You are on page 1of 3

Mengislamkan Sekolah Berbasis Islam Sejak tahun 1900-an sudah banyak bermunculan sekolah berbasis Islam, mulai dari

yang berwujud tradisional hingga modern. Di era lalu yaitu dijaman penjajahan model pendidikan di Indonesia masih berpusat pada home schooling yang sifatnya tradisional. Dimana sang guru atau orang yang merasa mumpuni dalam disiplin ilmu tertentu membuka diri agar orang-orang mahu berguru padanya, yang ternyata model semacam ini mendapat sambutan baik dari masyarakat sekitar. Sebagaimana contoh para kiyai-kiyai tradisional dulu yang memulai usaha mendirikan sekolah bermula dari semangat diri yang dikembangkan sehingga membentuk suatu instansi. Seperti KH. Ahmad Dahlan yang bersemangat membuka sekolah bagi umat muslim yang tidak ingin berada dibawah kungkungan sistem pendidikan belanda yang dianggap tidak efektif dalam membentuk pribadi muslim, semula berasal dari saung beliau. Dengan bermodal bangunan seadannya dan tenaga seadanya pula. Dengan bermodal ideologi pembaharuan atau pencerah, KH. Ahmad Dahlan mencoba berperan menjadi pembaharu atas sistem pendidikan indonesia yang sudah liar dari batas-batas Islam. KH. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa, pada waktu itu Cuma ada dua model pendidikan di Indonesia; Modern School milik penjajah belanda dan Traditioal school milik masyarakat pribumi atau yang dikenal dengan pesantren. KH. Ahmad Dahlan berpikir bahwa modern school ini sangat liar dan keluar dari batas normativ Islam secara nyata sehingga amat terlihat dikotomi ilmu agama dan pengetahuan umum (sekulerisasi ilmu). Dan melihat model pesantern berkebalikan dari model pendidikan modern, yaitu terlalu sufistik sehingga berkonsekuwensi pada peninggalan ilmu modern dan terlalu fanatik pada agama. Yang kalau dalam bahasa HAMKA baik pendidikan modern atau tradisional masih ada dikotomi antara ilmu agama dan umum. Sehingga atas semua ini KH. Ahmad Dhalan gundah dan tidak berdiam diri melihat model pendidikan yang sedemikian, sehingga dengan ijtihad pembaharuan pendidikan ala KH. Ahmad Dahlan. KH.Ahmad Dahlan dan organisasinya yang berlabel Muhammadiyah ingin mencoba mengislamkan sistem pendidikan yang ada pada waktu itu, baik sistem pendidikan modern ala Belanda yang sekuler maupun sistem pendidikan tradisional yang islami, yang sebenarnya kesemuanya masih ada ruh dikotomi ilmu pengetahuan. Akhirnya KH.Ahmad Dahlan mencoba hendak memvusionkan antara model pendidikan modern ala Belanda yang berstruktur modernis dan model pendidikan ala pesantern yng berstruktur islamis tradisionalis. Maka dari itulah lahirlah sebuah lembaga pendidikan ala Muhammadiyah, yang dimana mencoba memodernkan pesantern dan menjinakan liarnya sekulerisme ilmu yang ada pada pendidikan modern kala itu. Sehingga populerlah jargon tajdid pembaharu yang bermula dari pembaharuan sistem pendidikan hingga ranah agama dan sosial oleh KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyahnya itu. Pada awalnya model pendidikan ala Muhammadiyah ini sangat bagus dan kredibel dalam membentuk insan islami yang intelek. Banyak pada waktu itu yaitu di era awal-awal Muhammadiyah berdiri melahirkan kader-kader Muhammadiyah yang tsiqoh baik dalam hal intelektual maupun semangat bergamannya. Kader-kader Muhammadiyah pada waktu itu sangat kritis baik dalam hal ibadah maupun muamalah, sebagaimana contoh cirikhas warga muhammadiyah dikala itu adalah ketika mereka hendak ditawari dakwah Islam oleh seorang kiyai, mereka selalu berkata mana dalilnya ?. inilah salah satu wujud intelek sejati, sebagaimana kata seorang cendekia Asyumardi Azhra, seorang yang selalu betanya akan sumber ilmu

