You are on page 1of 20

PANENTEISME : FENOMENA BARU KETUHANAN DALAM PERSPEKTIF METAFISIKA

Suhermanto Jafar
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel

ABSTRAK
A. Latar Belakang Eksistensi Tuhan merupakan masalah pokok dalam setiap agama dengan pendekatan teologis yang bersumber pada kitab sucinya masing-masing. Disamping itu, juga menjadi pembahasan filsafat dengan perspektif metafisika-ontologis. Problematika Ketuhanan merupakan problem universal yang selalu ada dalam babakan sejarah manusia, sehingga problema ketuhanan tetap dianggap sebagai tema pokok dalam sejarah filsafat. Masalah Tuhan berada pada tingkat pertama spekulasi filosofis.1 Relasi Tuhan dengan manusia maupun alam merupakan fenomena baru masyarakat modern dalam memahami Tuhan, sehingga pendekatan epistemologis menjadi sebuah keharusan. Tuhan dipahami dalam perspektif antroposentris dengan titik tekan pada relasi antara Tuhan dengan manusia dan alam. Relasi antara Tuhan dengan manusia menimbulkan pemikiran-pemikiran yang secara filosofis cenderung imanen pada satu sisi dan transenden pada sisi yang lain, bahkan menimbulkan pemikiran yang menganggap bahwa Tuhan itu imanen sekaligus transenden. Relasi keduanya yang melahirkan konsep imanensi dan transendensi ini dalam perkembangan berikutnya menimbulkan faham-faham ketuhanan yang menjadi perdebatan diantara paham-paham tersebut. Tuhan dianggap sebagai imanen sekaligus transenden bagi penganut teisme. Tuhan dianggap sebagai transenden terhadap alam dan manusia bagi kaum Deisme. Tuhan dianggap sebagai yang imanen bagi kaum panteisme. Disamping itu, ada juga yang pesimis bahwa akal manusia bisa menjangkau Tuhan sebagaimana kaum agnostisisme.
1

Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan, 32

Relasi Tuhan dengan manusia dan alam yang dikonsepsikan para teolog yang cenderung spiritualis-monistik beranggapan bahwa peleburan dalam relasi tersebut akan melenyapkan eksistensi manusia dan alam sebagaimana menjadi pegangan kaum panteisme. Sementara itu, dikalangan masyarakat modern yang rasional melalui pendekatan epistemologis beranggapan bahwa peleburan dalam relasi tersebut tidaklah menghilangkan eksistensi manusia dan alam tetapi justru semakin mengeksiskan manusia. Ini adalah anggapan kaum panenteisme. Persepsi panenteisme mengenai Tuhan ini menjadi fenomena baru masyarakat modern, karena paham ini tidak menafikan kemampuan dan kebebasan manusia. Fenomena ini berangkat dari pemahaman epistemologis filosofis tentang eksistensi Tuhan relevansinya dengan pengetahuan ilmiah, sehingga paham ini masih menghargai pengetahuan ilmiah dalam memahami Tuhan. Pengetahuan ilmiah menjadi perangkat metodologis dalam memahami eksistensi Tuhan. Tuhan tidak hanya dipandang dalam perspektif teologis saja. Eksistensi Tuhan menjadi dengan Tuhan. B. Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini menempatkan fokus kajian pada : 1. Bagaimana konsep dan argumen tentang adanya Tuhan secara filosofis dan teologis dalam perspektif Metafisika ? 2. Bagaimana konsep Ketuhanan panenteisme diantara paham-paham ketuhanan teisme, agnostisisme maupun panteisme ? 3. Siapakah Tokoh pemikir panenteisme baik di Barat maupun pemikir Islam ? C. Tujuan Penelitian 1. Ingin mengetahui konsep dan argumen bukti adanya Tuhan secara filosofis dan teologis dalam perspektif metafisika. 2. Untuk mendiskripsikan pemahaman ketuhanan Panenteisme diantara paham-paham ketuhanan teisme, agnostisime maupun panteisme? 3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pemikir panenteisme dan pemikirannya tentang Tuhan ? perdebatan yang panjang antara panteisme dengan panenteisme mengenai relasi yang disertai dengan peleburan manusia

D. Metodologi Metodologi sebagai cabang filsafat pengetahuan yang membicarakan mengenai cara-cara kerja ilmu merupakan perangkat utama dalam sebuah penelitian. penelitian ini, penulis mempergunakan jenis penelitian pembahasan tema utama. Apabila pengumpulan data melalui studi kepustakaan telah terpenuhi, penulis mempergunakan analisis isi (content analysis). Analisis ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran tentang Ketuhanan khususnya panenteisme dalam perspektif Metafisika dengan analisis filosofis dan teologis. Adapun metode dan pendekatan disini adalah: 1. Metode Historis merupakan suatu metode analisis data yang menyajikan apa adanya tentang suatu peristiwa secara kronologis dari dulu sampai sekarang yang berurutan sesuai dengan peristiwa. 2 2. Metode diskriptif merupakan suatu metode analisis data yang menggambarkan datadata sebagaimana adanya dari pemikiran-pemikiran tentang panenteisme sebagai paham ketuhanan dalam metafisika secara filosofis dan teologis secara jernih dan tepat. 3 3. Metode Komparatif merupakan metode analisis data yang memperbandingkan berbagai macam argumentasi atau data, kemudian ditentukan kesimpulannya. 4 4. Metode fenomenologis merupakan metode analisis dalam penelitian ini yang didasarkan pada sistem filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan menitik beratkan pada relasi antara subyek dan obyek yang bersifat intersubyektif. Antara subyek dan obyek berjalan secara dialogis, karena keduanya sama-sama mempunyai kesadaran yang bersifat intensionalitas. Dengan kata lain, metode fenomenologis merupakan metode yang menggambarkan apa adanya tentang obyek bahasan tanpa penafsiran dari subyek. Melalui reduksi ini maka yang tinggal adalah
2 3

