You are on page 1of 10

REVIEW GENDER DAN STRUKTUR SOSIAL: TEORI KONFLIK & FEMINIS MARXIS-SOSIALIS

Sumber: Chafetz, Janet Saltzman. 1988. Feminist Sociology. Illinois F.E Peacock Publisher. Tong, Rosemarie Putnam.1988. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.

I. Teori Konflik A. Teori Feminis Chafetz, dalam bukunya, menegaskan bahwa ia mencari tahu apa yang membuat teori dari beberapa aspek di dunia sosial menjadi teori sosial feminis. Ia melihat bahwa sejak awal Sosiologi muncul di abad ke 19, para teoretis selalu berhubungan dengan isu-isu yang melibatkan seks dan gender. Di dalam isu-isu tersebut sebenarnya tidak ada kesadaran feminis. Sebaliknya, isu-isu itu malah bertentangan dengan tujuan dan nilai-nilai feminis. Lalu di tahun 1970 terdapat suatu literatur yang mengkritisi pendekatan teori tradisional dalam ranah feminis. Literatur itu akhirnya menumbuhkan literatur epistemologis yang berhubungan dengan teori dan metode yang seharusnya diinformasikan oleh perspektif feminis. Dari sinilah kemunculan feminis dalam teori sosiologi mulai terlihat. Selain literatur, muncul juga artikel-artikel tentang feminisme, akan tetapi artikel-artikel tersebut mengklaim bahwa seorang sosiolog feminis harus turut serta dalam mengubah masyarakat, meningkatkan kesadaran feminisme, serta bekerja untuk mengurangi ketidakadilan gender dalam proses menjalani sosiologi. Chafetz sendiri tidak sepakat dengan hal itu. Ia melihat adanya tiga elemen spesifik yang dapat menjelaskan teori feminis: 1. Gender merupakan fokus utama atau subjek permasalahan dari teori. Teori feminis melihat secara luas untuk memahami sifat gender dari seluruh hubungan sosial, institusi dan proses. 2. Relasi gender dilihat sebagai masalah. Teori

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

feminis mencari tahu bagaimana gender berhubungan dengan ketidakadilan dan kontradiksi. 3. Relasi gender tidak dilihat sebagai sesuatu yang alami maupun abadi. Menurut teori feminis, status quo tentang gender dianggap sebagai hasil produksi paksaan sosio-kultural dan historikal. B. Teori Konflik Pemikiran Marx mengenai konflik relevan dalam kajian feminissme terkait dengan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, khsusunya dalam penguasaan sumberdaya berupa materi. Terdapat berbagai gagasan-gagasan mengenai ketimpangan gender dan perubahan sosial yang berakar pada logika pemikiran Marxis tentang dialektika materialsm. Gagasan utama tentang dialektika materialism adalah tentang adanya perubahan sosial dalam masyarakat secara dialektis dari satu jaman ke jaman yang lain. Faktor yang mendorong perubahan adalah materi yang berupa moda produksi. Moda ini meliputi segala dorongandorongan produksi berupa bahan baku, alat produksi dan pekerja yang secara actual menghasilkan produk ditambah dengan proses produksinya dapat menghasilkan suprastruktur yang pada gilrannya dapat menyangga modus itu untuk tetap bertahan. Namun jika ada moda lain yang berkembang sebagai anti teas, maka peradaban baru atau zaman baru dengan moda yang baru akan terbentuk. Marx yang mengutarakan gagasannya dalam konteks sistem produksi, percaya bahwa moda tersebut merupakan sumberdaya yang diperebutkan oleh masyarakat. Pihak yang menguasai sumber daya selanjutnya disebut ruling class dan pihk yang merebut sumberdaya tersebut dalam proses produksi adalah rulled class. Perebutan sumberdaya inilah yang melahirkan konflik antara kelas sosial. Konflik ini tampak jelas dalam masyarakat kapitalis ketika rulling class yakni kaum borjuis mengambil surplus value yang berlebihan terhadap kelas pekerja. Adapun kelas sosial yang terbentuk pada akhirnya melahirkan ketimpngan-ketimpangan secara ekonomi. Pembahasan mngenai kapitalisme dan pandanga Engels tentang keluarga dalam kapitalisme banyak digunakan kaum feminis marxis-sosialis untuk melakukan kajian. Adapun ulasan mengenai hal tersebut akan dijabarkan pada penjelasan selanjutnya mengenai konsep dan teori marxis beserta implikasi feminisnya. II. Feminisme Marxis dan Sosialis A. KONSEP DAN TEORI MARXIS : IMPLIKASI FEMINISNYA

| Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

Feminis marxis mengidentifikasi bahwa kelasisme merupakan penyebab opresi kepada perempuan. Opresi tersebut merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi. Komentar bagi pekerjaan perempuan sebagai contohnya. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak pernah selesai sehingga terdapat konsepsi pada diri perempuan bahwa jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu, maka mereka bukanlah perempuan. Feminis marxis menjelaskan pula bahwa untuk mengetahui mengapa perempuan teropresi oleh laki-laki harus melakukan analisa pada hubungan di antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. 1. Teori Ekonomi Marxis Bagi kelompok Marxis, kapitalisme merupakan sistem hubungan kekuasaan dan hubungan pertukaran. Hubungan pertukaran disini bisa dilihat ketika kekuatan kerja seseorang bisa dipertukarkan dengan sejumlah upah. Selain itu semua transaksi juga dilihat sebagai sebuah pertukaran. Sedangkan kapitalisme sebagai hubungan kekuasaan bisa dilihat ketika pertukaran yang ada menjadi lahan eksploitatif bagi majikan untuk memaksa pekerjanya bekerja dengan giat tanpa tambahan gaji. Sifat eksploitatif dari suatu hubungan pertukaran sangat terlihat di sini karena para pekerja yang telah bekerja dengan giat tidak mendapatkan upah sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya untuk menghasilkan barang atau jasa seperti yang diperintahkan majikannya. Padahal setiap komoditas yang dihasilkan oleh pekerja memiliki nilai yang harus dibalas sesuai dengan pekerjaan, pengeluaran energy, dan intelejensi pekerja. Para pekerja memilih untuk tidak melakukan apapun karena menganggap hal tersebut sebagai hal yang lumrah di dalam sistem kapitalisme dan tidak ada yang salah dengan hubungan buruh dan majikan seperti itu. Hal tersebut jika dikaitkan dengan feminis marxis terlihat ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi PSK demi memenuhi kebutUhannya. Dia menganggap hal itu sebagai pilihan bebas dan tidak ada salahnya karena dia tidak memiliki pilihan lain 2. Teori Kemasyarakatan Marxis Banyak dari pemikir feminis marxis yang menganggap perempuan sebagai kolektivisme sehingga pengajaran marxis tentang kelas dan kesadaran kelas berperan di pemikiran feminis marxis. Meskipun sebenarnya perempuan tidak bisa dikatakan berasal dari kelas yang sama, karena sebagian dari mereka merupakan kelas borjuis dan sebagian lagi merupakan kelas proletar, namun bagi feminis marxis mereka bisa dijadikan ke dalam satu
3 | Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

kelas ketika mereka memperjuangkan untuk mendapatkan upah bagi pekerjaan rumah tangga yang mereka lakukan. Selain itu, kemungkinan perempuan merasa teralienasi dari pekerjaan domestic yang dilakukannya juga mungkin terjadi. Namun alienasi di sini berbeda dengan alienasi yang terjadi terhadap buruh yang bekerja di pabrik. Seorang perempuan merasa teralienasi dari pekerjaan domestic yang dilakukannya ketika tidak ada penghargaan dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Ketika tidak ada ucapan terima kasih dari suaminya saat seorang istri memasak merupakan suatu contoh hal yang bisa mengalienasi perempuan dari pekerjaannya. 3. Teori Politik Marxis Bagi marxis rekonstruktrusi sifat manusia bisa dilakukan dengan menghindari pembagian atau dikotomi yang menjadikan sebagian orang sebagai budak dari sebagian orang lain. Rekonstruksi tersebut yang memungkinkan manusia menjadi bebas dan hal itu yang dituntut oleh kaum feminis. Kebebasan yang ada memungkinkan laki-laki dan perempuan membangun peran sosial dan struktur sosial yang membuat laki-laki dan perempuan bisa merealisasikan potensinya.