atau bersikap kritis dinamakan seorang intelek ulung. Sebab seorang intelek akan sungkan bila hanya menerima dan melakukan tanpa tahu sumber atau landasan ilmu yang menjadi dudukannya. Nah, semangat inilah yang harus ditiru oleh para pendidikan dewasa ini, yaitu semangat selalu ingin melakukan pembaharuan dan kritis dalam pelaksanaannya. Ketika penulis mendapat tawaran untuk mengajar disebuah sekolah yang tergolong bonafit, sebagaimana dengan kriteria gaji diatas UMR, fasilitas sekolah yang memadai, murid-murid yang sudah berkuota banyak dan bahkan guru-guru wanitannya yang cantik. Penulis berpikir ulang (kritis), sehingga terlintas dua pertanyaan dalam benak. Penulis betanya-tanya Apa visi misi sekolah ini, apakah sekolah ini hanya menjalankan sistem pendidikan ala Indonesia yangs sudah-sudah, dan kedua apakah ketika penulis berjuang disekolah terebut kegundahan penulis akan ideologis pendidik bisa terjaga dan terwujudkan ?. Penulis selalu berusaha berhati-hati dalam beramal dan berjuang, sebagaimana warga Muhammadiyah awal-awal yang juga berhati-hati ketika hendak melakukan ritual ibadah, sebab jangan-jangan itu bukan sunah tapi hanya sekedar tradisi yang berindikasi adanya unsur perkara bidah. penulis berusaha mengedepankan rasionalitas dan virginitas ideologi pendidik yaitu seorang pendidik yang revormis islamis. Dimana pendidik itu harus membawa perubahan yang lebih baik versinya Allah dan Rasul-Nya. Bukan seorang pendidik yang seperti tak lebih seorang buruh yang samina wa atana pada sang pimpinan sekolah selaku bos. Jika seorang pendidik berada dalam sebuah bus, yang diibaratkan sekolah itu layaknya bus yang hendak membawa kemana para siswanya selaku penumpang ke sebuah arah tujuan. Dan ternyata bus itu sudah salah arah dari jalan yang benar, maka selaku pendidik yang menaiki bus itu harus punya rasa belas kasih kepada para penumpang yang sudah salah jalan. Namun sayang, ternyata sang pendidik itu adalah sang kondektur alias kernet sekolah. Yang bisanya hanya mengatur keluar masuk sekolah para peumpang, mengambil uang dari penumpang (siswa) namun tidak membawa mereka kearah yang baik pada jalan yang benar. Penulis teringat dengan Muhammad Abduh yang gelisah dengan sistem pendidikan yang ada ditempat ia bekerja, Muhammad Abduh adalah seorang guru yang resah ketika sistem pendidikan ditempat ia mengajar terasa janggal dan tidak srek di hatinya. Ia langsung merombak sistem tersebut sekuat tenaga, meski tidak jarang banyak hambatan yang menerjang pembaruan sistem yang sudah berjalan bertahun-tahun, yang kemudian dengan sekonyong-konyong hendak ia rubah begitu saja. nah, ini Muhammad Abduh yang mampu merubah sistem yang menurutnya janggal dalam sebuah lembaga pendidikan yang ia lakoni. Namun yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana jika ada seorang pendidik mengajar dalam sebuah lembaga pendidikan kemudian ada rasa yang kurang pas dengan hati dan faith of true yang dia miliki atas sistem yang sudah ada dan berjalan. Sebagaimana misal ketika penulis memiliki ideologi pendidik yang khas, yaitu penulis anggap bahwa apabila ada seorang guru mengajari siswanya hormat bendera adalah suatu masalah yang krusial dalam aqidah Islam. Dan ternyata ritual hormat bendera itu sudah menjadi sistem yang sudah berjala berabad-abad dalam sekolah teresebut. Tentunya penulis selaku pendidik yang berideologis akan merasa adanya pressure in the heart and faith yang secara psikologis adalah sebuah tekanan batin yang menghantam. Dan ternyata tidak sampai disitu, tidak hanya sebuah tradisi yang bermasalah tersebut. ternyata dilain sisi ada tradisi sosial yang sangat blurry jika dipandang dari kaca mata akhlak Islam, seperti; seksinya pakaian ibu guru lain, pergaulan bapak ibu guru lain yang its so easy to say hello antar sesama padahal

mereka bukanlah seorang muhrim yang rawan fitnah, dan sebagaimana perkara syubhat al akbar sebagaimana para siswa diajari bermain seruling (musik) dan SBK yang berbau syirik seperti mengenalkan reog dan tarian-tarian tradisional yang porno. Maaf, bagaimana tidak porno, anak-anak sudah sejak dini dikenalkan dengan gaya tari yang penarinya telanjang hanya menggunakan kemben yang mampu menonjolkan lekukan tubuh bahkan dada mereka (tari jawa).

You might also like