Dalam

Kepustakaan. Penelitian ini

didasarkan pada dokumen-dokumen pustaka berupa buku-buku yang terkait dengan

Hasbulah Bakry, Sistematik Filsafat, (Jakarta : Widjaja, Cet. VII, 1981) , hal. 10 Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Methodologi Penelitian Filsafat, (Jogjakarta : Kanisius, Cet. I, 1992), hal. 88. 4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, sutu Metode praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, cet. IX, 1996), hal. 245

fenomena murni baik pada diri subyek maupuan obyek. Melalui reduksi ini agar yang muncul pada subyek adalah kesadaran murni, sehingga obyek yang telah dimurnikan dari berbagai tafsiran tinggal eidos atau essence. 5. Metode Hermeneutik merupakan metode analisis dalam penelitian ini sebagai sebuah teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks, serta tanda-tanda lain yang dapat dianggap sebagai sebuah teks. Dalam penelitian ini, penulis juga mempergunakan hermeneutik Paul Ricoeur dalam membahas tentang Panenteisme sebagai paham Ketuhanan secara filosofis dan teologis perspektif metafisika dengan mempergunakan prinsip hermeneutics of recollection of meaning
5

dan hermeneutics of suspicion. 6 Prinsip hermeneutics of recollection of Meaning dipergunakan penulis untuk mendeskripsikan secara lugas perkembangan pemikiran tentang Ketuhanan dalam paham-paham teisme sebagai bagian dari kajian metafisika, kemudian penulis mencoba untuk memberikan analisis terhadap tema pokok bahasan dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


A. Pengertian dan Sejarah Metafisika Problem Metafisika sering disebut disiplin yang meminta tingkat abstraksi yang sangat tinggi, karena tujuan kajiannya adalah karakteristik realitas yang seumumumumnya. Tidak heran, kalau banyak orang menyebut metafisika sebagai disiplin yang terumit dan membutuhkan energi intelektual cukup besar untuk mendalaminya.
7

Metafisika mendapatkan tempat yang tertinggi diantara disiplin lainnya karena beberapa
Hermeneutics of recollection of meaning merupakan hermeneutika yang memberi tekanan kepada penafsiran sebagai pengingatan kembali makna yang terkandung dalam teks-teks terdahulu. Untuk lebih jelasnya, Lihat Paul Ricoeur, Hermeneutics : Restoration of Meaning or Reduction of illusion, dalam Ciritical sosiology, hal. 194-203. Bandingkan karya lainnya dalam, Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on Language, Action and Interpretation, edited by John B. Thomson (Cambridge : Cambridge University Press, 1982), hal. 77-78 6 Hermeneutics of suspicion merupakan hermeneutik yang memberi tekanan kepada penafsiran sebagai latihan kecurigaan. Ricoeur merupakan filosof yang mengakomodir kritik ideologi dan psikoanalisis dalam melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutik. Disinilah Ricouer mengembangkannya pada hermeneutika fenomenologi. Lebih jelasnya lihat, Paul Ricouer, Hermeneutics and Critics of Ideology, dalam Hermeneutics and the Human Sciences, hal. 78-79 7 Lorens Bagus, Metafisika, (Jakarta : Gramedia, 1991), 2
5

hal. Pertama, karena obyek-obyeknya lebih mendalam, stabil dan mendasar dibanding obyek-obyek disiplin lain. Kedua, karena keniscayaan absolut tergantung pada data-data inderawi melainkan pemahaman rasio. Ketiga, ketidak tergantungan metafisika pada data-data inderawi menempatkan metafisika sebagai satu-satunya disiplin yang mengungkapkan kebenaran fundamental, karena kajiannya adalah realitas yang tidak terlihat dibalik realitas yang terlihat merupakan sekedar penampakkannya. 8 Metafisika selalu berupaya menentukan apa yang essensial dengan menanggalkan hal-hal yang non esensial. Komitmen metafisika adalah essensialisme yaitu suatu keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki sebagaian dari sifatnya bukan sekedar sifat yang kontingen melainkan keniscayaan. memiliki sifat tersebut di berbagai dunia yang mungkin dimana X hadir. 9 Secara historis, filsafat berawal dari metafisika. Istilah metafisika sebenarnya kebetulan saja. Nama metafisika bukanlah dari Aristoteles melainkan istilah yang diberikan Andronikos dari Rodhos (Rodi). Ia menyusun karya-karya Aristoteles sedemikian rupa tentang tentang filsafat pertama, mengenai metafisika yang ditempatkan setelah fisika. Jadi metafisika adalah kata yang secara kebetulan ditempatkan setelah fisika. Kata meta bagi orang Yunani mempunyai arti sesudah atau di belakang. Kata metafisika dipakai sekali untuk mengungkapkan isi pandangan mengenai, hal-hal di belakang gejala fisik. 10 Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun karya-karya Aristoteles, ia menemukan 14 buku tanpa nama sesudah seluruh karya-karya mengenai fisika tersusun. Ia menyebut ke- 14 buku tersebut dengan nama buku-buku yang datang sesudah fisika (ta meta ta physica). Dalam buku-buku ini, ia menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatasi dunia fisik. 11 Suatu sifat dikatakan esensial terhadap benda X ketika secara niscaya X memiliki sifat tersebut; X artikulasi proposisiproposisinya, keniscayaan tersebut didapat dari fakta bahwa tidak satupun proposisi yang

8 9

WH. Walsh, Metaphysics, (London : Hutchinson and Co, 1970), 38 John F, Post, Metaphysics: a Contemporary Introduction, (London :Paragon House, Minnesota,

1991), 5 Harus Hadiwijono, Sari Sejarah, hal. 47. Baca pula Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1992), hal. 4. 11 Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 1991), hal. 17-18.
10