B. FRIEDERICH ENGEL DAN FEMINISME Buku Engels ini menjelaskan pada mulanya perempuan bukan dianggap sebagai subordinat laki-laki karena di dalam hubungan berpasangan perempuan memainkan peran vital ketika menghasilkan barang material seperti pakaian dan peralatan masak. Barang material tersebut merupakan hal penting karena bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan pada mulanya masyarakat berpasangan ditelusuri Engels secara matrilineal. Namun dalam perkembangan selanjutnya, laki-laki mendapat kendali hewan ternak yang menjadikan mereka mendapatkan keuntungan dari kegiatan itu. Semakin lama laki-laki menjadi semakin kuat dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya, sedangkan perempuan semakin lemah karena pekerjaan yang dilakukannya di rumah tidak mampu menghasilkan seperti pekerjaan yang laki-laki kerjakan. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya posisi matrilineal berubah menjadi patrilineal karena laki-laki yang menjadi pihak yang menurunkan kekayaan yang ada pada dirinya kepada anak-anaknya kandungnya. Hal tersebut membuat perempuan menjadi representasi kelas proletar.

| Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

Dengan kekuatan yang dimiliki lai-laki mereka lebih bebas dalam melakukan berbagai hal. Suatu hal yang dijelaskan oleh Engels di bukunya tentang bentuk pernikahan monogamy yang dianggap sebagai bentuk pernikahan tanpa cinta dan bentuk dari kekuasaan laki-laki pada perempuan. Keinginan laki-laki menurunkan kekayaannya kedapa anak kandungnya membuat laki-laki harus yakin bahwa istrinya benar-benar mengandung anaknya. Pernikahan monogamy menjadi pilihan laki-laki karena membuat istri mereka hanya diperbolehkan berhubungan dengan suaminya saja. Hal ini mereka lakukan karena sadar bahwa istri bisa saja hamil dengan laki-laki yang bukan suami mereka. Rumah tangga borjuis merupakan rumah tangga yang lebih rentan mengalami suatu kondisi di mana lakilaki mendominasi perempuan. Hal tersebut karena suami bekerja di luar dan mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dengan istri yang hanya bekerja di sector domestic. Sedangkan bagi rumah tangga proletar, banyak dari perempuannya bekerja juga di luar rumah karena harus membantu suami mereka. Hal ini menjadikan posisi suami dan istri sejajar, karenanya suami tidak bisa mendominasi sang istri C. FEMINISME MARXIS KONTEMPORER 1. Keluarga dan Rumah Tangga di Bawah Patriaki Teori marxis hanya menyediakan sedikit ruang sempit bagi isu yang berbicara tentang reproduksi serta seksual perempuan. Hal ini yang menyebabkan kebanyakan feminis marxis fokus pada permasalahan tentang pekerjaan perempuan. Hal yang dibicarakan seputar pekerjaan perempuan sebagai contoh ialah pekerjaan perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pekerjaan yang ringan serta tidak sulit dilakukan. Kita bisa dengan gampang menemukan hal tersebut di dalam suatu rumah tangga yang patriarki. Pada mulanya pekerjaan perempuan seperti memasak, merawat adalah pekerjaan yang sentral. Namun dengan industrialisasi dan transfer produksi barang-barang dari rumah tangga ke tempat kerja publik, perempun yang tidak bekerja di luar rumah mendapat cap sebagai orang yang nonproduktif. Jika pekerjaan perempuan dianaktirikan sebagai pekerjaan yang nonproduktif, maka ketika perempuan bekerja di luar rumah pun mereka akan menjadi pekerja kelas dua dengan bayaran lebih rendah. Meskipun kebanyakan dari perempuan kelas proletar ikut bekerja membantu suaminya, tetap saja tidak merubah pandangan bahwa kebanyakan pekerjaan yang dilakukan perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan lakilaki.
5 | Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

