun Binatang Gembira Loka 3 ekor, dan Kebun Binatang Taman Sari Bandung 3 ekor. Populasi di alam belum diketahui, namun diduga terus menurun. 2. Indeks Kelimpahan Tapirus indicus Indeks kelimpahan Tapirus indicus dapat diketahui dari populasinya yang diduga terus menurun. Diperkirakan populasi tapir menurun drastis, di dataran asia tenggara sendiri populasinya menurun sebesar 50%, sedangkan di Sumatra < 50%. Diperkirakan terdapat 1500 2000 individu di seluruh dunia. Sehingga status konservasinya di alam adalah terancam.

10

Salah satu yang mengancam keberadaannya adalah deforestasi (pembalakan liar), perburuan dan menurunnya jumlah mangsa lainnya yang meningkatkan potensi tapir sebagai mangsa bagi predator lainnya. Ancaman terbesar lainnya adalah fragmentasi habitat, hal ini sangat mengancam keberadaan tapir sebagai mamalia besar yang memiliki pergerakan yang luas, sedangkan tapir merupakan binatang pemalu. Selain itu, tapir sering diperjual belikan sebagai hewan peliharaan yang dapat meningkatkan gengsi seseorang khususnya bagi masyarakat non muslim 3. Peran Pemerintah dan Masyarakat Sebagai Upaya Perlindungan Satwa Langka Khususnya Spesies Tapirus Indicus Upaya penyelamatan dan perlindungan satwa langka pada prinsipnya memberikan jaminan terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan serta tipe-tipe ekosistemnya, dengan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Pengelolaan dalam habitat (In-Situ) Perilaku sosial dari tapir dalam penangkaran sangat tergantung dari pribadi tiap individu, pengalaman di masa lalu, keberadaan makanan dan sistem pengandangan. Beberapa kebun binatang hanya dapat menempatkan dua ekor tapir dalam satu kandang, sedangkan kebun binatang di Singapura dan Kuala Lumpur dapat menempatkan 5-10 ekor tapir dalam satu kandang. Hal ini tergantung dari pengelolaan tiap-tiap penangkaran. Menurut Barongi (1993), terdapat beberapa syarat untuk pembuatan kandang tapir. Hewan tersebut sebaiknya memiliki dua ruangan kandang yaitu kandang dalam dan kandang luar. Persyaratan kandang dalam: a. Setiap ruangan kandang memiliki ukuran minimum 3x3 meter atau 9 Meter. Kandang saling berhubungan dengan 4 pintu sorong yang lebar yang dapat digunakan tanpa menimbulkan resiko mencelakai penjaga. Sebaiknya terdapat satu kandang untuk satu ekor tapir sehingga hewan tersebut dapat dipisahkan untuk melahirkan, perawatan kesehatan, atau bila ada masalah perilaku. b. Dinding kandang untuk tapir memiliki tinggi minimum 2 meter (6 kaki). Dinding terbuat dari bahan yang keras dan padat (kayu atau beton) atau batang besi vertikal dengan jarak antar batang vertikal sepanjang kurang dari 8 inci.