Pada abad pertengahan, istilah metafisika ini kemudian mendapatkan arti filosofis. Metafisika oleh para filosuf Skolastik diberi arti sebagai ilmu tentang yang ada karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika. Istilah sesudah di sini tidak dalam arti temporal, tetapi bahwa objek metafisika berada pada abstraksi ketiga, yaitu setelah fisika dan matematika. Demikian juga dengan kata melebihi, ia tidak menunjukkan unsur spasial, melainkan bahwa metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan abstraksi karena menempati jenjang abstraksi paling akhir. 12 Mengingat bahwa metafisika adalah awal dari kegiatan berfilsafat, maka bisa dikatakan bahwa usia metafisika setua usia filsafat itu sendiri. Filsuf pertama yang mulai menyibukkan diri dengan realitas sebagaimana adanya/realitas ultim adalah Thales (580 BC). Dia mengklaim bahwa sumber segala sesuatu adalah air, tanah mengapung di atas air dan segala sesuatu di atasnya dibuat dari air. Walau Aristoteles menyebut teorinya kekanak-kanakkan, namun kontribusinya terhadap perkembangan intelektual Barat sangatlah besar. Apa yang dilakukannya adalah langkah yang menentukan dalam sejarah filsafat Barat yaitu membongkar pola pikir mitis dengan mendeskripsikan realitas sebagaimana apa adanya (realitas ultim), di balik penampakkan dan opini sehari-hari. Para pelopor Metafisika seperti, Thales, Plato dan Aristoteles sendiri sebenarnya belum secara tegas menamakan disiplin yang mereka kembangkan sebagai metafisika. Aristoteles sendiri menamakan disiplin yang mengkaji sebab-sebab terdalam, prinsipprinsip konstitutif dan tertinggi segala sesuatu tersebut sebagai Proto Philosophia (filsafat pertama) untuk membedakannya dari disiplin filsafat yang masih berkutat pada hal-hal yang sifatnya fisik-skunder. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa objek material atau ruang lingkup yang dicakup dalam pembahasan metafisika ialah seluruh realitas. Sedangkan objek formal atau fokus pembahasan adalah ada sebagaimana adanya. Seluruh realitas yang dibahas metafisika adalah ada sebagaimana adanya. Karena itulah, metafisika diakui sebagai ilmu yang paling universal. Ia tidak merujuk pada objek material tertentu, melainkan mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf penelitian yang paling fundamental dan dengan menggunakan metode tersendiri.
12

Ibid., hal. 19.

Metafisika merupakan refleksi filosofis kenyataan secara mutlak paling mendalam dan paling ultim. 13 Wilayah kajian Metafisika, sebagaimana diintrodusir oleh seorang filosof Jerman, Christian Wolff, pada abad ke-18 adalah ontologi di samping teologi metafisik, antropologi dan kosmologi. Berangkat dari pembahasan di atas, Christian Wolff membagi metafisika menjadi dua disiplin filsafat yakni ontologi dan metafisika. Wolff cenderung menganut pendirian kedua yang meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada (being qua being) dan yang ilahi harus dipisahkan. Oleh karenanya, Wolff memilih proto philosophia Aristoteles menjadi metafisika generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan metafisika spesialis (metafisika khusus) atau metafisika. 14 Obyek kajian metafisika selain ontology adalah teologi metafisik, Antropologi dan kosmologi Di dalam konsep pemikiran filsafat ditemukan konsep-konsep yang memberikan penamaan kepada Zat yang transenden dengan sebutan yang bermacam-macam. Zat yang transenden ada yang menamakan Ultimate Reality, Absolut Being, Necessary Being, Supreme Being, Infinite Reality yang semuanya menuju ke arah yang sama, Tuhan. Plato mengidentikkan Tuhan dengan The Idea of Good, Aristoteles menyebutnya dengan Prima Causa dan Unmoved Mover Plotinus mengajukan konsep The One, kaum Stoa menyatakan bahwa Tuhan adalah Logos atau sesuatu yang sifatnya intelek. Tuhan dalam konsepsi Plato bukanlah Pencipta alam dari tidak ada menjadi ada. Menurutnya Tuhan hanya menyusunnya dari materi yang telah ada. Materi itu adalah empat elemen; air, udara, tanah dan api. Tetapi yang dibuat Tuhan pertama-tama adalah Jiwa, kemudian bodi, atau benda jasmani. 15

C. ARGUMEN TENTANG TUHAN


Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa
Bakker, Ontologi, hal. 15. Bernard Delfgaauw, Berpikir Secara kefilsafatan, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta : Nur Cahaya, 1987), hal. 24 15 Bertrand Russell, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, (London : George Allen & Unwin, 1974), 157.
14 13

apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal. Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari pendekatan agama maupun ilmu di atas. Ilmu terbatas pada pembuatan deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin. Disamping itu, pembahasan ini akan diperkaya dengan pembuktian teologis para filosof Pembuktian adanya Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filosof Barat, tetapi juga menjadi pembicaraan para filosof dan teolog Muslim, seperti yang dilakukan oleh para filosof dan teolog Muslim yang menjadi pengikut Mutazilah maupun alAsyariyah. Pembuktian-pembuktian tersebut dibedakan yaitu : Dalil Kebaharuan (Dalil al-Huduts), Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan) Dalam kerangka dua pendekatan utama ini terdapat aliran-aliran besar yang memandang eksistensi Tuhan secara berbeda, bahkan ada yang menolak tentang Tuhan itu sendiri. Pertama, Teisme merupakan aliran dalam filsafat ketuhanan yang mengandung pengertian bahwa adanya Tuhan bukan hanya sesuatu ide yang terdapat dalam pikiran (mind) manusia, akan tetapi menunjukkan bahwa zat yang dinamakan Tuhan itu berwujud obyektif. Kedua, Ateisme merupakan antitesis dari konsep theisme yang berpandangan tentang pengingkaran adanya Tuhan yang berarti menolak terhadap kepercayaan adanya Tuhan. 16 Ketiga, Anti-Teisme 17 merupakan paham atau ajaran yang menolak atau melawan (anti) terhadap paham atau ajaran-ajaran teisme (percaya adanya Tuhan). Paham ini secara jelas sangat bertentangan dengan teisme. Keempat, Deisme merupakan paham ketuhanan yang hampir sama dengan teisme, yaitu sama-sama mempercayai adanya Tuhan dalam perspektif natural atau agama natural. Secara prinsip antara teisme dan Deisme sangat berbeda. Teisme beranggapan bahwa Tuhan adalah
Ateisme secara etimologis berasal dari kata Yunani atheos, a berarti tidak dan theos berarti Tuhan. Dengan demikian atheisme berarti the disbelief in the existence of a God or Supreme Being. Lihat The Lexicon Webster Dictionary, (USA : The English Language Institue of America: 1977), hal. 62. Bandingkan dengan The Encyclopedy Americana, vol. II (USA : Americana Corporation, 1977), hal. 604 17 Encyclopedi Americana, hal. 600. Bandingkan dengan Harun Nasution, Filsafat Agama, hal. 36
16

transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi. Kelima, Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa mustahil akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan. 18 Keenam, Panteisme merupakan aliran atau paham ketuhanan yang berpandangan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dan semuanya adalah Tuhan, sehingga segala sesuatu itu adalah Tuhan, sebab antara alam dan Tuhan merupakan suatu kesatuan dari realitas Absolut. Realitas yang sesungguhnya adalah Tuhan. Disinilah ada peleburan selain Tuhan ke dalam diri Tuhan, sehingga yang tampak adalah Tuhan itu sendiri. Ketujuh, Panenteisme merupakan paham atau pemikiran dalam filsafat ketuhanan yang berpandangan bahwa Tuhan berada di alam semesta sebagai kesatuan dua pola yaitu actual dan potensial. Pola actual Tuhan senantiasa berubah, terbatas dan temporal, sedangkan pola potensial Tuhan bersifat abadi dan tidak berubah. Secara literal, Panenteisme (pan en - theisme) merupakan konsep ketuhanan yang dapat dikatan sebagai semua di dalam Tuhan.

PANENTEISME DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI DAN FILSAFAT

A. Arti dan Makna Panenteisme Istilah panenteisme telah diperkenalkan pertama kali oleh filsuf idealis Jerman Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832). Panenteisme berasal dari kata Yunani (pan) berarti semua, (en) berarti didalam dan (theos) yang berarti Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di dalam Tuhan (all-in-God). 19 Istilah ini merujuk kepada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta

Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya Tuhan Agnosticisme is the view that we dont know whther there is a God or not. Lihat Encyclopedia of Philosophy, hal. 56. Bdk dengan pandangan Berkhof, Systematic, hal. 30 19 Sistem filsafat yang disebut panenteisme oleh Krause pada dasarnya sebagai upaya untuk mendamaikan panteisme dan teisme. Krause menegaskan bahwa Tuhan adalah suatu hakikat yang berisi keseluruhan alam semesta dalam dirinya, namun tidak habis olehnya. Dia menempatkan penekanan khusus pada perkembangan individu sebagai bagian integral dari kehidupan keseluruhan. Untuk lebih jelasnya, lihat John W. Cooper, Panenteisme: The Other God of the Philosophers (Baker Academic, 2006), p. 18.

18

berada dalam Tuhan. 20 Bagi Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832) sebagai seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali sebagai system pemikiran filosofis dan religius pada tahun 1828. Harry Austryn Wolfson (1887-1974), Profesor Harvard University seorang ahli spritualis Yunani kuno, Kristen dan Yahudi adalah seorang sarjana awal abad ke-20 yang menggunakan istilah "panenteisme." 21 Sementara itu, pandangan panenteisme di abad 20 dan 21. dipengaruhi oleh gagasan Teologi Proses, yang cenderung menolak transendensi Tuhan, kemahakuasaan dan kemahatahuan. Para Ilmuwan, Kosmolog, filosof dan Teolog di Barat sangat tertarik dengan panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan: "Tuhan tidak lain alam itu sendiri, setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. tapi hanya bahwa Tuhan bukanlah alam ataupu tidak melampaui alam. 22 Panenteisme memahami Tuhan dan dunia saling terkait satu sama lain. Tuhan punya relasi timbal balik dengan dunia, dunia berada di dalam Tuhan dan Tuhan hadir berada di dalam dunia. Gagasan ini menawarkan alternatif baru pemikiran yang semakin populer melalui sisntesis pemikiran teisme tradisional dan panteisme. Panenteisme berusaha untuk menghindari gagasan mengisolasi Tuhan dari dunia sebagamana dipahami teisme tradisional dan gagasan yang meleburkan Tuhan dan dengan dunia sebagaimana panteisme. 23 Sementara itu, panenteisme juga dipengaruhi oleh istilah-istilah dari idealisme Jerman terutama Hegel dan Schelling. Pertama, dialektik. Dialektik dipahami sebagai suatu realitas kontradiktif, dimana setiap tesis akan diperhadapkan dengan anti tesis sehingga melahirkan sintesis. Kedua, Perichoresis Istilah-istilah yang dipengaruhi oleh
^ "The Worldview of Panenteisme - R. Totten, M.Div - 2000". Web page. http://www.geocities.com/worldview_3/panenteisme.html. Retrieved on 2007-10-14. 21 "panenteisme." Encyclopdia Britannica. 2009. Encyclopdia Britannica Online. 18 May. 2009 <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme>. 22 panenteisme. (2009). In Encyclopdia Britannica. Retrieved May 18, 2009, from Encyclopdia Britannica Online: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme For a definition of "panenteisme", visit Merriam-Webster. 23 Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), 1953, Philosophers Speak of God, Chicago: University of Chicago Press. Bdk Cooper, John W., 2006, Panenteisme The Other God of the Philosophers: From Plato to the Present, Grand Rapids, MI: Baker Academic.
20

tersedia bagi

pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya." sebagaimana Brockelman menunjukkan,

filsafat proses Whitehead, pertama adalah relasi internal dan eksternal. Relasi-relasi internal merupakan relasi-relasi yang dapat mempengaruhi keberadaannya makhluk yang berhubungan dengan makhluk-makhluk. Relasi-relasi eksternal tidaklah merubah watak dasar atau esensi makhluk. Bagi panenteisme, relasi antara Tuhan dan dunia merupakan relasi internal di dalam Tuhan akan mempengaruhi watak dunia dan dunia mengubah sifat Tuhan. Kedua, Dipolar. Istilah ini merujuk kepada dua aspek dasar Tuhan. Schelling nengidentifikasi konsekuen. 24 aspek ini sebagai keniscayaan dan kontingen. Whitehead mengidentifikasi aspek-aspek Tuhan sebagai aspek primordial Tuhan dan aspek watak