2. Sosialisasi Pekerjaan Rumah Tangga Feminis Marxis melihat adanya gambaran sifat dan fungsi perempuan sebagai konsumen dalam arti pria di luar mencari uang dan perempuan yang menghabiskannya. Gambaran ini sama sekali salah karena menurut Margaret Benston, salah satu tokoh feminis, perempuan adalah produsen yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan-kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Karena produk yang dihasilkan perempuan seperti makanan keluarga atau jahitan pakaian anak ini tidak dijual, masyarakat cenderung melihat produksi yang dilakukan perempuan dalam keluarga itu lebih ringan daripada produksi yang hasilnya dipasarkan (seperti makanan instan). Menurut Benston, percuma jika perempuan diberikan peluang untuk memasuki ranah industri publik jika secara bersamaan sosialisasi pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membershikan serta mengasuh anak tidak dilakukan. Kunci pembebasan perempuan menurut Benston adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Sosialisasi pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan itu diakui Benston bukan berarti mampu membebaskan perempuan dari pekerjaan rumah tangga, akan tetapi perubahan ini akan memungkinkan setiap orang untuk menyadari betapa pentingnya pekerjaan rumah tangga secara sosial. Dengan melihat sulitnya pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan perempuan, masyarakat tidak lagi melihat perempuan sebagai makhluk yang inferior dan parasit. Hal ini diperjuangkan Benston dengan cara mengkampanyekan upah untuk pekerjaan tumah tangga. Agar dapat disetarakan dengan pekerjaan-pekerjaan industrial lainnya, maka selayaknyalah pekerja-pekerja rumah tangga diberi upah oleh negara. Begitulah pendapat Dallas Costa dan James mengenai sosialisasi pekerjaan rumah tangga ini. Sayangnya pemberian upah bagi pekerja rumah tangga ini menuai kritik dan argumen. Negara akan mengalami kesulitan untuk membayar tiap ibu rumah tangga yang pada akhirnya kesulitan itu akan dibebani kepada suami-suami mereka sebagai pajak. Feminis marxis yang bertujuan menghancurkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin menganggap upah pekerjaan rumah tangga sebagai pengalihan perhatian dari pencapaian tujuan itu, atau bahkan penghambat. Menurut feminis marxis, perempuan akan selalu menjadi orang yang mundur dari dunia publik dan kembali ke dunia pribadi selama upah perempuan tetap lebih rendah daripada laki-laki.

| Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

D. NILAI SETARA Pada tahun-tahun terakhir, feminis marxis menjadi lebih tertarik kepada cara pembagian kerja berfungsi di tempat kerja. Saat perempuan masuk ke industri publik, ia cenderung melakukan pekerjaan perempuan yakni mengajar, merawat, memasak, menjahit, dll. Pekerjaan tersebut tidak begitu dihargai dalam industri publik tersebut sehingga perempuan mendapatkan upah dua per tiga dari laki-laki walaupun pekerjaannya sebenarnya setara. Feminis marxis mendukung comparable worth atau nilai setara karena hampir setengah dari keluarga miskin dikepalai oleh perempuan yang tidak menikah. Jika perempuan-perempuan tersebut dibayar sesuapi dengan nilai pekerjaannya, maka perempuan ini mungkin akan mampu menghidupi dirinya dan keluarganya tanpa harus dipaksa bergantung kepada laki-laki. Lagipula, feminis marxis melihat bahwa dengan adanya nilai setara, jika pekerjaan yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan perempuan menawarkan upah yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, maka akan banyak laki-laki yang tertarik pada pekerjaan perempuan tersebut sehingga secara perlahan nilai setara akan mampu menghapus pembagian kerja secara seksual di tempat kerja.