11

Sebaiknya tidak menggunakan batang horizontal untuk dinding kandang. Lantai kandang dibuat agak miring agar lantai tetap kering dan tidak tergenang saat basah. Pada kandang terdapat alas yang hangat atau tempat tersendiri yang cukup hangat untuk tempat beristirahat pada saat musim dingin. Permukaan lantai tidak terlalu kasar untuk mencegah terjadinya abrasi atau perlukaan pada telapak kaki tapir. c. Suhu di dalam ruangan dijaga antara 65,0-85,0 oF atau 18,0-29,5 oC. Tingkat kelembaban dijaga di atas 50%, kecuali jika dalam ruangan tersedia kolam. Pada saat musim dingin, sebaiknya suhu alas kandang dijaga agar tetap hangat. d. Air minum tersedia setiap saat. Jika air kolam kurang, tapir yang minum tetap aman dari kemungkinan jatuh ke dalam kolam. Tapir yang tidak memiliki akses menuju kolam sebaiknya disiram atau disemprotkan air setiap hari. e. Syarat minimum kolam dalam ruangan masih belum ditentukan. Jika tidak terdapat kolam di dalam ruangan dan tapir harus tetap berada di dalam kandang dalam beberapa minggu, maka pengadaan kolam di dalam kandang direkomendasikan. Kolam sebaiknya cukup besar untuk tempat berenang dua ekor tapir dewasa. Untuk keamanan dan kemudahan keluar dan masuk ke dalam kolam, sebaiknya kolam dibuat dengan kedalaman yang meningkat berangsur-angsur dan permukaan yang tidak licin. Tapir dapat menahan nafas di dalam air selama 2-3 menit. f. Semua areal dalam ruangan kandang berada dalam keadaan bersih. Kandang sebaiknya menghadap ke timur agar mendapat sinar matahari pagi dan tidak lembab. Apabila kandang sedang dibersihkan, tapir sebaiknya dipindahkan pada kandang yang berdekatan. Persyaratan kandang luar: a. Luas areal Satu ekor tapir dewasa sebaiknya memiliki areal pergerakan di kandang luar seluas 18,5 m2 (sekitar 200 kaki persegi). Kebanyakan waktu tapir dalam satu hari relatif kurang aktif tetapi disyaratkan tempat yang cukup luas untuk pergerakan tapir dan untuk aktivitas pemeliharaan maupun perkembangbiakan b. Pagar pembatas

12

Pembatas untuk pinggir kandang luar sebaiknya dibuat parit yang dangkal dan dibuat miring dengan dinding setinggi 6 kaki atau sekitar 2 meter dari bibir parit. Pagar kandang tanpa parit sebaiknya memiliki pembatas minimal setinggi 6 kaki (sekitar 1,8 meter). Pagar pembatas bisa terbuat dari kayu atau rantai yang saling berhubungan. Tapir tidak bisa melompat tapi dapat dengan mudah memanjat dinding yang tegak lurus sekalipun setinggi 4 kaki atau sekitar 1,2 meter. Tapir adalah hewan yang sangat kuat dan dapat menerobos rantai jika rantai dibuat tidak terlalu kuat. Semua pengunjung sebaiknya menjaga jarak sejauh tidak kurang dari tiga kaki dari segala kemungkinan kontak dengan tapir c. Tempat berteduh atau naungan Tapir adalah hewan liar yang membutuhkan tempat untuk berteduh setiap saat. Pada saat kondisi iklim sedang panas, sebaiknya dalam kandang disiapkan lebih banyak tempat berteduh. d. Permukaan Permukaan di kandang luar sebaiknya berupa tanah padat atau rumput e. Kolam Akses menuju kolam di luar ruangan bila daerah tersebut sedang mengalami musim panas merupakan syarat minimum yang harus disiapkan. Hal ini penting untuk menjaga kesehatan tapir dan juga untuk menjaga perilaku pada tapir. Kolam berisi air bersih yang diganti setiap hari. f. Topografi area pergerakan kandang luar Area untuk pergerakan di luar ruangan sebaiknya dibuat relatif datar dengan tidak terdapat celah yang sempit dan tikungan 90o. Karena ukurannya yang besar, tapir memiliki sedikit pemangsa alami. Pemangsa utama dalam habitat alaminya antara lain harimau dan macan tutul, tetapi ancaman utama bagi Tapir asia adalah aktivitas manusia, termasuk penebangan hutan untuk pertanian, banjir akibat dibendungnya sungai untuk membuat pembangkit listrik tenaga air, dan perdagangan ilegal. 2. Pengelolaan di luar habitat (Ex-Situ) a. Memindahkan jenis satwa ke habitatnya yang lebih baik