B. Panenteisme dalam perspektif Historis Hartshorne menemukan indikasi panenteistik pertama kali dalam tema Ikhnaton (1375-1358 BCE), yang sering dianggap Firaun Mesir sebagai tema monoteis pertama kali. Pada banyak puisi digambarkan bahwa Ikhnaton sebagai dewa matahari, juga pada Ikhnaton mempunyai keterpisahan keduanya, baik sebagai Tuhan personal dengan dunia yang menjadi ciri teisme dan identifikasi atau kesatuan Tuhan dengan dunia sebagai ciri panteisme. 25 Hartshorne menemukan konsep-konsep tambahan keagamaan tentang Tuhan yang beranggapan bahwa Tuhan unchanging-tidak berubah dan perubahan bersama-sama dengan cara yang memungkinkan untuk pengembangan signifikansi makna dari non-ilahi di Lao-Tse (abad keempat BCE) dan dalam kitab-kitab JudeoKristian 26 Dalam refleksi filosofis, Plato (427/428-348/347 SM) memainkan peran penting dalam pengembangan panenteisme secara implisit walaupun ada ketidak setujuan tentang sifat yang diperankannya. Hartshorne menemukan sumber-sumber pada Plato mengenai pengertian dipolar Tuhan. yang meliputi baik kekekalan dan ketidak kekalan Tuhan.. 27 Menurut Cooper, Plotinus (204-270 TM) memberikan dasar-dasar panenteisme dengan mengidentifikasi Tuhan dengan dunia. Plotinus menggambarkan sistem dunia

Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), 1953, Philosophers Speak of God, hal. 210 Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), Philosophers Speak of God, Chicago: University of Chicago Press, 1953), h. 29-30 26 Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), Philosophers, hal. 32-38, 27 Ibid, 54
25

24

fisik sebagai pancaran (emanation) Tuhan yang melampaui realitas. Dalam hal ini kemudian, Plotinus menganggap dunia sebagai bagian dari Tuhan (Ultimate)
28

Philip Clayton mulai dengan pemahaman ilmiah kontemporer di dunia dan menggabungkannya dengan konsep teologi yang diambil dari berbagai sumber termasuk teologi proses. Dia menjelaskan hubungan Tuhan dengan dunia sebagai hubungan internal daripada hubungan eksternal. interdependensi. 30 Panenteisme biasanya dilihat sebagai teologi dan filsafat secara ketat antara monoteisme dan panteisme (bukan "pan-en-teisme"). Untuk monoteis yang kaku, Tuhan dan dunia yang terpisah, Tuhan biasanya dianggap sepenuhnya transenden dipahami (di atas dan di luar dunia). Bagi panteisme ini kontras, Tuhan diidentifikasikan dengan alam semesta secara keseluruhan, dan dianggap sebagai ada yang imanen di dalam dunia daripada transenden. Dalam panenteisme, oleh karena itu, Tuhan, Ada yang sangat imanen sekaligus transenden juga sebagai pencipta dan sumber asli universalitas moralitas. 31 Teologi proses bersandar pada premis dasar bahwa segala sesuatu di dalam dunia ini selalu berada dalam perubahan atau berfluktuasi. Para filsuf proses seperti Whitehead berpendapat bahwa setiap entitas secara konstan berada dalam proses menjadi sesuatu. Dalam proses menjadi ini (process of becoming), entitas-entitas merespons setiap momen dengan membuat pilihan-pilihan riil. Dalam konteks penentuan pilihan-pilihan kita mesti mengakui bahwa setiap momen eksistensi kita bersifat bipolar atau dwikutub.
29

Clayton setuju bahwa dunia didalam Tuhan dan

Tuhan di dalam dunia. Panenteisme, menurut dia, bahwa Tuhan dan dunia merupakan

Cooper, John W., Panenteisme The Other God of the Philosophers: From Plato to the Present, Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2006), hal. 35-39 29 Philip Clayton, 2001, Panenteis Internalism: Living within the Presence of the Trinitarian God, Dialog, 40:208-210 30 Philip Clayton, Panenteisme in Metaphysical and Scientific Perspective in In Whom We Live and Move and Have Our Being, P. Clayton and A. Peacocke (eds.), (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans, 2004b), hal 83 31 Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal berarti semua (pan) adalah Tuhan (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Tuhan. Konsep ini juga disebut teologi proses (sejak Tuhan dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar teisme (sejak dipercayai bahwa Tuhan memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical teisme (karena dipercaya bahwa Tuhan terbatas dan sementara, kontras dengan paham classical teisme) (Norman L. Geisler, Panenteisme, dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).

