You are on page 1of 2

KESADARAN KELAS Dalam marxisme, pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas ditentukan oleh posisi dalam proses produksi.

Lalu, apakah maksud dari kesadaran-kelas? Pertanyaan ini dengan serta merta akan berkembang menjadi serangkaian persoalan-persoalan yang saling terkait. Pertama, bagaimana cara kita memahami kesadaran kelas (dalam teori)? Kedua, ketika sudah dipahami, apakah fungsi (praktis) kesadaran kelas dalam konteks perjuangan kelas? Ini menggiring kita ke pertanyaan yang lebih jauh: apakah persoalan kesadaran-kelas adalah persoalan sosiologis pada umumnya ataukah mempunyai arti berbeda bagi kelas proletariat dan bagi kelas-kelasi lain yang sejauh ini sudah ada? Dan terakhir, apakah hakikat dan fungsi kesadaran-kelas itu bersifat homogen ataukah kita dapat menentukan perbedaan gradasi dan level-levelnya? Jika memang demikian, apakah implikasi praktisnya bagi perjuangan kelas proletariat? Hal 95, P 1 Dalam penjelasannya yang amat terkenal tentang materialisme historis. Engels berangkat dari asumsi bahwa, walaupun esensi sejarah terdapat pada fakta bahwa tidak ada yang terjadi tanpa adanya maksud dan tujuan yang disadari dan disengaja, namun, untuk memahami apakah sejarah itu sendiri, kita harus melangkah lebih jauh. Karena di satu pihak, kehendak-kehendak individual yang terlibat aktif dalam sejarah sebagian besarnya melahirkan hasil-hasil yang justru berbeda dari apa yang dimaksudkan sering malah bertentangan; dengan demikian motif mereka dalam hubungannya dengan hasil secara keseluruhan tampaknya hanya menduduki arti penting kedua. Di pihak lain, pertanyaan yang lebih jauh justru muncul di titik ini: kekuatan-kekuatan pendorong seperti apa yang berada di balik motif-motif tersebuti? Apa sebab-sebab historis yang mengubah dirinya menjadi motif-motif yang terdapat dalam pikiran para aktor ini? engels meneruskan argumennya dengan menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan pendorong ini pasti sebagiannya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang menggerakkan massa besar, keseluruhan orang, bahkan seluruh kelas masyarakat; dan yang menciptakan sebuah aksi terakhir dalam sebuah transformasi besar. Dengan demikian, esensi ilmiah Marxisme terletak dalam kesadaran, bahwa motor penggerak sejarah yang sesungguhnya tidak terikat dengan kesadaran (psikologis) manusia tentangnya. Hal 96, P 1 Dalam kasus pertama, tidak ada kemungkinan untuk memahami asal-usul institusiinstitusi sosial. Objek sejarah tampil sebagai objek hukum alam yang tak berubah dan abadi. Sejarah difosilkan (fossilized) di dalam formalisme formalisme yang tak kuasa memahami hakikat institusi-institusi sosial-historis yang sebenarnya terdiri dari hal ini, sumber pemahaman historis yang sesungguhnya, dan dipisahkan darinya oleh jurang yang tak terjembatan. Seperti yang ditandaskan Marx, orang gagal menyadari, Bahwa relasi-relasi sosial yang jelas ini, tak lain adalah produk manusia juga, seperti kain linen rami, dan lain-lain. Hal. 99, P 1 Dalam kasus kedua, sejarah ditransformasikan menjadi aturan tak rasional, kekuatankekuatan buta yang paling-paling dicangkokkan ke dalam spirit manusia atau ke dalam orang besar. Karenanya, sejarah hanya dapat dideskripsikan secara pragmatis, tetapi tidak dapat dipahami secara rasional. Organisasi yang mungkin baginya hanya yang bersifat estetis, seolah-olah sejarah merupakan karya seni. Jika tidak demikian, seperti yang terdapat dalam filsafat sejarah para Kantian, sejarah akan dilihat sebagai instrumen,