E. KRITIK TERHADAP FEMINIS MARXIS 1. Kritik Dari Komunitarian Tokohnya adalah Jean Bethke Elsthain. Ia melihat bahwa feminis marxis terlalu menganggap keluarga sebagai hasil konstruksi dari kapitalisme yang mereproduksi tenaga kerja dengan mengorbankan perempuan. Elshtain memperingatkan feminis marxis bahwa institusi keluarga adalah perlindungan terbaik manusia dalam melawan negara totaliter yang tidak bisa mentoleransi perbedaan apapun. Keluarga memungkinkan lahirnya perspektif kritis karena adanya perbedaan nilai yang dianut dengan nilai yang diajarkan dalam sosialisasi masyarakat. Feminis marxis tentu saja menuduh Elshtain menerima stereotipikal kapitalis Amerika tentang imej keluarga dimana perempuan mengandung anak lalu membiarkan anaknya diasuh dengan pola pengasuhan yang mengabaikan para perempuan. Tetapi, kebanyakan feminis marxis menganggap keluarga tradisional (suami pria-istri perempuananak) sebagai keluarga ideal sehingga mereka berspekulasi di dalam masyarakat yang sebenarnya, laki-laki akan menikahi perempuan tapi mereka akan menjadi setara, pasangan
7 | Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

heteroseksual akan memiliki anak tapi anaknya akan menjadi tanggung jawab sosial, dan manusia akan membangun rumah tangga masing-masing meskipun hanya akan mengakomodasi kegiatan mengasuh anak, memasak, serta bersih-bersih. Banyak dari feminis marxis yang sebenarnya mendukung gambaran Elshtain tentang keluarga. 2. Kritik Dari Feminis Sosialis Kritik dari Allison Jaggar kepada feminis marxis merupakan kritik dari perspektif sosialis yang khawatir bahwa feminis marxis kurang memadai dalam membahas opresi terhadap perempuan oleh laki-laki. Feminis marxis dalam membahas mengenai opresi terhadap perempuan, mereka berargumentasi bahwa kapital sebagai opresor utama terhadap perempuan sebagai pekerja sementara laki-laki sebagai opresor sekunder terhadap perempuan sebagai perempuan. Namun apakah laki-laki benar-benar hanya merupakan opresor sekunder terhadap perempuan? Bukankah masih banyak isu-isu perempuan yang tidak berhubungan dengan sifat dan fungsi pekerjaan perempuan? Bagaimana feminis marxis menganalisa isuisu tersebut? Bagi Jaggar, feminis marxis jarang sekali mengangkat isu yang berkaitan dengan seks. Sekalinya diangkat, mereka membandingkan seks dengan pekerjaan seperti hubungan suami-istri terhadap hubungan borjuis-proletar, seolah hubungan suami-istri tersebut adalah eksploitatif dan mengalienasi sebagaimana hubungan majikan-pekerja. F. FEMINISME SOSIALIS KONTEMPORER Pada umunya, feminis sosialis lahir sebagai hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas sifat pemikiran Marxis yang sama sekali buta gender. Salah satunya adalah pemikiran Marxis yang cenderung menganggap bahwa opresi terhadap pekerja jauh lebih penting dibandingkan dengan opresi terhadap pekerjaan. Secara umum Marxis melihat bahwa opresi terhadap perempuan merupakan akibat dari pembagian kerja yang tidak adil dalam masyarakat. Lebih jauh, feminis sosialis menantang pemikiran Marxis yang tidak dapat menjelaskan alasan mengapa terjadi pemisahan ranah pekerjaan antara laki-laki dan pere,puan. Oeh karenanya, meskipun feminis sosialis setuju bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak dapat dihancurkan kecuali patriaki juga dihancurkan. Tidak cukup itu saja, feminis sosialis juga mengemukakan pernyataan bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak berubah kecuali jika ideology mereka juga berubah.
8 | Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