28

PANENTEISME DALAM PEMIKIRAN BARAT DAN TIMUR

A. Pemikiran Alfred North Whitehead tentang Panenteisme Whitehead dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam aliran Filsafat Proses atau seperti yang disebutnya sendiri sebagai Filsafat Organisme. Buah pemikirannya banyak berpengaruh di dunia terutama di Amerika Serikat dan di beberapa negara di Eropa. Ia lahir dalam keluarga kristen Anglikan di Ramsgate, Kent, Inggris 15 Februari 1861, dan ia meninggal di Harvard pada tahun 1947, setelah sepuluh tahun pensiun sebagai profesor filsafat di Universitas Harvard. Sepanjang karirnya, Whitehead banyak menulis buku baik di bidang filsafat maupun di bidang lainnya seperti matematika dan teologi. Antara lain buku-buku tersebut adalah: Principia Mathematica (1919), Enquiry Concerning the principles of natural (1919), The Concept of nature (1920), The principle of relativity (1922), Science and Modern Word (1925), Religion in Making (1927), Process and Reality (1929), The aim of Education, Modes of Thought (1938) dan berapa buku lain dan artikel-artikelnya tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Salah satu dari banyak tema yang di kemukakan Whitehead dalam filsafat organismenya adalah pemikiran-pemikiran tentang tuhan. Pandangan-pandangannya tentang hal ini dapat dilihat pada bukunya Process and Reality, Religion in Making, dan Science and Modern Word. Pemikiran-pemikirannya tentang Tuhan inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Secara organis filsafat Whitehead dibangun dengan beberapa konsep dasar yang di sebutnya sebagai kategori eksistensi (category of existence), 32 terdiri dari: satuansatuan aktual (Actual entity), kreativitas (Creativity), obyek-obyek abadi (Eternal world), prehensi (prehension), dan kebersamaan (nexus). Konsep-konsep dasar ini merupakan gagasan asli yang di ciptakan sendiri untuk menerangkan filsafatnya. Sebagai konsep dasar, menurut Whitehead, Tuhan adalah ujud asali dan prinsip dasariah dari kreatifitas, sekaligus merupakan prinsip dasar konkresi atau proses munculnya satu satuan aktual dari banyak satuan aktual lain yang menjadi data warisan

32

Ibid, hal. 206

masa lalu. Dalam hal ini, Tuhan merupakan perwujudan perdana dari kreatuifitas dan sekaligus sebagai pembatas dan pemberi arah berlangsungnya kreatuifitas tersebut. Sebagai perwujudan perdana dari kreatifitas dan sekaligus pemberi arah baginya, Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan kategori eksistensi yang lain yang disebut obyekobyek abadi (eternal object). Lebih jauh Whitehead menjelaskan bahwa sebagai pembatas asali (ultimate limitation) dari satuan-satuan aktual, eksistensi Tuhan adalah irrasional kekal. 33 Pokok soal dalam hal ini adalah Tuhan tidak ditentukan secara metafisis meskipun ditentukan secara kategoris. Dengan demikian, Tuhan bukanlah merupakan kategori eksistensi yang konkret, tetapi Dia menjadi dasar dari semua yang konkret. Tuhan tidak bisa dipahami dengan pikiran, sebab secara hakiki Ia adalah dasar dari rasionalitas. 1. Bipolaritas Tuhan Menurut Whitehead, terdapat dua pola (bipolar) dalam kenyataan Tuhan. Kedua pola tersebut adalah pola aktual dan pola potensial. Pola aktual adalah alam semesta yang secara kodrati berubah secara total, dan pola potensial adalah dunia abadi (eternal) yang tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain Whitehead berpenadapat bahwa terdapat dua aspek dalam kategori eksistensi Tuhan, yaitu aspek primordial dan aspek konsekuen. a. Aspek Primordial Dalam aspek primordialnya, Tuhan adalah kategori eksistensi yang pada mulanya memikirkan segala kemungkinan yang dapat diwujudkan dalam seluruh alam semesta. Dalam hal ini Tuhan merupakan realitas konseptual yang tidak terbatas dari kemungkinan-kemungkinan absolut. Keberadaannya bukan sebagai ciptaan, tetapi ia berada bersama semua ciptaan. Lebih jauh dijelaskan oleh Whitehead, bahwa dalam aspek primordial ini, Tuhan memberi wujud konseptual kepada semua obyek abadi dengan memberi segala macam bentuk kemungkinan yang bisa berwujud untuk semua satual aktual. Oleh karena itu, Tuhan dalam aspeknya yang primordial ini, menjadi sumber segala cita-cita atau tujuan akhir dari semua proses konkresi untuk perwujudan diri satu-satuan aktual. Sebagai

Alfred North Whitehead, Science & The Modern World, Middlesex : Penguin Books Limited, 1938, hal. 207-208

33

kategori eksistensi yang primordial, Tuhan sangat jauh dari realitas unggul (eminent reality) yang di dalam abstraksi ini Ia merupakan realitas aktual yang kurang sempurna. 34 b. Aspek Konsekuen (Aspek Akhiri) Aspek Tuhan yang konsekuen menurut Whitehead, adalah suatau kesadaran yang merupakan realisasi dunia aktual dalam hakekat kesatuan dan melalui transformasi kebijaksanannya. Jika aspek primordial adalah konseptual, maka aspek konsekuen ini adalah susunan perasaan fisis Tuhan pada aspek primordialnya itu. 35 Susunan itu terdiri dari berbagai unsur dan realisasi diri secara individu. Dalam hal ini, keberamaan dipandang sama dengan kesatuan : seperti satu-banyak (much one) fakta perantara yang berkembang tanpa melebihi dirinya. Relasi Tuhan dengan dunia Menurut Whitehead bahwaTuhan dan dunia, secara aktual tidak dapat dipisahkan. Dunia adalah hakekat kemuliaan Tuhan yang terjadi dari banyak fakta dasariah dan turunan pengalaman atau peristiwa aktual. Dengan kata lain, dunia adalah urutan atomistik dari kejadian-kejadian. Ia berada dalam semua proses mengalirnya benda-benda dan merupakan generalisasi awal yang tidak jelas, tidak disistematisasikan, hampir tidak dapat dianalisa, dan dihasilkan oleh intuisi manusia. Sebab itu, perubahan terus-menerus dari benda-benda adalah suatu generalisasi dasariah yang harus disusun di dalam sistem filsafat kita. 36 Dalam kepaduan dunia dengan Tuhan, menurut Whitehead, mereka berada dalam posisi yang melengkapi. Dalam hal ini, Tuhan merupakan dasar yang tidak terbatas dari semua yang bersifat mental dan kesatuan dari visi mencari keragaman fisis. Sedangkan dunia adalah berbagai batasan-batasan dan aktualitas-aktualitas yang mencari kesempurnaan suatu kesatuan. Baik dunia maupun Tuhan, berada dalam lingkup metafisika dasariah dan pengembangan ciptaan ke arah pembaruan. Kedua hal ini merupakan instrumen kebaruan bagi yang lain. Tuhan digambarkan Whitehead sebagai suatu daya dinamis yang secara imanen berfungsi dalam pergulatan hidup manusia di dunia, bukannya sebagai individu yang
Alfred North Whitehead, Process and Reality, dalam Charles Hartshorne dan William L. Reese, Philosophers Speak of God, Chicago : Midway Reprint-University of Chicago, 1976, hal. 278-279 35 Ibid, hal. 521-522 36 Ibid, hal. 280
34