hampa makna di dalam dirinya sendiri, yang disadari dan direalisasikan melalui prinsipprinsip etis yang nirwaktu dan suprahistoris. Hal. 100, P 1 Marx memecahkan dilema ini dengan membuktikan bahwa semua itu hanya ilusi. Dilema ini hanya berarti bahwa kontradiksi sistem produksi kapitalis tercermin di dalam penjelasan-penjelasan yang tidak berhubungan tentang objek yang sama ini. Karena, dalam historiografi yang berupaya mencari hukum-hukum sosiologis atau alasan-alasan formalistiknya, kita menemukan bayangan kemalangan manusia dalam masyarakat borjuis dan bayangan perbudakan tiada ampun terhadapnya oleh kekuatan-kekuatan produksi. Bagi manusia-manusia ini, relasi sosial mereka sendiri, tandas Marx, berwujud aksi objek-objek yang mengatur para produsen dan bukannya diatur oleh mereka. Hukum ini diekspresikan dengan lebih jelas dan runtut dalam hukum-hukum ekonomi klasik yang murni alami dan rasional. Marx menanggapi hal ini dengan menuntut adanya suatu kritik historis atas ekonomi yang mengurai totalitas objektivitasobjektivitas kehidupan sosial dan ekonomi yang tereifikasi ke dalam relasi antarmanusia. Menurut Marx, kapital dengan segala bentuknya di mana ekonomi nasional mengobjektivikasi diri bukanlah suatu benda (a thing), melainkan suatu relasi sosial antarorang yang diperantarai oleh benda-benda. Hal. 100, P 2 Selain itu, dengan mereduksi objektivitas institusi-institusi sosial yang begitu kejam terhadap manusia menjadi relasi antarmanusia, Marx juga menghindar dari implikasiimplikasi keliru prinsip irasionalis dan individualis, yakni ujung lain dari dilema tadi. Sebab, menghilangkan objektivitas yang dilekatkan pada institusi sosial yang tidak peduli pada manusia dan pada evolusi historisnya, berarti merestorasi objektivitas ini sampai dasar-dasar yang melandasinya. Sampai pada relasi-relasi antarmanusia; restorasi ini tidak melibatkan penyingkiran hukum-hukum dan objektivitas yang tidak terikat dengan kehendak manusia dan khususnya lagi dengan kehendak dan pikiran-pikiran orang per orang. Restorasi ini semata-mata berarti bahwa objektivitas tersebut adalah objektivitasdiri masyarakat manusia pada tahap tertentu perkembangannya; hukum-hukumnya bisa dianggap baik hanya dalam kerangka konteks histori yang menghasilkannya dan yang pada gilirannya ditentukan olehnya. Hal. 101, P 1 Sepintas lalu, dengan memecahkan dilema tadi dengan cara ini, kita seolah-olah mengingkari adanya peran penting kesadaran dalam proses sejarah. Memang, refleksirefleksi sadar terhadap berbagai tahap perkembangan ekonomi tetap menjadi fakta-fakta historis yang penting; memang benar bahwa sementar materialisme dialektis adalah produk dari proses ini, namun ia tidak menafikan bahwa manusia memang melaksanakan kegiatan-kegiatan historisnya dan mereka melakukannya dengan sadar. Namun, seperti yang ditegaskan Engels dalam suratnya kepada Mehring, kesadaran ini adalah kesadaran palsu. Bagaimana pun juga, metode dialektika tertentu tidak mengizinkan kita sematamata hanya memproklamasikan kepalsuan kesadaran ini dan menyatakannya dengan cara semata-mata mempertentangkan benar dan salah. Sebaliknya, penegasan ini mengharuskan kita untuk menyelidiki kesadaran palsu ini secara konkret sebagai sebuah aspek dari totalitas historis dan sebagai satu tahap dalam proses historis. Hal. 102, P 1

You might also like