1. Julliet Mitchell Mitchell menyatakan bahwa revolusi ala Marxis untuk menghancurkan kelas sosial dalam masyarakat harus dikombinasikan dengan revolusi secara khusus feminis yang bertujuan untuk menghancurkan sistem seks/gender. Dia beranggapan bahwa status dan fungsi perempuan ditentukan secara jamak oleh perannya pada produksi, reproduski, serta seksualitas. Hal inilah yang menjadi gagasan kontradiktifnya dengan pemikiran Marxis yang hanya menganggap bahwa status dan funsi perempuan hanya ditentukan oleh elemen ekonomi semata. Mitchell berspekulasi bahwa ideology patriarkal bertanggung jawab terhadap posisi perempuan dalam masyarakat yang subordinat disbanding laki-laki. Cara yang harus ditempuh untuk menumbangkan subordinasi ini ialah dengan memperjuangkan kebebasan berpikir sampai pemikiran perempuan dan laki-laki terbebas dari pemikiran bahwa permpuan kurang setara dari laki-laki. Salah satu pemikiran Mitchell yang terkenal adalah mengenai feminisme dan psikoanalisis yang meyakini bahwa penyebab opresi terhadap perempuan berada dalam tataran psikis manusia, sehingga segala usaha memajukan perempuan tidak dapat secara signifikan mengubah status perempuan secara umum. Sikap terhadap perempuan tidak akan benar-benar berubah selama psikologi perempuan dan lakilaki masih didominasi oleh symbol-simbol patriaki. Oleh karenanya, patriaki dan kapitalisme harus sama-sama dihapuskan. 2. Iris Young Menurut Young, analisa kelas sebagai pusat kategori analisis tidak akan mampu menjelaskan bagaimana opresi yang terjadi di negara-negara sosialis sekalipun. Karena itu Young menawarkan bahwa kategori pembagian kerja yang lebih melek gender mempunyai kekuatan konseptual untuk mentransformasi teori feminis Marxis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan, yaitu di dalam keluarga atau di tempat kerja, peran reproduksi juga peran produksi perempuan. Analisis menggunakan kategorisasi berdasarkan pembagian kerja menjadi lebih spesifik daripada menggunakan kategorisasi kelas. Young percaya bahwa akan adanya marjinalisasi perempuan, yakni fungsi perempuan sebagai tenaga kerja sekunder yang merupakan karakteristik esensial dan fundamental dari kapitalisme. 3. Alison Jaggar

| Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

[TEORI KONFLIK &

FEMINIS MARXISSOSIALIS] September 28, 2010

Jaggar mengajukan konsep alienasi sebagai konsep Marxis yang palin representative untuk menganalisa opresi terhadap perempuan dalam masyarakat. Ia menempatkan pembahasannya mengenai alienasi dalam rubrik seksualitas, motherhood dan intelektualitas. Dari sisi seksualitas, jagger mengangkat isu bahwa perempuan telah dialienasi dari tubunya sendiri, bahwa mereka tidak memiliki hak apapun ketika tubuh maupun seksualitasnya dgunakan oleh laki-laki dimanapun. Motherhood atau pengalaman sebagai seorang ibu juga merupakan pengalaman yang mengalienasi bagi perempuan. Alienasi ini terjadi ketika perempuan tidak ikut mengambil keputusan terkait produk pekerjaan reproduksinya, misalnya dalam menentukan jumlah anak yang dilahirkan. Secara reproduksi perempuan juga teralienasi, misalnya tampak pada keputusan cara kontrasepsi, cara kelahiran anak, pemakaian rahim untuk bayi tabung, dan lain sebagainya. Jaggar juga menyatakan bahwa perempuan juga teralienasi dari kapasitas intelektualnya. Bahwa seorang perempuan dibuat ragu dalam mengungkapkan gagasan di depan public akibat laki-laki yang selalu menetapkan kerangka wacana dan perempuan sebagai pengikut atau pembelajarnya. Perempuan harus memahami bahwa di dalam struktur patriarki kapitalis abad 20, opresi terhadap perempuan mewujud dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang, terutama dirinya sendiri. Hanya jika perempuan memahami sumber sesungguhnya dar ketidak bahagiaan mereka, perempuan akan berada dalam posisi untuk melawannya.

10

| Rahardhika Arista Utama Ahadiah Nur Maisaroh Alesia Anindya M.

You might also like