serba transenden, sempurna, tinggi, jauh dan mencukupi, dirinya sendiri. Tuhan juga disebutnya sebagai penyair dunia, yang dengan kesabarannya memimpin dunia dengan visi kebenaran, keindahan, dan kebaikan (the poet of the world, with terder patience leading it by vision of truth, beauty, and goodness). 37 Seperti yang telah disinggung pada awal makalah ini, Carles Hartshorne (salah seorang murid Whitehead yang mendalami teologi proses), menggolongkan pandangan Whitehead sebagai panenteisme modern (dunia di dalam Tuhan). Secara literal, panenteisme (pan-en-theism) diartikan sebagai : semua-di dalam-Tuhan. Menurut Norman L. Geisler dan William Watkins, panenteisme memiliki nama lain seperti : teologi proses (jika melihat Tuhan sebagai ada yang berubah); teisme bipolar atau dipolar (jika percaya bahwa Tuhan memiliki pola ganda); teologi organisme (jika memandang semua yang terjadi sebagai organisme besar/gigantic); dan teisme Neoklasik (karena percaya bahwa Tuhan adalah terbatas dan temporal, berlawanan dengan teisme klasik). 38 B. Iqbal dan Panenteisme Perjalanan hidup Muhammad Iqbal (selanjutnya di tulis Iqbal) begitu kompleks dan panjang dari tanah kelahirannya sampai pengembaraan intelektualnya di Barat, sehingga beliau benar-benar merupakan seorang pemikir besar di Barat maupun di Timur. Bahkan beliau merupakan sosok pemikir yang besar di dua peradaban dan kebudayaan yaitu Barat dan Timur (Islam). Sehingga tidak salah kalau Saiyidain menganggap Iqbal merupakan seorang tokoh legendaris negerinya, bahkan di dunia. Pemikiran ontologi Iqbal lebih mengarah pada eksistensi Realitas absolut, sebagai realitas yang sebenarnya dalam hubungannya dengan manusia dan alam. Karena itu, Realitas Ultim, Realitas Diri, Wujud Mutlak atau Ego Mutlak hanya dapat dicapai dengan intuisi. Untuk sampai mengetahui dan memahami Wujud Mutlak, Iqbal bertitik tolak dari intuisi tentang wujud ego manusia yang bergerak pada Realitas Wujud Ego Mutlak. Hanya intuisi, kata Iqbal yang dapat mengungkap Realitas Mutlak atau Wujud
Ibid, hal. 282 Norman L. Geisler dan William Watkins, Perspectives Understanding and Evaluating Todays Views, California : Heres Life Publisher, Inc, 1984, hal. 100 39 Saiyidin, K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, alih bahasa, M. I. Soelaeman, (Bandung : Diponegoro, 1981), 13
38 37

39

yang agung di antara para pujangga di

Super Ego yang sebenarnya. Hal ini karena kodrat Realitas yang sesungguhnya adalah spiritual. Realitas Mutlak sebagai Ego oleh al-Quran disebut dengan nama Allah menurut Iqbal. 40 Tuhan menurut Iqbal adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dengan kata lain, Tuhan bukanlah ego, melainkan Ego Mutlak. Tuhan bersifat mutlak, karena meliputi segalanya dan tidak ada sesuatupun di luar Dia. Pada akhir-akhir menjelang kematiannya, Iqbal semakin menampakkan pemikirannya yang orisinal mengenai Tuhan sebagai hakikat keseluruhan dari segala kreativitas, karena Tuhan sendiri selalu kreatif memberikan ilham tentang filsafat perubahan, tindakan, aksi yang lebih dikenal dengan istilah Islam adalah amal. Disinilah letak sintesa filosofi Iqbal dari Barat maupun Timur (Islam) dengan pemikirannya yang orisinil. Sekalipun sesungguhnya, konsep tentang gerak hubungan dengan Tuhan telah dimulai dari Aristoteles. Iqbal memandang secara seimbang bahwa pengalaman panteistik manusia dengan Tuhan tidak membuat lebur ego manusia, justru ego manusia semakin otentik. Filsafat ketuhanan Iqbal disini justru lebih memperkuat eksistensi ego manusia, sehingga pemikirannya lebih bersifat panenteisme. Panenteisme merupakan konsep ketuhanan yang menitik beratkan pada semua di dalam Tuhan, bukan semua adalah Tuhan sebagaimana panteisme. 41 Bagi Iqbal alam semesta bukan sebagai suatu produk yang sudah selesai dan lengkap, tetapi sedang berada dalam tahap-tahap penyempurnaan. Penciptaan alam bukanlah penciptaan yang final. Menurut Iqbal penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sedang manusia berada di dalam turut ambil bagian dalam proses tersebut, sehingga akan selalu berproses dengan menciptakan situasi-situasi dan produk-produk baru. Alam semesta sebagai kumpulan ego-ego menurut Iqbal merupakan wadah keinginan-keinginan untuk untuk selalu melakukan perubahan-perubahan yang baru dalam kehidupan ini. Alam semesta sesungguhnya selalu berada dalam becoming (menjadi). Ini disebabkan adanya aktivitas ego-ego yang berkelanjutan dalam alam,

40

Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hal.