13

b. Mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya (Maitertika, 2008) Terhadap upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang langka di Indonesia tidak begitu mendapat perhatian yang serius, baik itu dalam bentuk InSitu maupun Ex-Situ. Hal ini sebenarnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah atas kepeduliannya untuk melakukan upaya penyelamatan dan perlindungan satwa langka di Indionesia. Sementara itu, peran serta masyarakat sifatnya hanya digerakan oleh Pemerintah Indonesia melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi dalam rangka sadar konservasi sumber daya alam hewani. Masyarakat sebagai warga Negara Indonesia seharusnya bangga memiliki hewan tersebut dinegeri ini. Oleh karena itu sebagai rasa tanggung jawab atas pemberian Tuhan tersebut, seharusnya masyarakat menjaga dan melestarikan pemberian Tuhan yang cuma ada dinegri ini. Jika salah satu ekosistem

mengalami gangguan maka akan mempengaruhi ekosistem yang lainya. Maka dari itu diperlukan kesadaran dalam diri masyarakat agar dapat menjaga satwa langka. Misalnya dengan melestarikan hutan sebagai habitat satwa yang tidak hanya menyelamatkan satwa langka tersebut tetapi juga menyelamatkan nyawa manusia, seperti yang kita ketahui Indonesia adalah jantung dunia sebagai sumber oksigen. G. KESIMPULAN Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Tapirus indicus dapat ditemukan di dalam habitat rawa, dataran rendah, pegunungan, hutan perbukitan, hutan sekunder, semak lebat, dan perkebunan palem. 2. Tapir asia memiliki persebaran meliputi Myanmar, Thailand bagian selatan, Peninsular Malaysia, dan pulau Sumatera

14

3. Indeks kelimpahan populasi Tapirus indicus menurun drastis, di dataran asia tenggara sendiri populasinya menurun sebesar 50%, sedangkan di Sumatra < 50% dengan status konservasi terancam. 4. Peran pemerintah dan masyarakat adalah mendukung pelestarian satwa langka khususnya spesies Tapirus indicus dengan melakukan pengelolaan baik secara in-situ maupun ex-situ. H. DAFTAR PUSTAKA Bamberg E, Mostl E, Patzi M, King GJ. Pregnancy diagnosis by enzime immunoassay of esterogens in feces from nondomestic species. J Zoo Wildl Med 22:73-77. Barongi RA. 1992. Husbandry and conservation of tapirs. Int Zoo Year 32:715. Brooks D. Bodmer R. Matola S. 1997. Tapirs: Status Survey and Conservation Action Plan. United Kingdom: IUCN Publication Services Unit. [terhubung berkala] http://www.tapirback.com/tapirgal/iucnssc/tsg/action97/cover.htm. 1 April 2011]. Eisenberg JF, Groves CP, MacKinnon K. 1990. Tapirs. In: Grzimek's Encyclopedia of Mammals. New York: McGraw-Hill Publishing Company 4:597-608. Fahey B. 1999. Tapirus indicus, Animal Diversity Web. [terhubung berkala]. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Tapir us_indicus.html. [31 Maret 2013]. Grzimek, B. 1990. Tapirs. In: Grzimek's Encyclopedia of Mammals. Ed ke-2. USA: McGraw-Hill 4:598-608. Huffman B. 2004. Tapirus Indicus. [terhubung berkala]. http://www.ultimate ungulate.com/perissodactyla/tapirus_indicus.html. [22 Agustus 2010]. Lynam A et al. 2008. Tapirus indicus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. [terhubung berkala]. www.iucnredlist.org. [30 Maret 2013]. Nash S. 2009. The Malayan tapir (Tapirus indicus). [terhubung berkala]. http://www.tapirs.org/ tapirs/malay.html. [28 Maret 2013]. Novarino, W. 2005. Population Monitoring And Study Of Daily Activities Of Malayan Tapir (Tapirus indicus). Rufford Small Grant (for Nature Conservation), In association with the Whitley Laing Foundation. Wilson DE. Reeder DM. 1993. Mammal Species of the World (Second Edition).Washington: Smithsonian Institution Press. [terhubung berkala]. http://nmnhwww.si.edu/msw/. [29 Maret 2013].

15

You might also like