38-39

Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, (Chicago-London : The University of Chicago Press, 1976), hal. 294-297

41

sehingga kehidupan dalam alam selalu merupakan suatu perjalanan tanpa akhir.42 Alam seperti yang kita lihat menurut Iqbal bukan benda materi murni yang menempati ruang hampa. Alam semesta merupakan struktur-struktur peristiwa, model perilaku yang sistematis dan bersifat organis. Alam merupakan perilaku Diri Tuhan (Ego Absolut) seperti halnya karakter untuk ego manusia. Disinilah Iqbal membandingkan watak ego manusia dengan watak alam. Keteraturan alam ini merupakan perilaku Allah, demikianlah gambaran al-Quran, sebagaimana dikutip Iqbal. 43 Menurut Iqbal dengan merujuk pada al-Quran bahwa pertama, alam semesta diciptakan bersifat teleologis atau bukan suatu ciptaan sekedar main-main. Kedua, Alam semesta bukan bersifat tertutup atau penciptaan yang sudah selesai dan alam semesta merupakan ciptaan yang tetap, tetapi masih bisa berubah. Ketiga, Alam semesta tercipta dengan teratur, tertib dengan perjalanan waktu yang teratur dan tepat yang dicontohkan oleh al-Quran melalui pergantian siang dan malam sebagai salah satu tanda (ayat) kebesaran Tuhan. Keempat, Alam semesta dengan ruang dan waktu yang terhampar luas ini diciptakan untuk kepentingan manusia dalam rangka beribadah dan nerenungkan ayatayatNya (tanda-tanda kebesaranNya). Semua ini menurut Iqbal sebagai bukti bahwa alam semesta merupakan fakta yang actual. 44 Tuhan menurut Iqbal mencipta secara tak terbatas dan kreatif terus menerus dimana posisi manusia bukanlah boneka pasif bagi kehendak Tuhan melainkan co creator yang aktif berpartisipasi dalam penciptaan kreatif Tuhan. 45 Proses penciptaan oleh Tuhan menurut Iqbal bukan seperti proses penciptaan sepatu yang kreativitasnya berada pada level paling rendah. Proses penciptaan oleh Tuhan dapat diasosiasikan dengan creative genius seorang komposer atau penyair. Manusia sebagai co creator pilihan Tuhan berbagi creative genius Tuhan untuk direalisasikan dalam dunia atau sederhananya: manusia diberkahi Tuhan kebebasan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam
Iqbal, Metafisika Persia , 20 Iqbal, Reconstruction , 56-57 44 Iqbal, Reconstruction, hal. 10 - 11 45 the concept of the concrete world embodied in the Koran is essentially one of a created reality in which the actual and the ideal merge and intertwine and which exhibits a distinct rational pattern. But it is not, for that reason, a block universe or finished product which God has completed, but rather a universe that continually realizes itself across the vast expanses of space and time. Man, as the most dynamic force in this universe, is the principal agent, or coworker with God, in the process of realizing the infinite potentialities of reality. Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York : Columbia University Press, 1983), hal. 351
43 42

proses kreatif penciptaanNya. Berangkat dari pemahaman Iqbal ini, maka Iqbal merupakan pengikut dari panenteisme atau teologi proses. Karena itu, relevan sekali Hartshorne dan William Reese memasukkan Iqbal sebagai panenteis Muslim. 46

Simpulan Menurut Hartshorne, panenteisme dapat dipahami melalui analogi: sama seperti satu organisme ada, baik sebagai sebagai kumpulan semiautonomous, setiap sel-sel individu dan mandiri sebagai individu yang lebih menonjol daripada kumpulan sel. Tuhan dapat dilihat sebagai kumpulan semua unsur bagian dari realitas dan sebagai "sesuatu yang lebih" dari alam semesta itu sendiri. Walaupun kita, bersama dengan sisa dari keberadaan, namun dapat dipikirkan sebagai bagian dari "tubuh" Tuhan. Kesadaran atau pikiran Tuhan yang lebih luas melampaui tubuh dan menyebabkan Tuhan menjadi lebih daripada sekedar kumpulan bagian. 47 Gagasan Panenteistik tentang kebebasan adalah cara yang unik dalam membahas masalah kejahatan. Sementara theisme cenderung atribut jahat hanya pada dunia dan panteisme cenderung mengidentifikasi kejahatan di dunia sebagai kejahatan Tuhan, panenteisme mengambil posisi jalan tengah, sedangkan yang mengatakan bahwa kejahatan yang terjadi melalui kebebasan di dunia ini tidak berpengaruh pada esensi Tuhan, Tuhan masih dapat dirasakan melalui pengalaman dalam. 48 Ini posisi jalan tengah mungkin merupakan kasus panenteisme dari jenis pertama, namun karena ini sebagian panteistik, condong ke arah gagasan yang jahat di dunia dengan Allah. Meskipun filosofi panentheism jembatan dari kesenjangan paradigma antara theisme dan panteisme, yang banyak dipahami oleh sejumlah besar utama kelompok agama dan teologi, juga bukan dari sekte kecil atau pandangan filosofi pribadi.Elemen panenteisme muncul di hampir setiap sistem keagamaan yang diberikan setiap kali digambarkan, sebagai baik seluruhnya, tetapi juga sangat Kuasa terhadap eksistensi dunia. Transensi dan imanensi Tuhan terlihat hampir setiap agama lebih tegas disebut

46 47

Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, hal, 295 Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, hal, 312 48 Griffin, David Ray, 2004, Panenteisme: A Postmodern Revelation, hal. 46

sebagai Tuhan "dua sisi" oleh teolog Reformed Belanda Hendrikus Berkhof "dipolar theisme" dalam proses teologi.
50

49

dan

Dengan kata lain, perlu dicatat bahwa

panenteisme, terutama dari jenis yang kedua mendapatkan momentum teolog kontemporer di antara agama dan filosof, yang dapat diterima sebagai alat untuk merekonsiliasi kesulitan dengan kepercayaan mengenai sifat Tuhan.

Hendrikus Berkhof. Christian Faith: An Introduction to the Study of the Faith, revised ed., trans. Sierd Woudstra (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Co., 1986), 114. John B. Cobb, Jr. and David Ray Griffin. Process Theology: An Introductory Exposition. (Westminster John Knox Press, 1977), 47.
50

49

You might also like